Aland memberikan tatapan waspada ketika Joo duduk di sofa yang sama dengannya, sementara Kate hanya berdiri di dekatnya dengan bersedekap dada. Sejujurnya, ini agak mengerikan karena tiba-tiba Aland terbangun di tempat yang tidak diketahuinya, usai penyerangan tiba-tiba yang dilakukan oleh mereka padanya.
Kate dan Joo hanya memberikan tatapan yang sulit diartikan oleh Aland. Tidak ada yang memulai pembicaraan sampai Ken yang entah datang dari mana terkejut karena tak ada seorang pun di meja makan, mengetahui Aland yang telah bangun dan Kate serta Joo berada di sana—laki-laki itu langsung menegur Aland.
“Rupanya kau sudah bangun?” Pertanyaan Ken hanya dianggurkan oleh Aland. Pandangan Aland turun pada tas hitam di tangan Ken. Ekspresi Aland berubah seketika ketika mengetahui itu adalah tasnya.
“Apa yang kau lakukan pada tasku?” Aland merebut tas miliknya dari tangan Ken, tetapi yang membuat Aland merasa aneh adalah ketika Ken memberikannya tanpa mereka harus terlibat pertengkaran lagi seperti sebelumnya.
“Tidak ada. Aku hanya membantumu menyimpannya supaya aman,” jawab Ken. Aland tidak mengerti apa tujuan mereka membawanya kemari dengan cara seperti itu. Yang jelas, mereka sudah mengetahui tentang foto gadis itu. Ia sangat khawatir bahwa rencananya gagal bahkan sebelum dimulai.
“Kau sama seperti kakakmu,”Aland menoleh saat Joo mengatakan itu. Tak mengerti apa yang dimaksud olehnya, Aland memutar otak untuk mencari tahu arti dari ucapan Joo. Setelah sadar siapa seseorang yang dimaksud oleh Joo, Aland tiba-tiba tersulut emosi.
“Apa maksudmu berbicara seperti itu?!” Aland mencengkeram kerah Joo hingga laki-laki itu ikut berdiri, tetapi Joo dengan santai melepaskan tangan Aland. Lelaki itu memegang bahu Aland dan berpura-pura memasang wajah serius.
“Tenanglah, Anak Muda. Kau sekarang sedang berada di rumah temankuKen. Bersikaplah dengan sopan sedikit, turunkan nada bicaramu.” Aland menepis tangan Joo dari bahunya.
“Tidak perlu! Cepat katakan apa maksudmu! Meraih kerah kemeja Joo, Alandmulai kehilangan kesabaran.
Kate yang semula duduk di bahu sofa kini ikut berdiri—mencoba menghadang Aland, sebelum lelaki itu memukul temannya. “Hey, tenang. Duduklah dulu. Lebih baik kau dengarkan kami dulu.”
“Mengapa aku harus mendengarkan kalian?!” teriak Aland pada Kate, ia benar-benar sudah kehilangan kesabaran setelah apa yang mereka lakukan padanya.
“Kau harus mendengarkan kami dulu!” balas Kate dengan berteriak pula pada Aland.
“Kenapa?!”
“Karena ini menyangkut kakakmu!”
Seperti palu godam yang menghantam keras di ulu hatinya, Aland seketika terdiam mematung. Tubuhnya menjadi lemas. Sehingga kedua tangan yang berada di kerah baju Joo, jatuh—seakan kehilangan daya untuk menopangnya. Kedua matanya berkaca-kaca, mengakibatkan rasa panas menjalar di sekitar mata. Kaca-kaca itu kemudian berubah menjadi cairan bening yang menggenang. Dengan tatapan luka itu, satu-persatu Aland memandang wajah ketiga orang di hadapannya.
“Apa yang kalian ketahui tentang kakakku?” Melalui tatapan putus asa itu, Aland bertanya dengan lirih.
Iba dengan reaksi Aland yang tidak terduga, mereka akhirnya mengajak Aland untuk duduk dan memutuskan untuk membicarakan hal ini baik-baik. Beruntungnya Aland tidak melawan. Ia menurut demi bisa menemukan informasi tentang kakaknya secepatnya.
Joo berdehem setelah membenarkan kerah bajunya yang berantakan. “Aku ... tidak sadar kalau nama belakangmu ternyata sama dengan nama belakang mahasiswi senior yang dikabarkan hilang itu. Maksudku berkata kau sama seperti kakakmu adalah kalian memiliki sifat yang sama. Sama-sama introvert. Bedanya, kau tidak seramah dirinya.”
Dahi Aland berkerut, terkejut dengan ucapan Joo. “Kau mengenal kakakku?”
Joo, Kate, dan Kate saling menatap satu sama lain. Kate lantas mengangguk. “Bukan hanya Joo, tetapi kami bertiga mengenal kakakmu.”
Menghela napas pelan, Joo melanjutkan perkataannya. “Saat aku menemukan foto itu terjatuh dari dalam tasmu, aku sudah berpikir bahwa kau ada hubungannya dengan hilangnya senior kami itu. Apalagi kau sangat pendiam dan tertutup selama ini yang membuat kami mencurigaimu. Makanya kami menangkapmu dengan cara seperti itu. Setelah kami menggeledah isi tasmu, kami menemukan foto dua anak kecil dengan nama lengkap di baliknya. Dan saat itulah kami baru sadar, ternyata kau adalah adik dari Mikhaela—mahasiswi jurusan ekonomi tingkat akhir yang menghilang tiba-tiba.”
“Iya, benar,” timpal Kate. “Maaf karena kami memperlakukanmu tidak baik sebelumnya. Kami sangat menyesal. Saat kami tahu bahwa kau adalah adik dari Kak Mikhaela, kami berniat untuk membantumu mencarinya.”
Aland menyipitkan mata, merasa belum bisa percaya kepada mereka. “Mengapa kalian ingin membantuku? Apakah kalian memiliki motif lain?”
Ken yang berada di sisi kiri Aland, menepuk bahu laki-laki itu untuk meyakinkannya. “Aland, sebelumnya, kami mendapat tugas membuat film pendek tentang promosi bidang studi. Lalu, kami kebetulan mendapat tugas untuk mempromosikan jurusan ekonomi. Kami bertemu beberapa senior mahasiswa dari jurusan ekonomi, tetapi hanya Kak Mikhaelaorang yang benar-benar cocok dengan kami. Dari sekian banyak mahasiswa, dia yang paling ramah dan memaklumi kami sebagai juniornya. Kami bahkan mengagumi sosoknya yang sangat rendah hati pada junior seperti kami.”
“Di saat dia menghilang dan kabar buruk tentangnya beredar di penjuru kampus, kami sebagai orang yang pernah di tolongnya, cukup sulit untuk menerima jika ada yang mengatakan kalau dia gadis yang buruk.”
Mendengar cerita tentang kebaikan kakaknya dari orang lain, berhasil mengingatkan kembali kenangan-kenangan Aland bersama kakaknya. Ia cukup lega karena semenjak pindah ke kampus kakaknya, Aland hanya menemukan gosip-gosip buruk yang tak sengaja ia dengar dari beberapa mahasiswa yang membicarakan kakaknya. Dan hari ini ternyata masih ada orang yang menyebut kakaknya sebagai orang yang baik. Ketulusan di mata mereka saat bercerita tentang kakaknya, perlahan-lahan membuat Aland menaruh rasa percaya kepada mereka.
“Apakah kalian benar-benar ingin membantuku?” tanya Aland.
Mereka bertiga mengangguk secara kompak. “Kami adalah temanmu sekarang.”
Aland melirik ketiganya bergantian. “Bisakah ... kalian menjaga rahasia ini dari orang lain?”
Sekali lagi, Kate, Ken, dan Joomelirik satu sama lain. Lalu mereka mengangguk secara kompak.
Aland memandang kesal pada ketiga orang di depannya, ia merasa dikhianati hari ini setelah mereka berjanji kemarin untuk membantunya. “Bukankah aku meminta kalian untuk merahasiakan hal ini dari orang lain?”Lantai dua gedung tak terpakai di belakang kampus menjadi pertemuan Aland dengan ketiga teman barunya untuk membahas kasus kakaknya. Aland memilih tempat ini karena merasa tempat ini aman dari jangkauan orang lain. Tempat ini adalah gedung lama yang tidak terpakai lagi, yang dibiarkan menganggur jika dilihat dari dindingnya yang terbuat masih dari batu bata merah tanpa dilapisi dengan cat.Lantai dasar gedung ini tidak berdinding, tiang-tiang besar menjadi penyangga. Terdapat satu tangga menuju lantai dua. Jendela-jendela tanpa kaca mampu membuat cahaya matahari menerangi ruangan yang cukup berdebu itu. Banyak sekali kursi dan meja kayu tak terpakai di sana, beberapa telah lapuk termakan usia.
Aland merasa kesal karena seharusnya hari ini mereka berempat membahas kasus kakaknya. Namun, mereka malah datang membawa seorang gadis yang entah siapa—di tengah-tengah mereka. Mereka menyebut dirinya sebagai Jane—mahasiswi ekonomi tingkat pertama yang merupakan teman Ken dari club dansa ballroom.
“Akan sangat menguntungkan jika Jane bergabung dengan kita. Dia cukup dekat dengan senior-seniornya dari jurusan ekonomi, kita bisa memperoleh informasi lebih cepat tentang kakakmu jika dia bergaul teman-teman kakakmu,” jelas Ken.
Aland menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia tersenyum canggung ketika melirik Jane yang dibalas Jane dengan senyumnya. Lalu Aland mendekat pada Joo dan berbisik padanya. “Apa kau yakin dia bisa dipercaya?”
“Ken bilang, dia juga tinggal di asrama kampus. Otomatis dia mengetahui apa saja yang terjadi di dalam kampus lebih baik daripada kita. Menurutku tidak ada salahnya menerimanya, kelihatannya dia gadis baik-baik,” ucap Joo.
Aland sebenarnya masih ragu menerima orang lain untuk ikut serta dalam kasus kakaknya. Namun, agar cepat menemukan informasi tentang kakaknya, Aland menurut saja pada mereka. Tidak ada salahnya menerima Jane kalau dia bisa memperoleh informasi tentang kakaknya lebih mudah.
“Baiklah, apa kau sudah tahu apa tujuan kami sebenarnya?” tanya Aland pada Jane. Gadis itu lantas mengangguk dan tersenyum. Perangainya yang ramah seketika mengubah keraguan Aland padanya.
“Aku tahu. Ken sudah menceritakannya padaku. Jangan khawatir, Aku tidak akan menceritakan masalahmu pada orang lain. Kau bisa mempercayaiku.” Jane menyakinkan Aland agar percaya padanya.
Semuanya kini setuju pada Jane. Di sebuah meja panjang yang dikelilingi kursi-kursi kayu, Aland memulai diskusi. Mereka menyusun rencana untuk bergerak diam-diam dalam menjalankan misi menggali informasi di seluruh penjuru tentang keberadaan mahasiswi yang hilang.
“Hal yang membuat aku ingin membantu Aland adalah karena kejadian yang aku temui baru-baru ini.” Jane memulai pembicaraan. “Pada hari saat Kak Mikhaela dinyatakan menghilang, pada malam harinya aku melihat beberapa orang misterius yang terlihat di sekitar asrama kampus. Aku terbiasa bangun jam 1 pagi untuk pergi ke toilet. Saat ingin kembali ke kamar, aku tidak sengaja melihat orang-orang itu. Padahal setiap jam 11 malam, gerbang asrama sudah ditutup dan dilarang ada kegiatan keluar-masuk asrama lagi.”
“Seperti apa orang-orang itu? Apakah kau tidak mengenal mereka berasal dari mahasiswa asrama atau bukan?” tanya Kate.
Jane menggeleng. “Aku tidak bisa mengenali mereka, karena mereka menggunakan topeng berwarna hitam.”
“Menggunakan topeng?” Aland membeo. Sedikit tidak masuk akal jika ada orang yang sengaja berbuat iseng malam-malam dengan menggunakan topeng berwarna hitam.
“Untuk apa menggunakan topeng malam-malam? Apa mereka itu kurang kerjaan?” Joo tertawa karena pernyataan Jane sulit diterima di akal sehatnya. “Jangan-jangan mereka ingin menjadi ninja seperti di film-film,” tambahnya.
“Jangan seperti itu, siapa tahu ini ada hubungannya dengan hilangnya kakak Aland,” tegur Ken pada Joo.
“Aku ... tidak tahu.” Jane berkata ragu. “Tetapi saat Ken menceritakan masalah Aland kepadaku, aku langsung teringat pada orang-orang misterius itu. Aku berpikir kalau mereka ada hubungannya dengan menghilangnya kakak Aland. Aku bahkan tidak menceritakan kejadian ini pada teman-teman asrama atau siapa pun selain kalian, karena aku tidak ingin mereka merasa takut.”
Di atas meja, Aland menggenggam tangannya begitu kuat. Perkiraan-perkiraan buruk tentang kakaknya perlahan membayangi pikirannya sejak Jane bercerita. Selama ini, ia mengenal kakaknya sebagai kakak yang baik. Jika kemungkinan paling buruk kakaknya menghilang karena diculik, lantas mengapa harus kakaknya? Dan jika tidak ada hubungannya dengan kejadian yang tidak mengenakkan, lantas mengapa pihak kampus berusaha menutupi informasi tentang kakaknya?
Tiba-tiba semua orang dikejutkan oleh bunyi dari kayu yang digeser. Ruangan luas yang sunyi membuat bunyi itu terdengar jelas di telinga mereka. Kelima mahasiswa itu menoleh ke arah sumber bunyi pada tumpukan kayu dan tripleks di ujung ruangan, mereka saling menatap satu sama lain kemudian—takut-takut jika gedung ini berpenghuni. Mereka sudah akan berniat pergi ketika sebuah tangan muncul dan menggeser tripleks hingga seseorang keluar dari sana. Rupanya, tripleks yang disegeser itu adalah sebuah pintu untuk menutupi ruangan kecil yang terbuat dari bangku-bangku yang ditumpuk. Sebelum tripleks digeser, siapapun akan mengira bahwa bangku-bangku itu hanya sekedar kayu yang ditumpuk.
Seorang laki-laki yang tengah membenarkan letak kacamatanya itu memandang mereka dengan tatapan tak bisa diartikan. Joo menepuk lengan Aland. “Kau bilang tidak ada seorang pun yang datang ke sini? Lihat, ada orang di sini. Dia pasti sudah mendengar semuanya.”
Aland membalas tatapan Joo dengan bingung. “Kupikir tidak ada seorang pun yang datang ke sini.”
Semua orang bangkit dari duduknya dengan raut panik ketika lelaki berkacamata itu berjalan mendekat kepada mereka. “Jadi, kau adalah adik dari Mikhaela?” tunjuk orang itu pada Aland.
Tumpukan-tumpukan kayu itu sekilas hanya terlihat semacam tumpukan kayu dalam jumlah banyak, ditambah papan tripleks yang dibiarkan bersandar di tengah-tengahnya, tetapi siapa sangka, jika papan tripleks yang digunakan sebagai pintu itu digeser, kau akan menemukan ruangan kecil yang sengaja disulap menjadi ruang kerja. Terdapat satu set komputer dan beberapa jenis perangkat keras yang tertata rapi di atas meja. Satu buah kursi tunggal, serta sofa panjang berwarna biru yang ditambal dengan kain di beberapa bagiannya. Ruangan kecil yang cukup nyaman dan bersih dibanding keadaan di luarnya. Aland, Joo, Kate, Ken, dengan Jane sempat panik saat mengetahui ada orang lain selain mereka di sini.“Benar, aku memang adik dari Kak Mikhaela yang dikabarkan hilang itu,” jawab Aland ketika laki-laki yang keluar dari tumpukan-tumpukan bangku itu bertanya kepadanya. Aland sudah berpikir macam-macam bahwa rahasianya dalam membentuk kelompok rahasia untuk mencari kakaknya aka
Senja telah membumi. Lampu-lampu telah dinyalakan di koridor juga beberapa sudut penting kampus. pada hari di mana kejadian Aland dicekik oleh korban teror Geng Topeng Hitam di atap gedung fakultas film, Romeo mengajak Jane diam-diam menyelinap ke dalam ke ruang club biologi usai kelas berakhir. Ponsel Tor yang Romeo temukan di belakang pintu ruang kesehatan tempat Aland berbaring kini berada di tangannya. Bermodalkan kemampuan dan peralatan seadanya, Romeo berhasil melacak password dan membuka pintu ruangan. Ruangan ini lebih kecil dari laboratorium biologi, tentu saja. Terdapat sebuah meja berbentuk persegi panjang yang di kelilingi banyak kursi tunggal di ruangan ini, karena ruangan ini hanya dikhususkan untuk para mahasiswa dari jurusan mana pun yang memiliki ketertarikan belajar biologi.Romeo dan Jane berhenti di depan sebuah lemari kaca yang terdapat gelas-gelas berisikan cairan kimia berwarna ungu di dalamnya. Jane masih tak mengerti maksud Romeo mengajaknya ke
“Romeo di-skors.” Satu hal yang terlintas di kepala Aland ketika Jane mengatakan hal itu kepada ia dan yang lain, saat mereka berkumpul tanpa Romeo—Aland langsung menuju asrama laki-laki, meminta petugas penjaga untuk mengantarnya ke kamar Romeo, tetapi lelaki berkacamata itu tidak ditemukan di kamarnya. Aland justru menemukan Romeo di balkon atap asrama—duduk di sebuah bangku reot dan diam termenung. Merasa mengenali punggungnya, Aland melompati dinding pembatas setinggi paha orang dewasa, menghampiri laki-laki yang tengah menyendiri itu. “Mengapa tidak bilang padaku, kalau kau mendapat skorsing?” Pandangan Romeo yang semula tertuju pada pemandangan pemukiman di bawah sana, kini mengikuti arah langkah kaki Aland yang berhenti pada dinding pembatas. Wajah yang ditimpa sinar mentari itu ikut menikmati keindahan pemandangan di depannya. “Tidak ada hubungannya denganmu,” balas Romeo singkat. Suasana hatinya sedang tidak baik kala mengingat bagaim
“F—Fluke?”Dahi Fluke mengernyit kala mendengar suara seseorang yang sepertinya dia kenal. Lampu ponsel yang menyorot wajahnya mati seketika tanpa diduga. Gadis itu kemudian mengecek ponselnya yang tak kunjung menyala. Sialnya, kini baterai ponselnya habis.Sebelah alis Fluke terangkat ketika dengan jelas ia dapat melihat wajah seorang gadis dengan rambut yang tergerai lurus di hadapannya, meski dalam kegelapan. Salah satu sudut bibir Flukr terangkat kemudian, rupanya dia adalah gadis yang bersama dengan saingannya di ruang biologi beberapa hari lalu.“Mengapa aku selalu menemukanmu dalam kegelapan?”Pertanyaan Fluke mengundang Jane yang semula mengecek ponselnya, kini mendongak menatapnya. Hal pertama yang Jane temukan adalah wajah Fluke yang tengah tersenyum miring dengan tatapan yang tersorot padanya.Jane berusaha bersikap tidak gentar meski status Fluke adalah keponakan rektor. Terkadang, ia merasa gerah saat oran
“Ini adalah ruang club biologi.” Romeo melingkari sebuah objek gedung dengan pena merahnya. “Beberapa di antara kita nanti akan bergabung dengan club ini. Tujuan kita di sini adalah mencuri sampel cairan kimia yang pernah melibatkan peneroran Tor. Aku tidak akan ikut bergabung dengan club ini, karena pasti Fluke akan dengan mudah curiga padaku jika kedua kalinya aku masuk ke club biologi. Aku akan memandu kalian dari jauh. Karena rencana ini cukup berisiko untuk dijalani. Jadi, aku ingin para pria saja yang bergabung dengan club ini nanti, kecuali aku.” Mendengar penjelasan rencana Romeo, Kate meledek Joo karena tahu laki-laki itu tak suka berkecimpung dengan club yang terlalu serius seperti club biologi. Joo memasang muka masam karena ledekan Kate. Begitu mengarahkan pandangannya pada Kate dan Ken, Romeo mengernyitkan dahinya karena menyadari sesuatu. “Tidak-tidak. Sepertinya, Kate
Gedung fakultas Komunikasi menjadi tujuan Joo, Kate, Ken, dan Jane untuk menjalankan rencana mereka menemukan mantan kekasih Mikhaela. Namun, tanpa diduga, para senior tingkat akhir di sana berkumpul di koridor yang ternyata sedang mengadakan sebuah acara perayaan. Berbagai mahasiswa dari tingkat pertama juga ada di sana, para junior disambut oleh mereka dan disediakan tempat untuk bergabung dengan mereka. Empat anggota Kelompok Rahasia yang ditugaskan oleh Romeo itu, terkejut dengan acara yang tidak pernah mereka sangka sebelumnya. Mereka hanya berdiri di kejauhan ketika mendapati peristiwa di depannya. Jane menekan earphone nirkabel yang tertutup rambut hitam panjangnya di telinga—yang telah dihubungkan Romeo pada ponsel milik laki-laki itu. Jane melakukan panggilan. Romeo dan Aland yang bersembunyi di koridor gedung lain yang sepi, menerima panggilan itu. “Rome, Aland, mereka sedang mengadakan acara penyambutan untuk junior mereka. Bagaimana dengan re
Joo, Jane, Kate, dan Ken mengikuti beberapa permainan yang telah dipersiapkan oleh senior. Permainan-permainan itu adalah permainan yang dilakukan di depan halaman koridor, seperti menempelkan bola kecil di pipi secara berpasangan untuk ditempatkan di keranjang. Menggigit sendok yang berisi kelereng. Hingga yang terakhir edukasi kelas tali-temali di alam. Usai permainan yang dilakukan di lapangan selesai. Jane dan Ken masuk ke dalam kelas tempat lomba pentas seni, Jane dan Ken terdaftar akan menampilkan dansa ballroom. Sementara Joo meminta Kate untuk meninggalkan mereka di depan kelas. Ada banyak orang di sana, cukup mudah untuk menyamar dan berbaur dengan yang lain. “Kau tidak apa-apa, ‘kan, kutinggal?” Sebagai sseeorang yang gemar menggoda sahabatnya, Joo bertanya demikian pada Kate. Laki-laki itu masih bisa bersikap jenaka padahal Kate sejak tadi tak bisa tenang gara-gara memikirkan rencana mereka. “Memangnya aku anak-anak yang tidak bisa ditingg
“Halo, Kate, kau bisa dengar aku?” Joo masih mencoba menghubungi Kate melalui ponsel miliknya yang sudah disambungkan oleh Romeo dengan earphone yang diberikannya pada Kate beberapa saat lalu. “Bagaimana?” tanya Aland. Joo menggeleng, tidak tahu mengapa Kate tidak bisa dihubungi melalui earphone yang diberikan oleh Joo padanya. “Aku tidak tahu mengapa dia tak kunjung menjawab panggilanku.” Joo terheran memandangi ponsel milik Romeo di tangannya. “Teman-teman, lihat ini!” Tiba-tiba Romeo yang masih fokus mengamati area kampus melalui ponsel yang terhubung dengan drone, memekik terkejut. Aland dan Joo langsung mendekat padanya untuk melihat apa yang terjadi. Mereka sedang bersembunyi di balik pohon di halaman gedung fakultas komunikasi. Layar ponsel menampilkan seorang pemuda yang tengah berdiri di koridor halaman, seorang diri, karena di sana suasana sedang sepi. Hal yang membuat kerutan di dahi Aland tercetak
Fluke menyusup ke ruang belakang panggung. Ia melihat seorang pria yang bertugas mengatur lighting serta pergantian background layar sesuai berjalannya penampilan. Fluke diam-diam mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya. Dan membungkam mulut petugas itu dengan sapu tangan yang sudah dilumurinya dengan obat bius. Petugas yang terkejut karena tiba-tiba seseorang membekap mulutnya, sempat merona. Namun, tak butuh waktu lama, keadaannya menjadi lemas dan akhirnya tak sadarkan diri. Dua orang kemudian datang menghampir Fluke, dan seolah sudah mengerti atas perintah Fluke, mereka membawa petugas itu ke tempat yang aman.Fluke kemudian menggantikan petugas itu dengan duduk dan memakai topi dan masker untuk menyamar sebagai petugas di belakang panggung. Ia yang kemudian menatap layar yang menampilkan tampilan drama dansa yang sudah direkam oleh kamera di depan panggung. Sehingga ia dapat melihat jalannya penampilan.Ken sudah memasuki area panggung, sesuai alu
Romeo membawa laptopnya ke balkon gedung tua yang lebarnya hanya satu x satu meter itu. Ia menunggu sinyal Aland yang tak kunjung muncul, di satu sisi saat malam hari seperti ini jaringan internet di gedung lama itu cukup lambat mengakibatkan pekerjaannya jadi terhambat. Padahal ia juga harus melacak digit nomor peneror Tor, karena sejak hari masih sore pun ia belum berhasil melakukannya.“Bagaimana ini, posisi Aland bisa berbahaya jika aku tidak kunjung menyelesaikan pekerjaanku.”Meski tak mengerti betul maksud Aland menyuruhnya melakukan pekerjaan ini karena Aland bercerita apa pun padanya, tetapi Romeo yakin semua pekerjaan yang diserahkan padanya saling berhubungan dengan keselamatan Aland di sana. Maka dari itu ia mengerahkan semua kemampuannya, ia tak ingin pengorbanan temannya itu berakhir sia-sia begitu saja. Usai berpikir berulang kali, akhirnya Romeo memutuskan untuk pergi dari gedung tua itu untuk menyusup ke dalam gedung utama kampus. Tempat pe
“Jane? Bukankah itu kau?” seorang gadis yang merupakan anggota club dansa itu menghampiri Jane dengan tatapan tak percayanya. Jane yang kebingungan dan merasa begitu terkejut dengan apa yang terjadi tak tahu harus berbuat apa.“Aku tidak menyangka sekali Jane kau berbuat seperti itu. Kau face of campus Jane.” Tambah yang lain.Jane merasa semakin bingung dan tertekan kala suara penonton mulai membicarakannya yang tidak-tidak, menyorakinya dengan hal-hal buruk pada hal yang tidak sama sekali ia lakukan. Jane menoleh kembali pada layar besar di belakangnya, berharap mimpi buruk tentang fotonya yang dipertontonkan kepada semua orang itu tidak pernah erjadi. Namun, Jane melihat dengan jelas foto yang menampilkan dirinya itu.Jane menutup telinganya dan memejamkan mata. Merasa frustasi dengan kejadian yang tak pernah diduganya ini. jelas-jelas itu adalah foto Fluke, tetapi wajah laki-laki itu buram. Jane semakin frustasi memikirkan dan m
Orang itu dibuka dan ternyata dia Willy. Willy dirawat di rumah sakit Karen luka parah. The protagonist selebrasi secara diam-diam atas kemengangan mereka, mereka menganggap penderitaan sudah berakhir. Mereka bertemu Jane tetapi tidak ada yang mengajaknya bicara.Tapi ternyata salah, terror masih terjadi di mana-mana dan semakin menjadi di kampus.Poster buronan para protagonist diganti dengan poster gambar Jane yang sangat besar. Makian dan bulyyan terhadap jane dan Ken, usai foto mesra mereka beredar. Mereka diminta untuk turun dari jabata mereka sebagai face of campus. King dan queen kampus.Di kondominiumnya, Jane berdiri di atap dan ingin mengakhiri hidupnya. Fluke datang tepat waktu dan meminta maaf padanya. Menjelaskan bahwa semua yang dia lakukan bukanlah rencananya.tetapi karrena ia di terror oleh GTH untuk menghancurkan persahabatan mereka sampai tak berkumpul lagi..Fluke lalu menemui teman-te
Aland, Joo dan Romeo sudah sampai di bawah untuk melihat siapa sebenarnya pemimpin geng topeng hitam itu. Joo melirik ke sekelilingnya untuk memastikan bahwa tidak ada penjaga yang mengejar mereka. Romeo dan Aland duduk di dekat orang yang diduga kaisar itu. Aland melirik Romeo sesaat, laki-laki itu mengangguk serta mengerti maksud Aland. Aland meraih topeng hitam-puih dan membukanya.Mereka bertiga terkejut melihat wajah sebenarnya pemimpin geng topeng hitam itu.“Willy?” ucap Joo terkejut dan ikut duduk dengan kedua temannya. Mereka benar-benar tak percaya bahwa Will-lah yang sebenarnya selama ini menciptakan kerusuhan secara misterius di dalam kampus.“Dasar munafik.” Umpat Joo tepat saat melihat wajah Willy yang kini bersimpah darah di dahinya. “Dia bersikap sebagai mahasiswa teladan di kampus tetapi dia memiliki hati yang sangat busuk.”Romeo dan Aland kompak melirik Joo ketika laki-laki itu mengatakan itu. Mereka
“Aku juga tidak menyangka.” Joo tersenyum geli membayangkan kedua temannya yang memeiliki sifat unik jika mereka bersama akan seperti apa? Pasti lucu sekali. “Aku tidak bisa membayangkan ghadis tomboy itu rupanya menyukai laki-laki kemayu seperti Ken.”Romeo merasa geli melihat wajah Joo ang sedang membayangkan sesuatu. “Apa yang kau pikirkan? Berhenti berhayal.”Joo mendengus pada Romeo. “Kau tidak pernah tahu rasanya senang melihat temanmu jatuh cinta. Lebih baik cari pasangan sana, supaya kau tahu rasanya jatuh cinta!” ejek Joo pada Romeo.Romeo mendelik pada Joo karena laki-laki itu tiba-tiba menyinggung tentang pasangan. “Apa yang kau maksud? Bercermin dulu sebelum mengolok orang lain. Kau sendiri belum memiliki kekasih.”Joo langsung terdiam mendengarnya. Sementara Aland yang tengah duduk di antara mereka berdua melirik Romeo dan Joo dengan heran. “teman-teman, pertunjukkannya sudah a
"Bagaimana kinerjamu itu, Irene? Sebagai pemimpin club-mu kau mendapatkan tanggung jawab untuk mengatur kostum kami, tapi apa yang terjadi? Bukankah anggotamu sudah banyak? Ini kostum pemeran utama padahal."Jane menarik tangan Ken, mengingatkan laki-laki itu untuk tidak menyuarai Irene seperti itu melalui tatapan matanya. Jane merasa tidak enak sendiri melihat Irene yang mendapat omelan dari Ken, ia merasa Irene tidak sengaja melupakan kostumnya karena begitu banyak pekerjaan yang dia lakukan."Maafkan aku, aku benar-benar menyesal. Ayo, kemarilah. Duduklah dulu di sini. Aku akan akan kembali lagi membawa kostumnya untukmu."Irene buru-buru pergi mencari kostum pemeran utama wanita. Sementara Jane dan Ken mau tak mau menunggunya di sana. Ken melirik jam di pergelangan tangannya, acara tinggal sepuluh menit lagi."Jangan berbicara seperti itu padanya, mungkin saja dia tidak sengaja melupakan kostumku karena terlalu banyak pekerjaan yang ia kerjakan." Jane
"Bagaimana kinerjamu itu, Irene? Sebagai pemimpin club-mu kau mendapatkan tanggung jawab untuk mengatur kostum kami, tapi apa yang terjadi? Bukankah anggotamu sudah banyak? Ini kostum pemeran utama padahal."Jane menarik tangan Ken, mengingatkan laki-laki itu untuk tidak menyuarai Irene seperti itu melalui tatapan matanya. Jane merasa tidak enak sendiri melihat Irene yang mendapat omelan dari Ken, ia merasa Irene tidak sengaja melupakan kostumnya karena begitu banyak pekerjaan yang dia lakukan."Maafkan aku, aku benar-benar menyesal. Ayo, kemarilah. Duduklah dulu di sini. Aku akan akan kembali lagi membawa kostumnya untukmu."Irene buru-buru pergi mencari kostum pemeran utama wanita. Sementara Jane dan Ken mau tak mau menunggunya di sana. Ken melirik jam di pergelangan tangannya, acara tinggal sepuluh menit lagi."Jangan berbicara seperti itu padanya, mungkin saja dia tidak sengaja melupakan kostumku karena terlalu banyak pekerjaan yang ia kerjakan." Jane
“Terserah kau saja!” Jane yang mulanya berteriak karena kekesalannya pada Fluke, terkejut karena reaksi Fluke. “terserah apa yang ingin kau katakan. Karena jika aku menceritakannya pun, kau juga tidak akan memahami mengapa aku melakukan hal ini! Aku sudah tidak peduli apa pun yang kau nilai tentang diriku lagi!” Jane terkejut dengan pernyataan Fluke yang didengarnya. “Apa maksudmu?” tanya Jane dengan heran. Namun, Fluke tampak tak ingin menjawab pertanyaan gadis itu. Laki-laki itu membalikkan badannya dan memerintahkan Jane untuk pergi dari hadapannya. “Pergi dari sini.” “Apa? Kau mengusirku?” tanya Jane tak percaya. “Pergi, Jane. Atau akan menyesal seumur hidup jika kau masih tetap di sini.” Jane yang hendak membalas langsung terdiam dengan perkataan laki-laki itu. Mau tak mau dengan ancaman itu, Jane meninggalkan ruangan Fluke dengan amarah dan pertanyaan yang kini bersarang di kepalanya. Hari perayaan kampus telah tiba. Semua