Romeo dan Jane berhenti di depan sebuah lemari kaca yang terdapat gelas-gelas berisikan cairan kimia berwarna ungu di dalamnya. Jane masih tak mengerti maksud Romeo mengajaknya ke tempat ini. Ia melirik laki-laki itu, Romeo beberapa kali melihat ke layar ponsel milik Tor dan lemari berisikan cairan-cairan kimia itu bergantian.
“Rome, apa yang akan kita lakukan di sini?” tanya Jane kala melihat ke seluruh penjuru ruangan. Ia dan Romeo sama-sama tidak bergabung di club ini. Juga, ia dan Romeo sama-sama bukan berasal dari fakultas biologi, jadi Jane merasa khawatir jika keberadaan mereka di sini bisa menimbulkan sebuah masalah.
Romeo tidak langsung menjawab. Alisnya bertaut saat menemukan fakta baru usai membaca sesuatu di ponsel Tor. Hal itu membuat Romeo tersenyum simpul. Ia menghadap Jane kemudian. “Jane, tolong bantu aku. Cari sakelar lampu ruangan ini dan tolong matikan seluruhnya.”
“Boleh, tapi ... apa rencanamu, Rome?” tanya Jane penasaran karena Romeo tak mengatakannya langsung. Meskipun ia percaya, laki-laki cerdas dan selalu berhati-hati seperti Romeo pasti memiliki tujuan yang benar.
“Nanti aku jelaskan. Kita tidak punya banyak waktu lagi.”
Jane mengangguk. Gadis itu langsung beranjak untuk mencari tombol sakelar di dinding. Jane menemukannya di dekat pintu, ia langsung menekan sakelar yang mengakibatkan lampu padam dan ruangan menjadi gelap seketika.
“Kembali ke sini, Jane!” Romeo menyalakan senter dari ponselnya untuk memudahkan Jane menemukannya, Jane lalu kembali ke lemari kaca tempat ia dan Romeo berhenti sebelumnya.
“Sekarang, apa?” tanya Jane begitu ia sampai di samping Romeo. Cahaya dari ponsel milik Romeo menyorot wajah Jane yang sedikit berkeringat, yang entah kenapa membuat wajah gadis itu terlihat lebih cantik dari biasanya. Hanya beberapa detik, Romeo berhasil kehilangan fokusnya hanya dengan memandang wajah gadis mungil itu di antara kegelapan.
“Rome?” tanya Jane sekali lagi karena Romeo hanya diam.
Seakan tersadar dari lamunan, Romeo kembali memfokuskan tujuannya, ia mencoba bersikap normal agar Jane tak curiga bahwa ia sedang mengagumi kecantikan gadis itu. “Jane, dengarkan aku baik-baik, formula atau cairan kimia yang dimaksud oleh Tor itu ternyata ada di antara cairan-cairan ini. Aku tidak tahu apa tujuan mereka menyuruh Tor mencuri cairan itu.”
"Cairan yang mana? Semuanya terlihat sama.”
“Setelah aku membaca lagi, cairan itu akan terlihat paling terang di antara lainnya jika keadaan di dalam ruangan benar-benar gelap gulita.” Romeo akhirnya memutuskan untuk mematikan senter di ponselnya dan menyimpannya di saku celana. Lalu, di antara cairan-cairan berwarna ungu itu, terlihatlah satu-satunya cairan kimia yang paling terang. Romeo dan Jane sama-sama takjub melihatnya.
“Benar, Rome. Itu dia cairannya!” Jane antusias, seperti melihat sebuah keajaiban yang baru saja terjadi di depannya. “Rome, kau membuatku menyesal tidak memilih jurusan ini. Lihatlah! Ini sangat menarik!”
Romeo tersenyum simpul. “Menyesalnya nanti saja, kita tidak punya banyak waktu.”
Dengan hati-hati Romeo menarik gagang lemari, namun sayangnya lemari kaca itu terkunci. Tepat pada saat itu, lampu di dalam ruangan tiba-tiba menyala. Romeo dan Jane mematung seketika.
Baik Romeo dan Jane saling melirik satu sama lain. Mereka kemudian berbalik badan, alangkah kagetnya melihat seorang pemuda yang sudah berdiri di dekat pintu dengan bersedekap dada. Dia adalah Fluke, yang merupakan keponakan dari rektor. Seseorang yang dikenal sangat menyebalkan dan suka seenaknya di kampus. Bahkan, ketua senior saja tidak ada yang berani mencari masalah dengannya.
Di samping itu, Fluke tercatat sebagai jajaran mahasiswa yang konsisten meraih IPK tinggi. Dia salah satu mahasiswa yang cerdas dan berprestasi di bidang akademik. Fluke satu jurusan dengan Romeo, bahkan mereka berada di kelas yang sama, yang membuat mereka saling bersaing mempertahankan posisi masing-masing.
“Aku sudah curiga ada orang di sini,” suara Fluke terdengar di penjuru ruangan. Membuat bulu kuduk siapa pun meremang saat mendengar. Karena dia adalah Fluke, yang bisa meminta pamannya untuk mengeluarkan mahasiswa manapun seenaknya.
Jane menelah ludah, ia membayangkan Fluke akan mencabut beasiswanya setelah memergokinya bersama Romeo malam-malam di sini.
“Apa yang kau lakukan di sini?” Romeo bertanya pada Fluke, heran mengapa keponakan rektor yang sangat sombong itu masih berkeliaran di kampus malam-malam. Bukannya menjawab, Fluke justru tetawa sinis di tempatnya. Lelaki itu kini memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Memberikan tatapan remeh saat lelaki itu berjalan pelan menuju Romeo dan Jane berada.
“Seharusnya pertanyaan itu ditujukan kepada kalian berdua.” Fluke berhenti tepat di depan Jane dan Romeo. Tatapan rendah terang-terangan ia berikan pada mereka. Fluke menyerang Romeo dengan pertanyaan-pertanyaan mengintimidasi. “Ini sudah malam. Club biologi sudah tutup. Apa yang kau lakukan di sini bersama seorang gadis yang bukan dari fakultas yang sama denganmu? Bukankah saat ini, mahasiswa beasiswa seharusnya sudah berada di asrama masing-masing?” Fluke berpura-pura berpikir. Diam-diam Romeo sudah mengepalkan tangannya di sisi jarit celana. “Oh, apakah aku baru tahu di kampus pamanku ada mahasiswa beasiswa yang mencoba berbuat mesu—”
Belum sempat kalimatnya selesai, Romeo melayangkan tinjunya tepat di wajah Fluke--membuat laki-laki itu jatuh tersungkur di lantai. Jane sampai berteriak saking terkejutnya. Romeo juga tak kalah terkejut dengan apa yang dia lakukan. Dia memandangi tangannya dan Fluke bergantian. Romeo tidak bisa melihat seseorang merendahkan Jane di depan matanya. Romeo berusaha untuk tidak menyesal karena telah memukul keponakan rektor, sudah cukup Fluke berbuat sesuka hatinya kepadanya selama ini.
"Rome, cukup! Jangan membuat masalah." Jane menahan Romeo yang hendak mendekati Fluke lagi. Khawatir jika nanti petugas penjaga mengetahui keberadaan mereka di sini.
Romeo menunjuk Fluke yang kini mengusap sudut bibirnya. Terlihat jelas raut kesal Fluke usai mendapat bogeman mentah dari Romeo. Walau ia hanya diam bukan berarti mengalah begitu saja. Dia adalah keponakan rektor yang bisa melakukan apa pun dengan tangannya. Termasuk membuat kedua serangga di hadapannya ini musnah seketika.
"Mulutmu itu seperti sampah yang siap di daur ulang." Romeo mengeluarkan uneg-unegnya yang selama ini ia pendam saat melihat sifat buruk Fluke. "Untuk apa mendapatkan pendidikan tinggi, jika kau bahkan tidak bisa menjaga ucapanmu!" tunjuknya tepat di wajah Fluke.
"Rome, sudah. Sebaiknya kita pergi dari sini sekarang juga." Jane mengajak Romeo pergi dari sana, tetapi baru beberapa langkah, suara Fluke kembali terdengar.
"Tunggu," ucap Fluke yang kini sudah berdiri dan bersikap seolah-olah sedang membersihkan debu yang bersarang di kemejanya. Fluke berjalan dan berhenti depan Jane dan Romeo.
Fluke memicingkan mata kala menelaan wajah gadis yang sedang bersama teman se-fakultasnya itu. Ia berpura-pura sedang mengingatnya. "Oh, bukankah kau juga salah satu mahasiswi beasiswa dari fakultas ekonomi?"
Mendengar itu, Romeo mengantisipasi jika saja Fluke melakukan sesuatu pada Jane, ia tidak akan membiarkan itu sampai terjadi. "Jangan ganggu dia. Aku tahu kau tidak menyukaiku. Tapi kau tidak memiliki masalah padanya," ucap Romeo, berusaha untuk lebih tenang dalam berbicara dengan Fluke kali ini.
Fluke tertawa keras mendengar pernyataan Romeo. Jane sudah membuang muka karena merasa kesal dengan sifat angkuh Fluke. "Tidak memiliki masalah? Apa kau lupa pada apa yang barusan aku lihat?"
Romeo memejam sebentar, tidak tahu lagi bagaimana harus menjelaskan "Kau salah, Fluke. Kami tidak melakukan apa pun di sini?"
"Benarkah?" Fluke mengetuk dagunya, seakan-akan tengah memikirkan sesuatu. "Yang satu berasal dari fakultas teknologi, satunya lagi dari fakultas ekonomi. Kalian tidak satu fakultas. Lalu, nama kalian juga tidak tercatat di club ini, dan kalian berada di ruangan ini dalam keadaan gelap? Bukankah itu sangat mencurigakan?"
Romeo diam tak membalas lagi, tak mungkin ia mengatakan hal sesungguhnya kepada Fluke. Yang ada, masalah ini akan bertambah besar jika Fluke mengetahuinya. Laki-laki itu tidak akan pernah bisa diajak kerja sama.
"Bisakah kau menghilangkan prasangka burukmu terhadap orang lain?" Setelah sekian lama hanya diam ketika dituduh, Jane akhirnya bersuara. Ia juga tidak tahan jika Fluke berkata seenaknya kepadanya dan Romeo.
"Tentu bisa, jika kau mengatakan apa yang kalian lakukan sebenarnya di sini," ucap Fluke dengan raut wajah yang menyebalkan. "Lihat? Tidak bisa, 'kan? Itu artinya, apa yang aku pikirkan memang benar. Kalian tunggu saja apa yang akan terjadi besok." Fluke tertawa angkuh.
"Aku tidak percaya ada mahasiswa beasiswa yang tidak bisa menahan hasrat seperti kalian. Cepat keluar, atau aku akan memanggil petugas penjaga untuk menangkap kalian." Kalimat terakhir Fluke sebelum meninggalkan ruangan.
Jane dan Romeo kini hanya mematung, Mereka tidak tahu bagaimana nasib mereka esok hari. Karena Fluke pasti akan melaporkan kejadian ini kepada rektor. Romeo melirik Jane dari samping, gadis itu hampir menangis. Fluke memang sangat kurang ajar mengatakan hal-hal buruk itu terhadap Jane, gadis sepertinya tidak pantas mendapatkan perkataan-perkataan seperti itu.
"Jangan diambil hati perkataan Fluke, Jane. Aku berjanji, suatu saat aku akan membuat dia menyesali perkataan buruknya kepadamu." Jane mengusap air matanya yang luruh. Bukan tanpa alasan, perkataan Fluke memang terdengar begitu menyakitkan di telinganya.
“Romeo di-skors.” Satu hal yang terlintas di kepala Aland ketika Jane mengatakan hal itu kepada ia dan yang lain, saat mereka berkumpul tanpa Romeo—Aland langsung menuju asrama laki-laki, meminta petugas penjaga untuk mengantarnya ke kamar Romeo, tetapi lelaki berkacamata itu tidak ditemukan di kamarnya. Aland justru menemukan Romeo di balkon atap asrama—duduk di sebuah bangku reot dan diam termenung. Merasa mengenali punggungnya, Aland melompati dinding pembatas setinggi paha orang dewasa, menghampiri laki-laki yang tengah menyendiri itu. “Mengapa tidak bilang padaku, kalau kau mendapat skorsing?” Pandangan Romeo yang semula tertuju pada pemandangan pemukiman di bawah sana, kini mengikuti arah langkah kaki Aland yang berhenti pada dinding pembatas. Wajah yang ditimpa sinar mentari itu ikut menikmati keindahan pemandangan di depannya. “Tidak ada hubungannya denganmu,” balas Romeo singkat. Suasana hatinya sedang tidak baik kala mengingat bagaim
“F—Fluke?”Dahi Fluke mengernyit kala mendengar suara seseorang yang sepertinya dia kenal. Lampu ponsel yang menyorot wajahnya mati seketika tanpa diduga. Gadis itu kemudian mengecek ponselnya yang tak kunjung menyala. Sialnya, kini baterai ponselnya habis.Sebelah alis Fluke terangkat ketika dengan jelas ia dapat melihat wajah seorang gadis dengan rambut yang tergerai lurus di hadapannya, meski dalam kegelapan. Salah satu sudut bibir Flukr terangkat kemudian, rupanya dia adalah gadis yang bersama dengan saingannya di ruang biologi beberapa hari lalu.“Mengapa aku selalu menemukanmu dalam kegelapan?”Pertanyaan Fluke mengundang Jane yang semula mengecek ponselnya, kini mendongak menatapnya. Hal pertama yang Jane temukan adalah wajah Fluke yang tengah tersenyum miring dengan tatapan yang tersorot padanya.Jane berusaha bersikap tidak gentar meski status Fluke adalah keponakan rektor. Terkadang, ia merasa gerah saat oran
“Ini adalah ruang club biologi.” Romeo melingkari sebuah objek gedung dengan pena merahnya. “Beberapa di antara kita nanti akan bergabung dengan club ini. Tujuan kita di sini adalah mencuri sampel cairan kimia yang pernah melibatkan peneroran Tor. Aku tidak akan ikut bergabung dengan club ini, karena pasti Fluke akan dengan mudah curiga padaku jika kedua kalinya aku masuk ke club biologi. Aku akan memandu kalian dari jauh. Karena rencana ini cukup berisiko untuk dijalani. Jadi, aku ingin para pria saja yang bergabung dengan club ini nanti, kecuali aku.” Mendengar penjelasan rencana Romeo, Kate meledek Joo karena tahu laki-laki itu tak suka berkecimpung dengan club yang terlalu serius seperti club biologi. Joo memasang muka masam karena ledekan Kate. Begitu mengarahkan pandangannya pada Kate dan Ken, Romeo mengernyitkan dahinya karena menyadari sesuatu. “Tidak-tidak. Sepertinya, Kate
Gedung fakultas Komunikasi menjadi tujuan Joo, Kate, Ken, dan Jane untuk menjalankan rencana mereka menemukan mantan kekasih Mikhaela. Namun, tanpa diduga, para senior tingkat akhir di sana berkumpul di koridor yang ternyata sedang mengadakan sebuah acara perayaan. Berbagai mahasiswa dari tingkat pertama juga ada di sana, para junior disambut oleh mereka dan disediakan tempat untuk bergabung dengan mereka. Empat anggota Kelompok Rahasia yang ditugaskan oleh Romeo itu, terkejut dengan acara yang tidak pernah mereka sangka sebelumnya. Mereka hanya berdiri di kejauhan ketika mendapati peristiwa di depannya. Jane menekan earphone nirkabel yang tertutup rambut hitam panjangnya di telinga—yang telah dihubungkan Romeo pada ponsel milik laki-laki itu. Jane melakukan panggilan. Romeo dan Aland yang bersembunyi di koridor gedung lain yang sepi, menerima panggilan itu. “Rome, Aland, mereka sedang mengadakan acara penyambutan untuk junior mereka. Bagaimana dengan re
Joo, Jane, Kate, dan Ken mengikuti beberapa permainan yang telah dipersiapkan oleh senior. Permainan-permainan itu adalah permainan yang dilakukan di depan halaman koridor, seperti menempelkan bola kecil di pipi secara berpasangan untuk ditempatkan di keranjang. Menggigit sendok yang berisi kelereng. Hingga yang terakhir edukasi kelas tali-temali di alam. Usai permainan yang dilakukan di lapangan selesai. Jane dan Ken masuk ke dalam kelas tempat lomba pentas seni, Jane dan Ken terdaftar akan menampilkan dansa ballroom. Sementara Joo meminta Kate untuk meninggalkan mereka di depan kelas. Ada banyak orang di sana, cukup mudah untuk menyamar dan berbaur dengan yang lain. “Kau tidak apa-apa, ‘kan, kutinggal?” Sebagai sseeorang yang gemar menggoda sahabatnya, Joo bertanya demikian pada Kate. Laki-laki itu masih bisa bersikap jenaka padahal Kate sejak tadi tak bisa tenang gara-gara memikirkan rencana mereka. “Memangnya aku anak-anak yang tidak bisa ditingg
“Halo, Kate, kau bisa dengar aku?” Joo masih mencoba menghubungi Kate melalui ponsel miliknya yang sudah disambungkan oleh Romeo dengan earphone yang diberikannya pada Kate beberapa saat lalu. “Bagaimana?” tanya Aland. Joo menggeleng, tidak tahu mengapa Kate tidak bisa dihubungi melalui earphone yang diberikan oleh Joo padanya. “Aku tidak tahu mengapa dia tak kunjung menjawab panggilanku.” Joo terheran memandangi ponsel milik Romeo di tangannya. “Teman-teman, lihat ini!” Tiba-tiba Romeo yang masih fokus mengamati area kampus melalui ponsel yang terhubung dengan drone, memekik terkejut. Aland dan Joo langsung mendekat padanya untuk melihat apa yang terjadi. Mereka sedang bersembunyi di balik pohon di halaman gedung fakultas komunikasi. Layar ponsel menampilkan seorang pemuda yang tengah berdiri di koridor halaman, seorang diri, karena di sana suasana sedang sepi. Hal yang membuat kerutan di dahi Aland tercetak
Fluke keluar dari ruangan diadakannya pentas seni saat mendengar suara yang berasal dari earphone mahasiswi yang menabraknya tadi. Fluke berhenti di lorong halaman depan gedung fakultas komunikasi. Dahinya mengernyit ketika mendengar percakapan demi percakapan yang ia dengar di telinganya. Ada sekitar tiga orang sepertinya. Fluke merasa mengenal salah satu suaranya. Setelah mendengarnya dengan seksama. Fluke baru ingat kalau itu adalah suara Romeo—mahasiswa yang satu kelas dan satu jurusan dengannya. “Cepat hubungi Jane dan Ken, suruh mereka pergi dari sana sekarang juga!” “Joo, cepat putuskan sambunganmu dengan earphone Kate!” Sambungan terputus. Fluke tak bisa mendengar percakapan apa pun lagi. Sunyi mengiringinya beberapa saat, sebelum satu sudut bibir laki-laki itu terangkat. Semua percakapan itu terekam jelas di kepalanya. “Apa yang dilakukan si serangga Romeo dengan orang-orang ini?” Jane dan Ken, bukankah nama-n
BUGH! “Apa yang kau lakukan, Bangsat!” Begitu tiba di basecamp, Aland yang sedari tadi menahan emosinya terhadap Joo, langsung meninju laki-laki itu di depan teman-teman mereka. Jane yang baru tiba dengan drone milik Romeo berteriak kaget melihat pemandangan itu. Gadis itu langsung berlari menolong Joo yang tersungkur di tanah berdebu. “Joo!” Jane meninggalkan drone milik Romeo begitu saja. Mendorong tubuh Aland agar menjauh dari Joo, Jane menolong Joo kembali berdiri. Lalu memberikan tatapan tajamnya kepada Aland yang telah memukul Joo. “Aland! Apa yang kau lakukan?! Kenapa kau memukul Joo?!” Melihat Romeo dan Ken yang hanya diam mematung, Jane tak percaya pada sikap mereka yang diam saja melihat teman-teman mereka berkelahi. Terutama Ken yang merupakan teman dekat Joo. “Mengapa kalian hanya diam saja ketika teman-teman kalian berkelahi?!” tanya Jane dengan nada yang meninggi.
Fluke menyusup ke ruang belakang panggung. Ia melihat seorang pria yang bertugas mengatur lighting serta pergantian background layar sesuai berjalannya penampilan. Fluke diam-diam mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya. Dan membungkam mulut petugas itu dengan sapu tangan yang sudah dilumurinya dengan obat bius. Petugas yang terkejut karena tiba-tiba seseorang membekap mulutnya, sempat merona. Namun, tak butuh waktu lama, keadaannya menjadi lemas dan akhirnya tak sadarkan diri. Dua orang kemudian datang menghampir Fluke, dan seolah sudah mengerti atas perintah Fluke, mereka membawa petugas itu ke tempat yang aman.Fluke kemudian menggantikan petugas itu dengan duduk dan memakai topi dan masker untuk menyamar sebagai petugas di belakang panggung. Ia yang kemudian menatap layar yang menampilkan tampilan drama dansa yang sudah direkam oleh kamera di depan panggung. Sehingga ia dapat melihat jalannya penampilan.Ken sudah memasuki area panggung, sesuai alu
Romeo membawa laptopnya ke balkon gedung tua yang lebarnya hanya satu x satu meter itu. Ia menunggu sinyal Aland yang tak kunjung muncul, di satu sisi saat malam hari seperti ini jaringan internet di gedung lama itu cukup lambat mengakibatkan pekerjaannya jadi terhambat. Padahal ia juga harus melacak digit nomor peneror Tor, karena sejak hari masih sore pun ia belum berhasil melakukannya.“Bagaimana ini, posisi Aland bisa berbahaya jika aku tidak kunjung menyelesaikan pekerjaanku.”Meski tak mengerti betul maksud Aland menyuruhnya melakukan pekerjaan ini karena Aland bercerita apa pun padanya, tetapi Romeo yakin semua pekerjaan yang diserahkan padanya saling berhubungan dengan keselamatan Aland di sana. Maka dari itu ia mengerahkan semua kemampuannya, ia tak ingin pengorbanan temannya itu berakhir sia-sia begitu saja. Usai berpikir berulang kali, akhirnya Romeo memutuskan untuk pergi dari gedung tua itu untuk menyusup ke dalam gedung utama kampus. Tempat pe
“Jane? Bukankah itu kau?” seorang gadis yang merupakan anggota club dansa itu menghampiri Jane dengan tatapan tak percayanya. Jane yang kebingungan dan merasa begitu terkejut dengan apa yang terjadi tak tahu harus berbuat apa.“Aku tidak menyangka sekali Jane kau berbuat seperti itu. Kau face of campus Jane.” Tambah yang lain.Jane merasa semakin bingung dan tertekan kala suara penonton mulai membicarakannya yang tidak-tidak, menyorakinya dengan hal-hal buruk pada hal yang tidak sama sekali ia lakukan. Jane menoleh kembali pada layar besar di belakangnya, berharap mimpi buruk tentang fotonya yang dipertontonkan kepada semua orang itu tidak pernah erjadi. Namun, Jane melihat dengan jelas foto yang menampilkan dirinya itu.Jane menutup telinganya dan memejamkan mata. Merasa frustasi dengan kejadian yang tak pernah diduganya ini. jelas-jelas itu adalah foto Fluke, tetapi wajah laki-laki itu buram. Jane semakin frustasi memikirkan dan m
Orang itu dibuka dan ternyata dia Willy. Willy dirawat di rumah sakit Karen luka parah. The protagonist selebrasi secara diam-diam atas kemengangan mereka, mereka menganggap penderitaan sudah berakhir. Mereka bertemu Jane tetapi tidak ada yang mengajaknya bicara.Tapi ternyata salah, terror masih terjadi di mana-mana dan semakin menjadi di kampus.Poster buronan para protagonist diganti dengan poster gambar Jane yang sangat besar. Makian dan bulyyan terhadap jane dan Ken, usai foto mesra mereka beredar. Mereka diminta untuk turun dari jabata mereka sebagai face of campus. King dan queen kampus.Di kondominiumnya, Jane berdiri di atap dan ingin mengakhiri hidupnya. Fluke datang tepat waktu dan meminta maaf padanya. Menjelaskan bahwa semua yang dia lakukan bukanlah rencananya.tetapi karrena ia di terror oleh GTH untuk menghancurkan persahabatan mereka sampai tak berkumpul lagi..Fluke lalu menemui teman-te
Aland, Joo dan Romeo sudah sampai di bawah untuk melihat siapa sebenarnya pemimpin geng topeng hitam itu. Joo melirik ke sekelilingnya untuk memastikan bahwa tidak ada penjaga yang mengejar mereka. Romeo dan Aland duduk di dekat orang yang diduga kaisar itu. Aland melirik Romeo sesaat, laki-laki itu mengangguk serta mengerti maksud Aland. Aland meraih topeng hitam-puih dan membukanya.Mereka bertiga terkejut melihat wajah sebenarnya pemimpin geng topeng hitam itu.“Willy?” ucap Joo terkejut dan ikut duduk dengan kedua temannya. Mereka benar-benar tak percaya bahwa Will-lah yang sebenarnya selama ini menciptakan kerusuhan secara misterius di dalam kampus.“Dasar munafik.” Umpat Joo tepat saat melihat wajah Willy yang kini bersimpah darah di dahinya. “Dia bersikap sebagai mahasiswa teladan di kampus tetapi dia memiliki hati yang sangat busuk.”Romeo dan Aland kompak melirik Joo ketika laki-laki itu mengatakan itu. Mereka
“Aku juga tidak menyangka.” Joo tersenyum geli membayangkan kedua temannya yang memeiliki sifat unik jika mereka bersama akan seperti apa? Pasti lucu sekali. “Aku tidak bisa membayangkan ghadis tomboy itu rupanya menyukai laki-laki kemayu seperti Ken.”Romeo merasa geli melihat wajah Joo ang sedang membayangkan sesuatu. “Apa yang kau pikirkan? Berhenti berhayal.”Joo mendengus pada Romeo. “Kau tidak pernah tahu rasanya senang melihat temanmu jatuh cinta. Lebih baik cari pasangan sana, supaya kau tahu rasanya jatuh cinta!” ejek Joo pada Romeo.Romeo mendelik pada Joo karena laki-laki itu tiba-tiba menyinggung tentang pasangan. “Apa yang kau maksud? Bercermin dulu sebelum mengolok orang lain. Kau sendiri belum memiliki kekasih.”Joo langsung terdiam mendengarnya. Sementara Aland yang tengah duduk di antara mereka berdua melirik Romeo dan Joo dengan heran. “teman-teman, pertunjukkannya sudah a
"Bagaimana kinerjamu itu, Irene? Sebagai pemimpin club-mu kau mendapatkan tanggung jawab untuk mengatur kostum kami, tapi apa yang terjadi? Bukankah anggotamu sudah banyak? Ini kostum pemeran utama padahal."Jane menarik tangan Ken, mengingatkan laki-laki itu untuk tidak menyuarai Irene seperti itu melalui tatapan matanya. Jane merasa tidak enak sendiri melihat Irene yang mendapat omelan dari Ken, ia merasa Irene tidak sengaja melupakan kostumnya karena begitu banyak pekerjaan yang dia lakukan."Maafkan aku, aku benar-benar menyesal. Ayo, kemarilah. Duduklah dulu di sini. Aku akan akan kembali lagi membawa kostumnya untukmu."Irene buru-buru pergi mencari kostum pemeran utama wanita. Sementara Jane dan Ken mau tak mau menunggunya di sana. Ken melirik jam di pergelangan tangannya, acara tinggal sepuluh menit lagi."Jangan berbicara seperti itu padanya, mungkin saja dia tidak sengaja melupakan kostumku karena terlalu banyak pekerjaan yang ia kerjakan." Jane
"Bagaimana kinerjamu itu, Irene? Sebagai pemimpin club-mu kau mendapatkan tanggung jawab untuk mengatur kostum kami, tapi apa yang terjadi? Bukankah anggotamu sudah banyak? Ini kostum pemeran utama padahal."Jane menarik tangan Ken, mengingatkan laki-laki itu untuk tidak menyuarai Irene seperti itu melalui tatapan matanya. Jane merasa tidak enak sendiri melihat Irene yang mendapat omelan dari Ken, ia merasa Irene tidak sengaja melupakan kostumnya karena begitu banyak pekerjaan yang dia lakukan."Maafkan aku, aku benar-benar menyesal. Ayo, kemarilah. Duduklah dulu di sini. Aku akan akan kembali lagi membawa kostumnya untukmu."Irene buru-buru pergi mencari kostum pemeran utama wanita. Sementara Jane dan Ken mau tak mau menunggunya di sana. Ken melirik jam di pergelangan tangannya, acara tinggal sepuluh menit lagi."Jangan berbicara seperti itu padanya, mungkin saja dia tidak sengaja melupakan kostumku karena terlalu banyak pekerjaan yang ia kerjakan." Jane
“Terserah kau saja!” Jane yang mulanya berteriak karena kekesalannya pada Fluke, terkejut karena reaksi Fluke. “terserah apa yang ingin kau katakan. Karena jika aku menceritakannya pun, kau juga tidak akan memahami mengapa aku melakukan hal ini! Aku sudah tidak peduli apa pun yang kau nilai tentang diriku lagi!” Jane terkejut dengan pernyataan Fluke yang didengarnya. “Apa maksudmu?” tanya Jane dengan heran. Namun, Fluke tampak tak ingin menjawab pertanyaan gadis itu. Laki-laki itu membalikkan badannya dan memerintahkan Jane untuk pergi dari hadapannya. “Pergi dari sini.” “Apa? Kau mengusirku?” tanya Jane tak percaya. “Pergi, Jane. Atau akan menyesal seumur hidup jika kau masih tetap di sini.” Jane yang hendak membalas langsung terdiam dengan perkataan laki-laki itu. Mau tak mau dengan ancaman itu, Jane meninggalkan ruangan Fluke dengan amarah dan pertanyaan yang kini bersarang di kepalanya. Hari perayaan kampus telah tiba. Semua