Fluke keluar dari ruangan diadakannya pentas seni saat mendengar suara yang berasal dari earphone mahasiswi yang menabraknya tadi. Fluke berhenti di lorong halaman depan gedung fakultas komunikasi. Dahinya mengernyit ketika mendengar percakapan demi percakapan yang ia dengar di telinganya. Ada sekitar tiga orang sepertinya. Fluke merasa mengenal salah satu suaranya. Setelah mendengarnya dengan seksama. Fluke baru ingat kalau itu adalah suara Romeo—mahasiswa yang satu kelas dan satu jurusan dengannya.
“Cepat hubungi Jane dan Ken, suruh mereka pergi dari sana sekarang juga!”
“Joo, cepat putuskan sambunganmu dengan earphone Kate!”
Sambungan terputus. Fluke tak bisa mendengar percakapan apa pun lagi. Sunyi mengiringinya beberapa saat, sebelum satu sudut bibir laki-laki itu terangkat. Semua percakapan itu terekam jelas di kepalanya. “Apa yang dilakukan si serangga Romeo dengan orang-orang ini?”
Jane dan Ken, bukankah nama-n
BUGH! “Apa yang kau lakukan, Bangsat!” Begitu tiba di basecamp, Aland yang sedari tadi menahan emosinya terhadap Joo, langsung meninju laki-laki itu di depan teman-teman mereka. Jane yang baru tiba dengan drone milik Romeo berteriak kaget melihat pemandangan itu. Gadis itu langsung berlari menolong Joo yang tersungkur di tanah berdebu. “Joo!” Jane meninggalkan drone milik Romeo begitu saja. Mendorong tubuh Aland agar menjauh dari Joo, Jane menolong Joo kembali berdiri. Lalu memberikan tatapan tajamnya kepada Aland yang telah memukul Joo. “Aland! Apa yang kau lakukan?! Kenapa kau memukul Joo?!” Melihat Romeo dan Ken yang hanya diam mematung, Jane tak percaya pada sikap mereka yang diam saja melihat teman-teman mereka berkelahi. Terutama Ken yang merupakan teman dekat Joo. “Mengapa kalian hanya diam saja ketika teman-teman kalian berkelahi?!” tanya Jane dengan nada yang meninggi.
Di ruang latihan club karate, Kate menyandarkan punggungnya di depan sebuah loker bersama dengan seorang laki-laki yang kini berada di sampingnya. Seseorang yang menghampirinya ke ruang club karate. Pandangan gadis itu lurus ke depan. Sebagian wajahnya masih basah.Joo menatap punggung jari-jemari Kate yang berbekas darah, lalu beralih menatap ke depan seraya menghela napas pelan. Sebagai sahabat dekat gadis itu, Joo sudah paham betul dengan karakter Kate. Jika sudah seperti ini, suasana hati Kate pasti sedang tidak baik.“Ada apa, Mengapa meninggalkan kami saat aku memintamu tetap menunggu di sana?”“Tak apa.” Seperti biasa, Joo tidak akan mendapatkan jawaban yang pasti saat dia menanyakan apa yang terjadi pada gadis itu. Dia selalu memilih bungkam tanpa menceritakan isi hatinya. Hingga beberapa saat, bisu menghinggapi keduanya. Hanya deru napas mereka yang terdengar di tengah-tengah ruangan besar yang sunyi itu.
Jane duduk di meja dekat dengan pintu café, sementara Victor duduk di meja di seberangnya. Laki-laki itu sendirian. Jane penasaran, siapa orang yang membuat janji dengan Victor. Apakah pertemuannya memiliki hubungan dengan hilangnya kakak Aland? Entahlah, tetapi jika dilihat-lihat, café ini termasuk café yang cukup ramai dikunjungi banyak orang, Jane jadi ragu jika Victor melakukan pertemuan dengan seseorang yang memiliki hubungan dengan hilangnya kakak Aland. Jane mendekatkan headset yang telah terhubung dengan Aland. “Apa kau yakin dia tidak sedang membuat janji bertemu dengan kekasihnya?” tanya Jane. Di luar, Aland memandang wajah teman-temannya, sebelum kemudian menjawab pertanyaan dari Jane. “Aku tidak tahu. Ini satu-satunya informasi yang didapatkan oleh Joo, sebelum dia merusak semuanya.” Aland mengucapkannya dengan melirik Joo sesaat. Mendapat lirikan seperti itu dari Aland, Joo hanya menyengir. “Jika ternyata Victor membuat janji dengan kekasihnya, d
Di dalam mobil Ken, Aland menyaksikan dari jauh mobil Fluke di depan pintu utama rumah sakit. Tadinya, mereka hendak menyusul Romeo untuk menemani Jane di dalam. Namun, sialnya Fluke mengikuti mereka. Karena Romeo mengingatkan bahwa mereka tak boleh menyia-nyiakan pengorbanan Jane untuk mendapatkan informasi, jadi sementara waktu Aland dan yang lain tetap bersembunyi di dalam mobil. “Orang itu, mengapa juga harus ikut ke sini?!” Joo mendengus kesal melihat Fluke yang menunggu dengan bersandar di mobilnya. Entah apa yang ada di pikiran laki-laki itu sampai dia menyusul Jane dan Romeo sampai ke sini. “Dia itu selalu ingin tahu apa yang terjadi.” Ken yang berada di kursi belakang menggelengkan kepalanya. Ia tak menyetir, Joo lah yang selalu menyetir untuk mereka. Tak lama kemudian, Romeo keluar dari rumah sakit dengan menuntun Jane. Fluke yang saat itu bersandar langsung menegakkan tubuhnya begitu melihat mereka berdua. Di dalam mobil, mereka hanya menunggu. Rom
Aland masuk ke dalam bilik kamar mandi pria guna menuntaskan urusannya. Saat akan keluar dari salah satu bilik, Aland mengurungkan niatnya ketika mendengar suara seseorang berbicara dengan temannya."Sial! Kencanku di cafe semalam kacau hanya karena insiden pelanggan yang ketumpahan coklat panas.""Hebat! Kau sudah memiliki kekasih setelah putus dari Mikhaela."Aland mengernyit. Dia tahu siapa orang yang berada di sana. Itu adalah suara Victor. Dia sedang berbicara dengan temannya dan menyebut nama Mikhaela."Kau tidak ingin mengulang sejarah dengan Mikhaela, bukan?""Bukan aku yang mendekatinya, Mikhaela yang mendekatiku. Dia sangat membutuhkanku."Tangan Aland mengepal seketika di sisi jarit celana, mendengar penghinaan terhadap kakaknya, Aland sekuat tenaga menahan amarahnya."Dia sangat membutuhkanku ...""Hanya dengan mengedipkan mata saja, dia sudah ada di sana, di kakiku."BRAK!Tak tahan mendengar semuanya
“Bagaimana bulan pertamamu di kampus ini, Dik?”Aland tak kunjung menjawab pertanyaan Victor. Hal itu mengundang Victor untuk melihatnya di depan cermin.“Biasa saja.”Tak ada perbincangan lebih lanjut, Aland pergi begitu saja meninggalkan toilet pria. Jika sudah tak punya akal sehat, Aland mungkin sudah menghajar mulut kotor Victor sekarang juga, tetapi Aland tak ingin terjadi sesuatu pada kakaknya. Sepanjang perjalanan, di kepala Aland hanya berputar kalimat-kalimat buruk yang diucapkan Victor terhadap kakaknya.Kelas telah berakhir. Aland mengambil tasnya di dalam kelas. Ia mengernyit ketika menemukan sebuah kertas tebal berwarna hitam tergeletak di atas mejanya. Aland menatap ke sekeling, tak ada seorang pun di sekitarnya. Milik siapa kertas ini? Aland meraihnya. Kertas itu dilipat-lipat membentuk semacam amplop. Perlahan, karena penasaran Aland membukanya. Ternyata isinya beberapa deret huruf membentuk sebuah kalimat.
Ponsel aland berbunyi, tangan laki-laki itu meorogoh saku celana. Sebuah notifikasi pesan dari Joo tertera di layar. Aland membacanya. Aku dan Romeo melihat Victor masuk ke dalam gudang yang ada area terlarang kampus. Cepatlah ke sini! Kami tunggu. “Jika penglihatanku tidak salah, aku melihatmu tempo hari di area terlarang kampus bersama teman-temanmu sedang menyerang senior kalian. Apa yang kalian inginkan?” Suara dari seberang sana membuat Aland mendongak dari pandangannya ke layar ponsel. Pria bertubuh tinggi tegap yang berdiri di seberangnya mengajukan pertanyaan yang berhasil membuat Aland terkejut. Bagaimana dosen di depannya bisa tahu kalau dirinya dan teman-temannya berada di area terlarang tempo hari? Seketika pandanngan Aland menjadi tak tentu arah. Ia khawatir dosen itu menegur dirinya di sini karena melihat kejadian antara kelompok rahasianya dengan Victor di area terlarang kampus. “I—itu … itu hanya kesalahpahaman yang terjadi antara tem
Di atas selasar, Joo melihat ke arah bawah di mana Victor bercengkerama dengan teman-temannya. Joo lalu mendengus kesal saat pandangannya beralih pada Willy di bawah sana yang tengah menatap ke tempat dia berada. Laki-laki itu pastina sedang mengawasina dan juga teman-temanna.“Apa sekarang?”“Apa?”Joo mengusap wajahnya kasar karena Aland malah bertanya kepadanya. “Apa yang akan kita lakukan sekarang?” Joo mengulangi pertanyaannya. Laki-laki itu berjalan mondar-mandir dengan resah dengan sesekali menatap ke bawah—di mana Victor sedang mengobrol dengan teman-temannya di bangku taman. Namun, tak lama kemudian Victor pergi dari teman-temannya sesaat setelah melihat keberadaan Joo, Aland dan juga Romeo di selasar.“Yang pertama, Victor sudah mengetahui kita yang menyerangnya tempo hari, sekarang kita diawasi terus-menerus oleh komite atas perintah rektor, kita tidak bisa bergerak dengan bebas sekarang. Apa yang
Fluke menyusup ke ruang belakang panggung. Ia melihat seorang pria yang bertugas mengatur lighting serta pergantian background layar sesuai berjalannya penampilan. Fluke diam-diam mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya. Dan membungkam mulut petugas itu dengan sapu tangan yang sudah dilumurinya dengan obat bius. Petugas yang terkejut karena tiba-tiba seseorang membekap mulutnya, sempat merona. Namun, tak butuh waktu lama, keadaannya menjadi lemas dan akhirnya tak sadarkan diri. Dua orang kemudian datang menghampir Fluke, dan seolah sudah mengerti atas perintah Fluke, mereka membawa petugas itu ke tempat yang aman.Fluke kemudian menggantikan petugas itu dengan duduk dan memakai topi dan masker untuk menyamar sebagai petugas di belakang panggung. Ia yang kemudian menatap layar yang menampilkan tampilan drama dansa yang sudah direkam oleh kamera di depan panggung. Sehingga ia dapat melihat jalannya penampilan.Ken sudah memasuki area panggung, sesuai alu
Romeo membawa laptopnya ke balkon gedung tua yang lebarnya hanya satu x satu meter itu. Ia menunggu sinyal Aland yang tak kunjung muncul, di satu sisi saat malam hari seperti ini jaringan internet di gedung lama itu cukup lambat mengakibatkan pekerjaannya jadi terhambat. Padahal ia juga harus melacak digit nomor peneror Tor, karena sejak hari masih sore pun ia belum berhasil melakukannya.“Bagaimana ini, posisi Aland bisa berbahaya jika aku tidak kunjung menyelesaikan pekerjaanku.”Meski tak mengerti betul maksud Aland menyuruhnya melakukan pekerjaan ini karena Aland bercerita apa pun padanya, tetapi Romeo yakin semua pekerjaan yang diserahkan padanya saling berhubungan dengan keselamatan Aland di sana. Maka dari itu ia mengerahkan semua kemampuannya, ia tak ingin pengorbanan temannya itu berakhir sia-sia begitu saja. Usai berpikir berulang kali, akhirnya Romeo memutuskan untuk pergi dari gedung tua itu untuk menyusup ke dalam gedung utama kampus. Tempat pe
“Jane? Bukankah itu kau?” seorang gadis yang merupakan anggota club dansa itu menghampiri Jane dengan tatapan tak percayanya. Jane yang kebingungan dan merasa begitu terkejut dengan apa yang terjadi tak tahu harus berbuat apa.“Aku tidak menyangka sekali Jane kau berbuat seperti itu. Kau face of campus Jane.” Tambah yang lain.Jane merasa semakin bingung dan tertekan kala suara penonton mulai membicarakannya yang tidak-tidak, menyorakinya dengan hal-hal buruk pada hal yang tidak sama sekali ia lakukan. Jane menoleh kembali pada layar besar di belakangnya, berharap mimpi buruk tentang fotonya yang dipertontonkan kepada semua orang itu tidak pernah erjadi. Namun, Jane melihat dengan jelas foto yang menampilkan dirinya itu.Jane menutup telinganya dan memejamkan mata. Merasa frustasi dengan kejadian yang tak pernah diduganya ini. jelas-jelas itu adalah foto Fluke, tetapi wajah laki-laki itu buram. Jane semakin frustasi memikirkan dan m
Orang itu dibuka dan ternyata dia Willy. Willy dirawat di rumah sakit Karen luka parah. The protagonist selebrasi secara diam-diam atas kemengangan mereka, mereka menganggap penderitaan sudah berakhir. Mereka bertemu Jane tetapi tidak ada yang mengajaknya bicara.Tapi ternyata salah, terror masih terjadi di mana-mana dan semakin menjadi di kampus.Poster buronan para protagonist diganti dengan poster gambar Jane yang sangat besar. Makian dan bulyyan terhadap jane dan Ken, usai foto mesra mereka beredar. Mereka diminta untuk turun dari jabata mereka sebagai face of campus. King dan queen kampus.Di kondominiumnya, Jane berdiri di atap dan ingin mengakhiri hidupnya. Fluke datang tepat waktu dan meminta maaf padanya. Menjelaskan bahwa semua yang dia lakukan bukanlah rencananya.tetapi karrena ia di terror oleh GTH untuk menghancurkan persahabatan mereka sampai tak berkumpul lagi..Fluke lalu menemui teman-te
Aland, Joo dan Romeo sudah sampai di bawah untuk melihat siapa sebenarnya pemimpin geng topeng hitam itu. Joo melirik ke sekelilingnya untuk memastikan bahwa tidak ada penjaga yang mengejar mereka. Romeo dan Aland duduk di dekat orang yang diduga kaisar itu. Aland melirik Romeo sesaat, laki-laki itu mengangguk serta mengerti maksud Aland. Aland meraih topeng hitam-puih dan membukanya.Mereka bertiga terkejut melihat wajah sebenarnya pemimpin geng topeng hitam itu.“Willy?” ucap Joo terkejut dan ikut duduk dengan kedua temannya. Mereka benar-benar tak percaya bahwa Will-lah yang sebenarnya selama ini menciptakan kerusuhan secara misterius di dalam kampus.“Dasar munafik.” Umpat Joo tepat saat melihat wajah Willy yang kini bersimpah darah di dahinya. “Dia bersikap sebagai mahasiswa teladan di kampus tetapi dia memiliki hati yang sangat busuk.”Romeo dan Aland kompak melirik Joo ketika laki-laki itu mengatakan itu. Mereka
“Aku juga tidak menyangka.” Joo tersenyum geli membayangkan kedua temannya yang memeiliki sifat unik jika mereka bersama akan seperti apa? Pasti lucu sekali. “Aku tidak bisa membayangkan ghadis tomboy itu rupanya menyukai laki-laki kemayu seperti Ken.”Romeo merasa geli melihat wajah Joo ang sedang membayangkan sesuatu. “Apa yang kau pikirkan? Berhenti berhayal.”Joo mendengus pada Romeo. “Kau tidak pernah tahu rasanya senang melihat temanmu jatuh cinta. Lebih baik cari pasangan sana, supaya kau tahu rasanya jatuh cinta!” ejek Joo pada Romeo.Romeo mendelik pada Joo karena laki-laki itu tiba-tiba menyinggung tentang pasangan. “Apa yang kau maksud? Bercermin dulu sebelum mengolok orang lain. Kau sendiri belum memiliki kekasih.”Joo langsung terdiam mendengarnya. Sementara Aland yang tengah duduk di antara mereka berdua melirik Romeo dan Joo dengan heran. “teman-teman, pertunjukkannya sudah a
"Bagaimana kinerjamu itu, Irene? Sebagai pemimpin club-mu kau mendapatkan tanggung jawab untuk mengatur kostum kami, tapi apa yang terjadi? Bukankah anggotamu sudah banyak? Ini kostum pemeran utama padahal."Jane menarik tangan Ken, mengingatkan laki-laki itu untuk tidak menyuarai Irene seperti itu melalui tatapan matanya. Jane merasa tidak enak sendiri melihat Irene yang mendapat omelan dari Ken, ia merasa Irene tidak sengaja melupakan kostumnya karena begitu banyak pekerjaan yang dia lakukan."Maafkan aku, aku benar-benar menyesal. Ayo, kemarilah. Duduklah dulu di sini. Aku akan akan kembali lagi membawa kostumnya untukmu."Irene buru-buru pergi mencari kostum pemeran utama wanita. Sementara Jane dan Ken mau tak mau menunggunya di sana. Ken melirik jam di pergelangan tangannya, acara tinggal sepuluh menit lagi."Jangan berbicara seperti itu padanya, mungkin saja dia tidak sengaja melupakan kostumku karena terlalu banyak pekerjaan yang ia kerjakan." Jane
"Bagaimana kinerjamu itu, Irene? Sebagai pemimpin club-mu kau mendapatkan tanggung jawab untuk mengatur kostum kami, tapi apa yang terjadi? Bukankah anggotamu sudah banyak? Ini kostum pemeran utama padahal."Jane menarik tangan Ken, mengingatkan laki-laki itu untuk tidak menyuarai Irene seperti itu melalui tatapan matanya. Jane merasa tidak enak sendiri melihat Irene yang mendapat omelan dari Ken, ia merasa Irene tidak sengaja melupakan kostumnya karena begitu banyak pekerjaan yang dia lakukan."Maafkan aku, aku benar-benar menyesal. Ayo, kemarilah. Duduklah dulu di sini. Aku akan akan kembali lagi membawa kostumnya untukmu."Irene buru-buru pergi mencari kostum pemeran utama wanita. Sementara Jane dan Ken mau tak mau menunggunya di sana. Ken melirik jam di pergelangan tangannya, acara tinggal sepuluh menit lagi."Jangan berbicara seperti itu padanya, mungkin saja dia tidak sengaja melupakan kostumku karena terlalu banyak pekerjaan yang ia kerjakan." Jane
“Terserah kau saja!” Jane yang mulanya berteriak karena kekesalannya pada Fluke, terkejut karena reaksi Fluke. “terserah apa yang ingin kau katakan. Karena jika aku menceritakannya pun, kau juga tidak akan memahami mengapa aku melakukan hal ini! Aku sudah tidak peduli apa pun yang kau nilai tentang diriku lagi!” Jane terkejut dengan pernyataan Fluke yang didengarnya. “Apa maksudmu?” tanya Jane dengan heran. Namun, Fluke tampak tak ingin menjawab pertanyaan gadis itu. Laki-laki itu membalikkan badannya dan memerintahkan Jane untuk pergi dari hadapannya. “Pergi dari sini.” “Apa? Kau mengusirku?” tanya Jane tak percaya. “Pergi, Jane. Atau akan menyesal seumur hidup jika kau masih tetap di sini.” Jane yang hendak membalas langsung terdiam dengan perkataan laki-laki itu. Mau tak mau dengan ancaman itu, Jane meninggalkan ruangan Fluke dengan amarah dan pertanyaan yang kini bersarang di kepalanya. Hari perayaan kampus telah tiba. Semua