“Bagaimana bulan pertamamu di kampus ini, Dik?”
Aland tak kunjung menjawab pertanyaan Victor. Hal itu mengundang Victor untuk melihatnya di depan cermin.
“Biasa saja.”
Tak ada perbincangan lebih lanjut, Aland pergi begitu saja meninggalkan toilet pria. Jika sudah tak punya akal sehat, Aland mungkin sudah menghajar mulut kotor Victor sekarang juga, tetapi Aland tak ingin terjadi sesuatu pada kakaknya. Sepanjang perjalanan, di kepala Aland hanya berputar kalimat-kalimat buruk yang diucapkan Victor terhadap kakaknya.
Kelas telah berakhir. Aland mengambil tasnya di dalam kelas. Ia mengernyit ketika menemukan sebuah kertas tebal berwarna hitam tergeletak di atas mejanya. Aland menatap ke sekeling, tak ada seorang pun di sekitarnya. Milik siapa kertas ini? Aland meraihnya. Kertas itu dilipat-lipat membentuk semacam amplop. Perlahan, karena penasaran Aland membukanya. Ternyata isinya beberapa deret huruf membentuk sebuah kalimat.
Ponsel aland berbunyi, tangan laki-laki itu meorogoh saku celana. Sebuah notifikasi pesan dari Joo tertera di layar. Aland membacanya. Aku dan Romeo melihat Victor masuk ke dalam gudang yang ada area terlarang kampus. Cepatlah ke sini! Kami tunggu. “Jika penglihatanku tidak salah, aku melihatmu tempo hari di area terlarang kampus bersama teman-temanmu sedang menyerang senior kalian. Apa yang kalian inginkan?” Suara dari seberang sana membuat Aland mendongak dari pandangannya ke layar ponsel. Pria bertubuh tinggi tegap yang berdiri di seberangnya mengajukan pertanyaan yang berhasil membuat Aland terkejut. Bagaimana dosen di depannya bisa tahu kalau dirinya dan teman-temannya berada di area terlarang tempo hari? Seketika pandanngan Aland menjadi tak tentu arah. Ia khawatir dosen itu menegur dirinya di sini karena melihat kejadian antara kelompok rahasianya dengan Victor di area terlarang kampus. “I—itu … itu hanya kesalahpahaman yang terjadi antara tem
Di atas selasar, Joo melihat ke arah bawah di mana Victor bercengkerama dengan teman-temannya. Joo lalu mendengus kesal saat pandangannya beralih pada Willy di bawah sana yang tengah menatap ke tempat dia berada. Laki-laki itu pastina sedang mengawasina dan juga teman-temanna.“Apa sekarang?”“Apa?”Joo mengusap wajahnya kasar karena Aland malah bertanya kepadanya. “Apa yang akan kita lakukan sekarang?” Joo mengulangi pertanyaannya. Laki-laki itu berjalan mondar-mandir dengan resah dengan sesekali menatap ke bawah—di mana Victor sedang mengobrol dengan teman-temannya di bangku taman. Namun, tak lama kemudian Victor pergi dari teman-temannya sesaat setelah melihat keberadaan Joo, Aland dan juga Romeo di selasar.“Yang pertama, Victor sudah mengetahui kita yang menyerangnya tempo hari, sekarang kita diawasi terus-menerus oleh komite atas perintah rektor, kita tidak bisa bergerak dengan bebas sekarang. Apa yang
Aland menuju koridor fakultas ekonomi, Joo sudah mengambil jalan lain. Mereka sengaja berpencar agar tidak terlihat bersama dan ditemukan oleh komite mahasiswa. Beruntung mereka bisa menghindar dari Willy yang terus mengawasi mereka sejak rektor memerintahkannya. Aland langsung bersembunyi di balik tiang begitu melihat bayangan Victor yang berjalan dengan tergesa di koridor lain, gerak-geriknya sangat mencurigakan. Aland mengikutinya dengan hati-hati. Aland mengikuti Victor sampai menuju ke belakang gedung kampus. Rumput-rumput ilalang menjadi tempat kaki Aland berpijak. Ia tak habis pikir mengapa Victor datang ke tempat ini. Aland mengirim pesan kepada Joo yang berisikan titik lokasi di mana dirinya berada. Ia lalu bersembunyi di balik pagar kawat tua yang telah ditumbuhi tanaman liar. Aland menunggu di sana, karena Victor hanya berdiri tak jauh darinya dengan resah seperi sedang menunggu seseorang. Tiba-tiba bahu Aland ditepuk seseorang membuat laki-laki itu hampir
“Mungkin,” ucap Romeo. Raut wajah bingungnya berubah saat teringat sesuatu. “Joo, tolong ambilkan pisau kecilku di dalam sepatu.” Permintaan Romeo membuat Joo mengerutkan keningnya.“Pisau kecil? Mengapa kau selalu membawanya?”“Kau pasti akan mengerti kegunaannya jika kau belajar tentang kepemimpinan di sekolahmu dulu,” ejek Romeo karena Joo sempat-sempatnya bertanya di saat seperti ini. “Cepat, ambillah.” Romeo bersusah paah menaikkan kaki kanannya ke belakang—tepat pada kursi yang diduduki oleh Joo. Aland menunggu upaya teman-temannya. Joo memutar kepalanya menghadap ke belakang, tangannya yang terikat di balik punggungnya mencoba meraih sepatu Romeo.Joo langsung melepaskan sepatu Romeo dari kakinya. Ia merogoh sepatu Romeo dan menemukan sesuatu yang terasa padat dan tipis. “Dapat!”Romeo mengulurkan tangannya di belakang punggung ketika Joo berusaha mencari tangannya, Joo m
Aland hampir mengaduh ketika kepalanya dilempar sesuatu. Tangannya mengusap-usap belakang kepalanya yang terasa sakit. Mengedarkan pandangan, Aland menyipit ketika menemukan bayangan seseorang sedang melambai kepadanya di balik gerbang. Tidak salah lagi. Itu adalah dosen yang menemuinya di kolam ikan pada saat ia melempar batu pada patung kura-kura. Apa yang dilakukan oleh dosen Andrew malam-malam seperti ini di kampus? Batin Aland.Aland menemukan kertas kecil di bawahnya yang terlempar mengenai kepalanya. Aland membukanya dan menyalakan layar ponselnya untuk membaca tulisan di kertas yang telah lusuh itu.“Ketika aku mengalihkan perhatian petugas nanti, pergilah dan ambil kunci gerbang yang kutinggalkan di bawah.” Aland melihat sesaat ke arah dosen itu yang menunjuk kunci yang ditinggalkan di bawahna. “Bawa kunci itu denganmu. Itu milikku.” “Penjaga!”Aland menoleh pada dosen yang
“Baiklah, Bapak akan menerimanya.”Kate tersenyum puas. “Eum ... tapi, Pak. Maukah Bapak memakan ini bersama dengan saya, di sana?” tunjuk Kate pada kursi panjang di koridor yang tak jauh dari ruang cctv. “Bapak benar-benar seperti ayahku, aku jadi merindukannya.”Karena rasa ibanya, akhirnya petugas itu menuruti kemauan Kate. “Baiklah, jika itu bisa mengobati rasa rindumu pada ayahmu, Bapak tidak akan menolak.”Kate tersenyum semakin lebar dan mengajak petugas penjaga itu berjalan menuju kursi panjang. Gadis itu sempat mengangkat jempolnya di belakang punggung untuk memberitahu Romeo. Saat itu juga, Romeo menyelinap masuk ke dalam ruang cctv. Dengan kilat laki-laki itu mencari semua rekaman malam kemarin dan menghapus seluruh jejak dirinya dan teman-temannya yang tertangkap oleh kamera pengintai kampus. termasuk jejak dirinya yang diam-diam menyelinap di ruang cctv ini. Romeo sudah tak asing lagi dengan hal-hal ya
Jane memberanikan membalas tatapan Fluke padanya. Laki-laki itu memakai kaos putih polos yang dibalut dengan jaket denim biru cerah hari ini. Selain berasal dari keluarga berada yang mampu membeli pakaian-pakaian, sebagai seorang laki-laki Fluke sangat memerhatikan penampilannya. “Kita sudah tidak memiliki hubungan apa-apa lagi. Aku ingin sembuh. Terjebak dengan masa lalu hanya akan mendatangkan lebih banyak rasa sakit.” “Benarkah?” Fluke tertawa sumbang. Raut wajahnya kemudian berubah sangat serius. Hal itu membuat Jane merasa waspada sekarang. Ia khawatir keponakan rektor yang merupakan mantan kekasihnya itu akan membuat alasan untuk melaporkannya pada wakil dewan. “Lalu, apa yang kau lakukan di sini?” “Bukan urusanmu.” Jane hendak buru-buru pergi, tetapi fluke lagi-lagi menahannya. “Biarkan aku pergi dari sini, Fluke,” pinta Jane yang merasa kesal dengan sikap Fluke.
Jane mengingat bagaimana Fluke menitipkan earphone milik Romeo kepadanya. Seharusnya ia sudah tahu dari awal kalau hubungan Fluke dan Romeo tidak baik-baik saja. Romeo mencurigai Fluke sebagai salah satu dari geng topeng hitam itu. Lalu Fluke menemukan earphone milik Romeo yang terjatuh. Jane khawatir jika earphone ini terjatuh ketika mereka menggunakannya saat melakukan pengintaian terhadap Victor. Bisa-bisanya Jane semula menduga bahwa Fluke meminjamnya dari Romeo dan enggan mengembalikannya. Itu hal mustahil yang pernah Jane pikirkan.Jane merasa khawatir sekarang, bagaimana jika Fluke tahu tentang mereka? Fluke akan menjadi penghalang besar bagi rencana mereka jika laki-laki yang merupakan mantan kekasih Jane itu tahu.Jane menoleh ketika mendengar suara seseorang yang sedang dalam pikirannya itu. Fluke turun dari mobil mewahnya dan berjalan dengan angkuh menghampiri Jane yang ttengah sendirian di halte bus. Jane buru-buru menembunyikan earphone milik Romeo ke dala
Fluke menyusup ke ruang belakang panggung. Ia melihat seorang pria yang bertugas mengatur lighting serta pergantian background layar sesuai berjalannya penampilan. Fluke diam-diam mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya. Dan membungkam mulut petugas itu dengan sapu tangan yang sudah dilumurinya dengan obat bius. Petugas yang terkejut karena tiba-tiba seseorang membekap mulutnya, sempat merona. Namun, tak butuh waktu lama, keadaannya menjadi lemas dan akhirnya tak sadarkan diri. Dua orang kemudian datang menghampir Fluke, dan seolah sudah mengerti atas perintah Fluke, mereka membawa petugas itu ke tempat yang aman.Fluke kemudian menggantikan petugas itu dengan duduk dan memakai topi dan masker untuk menyamar sebagai petugas di belakang panggung. Ia yang kemudian menatap layar yang menampilkan tampilan drama dansa yang sudah direkam oleh kamera di depan panggung. Sehingga ia dapat melihat jalannya penampilan.Ken sudah memasuki area panggung, sesuai alu
Romeo membawa laptopnya ke balkon gedung tua yang lebarnya hanya satu x satu meter itu. Ia menunggu sinyal Aland yang tak kunjung muncul, di satu sisi saat malam hari seperti ini jaringan internet di gedung lama itu cukup lambat mengakibatkan pekerjaannya jadi terhambat. Padahal ia juga harus melacak digit nomor peneror Tor, karena sejak hari masih sore pun ia belum berhasil melakukannya.“Bagaimana ini, posisi Aland bisa berbahaya jika aku tidak kunjung menyelesaikan pekerjaanku.”Meski tak mengerti betul maksud Aland menyuruhnya melakukan pekerjaan ini karena Aland bercerita apa pun padanya, tetapi Romeo yakin semua pekerjaan yang diserahkan padanya saling berhubungan dengan keselamatan Aland di sana. Maka dari itu ia mengerahkan semua kemampuannya, ia tak ingin pengorbanan temannya itu berakhir sia-sia begitu saja. Usai berpikir berulang kali, akhirnya Romeo memutuskan untuk pergi dari gedung tua itu untuk menyusup ke dalam gedung utama kampus. Tempat pe
“Jane? Bukankah itu kau?” seorang gadis yang merupakan anggota club dansa itu menghampiri Jane dengan tatapan tak percayanya. Jane yang kebingungan dan merasa begitu terkejut dengan apa yang terjadi tak tahu harus berbuat apa.“Aku tidak menyangka sekali Jane kau berbuat seperti itu. Kau face of campus Jane.” Tambah yang lain.Jane merasa semakin bingung dan tertekan kala suara penonton mulai membicarakannya yang tidak-tidak, menyorakinya dengan hal-hal buruk pada hal yang tidak sama sekali ia lakukan. Jane menoleh kembali pada layar besar di belakangnya, berharap mimpi buruk tentang fotonya yang dipertontonkan kepada semua orang itu tidak pernah erjadi. Namun, Jane melihat dengan jelas foto yang menampilkan dirinya itu.Jane menutup telinganya dan memejamkan mata. Merasa frustasi dengan kejadian yang tak pernah diduganya ini. jelas-jelas itu adalah foto Fluke, tetapi wajah laki-laki itu buram. Jane semakin frustasi memikirkan dan m
Orang itu dibuka dan ternyata dia Willy. Willy dirawat di rumah sakit Karen luka parah. The protagonist selebrasi secara diam-diam atas kemengangan mereka, mereka menganggap penderitaan sudah berakhir. Mereka bertemu Jane tetapi tidak ada yang mengajaknya bicara.Tapi ternyata salah, terror masih terjadi di mana-mana dan semakin menjadi di kampus.Poster buronan para protagonist diganti dengan poster gambar Jane yang sangat besar. Makian dan bulyyan terhadap jane dan Ken, usai foto mesra mereka beredar. Mereka diminta untuk turun dari jabata mereka sebagai face of campus. King dan queen kampus.Di kondominiumnya, Jane berdiri di atap dan ingin mengakhiri hidupnya. Fluke datang tepat waktu dan meminta maaf padanya. Menjelaskan bahwa semua yang dia lakukan bukanlah rencananya.tetapi karrena ia di terror oleh GTH untuk menghancurkan persahabatan mereka sampai tak berkumpul lagi..Fluke lalu menemui teman-te
Aland, Joo dan Romeo sudah sampai di bawah untuk melihat siapa sebenarnya pemimpin geng topeng hitam itu. Joo melirik ke sekelilingnya untuk memastikan bahwa tidak ada penjaga yang mengejar mereka. Romeo dan Aland duduk di dekat orang yang diduga kaisar itu. Aland melirik Romeo sesaat, laki-laki itu mengangguk serta mengerti maksud Aland. Aland meraih topeng hitam-puih dan membukanya.Mereka bertiga terkejut melihat wajah sebenarnya pemimpin geng topeng hitam itu.“Willy?” ucap Joo terkejut dan ikut duduk dengan kedua temannya. Mereka benar-benar tak percaya bahwa Will-lah yang sebenarnya selama ini menciptakan kerusuhan secara misterius di dalam kampus.“Dasar munafik.” Umpat Joo tepat saat melihat wajah Willy yang kini bersimpah darah di dahinya. “Dia bersikap sebagai mahasiswa teladan di kampus tetapi dia memiliki hati yang sangat busuk.”Romeo dan Aland kompak melirik Joo ketika laki-laki itu mengatakan itu. Mereka
“Aku juga tidak menyangka.” Joo tersenyum geli membayangkan kedua temannya yang memeiliki sifat unik jika mereka bersama akan seperti apa? Pasti lucu sekali. “Aku tidak bisa membayangkan ghadis tomboy itu rupanya menyukai laki-laki kemayu seperti Ken.”Romeo merasa geli melihat wajah Joo ang sedang membayangkan sesuatu. “Apa yang kau pikirkan? Berhenti berhayal.”Joo mendengus pada Romeo. “Kau tidak pernah tahu rasanya senang melihat temanmu jatuh cinta. Lebih baik cari pasangan sana, supaya kau tahu rasanya jatuh cinta!” ejek Joo pada Romeo.Romeo mendelik pada Joo karena laki-laki itu tiba-tiba menyinggung tentang pasangan. “Apa yang kau maksud? Bercermin dulu sebelum mengolok orang lain. Kau sendiri belum memiliki kekasih.”Joo langsung terdiam mendengarnya. Sementara Aland yang tengah duduk di antara mereka berdua melirik Romeo dan Joo dengan heran. “teman-teman, pertunjukkannya sudah a
"Bagaimana kinerjamu itu, Irene? Sebagai pemimpin club-mu kau mendapatkan tanggung jawab untuk mengatur kostum kami, tapi apa yang terjadi? Bukankah anggotamu sudah banyak? Ini kostum pemeran utama padahal."Jane menarik tangan Ken, mengingatkan laki-laki itu untuk tidak menyuarai Irene seperti itu melalui tatapan matanya. Jane merasa tidak enak sendiri melihat Irene yang mendapat omelan dari Ken, ia merasa Irene tidak sengaja melupakan kostumnya karena begitu banyak pekerjaan yang dia lakukan."Maafkan aku, aku benar-benar menyesal. Ayo, kemarilah. Duduklah dulu di sini. Aku akan akan kembali lagi membawa kostumnya untukmu."Irene buru-buru pergi mencari kostum pemeran utama wanita. Sementara Jane dan Ken mau tak mau menunggunya di sana. Ken melirik jam di pergelangan tangannya, acara tinggal sepuluh menit lagi."Jangan berbicara seperti itu padanya, mungkin saja dia tidak sengaja melupakan kostumku karena terlalu banyak pekerjaan yang ia kerjakan." Jane
"Bagaimana kinerjamu itu, Irene? Sebagai pemimpin club-mu kau mendapatkan tanggung jawab untuk mengatur kostum kami, tapi apa yang terjadi? Bukankah anggotamu sudah banyak? Ini kostum pemeran utama padahal."Jane menarik tangan Ken, mengingatkan laki-laki itu untuk tidak menyuarai Irene seperti itu melalui tatapan matanya. Jane merasa tidak enak sendiri melihat Irene yang mendapat omelan dari Ken, ia merasa Irene tidak sengaja melupakan kostumnya karena begitu banyak pekerjaan yang dia lakukan."Maafkan aku, aku benar-benar menyesal. Ayo, kemarilah. Duduklah dulu di sini. Aku akan akan kembali lagi membawa kostumnya untukmu."Irene buru-buru pergi mencari kostum pemeran utama wanita. Sementara Jane dan Ken mau tak mau menunggunya di sana. Ken melirik jam di pergelangan tangannya, acara tinggal sepuluh menit lagi."Jangan berbicara seperti itu padanya, mungkin saja dia tidak sengaja melupakan kostumku karena terlalu banyak pekerjaan yang ia kerjakan." Jane
“Terserah kau saja!” Jane yang mulanya berteriak karena kekesalannya pada Fluke, terkejut karena reaksi Fluke. “terserah apa yang ingin kau katakan. Karena jika aku menceritakannya pun, kau juga tidak akan memahami mengapa aku melakukan hal ini! Aku sudah tidak peduli apa pun yang kau nilai tentang diriku lagi!” Jane terkejut dengan pernyataan Fluke yang didengarnya. “Apa maksudmu?” tanya Jane dengan heran. Namun, Fluke tampak tak ingin menjawab pertanyaan gadis itu. Laki-laki itu membalikkan badannya dan memerintahkan Jane untuk pergi dari hadapannya. “Pergi dari sini.” “Apa? Kau mengusirku?” tanya Jane tak percaya. “Pergi, Jane. Atau akan menyesal seumur hidup jika kau masih tetap di sini.” Jane yang hendak membalas langsung terdiam dengan perkataan laki-laki itu. Mau tak mau dengan ancaman itu, Jane meninggalkan ruangan Fluke dengan amarah dan pertanyaan yang kini bersarang di kepalanya. Hari perayaan kampus telah tiba. Semua