Dua minggu yang lalu ...
(Foto perempuan dengan almamater kampus)
Keterangan:
Telah hilang ...
Mikhaela Luisa Sophrosyne, Mahasiswi dari jurusan ekonomi. Hingga kini masih belum diketahui keberadaannya.
Aland berdiri mematung di depan papan pengumuman lobi utama kampus. Kedua matanya menyapu kata demi kata yang tertera di bawah foto perempuan yang amat dirindukannya. Foto yang diambil untuk kartu tanda mahasiswa itu masih memperlihatkan senyum ceria perempuan itu.
Hari ini adalah hari pertama Aland di kampus yang baru. Kepindahannya ke sini tak lain memiliki sebuah tujuan. Yakni untuk membongkar semua fakta yang mencoba ditutupi oleh pihak kampus.
Mengingat itu, tanpa sadar membuat tangannya mengepal di sisi jarit celana. Tanpa basa-basi, laki-laki yang merupakan mahasiswa baru itu membuka paksa papan pengumuman dan mencabut foto perempuan yang dikabarkan hilang itu. Aland menutupnya kembali dengan kencang dan pergi dari sana. Ia mengabaikan tatapan beberapa mahasiswa yang mengarah padanya.
*****
Tiga hari sudah berlalu semenjak Aland menjadi mahasiswa pindahan, ia seolah menutup diri dari orang-orang. Aland sama sekali tidak berniat mengenal atau berteman dengan siapa pun. Semuanya masih tampak baik-baik saja sejak kali pertama Aland menginjakkan kaki di kampus barunya. Tak terjadi apa-apa sampai pada suatu pagi saat kelas belum dimulai, Aland merasa diperhatikan oleh beberapa mahasiswa terkenal di kelasnya. Namun, Aland tak ingin pikir panjang. Ia pun sadar jikalau sikapnya ini bisa mengundang tatapan aneh dari orang-orang.
Ternyata dugaannya benar. Saat kelas berakhir dan seluruh mahasiswa telah meninggalkan kelas, ia tiba-tiba dihadang oleh tiga mahasiswa. Aland tidak kenal persis siapa teman-teman sekelasnya, ia hanya tahu sebatas nama dari beberapa orang termasuk ketiga orang ini karena mereka bertiga terlihat paling menonjol di kelas, selain karena sering menciptakan riuh di kelas, mereka bertiga merupakan tiga sahabat yang memiliki karakter unik yang berbeda.
Mulai dari Joo, pria gila yang kerap melemparkan lelucon yang tak pernah gagal, selalu berhasil menghidupkan suasana kelas dengan tingkahnya yang mampu mengundang tawa. Dalam beberapa hari, Aland sudah sering melihatnya menjadi yang paling ramai di kelas.
Lalu ada Ken, lelaki berwajah manis dengan perawakannya yang gemulai, Aland pernah mendengar rumor bahwa Ken merupakan penyuka sesama jenis, tetapi tampaknya pria itu menanggapinya dengan santai, bahkan sesekali ia bercanda dengan menggoda Joo, temannya.
Yang terakhir adalah Kate, gadis tomboy yang paling sering meninggalkan kelas untuk latihan karate. Namun, sekali dia berada di kelas, Kate selalu ikut andil dalam keriuhan yang diciptakan oleh teman-temannya di kelas, tentunya sebelum dosen tiba.
Aland merasa heran mengapa ketiga mahasiswa itu tiba-tiba menghadang jalannya. Karena merasa tak melakukan kesalahan, Aland menghiraukan mereka dan memilih pergi begitu saja. Namun, saat hendak melewati mereka, mahasiswa bernama Joo menghentikan Aland dengan tangannya sehingga Aland kembali ke tempat ia berdiri semula.
“Aku tidak memiliki masalah apa pun dengan kalian, jangan menghalangi jalanku,” ucap Aland ketika Joo, Kate, dan Ken tetap berdiri dengan menantangnya.
“Tenanglah, jangan terburu-buru.” Joo menepuk bahu Aland dua kali, merasa tak suka, Aland menepis tangan Joo dari bahunya.
“Jauhkan tanganmu!” Tatapan Aland menjadi waspada semenjak Joo menepuk bahunya, ia memperingatkan Joo dengan jari telunjuk yang mengarah di depan lelaki itu. Joo langsung mengangkat kedua tangannya dan berekspresi seolah-olah sedang merasa takut pada gertakan Aland.
Kate mendengus. Gadis yang semula bersidekap dada itu, kini menurunkan tangannya. Ia memberikan tatapan mengintimidasinya pada Aland. “Sejak hari pertama kuliah, kami perhatikan kau tidak pernah membaur dengan yang lain. Kenapa kau seperti sengaja menarik diri dari semua orang? Kau tidak pernah mengobrol atau berinteraksi dengan mahasiswa di sini.”
Aland membuang muka. Tak menyangka mereka bertiga menghadangnya untuk membahas hal yang tidak penting ini. Waktunya terbuang sia-sia hanya untuk menganggapi orang-orang ini.
“Itu urusanku. Bukan urusan kalian. Sekarang menyingkirlah, biarkan aku pergi.” Aland hendak melewati mereka, tetapi lagi-lagi mereka tidak membiarkannya pergi begitu saja. Aland tidak ingin menciptakan masalah dengan siapa pun demi kelancaran rencananya. Namun, ketiga mahasiswa ini berhasil mengusik ketenangannya.
“Kami tidak akan membiarkanmu pergi sebelum kau mengatakannya kepada kami.” Kali ini Ken dengan gaya khasnya berbicara. Lelaki berwajah manis itu selalu tampak eskpresif ditambah gerakan tangannya yang tak lupa ikut andil ketika ia sedang berbicara.
“Apa?” tanya Aland karena dibuat bingung sekaligus was-was dengan pernyataan Ken. Takut-takut jika orang lain mengetahui tujuannya.
Ken maju selangkah. Perbedaan tingginya dengan Aland yang cukup signifikan membuat lelaki itu mendongak dengan mata yang menyipit. “Beritahu kami alasan mengapa kau menutup dirimu dari orang-orang.”
“Sudah kubilang bukan urusan kalian. Minggir!” Aland merasa jengah sekarang karena orang-orang ini ingin sekali tahu urusannya. Ia memaksa Kate dan Ken menyingkir sehingga dia bisa pergi dari hadapan mereka. Namun, baru sampai di pintu kelas, suara Ken kembali menghentikannya.
“Ada hubungan apa kau dengan gadis ini?”
Langkah Aland terhenti. Gadis mana yang dimaksud olehnya? Aland berbalik, tepat pada saat itu Ken menunjukkan sebuah foto seorang gadis yang ia ambil dari papan pengumuman kampus. Aland membelalak, mencoba merebut foto itu dari tangan Ken. Namun, Ken lebih dulu berlari ke belakang Kate dengan gemulainya, berlindung di balik punggung gadis itu.
“Dari mana kalian mendapatkan foto itu?” Aland ingat betul kalau ia telah memasukkan foto itu ke dalam tas-nya, tetapi hari ini ia memang tak melihat foto itu sama sekali. Tindakan mereka yang terlalu ikut campur berhasil membuat Aland tersulut emosi.
“Kembalikan foto itu padaku!” Aland ingin merebutnya lagi, tetapi Kate mendorongnya, dan dengan sigap Joo mengunci kedua lengan Aland di belakang punggunya. Laki-laki yang merupakan mahasiswa baru itu sekuat tenaga meronta.
"Pagi ini aku menemukan foto itu terjatuh dari dalam tasmu," ungkap Joo yang sekuat tenaga menahan gerakan Aland. "Saat kami mengecek papan mading, fotonya benar tidak ada. Mengapa kau menyimpan foto itu ada di tasmu?"
"Bukan urusanmu! Lepaskan aku!" Aland masih meronta. Pikirannya menjadi kacau memikirkan rencana-rencana yang belum sempat terlaksana, dan sekarang jalan buntu ada di depan mata. Aland benar-benar merutuki nasibnya karena bertemu tiga orang menyebalkan ini.
"Tidak, sebelum kau mengatakan apa tujuanmu sebenarnya!" Kate menyahut yang diangguki oleh Ken.
“Lepaskan aku!” Aland tidak mendengarkan mereka. Laki-laki itu terus berontak dan berteriak membuat Kate, Ken dan Joo menjadi panik. Aland berteriak seperti orang yang kehilangan akal sampai tak menyadari jika ketiga mahasiswa itu saling mengirim pesan dengan bahasa tubuh. Ia baru sadar ketika Joo melemparkan pertanyaan singkat pada Kate yang dijawab anggukan kepala oleh gadis itu.
Terpaksa mereka harus melakukan hal ini kepada aland karena laki-laki itu tak bisa dikendalikan. Mereka khawatir orang-orang akan mendengar pertengkaran ini dan menangkap mereka.
“Sekarang?” Kate lantas mengangguk atas pertanyaan Joo. Sejurus kemudian, Aland jatuh bersimpuh di depan Kate ketika Joo menendang salah satu kakinya. Kejadian yang mengejutkan bagi Aland itu berhasil membuatnya mematung sesaat. Belum sampai di situ, ia hendak berteriak lagi saat tiba-tiba tangan Kate melayang di depan wajahnya. Kejadian itu berlangsung cepat sekali ketika Aland merasakan sakit di bagian leher. Pandangannya memburam, sebelum akhirnya kehilangan kesadaran.
Aland terbangun dengan sakit kepala yang mendera, saat wajahnya ditimpa cahaya lampu yang menyilaukan mata. Ia terbangung di sebuah sofa di ruangan yang asing baginya. Aland memegang kepalanya yang terasa sakit, berusaha mengingat apa yang terjadi padanya hingga berakhir di sini.
Kampus, tiga mahasiswa, dan foto itu.
Keringat dingin mulai mengucur di dahinya, kala kilasan kejadian yang membuatnya berakhir di sini berputar di kepalanya. Aland begitu khawatir jika rencananya tidak bisa ia selesaikan.
Menjenggut rambutnya kesal, tanpa berpikir ada seseorang atau tidak di sini, Aland berteriak frustasi. “Sial!”
Dua orang yang tengah berada di meja makan menoleh ketika mendengar Aland berteriak. Saat itu, Aland juga baru sadar jika ada Kate dan Joo di sana tengah makan. Aland sudah berpikir macam-macam usai mengingat kejadian di kampus, kala mereka menyerang dirinya. Dan dugaan-dugaan itu semakin menjadi ketika Kate dan Joo kini bangkit—menuju ke tempat ia berada.
Aland memberikan tatapan waspada ketika Joo duduk di sofa yang sama dengannya, sementara Kate hanya berdiri di dekatnya dengan bersedekap dada. Sejujurnya, ini agak mengerikan karena tiba-tiba Aland terbangun di tempat yang tidak diketahuinya, usai penyerangan tiba-tiba yang dilakukan oleh mereka padanya.Kate dan Joo hanya memberikan tatapan yang sulit diartikan oleh Aland. Tidak ada yang memulai pembicaraan sampai Ken yang entah datang dari mana terkejut karena tak ada seorang pun di meja makan, mengetahui Aland yang telah bangun dan Kate serta Joo berada di sana—laki-laki itu langsung menegur Aland.“Rupanya kau sudah bangun?” Pertanyaan Ken hanya dianggurkan oleh Aland. Pandangan Aland turun pada tas hitam di tangan Ken. Ekspresi Aland berubah seketika ketika mengetahui itu adalah tasnya.“Apa yang kau lakukan pada tasku?” Aland merebut tas miliknya dari tangan Ken, tetapi yang membuat Aland merasa aneh adalah ketika Ken memberi
Tumpukan-tumpukan kayu itu sekilas hanya terlihat semacam tumpukan kayu dalam jumlah banyak, ditambah papan tripleks yang dibiarkan bersandar di tengah-tengahnya, tetapi siapa sangka, jika papan tripleks yang digunakan sebagai pintu itu digeser, kau akan menemukan ruangan kecil yang sengaja disulap menjadi ruang kerja. Terdapat satu set komputer dan beberapa jenis perangkat keras yang tertata rapi di atas meja. Satu buah kursi tunggal, serta sofa panjang berwarna biru yang ditambal dengan kain di beberapa bagiannya. Ruangan kecil yang cukup nyaman dan bersih dibanding keadaan di luarnya. Aland, Joo, Kate, Ken, dengan Jane sempat panik saat mengetahui ada orang lain selain mereka di sini.“Benar, aku memang adik dari Kak Mikhaela yang dikabarkan hilang itu,” jawab Aland ketika laki-laki yang keluar dari tumpukan-tumpukan bangku itu bertanya kepadanya. Aland sudah berpikir macam-macam bahwa rahasianya dalam membentuk kelompok rahasia untuk mencari kakaknya aka
Senja telah membumi. Lampu-lampu telah dinyalakan di koridor juga beberapa sudut penting kampus. pada hari di mana kejadian Aland dicekik oleh korban teror Geng Topeng Hitam di atap gedung fakultas film, Romeo mengajak Jane diam-diam menyelinap ke dalam ke ruang club biologi usai kelas berakhir. Ponsel Tor yang Romeo temukan di belakang pintu ruang kesehatan tempat Aland berbaring kini berada di tangannya. Bermodalkan kemampuan dan peralatan seadanya, Romeo berhasil melacak password dan membuka pintu ruangan. Ruangan ini lebih kecil dari laboratorium biologi, tentu saja. Terdapat sebuah meja berbentuk persegi panjang yang di kelilingi banyak kursi tunggal di ruangan ini, karena ruangan ini hanya dikhususkan untuk para mahasiswa dari jurusan mana pun yang memiliki ketertarikan belajar biologi.Romeo dan Jane berhenti di depan sebuah lemari kaca yang terdapat gelas-gelas berisikan cairan kimia berwarna ungu di dalamnya. Jane masih tak mengerti maksud Romeo mengajaknya ke
“Romeo di-skors.” Satu hal yang terlintas di kepala Aland ketika Jane mengatakan hal itu kepada ia dan yang lain, saat mereka berkumpul tanpa Romeo—Aland langsung menuju asrama laki-laki, meminta petugas penjaga untuk mengantarnya ke kamar Romeo, tetapi lelaki berkacamata itu tidak ditemukan di kamarnya. Aland justru menemukan Romeo di balkon atap asrama—duduk di sebuah bangku reot dan diam termenung. Merasa mengenali punggungnya, Aland melompati dinding pembatas setinggi paha orang dewasa, menghampiri laki-laki yang tengah menyendiri itu. “Mengapa tidak bilang padaku, kalau kau mendapat skorsing?” Pandangan Romeo yang semula tertuju pada pemandangan pemukiman di bawah sana, kini mengikuti arah langkah kaki Aland yang berhenti pada dinding pembatas. Wajah yang ditimpa sinar mentari itu ikut menikmati keindahan pemandangan di depannya. “Tidak ada hubungannya denganmu,” balas Romeo singkat. Suasana hatinya sedang tidak baik kala mengingat bagaim
“F—Fluke?”Dahi Fluke mengernyit kala mendengar suara seseorang yang sepertinya dia kenal. Lampu ponsel yang menyorot wajahnya mati seketika tanpa diduga. Gadis itu kemudian mengecek ponselnya yang tak kunjung menyala. Sialnya, kini baterai ponselnya habis.Sebelah alis Fluke terangkat ketika dengan jelas ia dapat melihat wajah seorang gadis dengan rambut yang tergerai lurus di hadapannya, meski dalam kegelapan. Salah satu sudut bibir Flukr terangkat kemudian, rupanya dia adalah gadis yang bersama dengan saingannya di ruang biologi beberapa hari lalu.“Mengapa aku selalu menemukanmu dalam kegelapan?”Pertanyaan Fluke mengundang Jane yang semula mengecek ponselnya, kini mendongak menatapnya. Hal pertama yang Jane temukan adalah wajah Fluke yang tengah tersenyum miring dengan tatapan yang tersorot padanya.Jane berusaha bersikap tidak gentar meski status Fluke adalah keponakan rektor. Terkadang, ia merasa gerah saat oran
“Ini adalah ruang club biologi.” Romeo melingkari sebuah objek gedung dengan pena merahnya. “Beberapa di antara kita nanti akan bergabung dengan club ini. Tujuan kita di sini adalah mencuri sampel cairan kimia yang pernah melibatkan peneroran Tor. Aku tidak akan ikut bergabung dengan club ini, karena pasti Fluke akan dengan mudah curiga padaku jika kedua kalinya aku masuk ke club biologi. Aku akan memandu kalian dari jauh. Karena rencana ini cukup berisiko untuk dijalani. Jadi, aku ingin para pria saja yang bergabung dengan club ini nanti, kecuali aku.” Mendengar penjelasan rencana Romeo, Kate meledek Joo karena tahu laki-laki itu tak suka berkecimpung dengan club yang terlalu serius seperti club biologi. Joo memasang muka masam karena ledekan Kate. Begitu mengarahkan pandangannya pada Kate dan Ken, Romeo mengernyitkan dahinya karena menyadari sesuatu. “Tidak-tidak. Sepertinya, Kate
Gedung fakultas Komunikasi menjadi tujuan Joo, Kate, Ken, dan Jane untuk menjalankan rencana mereka menemukan mantan kekasih Mikhaela. Namun, tanpa diduga, para senior tingkat akhir di sana berkumpul di koridor yang ternyata sedang mengadakan sebuah acara perayaan. Berbagai mahasiswa dari tingkat pertama juga ada di sana, para junior disambut oleh mereka dan disediakan tempat untuk bergabung dengan mereka. Empat anggota Kelompok Rahasia yang ditugaskan oleh Romeo itu, terkejut dengan acara yang tidak pernah mereka sangka sebelumnya. Mereka hanya berdiri di kejauhan ketika mendapati peristiwa di depannya. Jane menekan earphone nirkabel yang tertutup rambut hitam panjangnya di telinga—yang telah dihubungkan Romeo pada ponsel milik laki-laki itu. Jane melakukan panggilan. Romeo dan Aland yang bersembunyi di koridor gedung lain yang sepi, menerima panggilan itu. “Rome, Aland, mereka sedang mengadakan acara penyambutan untuk junior mereka. Bagaimana dengan re
Joo, Jane, Kate, dan Ken mengikuti beberapa permainan yang telah dipersiapkan oleh senior. Permainan-permainan itu adalah permainan yang dilakukan di depan halaman koridor, seperti menempelkan bola kecil di pipi secara berpasangan untuk ditempatkan di keranjang. Menggigit sendok yang berisi kelereng. Hingga yang terakhir edukasi kelas tali-temali di alam. Usai permainan yang dilakukan di lapangan selesai. Jane dan Ken masuk ke dalam kelas tempat lomba pentas seni, Jane dan Ken terdaftar akan menampilkan dansa ballroom. Sementara Joo meminta Kate untuk meninggalkan mereka di depan kelas. Ada banyak orang di sana, cukup mudah untuk menyamar dan berbaur dengan yang lain. “Kau tidak apa-apa, ‘kan, kutinggal?” Sebagai sseeorang yang gemar menggoda sahabatnya, Joo bertanya demikian pada Kate. Laki-laki itu masih bisa bersikap jenaka padahal Kate sejak tadi tak bisa tenang gara-gara memikirkan rencana mereka. “Memangnya aku anak-anak yang tidak bisa ditingg
Fluke menyusup ke ruang belakang panggung. Ia melihat seorang pria yang bertugas mengatur lighting serta pergantian background layar sesuai berjalannya penampilan. Fluke diam-diam mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya. Dan membungkam mulut petugas itu dengan sapu tangan yang sudah dilumurinya dengan obat bius. Petugas yang terkejut karena tiba-tiba seseorang membekap mulutnya, sempat merona. Namun, tak butuh waktu lama, keadaannya menjadi lemas dan akhirnya tak sadarkan diri. Dua orang kemudian datang menghampir Fluke, dan seolah sudah mengerti atas perintah Fluke, mereka membawa petugas itu ke tempat yang aman.Fluke kemudian menggantikan petugas itu dengan duduk dan memakai topi dan masker untuk menyamar sebagai petugas di belakang panggung. Ia yang kemudian menatap layar yang menampilkan tampilan drama dansa yang sudah direkam oleh kamera di depan panggung. Sehingga ia dapat melihat jalannya penampilan.Ken sudah memasuki area panggung, sesuai alu
Romeo membawa laptopnya ke balkon gedung tua yang lebarnya hanya satu x satu meter itu. Ia menunggu sinyal Aland yang tak kunjung muncul, di satu sisi saat malam hari seperti ini jaringan internet di gedung lama itu cukup lambat mengakibatkan pekerjaannya jadi terhambat. Padahal ia juga harus melacak digit nomor peneror Tor, karena sejak hari masih sore pun ia belum berhasil melakukannya.“Bagaimana ini, posisi Aland bisa berbahaya jika aku tidak kunjung menyelesaikan pekerjaanku.”Meski tak mengerti betul maksud Aland menyuruhnya melakukan pekerjaan ini karena Aland bercerita apa pun padanya, tetapi Romeo yakin semua pekerjaan yang diserahkan padanya saling berhubungan dengan keselamatan Aland di sana. Maka dari itu ia mengerahkan semua kemampuannya, ia tak ingin pengorbanan temannya itu berakhir sia-sia begitu saja. Usai berpikir berulang kali, akhirnya Romeo memutuskan untuk pergi dari gedung tua itu untuk menyusup ke dalam gedung utama kampus. Tempat pe
“Jane? Bukankah itu kau?” seorang gadis yang merupakan anggota club dansa itu menghampiri Jane dengan tatapan tak percayanya. Jane yang kebingungan dan merasa begitu terkejut dengan apa yang terjadi tak tahu harus berbuat apa.“Aku tidak menyangka sekali Jane kau berbuat seperti itu. Kau face of campus Jane.” Tambah yang lain.Jane merasa semakin bingung dan tertekan kala suara penonton mulai membicarakannya yang tidak-tidak, menyorakinya dengan hal-hal buruk pada hal yang tidak sama sekali ia lakukan. Jane menoleh kembali pada layar besar di belakangnya, berharap mimpi buruk tentang fotonya yang dipertontonkan kepada semua orang itu tidak pernah erjadi. Namun, Jane melihat dengan jelas foto yang menampilkan dirinya itu.Jane menutup telinganya dan memejamkan mata. Merasa frustasi dengan kejadian yang tak pernah diduganya ini. jelas-jelas itu adalah foto Fluke, tetapi wajah laki-laki itu buram. Jane semakin frustasi memikirkan dan m
Orang itu dibuka dan ternyata dia Willy. Willy dirawat di rumah sakit Karen luka parah. The protagonist selebrasi secara diam-diam atas kemengangan mereka, mereka menganggap penderitaan sudah berakhir. Mereka bertemu Jane tetapi tidak ada yang mengajaknya bicara.Tapi ternyata salah, terror masih terjadi di mana-mana dan semakin menjadi di kampus.Poster buronan para protagonist diganti dengan poster gambar Jane yang sangat besar. Makian dan bulyyan terhadap jane dan Ken, usai foto mesra mereka beredar. Mereka diminta untuk turun dari jabata mereka sebagai face of campus. King dan queen kampus.Di kondominiumnya, Jane berdiri di atap dan ingin mengakhiri hidupnya. Fluke datang tepat waktu dan meminta maaf padanya. Menjelaskan bahwa semua yang dia lakukan bukanlah rencananya.tetapi karrena ia di terror oleh GTH untuk menghancurkan persahabatan mereka sampai tak berkumpul lagi..Fluke lalu menemui teman-te
Aland, Joo dan Romeo sudah sampai di bawah untuk melihat siapa sebenarnya pemimpin geng topeng hitam itu. Joo melirik ke sekelilingnya untuk memastikan bahwa tidak ada penjaga yang mengejar mereka. Romeo dan Aland duduk di dekat orang yang diduga kaisar itu. Aland melirik Romeo sesaat, laki-laki itu mengangguk serta mengerti maksud Aland. Aland meraih topeng hitam-puih dan membukanya.Mereka bertiga terkejut melihat wajah sebenarnya pemimpin geng topeng hitam itu.“Willy?” ucap Joo terkejut dan ikut duduk dengan kedua temannya. Mereka benar-benar tak percaya bahwa Will-lah yang sebenarnya selama ini menciptakan kerusuhan secara misterius di dalam kampus.“Dasar munafik.” Umpat Joo tepat saat melihat wajah Willy yang kini bersimpah darah di dahinya. “Dia bersikap sebagai mahasiswa teladan di kampus tetapi dia memiliki hati yang sangat busuk.”Romeo dan Aland kompak melirik Joo ketika laki-laki itu mengatakan itu. Mereka
“Aku juga tidak menyangka.” Joo tersenyum geli membayangkan kedua temannya yang memeiliki sifat unik jika mereka bersama akan seperti apa? Pasti lucu sekali. “Aku tidak bisa membayangkan ghadis tomboy itu rupanya menyukai laki-laki kemayu seperti Ken.”Romeo merasa geli melihat wajah Joo ang sedang membayangkan sesuatu. “Apa yang kau pikirkan? Berhenti berhayal.”Joo mendengus pada Romeo. “Kau tidak pernah tahu rasanya senang melihat temanmu jatuh cinta. Lebih baik cari pasangan sana, supaya kau tahu rasanya jatuh cinta!” ejek Joo pada Romeo.Romeo mendelik pada Joo karena laki-laki itu tiba-tiba menyinggung tentang pasangan. “Apa yang kau maksud? Bercermin dulu sebelum mengolok orang lain. Kau sendiri belum memiliki kekasih.”Joo langsung terdiam mendengarnya. Sementara Aland yang tengah duduk di antara mereka berdua melirik Romeo dan Joo dengan heran. “teman-teman, pertunjukkannya sudah a
"Bagaimana kinerjamu itu, Irene? Sebagai pemimpin club-mu kau mendapatkan tanggung jawab untuk mengatur kostum kami, tapi apa yang terjadi? Bukankah anggotamu sudah banyak? Ini kostum pemeran utama padahal."Jane menarik tangan Ken, mengingatkan laki-laki itu untuk tidak menyuarai Irene seperti itu melalui tatapan matanya. Jane merasa tidak enak sendiri melihat Irene yang mendapat omelan dari Ken, ia merasa Irene tidak sengaja melupakan kostumnya karena begitu banyak pekerjaan yang dia lakukan."Maafkan aku, aku benar-benar menyesal. Ayo, kemarilah. Duduklah dulu di sini. Aku akan akan kembali lagi membawa kostumnya untukmu."Irene buru-buru pergi mencari kostum pemeran utama wanita. Sementara Jane dan Ken mau tak mau menunggunya di sana. Ken melirik jam di pergelangan tangannya, acara tinggal sepuluh menit lagi."Jangan berbicara seperti itu padanya, mungkin saja dia tidak sengaja melupakan kostumku karena terlalu banyak pekerjaan yang ia kerjakan." Jane
"Bagaimana kinerjamu itu, Irene? Sebagai pemimpin club-mu kau mendapatkan tanggung jawab untuk mengatur kostum kami, tapi apa yang terjadi? Bukankah anggotamu sudah banyak? Ini kostum pemeran utama padahal."Jane menarik tangan Ken, mengingatkan laki-laki itu untuk tidak menyuarai Irene seperti itu melalui tatapan matanya. Jane merasa tidak enak sendiri melihat Irene yang mendapat omelan dari Ken, ia merasa Irene tidak sengaja melupakan kostumnya karena begitu banyak pekerjaan yang dia lakukan."Maafkan aku, aku benar-benar menyesal. Ayo, kemarilah. Duduklah dulu di sini. Aku akan akan kembali lagi membawa kostumnya untukmu."Irene buru-buru pergi mencari kostum pemeran utama wanita. Sementara Jane dan Ken mau tak mau menunggunya di sana. Ken melirik jam di pergelangan tangannya, acara tinggal sepuluh menit lagi."Jangan berbicara seperti itu padanya, mungkin saja dia tidak sengaja melupakan kostumku karena terlalu banyak pekerjaan yang ia kerjakan." Jane
“Terserah kau saja!” Jane yang mulanya berteriak karena kekesalannya pada Fluke, terkejut karena reaksi Fluke. “terserah apa yang ingin kau katakan. Karena jika aku menceritakannya pun, kau juga tidak akan memahami mengapa aku melakukan hal ini! Aku sudah tidak peduli apa pun yang kau nilai tentang diriku lagi!” Jane terkejut dengan pernyataan Fluke yang didengarnya. “Apa maksudmu?” tanya Jane dengan heran. Namun, Fluke tampak tak ingin menjawab pertanyaan gadis itu. Laki-laki itu membalikkan badannya dan memerintahkan Jane untuk pergi dari hadapannya. “Pergi dari sini.” “Apa? Kau mengusirku?” tanya Jane tak percaya. “Pergi, Jane. Atau akan menyesal seumur hidup jika kau masih tetap di sini.” Jane yang hendak membalas langsung terdiam dengan perkataan laki-laki itu. Mau tak mau dengan ancaman itu, Jane meninggalkan ruangan Fluke dengan amarah dan pertanyaan yang kini bersarang di kepalanya. Hari perayaan kampus telah tiba. Semua