Weekend telah tiba. Seperti rencana yang sudah dibuat beberapa hari yang lalu, Lyana dan yang lainnya akan menghabiskan harinya di rumah Ardhan. Setelah selesai mengepang rambut dan memakai sepatu kets, Lyana mengambil tas selempang kecilnya yang berwarna hitam yang hanya muat untuk diisikan dompet dan ponsel. Setelah sudah siap, Lyana keluar dari kamarnya.
***
Tiba di anak tangga terakhir, Lyana melihat adiknya sedang duduk santai sembari menonton tv dan memakan beberapa cemilan. Dyana tak sengaja melihat kakaknya yang sudah rapi. Memakai T-shirt putih dibalut dengan cardigan berwarna coral, sepatu kets berwarna putih yang sudah melekat di kakinya, memakai tas selempang berwarna hitam dan rambut yang selalu dikepang. Terkadang Dyana merasa insecure dengan kakaknya yang sangat cantik. Meskipun wajah kakaknya mirip dengannya, perlu Dyana akui bahwa kecantikan sang kakak mampu mengalahkannya.
"Kakak mau ke mana, pagi-pagi gini? Rapi banget."
Rapi? Benarkah pakaian yang Lyana kenakan terlalu rapi? Menurutnya ini sudah paling santai.
"Kakak mau ke rumah Kak Ardhan. Kamu mau ikut?"
"Rumah Kak Ardhan? Wah, boleh tuh. Udah lama banget aku nggak ke rumah Kak Ardhan. Lagipula aku nggak ngapa-ngapain. Kalau gitu aku ganti baju dulu ya, Kak?" Lyana mengangguk sembari tersenyum.
"Kakak tunggu di teras, ya?" Dyana mengangguk setuju, dan detik berikutnya ia berlari menuju kamarnya yang letaknya berdampingan dengan kamar sang kakak, sedangkan Lyana memilih menunggu di teras rumah sambil memesan taksi online.
***
Sesampainya di rumah Ardhan, Lyana membayar ongkos taksi online ditumpanginya bersama Dyana, kemudian menggandeng tangan sang adik masuk ke dalam rumah Ardhan. Lyana datang agak telat dari jam yang telah ditentukan, karena ia mampir ke supermarket terlebih dahulu untuk membeli beberapa jenis cemilan dan bahan-bahan untuk membuat Falscher Hase bersama dengan Bu Listy—Ibu Ardhan.
***
Sesampainya di ruang tengah, Lyana melihat sudah ramai dan sepertinya benar dugaannya, bahwa ia terlambat.
"Hai, sorry gue terlambat," sapa Lyana sekaligus meminta maaf karena terlambat datang.
"Nggak apa-apa, Ly. Santai aja." Lyana meletakkan sebuah kantong besar yang berisi cemilan di atas meja, kemudian ia mengajak Dyana untuk duduk di sofa yang masih kosong.
"Ly, lo kenapa nggak pernah cerita sih, kalau lo punya kembaran?" tanya Christy terkejut sambil menatap ke arah Dyana. Yang ditatap malah tersenyum malu.
"Iya Ly, cantik banget kembaran lo," tambah Argha. Sedangkan Arsha hanya diam sembari menatap Lyana dan Dyana bergantian. Keduanya sangat mirip dan cantik, namun Lyana lebih cantik dari Dyana, menurut Arsha.
"Kakak cantik dan Kakak ganteng, aku bukan kembaran Kak Lyana, tapi aku adik satu-satunya Kak Lyana," ucap Dyana mengklarifikasikan agar tidak terjadi kesalah pahaman.
"Stelle dich vor," titah Lyana sembari tersenyum. ("Perkenalkan dirimu")
"Perkenalkan, namaku Dyana. Aku kelas sepuluh, sekolah di SMA Bakti Mulia, dan aku bukan kembarannya Kak Lyana," ucap Dyana diakhiri kekehan kecil.
"Apa buktinya kalau lo bukan kembaran Lyana?" tanya Argha yang masih tak percaya.
"Eh kampret! Dyana itu benar, umur Lyana dan Dyana selisih dua tahun. Wajah mereka memang mirip, tapi bukan berarti mereka kembar." Kini giliran Chania yang bersuara. Argha langsung diam setelahnya.
"Dek, kenalin. Yang di sebelah Kak Chan namanya Kak Arsha, yang di sebelah Kak Arsha namanya Kak Argha, te―"
"Oh, jadi kakak ganteng yang nggak percaya kalau aku adiknya Kak Lyana ini namanya Kak Argha. Hai Kak, salam kenal." potong Dyana cepat. Lyana menghela napas pelan.
"Dyana," panggil Lyana lembut. Sebenarnya bukan sekadar panggilan, tetapi sebuah peringatan lembut untuk Dyana karena sudah memotong ucapan Lyana, dan itu tidak sopan. Dyana yang menyadarinya langsung menunjukkan deretan gigi putihnya.
"Eh iya Kak, maaf." Lyana tersenyum, dan Arsha ikut tersenyum saat Lyana tersenyum.
"Karakter kalian sepertinya bertolak-belakang," ucap Argha menebak-nebak.
"Betul sekali! Karakter mereka berbeda tiga ratus enam puluh derajat, nggak pakai celcius." Lyana, Alisa, Dyana, dan Argha tertawa mendengarnya. Sedangkan Christy kebingungan, dan Arsha masih fokus menatap Lyana diam-diam.
"Memang kenapa, kalau pakai celcius?" Chania melongo mendengar pertanyaan dari Christy.
"Gue cuma bercanda." Chania mulai geram dengam Christy yang terkadang polos.
"Sifat dan karakter Dyana hampir sama dengan Chania, makanya kalau mereka disatukan akan berisik," jelas Alisa sembari terkekeh.
"Guys, ini minumannya. Sorry telat," ucap Ardhan sembari menaruh nampan berukuran besae yang berisi delapan gelas lemon tea dan beberapa cemilan.
"Kak Ardhan."
"Dyana." Dyana menghampiri Ardhan dan memeluknya. Ardhan membalas pelukannya. Wajar saja, mereka baru bertemu setelah dua tahun berpisah.
Dyana sudah menganggap Ardhan seperti kakaknya, begitupun dengan Ardhan yang menganggap Dyana seperti adik sendiri, terlebih Ardhan adalah anak tunggal, dan ia sangat menginginkan seorang adik perempuan, tetapi rahim ibunya sudah diangkat karena ada kanker yang bersarang di sana dan menyebabkan Ibu Listy tidak bisa hamil lagi.
"Kak Ardhan, aku kangen banget sama Kakak," ucap Dyana melepas pelukan Ardhan.
"Sama, Kakak juga. Kamu apa kabar?"
"Baik banget. Apalagi pas ketemu sama Kak Ghaga, dia asyik banget orangnya." Ardhan menyernyit.
"Kak Ghaga siapa?" tanya Ardhan bingung.
"Itu lho, yang di sebelah Kak Arsha." Ardhan menoleh ke orang yang duduk di sebelah Arsha. Ternyata Ghaga yang dimaksud Dyana adalah Argha. Ardhan tidak bisa untuk menahan ketawanya. Sedangkan Argha membelalakkan kedua matanya, kemudian bersuara.
"Nama gue bagus, lho. Kenapa malah lo panggil Ghaga?" protes Argha tak terima.
"Suka-suka aku."
"Ghaga bukannya nama burung, ya?" tanya Christy yang terlalu polos.
"ITU GAGAK!" sewot Argha. Lyana, Alisa, Chania, Dyana, dan Ardhan tertawa, sedangkan Arsha diam saja, masih memperhatikan Lyana yang sedang tertawa. Terkadang, Arsha ikut tersenyum saat melihat Lyana tertawa.
"Kenapa nggak sekalian kamu panggil Lady Ghaga aja?" tanya Chania jahil.
"That's good idea." Argha hanya bisa melongo mendengarnya.
"Astaghfirullah, kasihanilah orang tua gue yang memberi gue nama yang bagus, tapi diganti dengan seenak jidatnya sama orang yang tak dikenal." Lyana, Alisa, Chania, Christy, Ardhan, dan Dyana tertawa terbahak-bahak.
Tiba-tiba Lyana teringat satu hal.
"Dhan, Tante Listy ada?" tanya Lyana pelan. Ardhan menoleh, kemudian mengangguk.
"Ada, di kamarnya. Lo mau ketemu?" kini giliran Lyana yang mengangguk.
"Ke dalam aja." Lyana menggelengkan kepala cepat.
"Nggak deh." Rasanya sangat tidak sopan jika ia langsung masuk ke dalam sendirian, meskipun ia sudah belasan tahun mengenal Ardhan dan keluarganya.
"Lho, kenapa? Mama biasanya jam segini nggak ngapa-ngapain, paling cuma main laptop."
"Nggak ah, nggak sopan."
"Astaga Lyan, jadi selama ini lo masuk ke kamar gue itu sopan? Lagipula, kita bukan baru kenal seminggu-dua Minggu, tapi kita udah kenal belasan tahun. Dan, di kamar Mama nggak ada harimau kok, jadi aman," ucap Ardhan meyakinkan. Ia sangat heran dengan sahabatnya ini. Meski sudah belasan tahun bersama, tetap saja Lyana selalu tidak mau jika masuk ke dalam rumah Ardhan selain ke ruang tamu, jika tidak ditemani oleh pemilik rumah.
Lyana menghela napas, kemudian menoleh ke sebelahnya yang terdapat sang adik sedang tertawa.
"Dek, ke kamar Tante Listy, yuk?" ajak Lyana. Dyana menghentikan tawanya dan menoleh ke sang kakak.
"Ngapain, Kak?" Lyana menunjukkan kantong berukuran sedang yang sedari tadi masih dalam genggamannya.
"Ngasih ini."
"Ayo, aku juga udah kangen banget sama Tante Listy. Sini Kak, aku aja yang bawa kantongnya." Dyana mengambil alih kantong yang dipegang Lyana, kemudian ia berdiri.
"Guys, gue ke Tante Listy dulu, ya?" yang lainnya mengangguk sebagai jawaban.
"Kakak-kakak yang cantik dan ganteng, aku sama Kak Lyana ke dalam dulu, ya. Jangan kangen." Lyana terkekeh mendengarnya, begitupun dengan Alisa, dan yang lain.
Mata Arsha seakan tak mau lepas dari Lyana, bahkan hingga Lyana sudah tidak terlihat pun pandangannya masih tertuju pada Lyana, seolah tak mau beraloh menatap yang lain.
***
Tiba di depan kamar Ibu Listy, Lyana mengetuk pintu kamar yang ada di hadapannya. Saat si empunya kamar menyahut, Lyana dan Dyana memundurkan langkahnya dua langkah, dan selang beberapa detik, pintu kamar terbuka dan menampilkan sosok wanita paruh baya yang memakai baju setelan berwarna merah maroon. Sangat cocok dengan warna kulitnya yang berwarna putih tersebut.
"Hai Tante," sapa Lyana dan Dyana sembari menyunggingkan senyuman.
"Lyana, Dyana, kalian apa kabar?" tanya Ibu Listy sambil merentangkan tangannya memberi kode agar Lyana dan Dyana memeluknya.
"Baik Tante. Tante sendiri gimana?" tanya Lyana balik sembari melepaskan pelukannya.
"Seperti yang kalian lihat. Oh ya, mama-papa kalian apa kabar?"
"Sehat kok, Tante."
"Syukurlah kalau begitu."
"Kalian ke sini naik apa? Bawa mobil? Kok Ardhan nggak kasih tau Tante, kalau kalian mau datang?" Lyana menggeleng cepat.
"Kita ke sini naik taksi, Tante. Mungkin Ardhan lupa kasih tau Tante kalau kita mau datang."
"Iya mungkin, ya."
"Oh ya, Tante lagi sibuk, nggak?" tanya Dyana membuka suara.
"Nggak kok, hari ini Tante free."
"Kalau gitu Tante mau nggak buat Falscher hase bareng aku dan kakak? Aku sama kakak kangen banget sama Falcsher hase buatan Tante. Kita juga udah beli bahan-bahannya, lho." ucap Dyana sambil menunjukkan bungkus plastik yang dipegangnya. Ibu Listy tersenyum.
"Seharusnya kalian nggak usah beli bahan-bahannya, karena Tante masih punya stok di dapur."
"Nggak apa-apa Tante, lagipula kita mau buat banyak,"
"Ya udah terserah kamu aja. Yuk, kita cus ke dapur." Ibu Listy merangkul kakak-beradik ini menuju dapur.
***
Selesai membuat Falscher hase di dapur bersama Ibu Listy, Lyana dan Dyana berjalan menuju halaman belakang rumah Ardhan. Sebelumnya Ardhan sudah mengirimi Lyana pesan, memberitahunya bahwa Ardhan dan yang lain pindah ke halaman belakang rumah Ardhan dan meminta Lyana dan Dyana jika sudah selesai memasak bersama ibunya, segera menyusul ke halaman belakang rumahnya.
"Halo kakak-kakak yang cantik dan ganteng, Dyana dan kakak kembali lagi dengan membawakan sesuatu yang membuat perut kenyang," sapa Dyana saat memasuki halaman belakang rumah Ardhan.
Dyana meletakkan nampan yang berisikan wadah yang sudah terisi penuh oleh Falscher hase, dan delapan buah piring kecil. Sedangkan Lyana meletakkan nampan yang berisikan air putih biasa dengan delapan gelas di atas meja.
Tatapan Arsha masih tertuju pada Lyana, bahkan hingga Lyana memberikan sepiring kecil Falscher hase pun, tatapan Arsha masih enggan beralih pada Lyana.
Arsha memutuskan untuk berhenti menatap Lyana sebentar, dan memilih untuk makan Falscher hase yang diberikan Lyana barusan.
Lyana baru saja tiba di kelas, tiba-tiba dikejutkan oleh sesuatu yang membuatnya tertawa. Ia melihat Christy berpenampilan agak berbeda dari sebelumnya. Rambut diikat dua, dan memakai kacamata bulat. Sangatlah lucu, bagi Lyana. "Style baru, Ty?" tanya Lyana sengaja. "Style dari mana? Ini tuh gara-gara Chania," jawab Christy cemberut. "Tapi lo terlihat tambah cantik Ty, kalau kayak gitu," tambah Chania di sela-sela ketawanya. "Udah-udah, kasihan Christy," bela Lyana. Christy membuka kacamata yang dipakaikan Chania tadi, lalu membuka ikat rambutnya dan merapihkannya lagi. "Guys, gimana kalau kita main ToD?" tanya Alisa memberi usul. "Boleh juga tuh, udah lama gue nggak main ToD." sahut Chania setuju. "Lo gimana Ly, Ty? Mau ikut kan?" tanya Alisa. Lyana dan Christy mengangguk. "Oke, dimulai dari Chania, setelah itu gue, lalu Lyana, dan seterusnya. Oke, sekarang giliran Chania. Truth or Dare?" tanya Alisa.
Sedari tadi, Lyana belum juga memejamkan matanya. Lyana terus memikirkan kesepakatan yang dibuatnya bersama Ardhan. Ia bimbang. Di satu sisi, Lyana menyepakati kesepakatan yang ia buat bersama Ardhan, tetapi di sisi lain Lyana juga takut jika suatu hari Lyana melanggar kesepakatan tersebut. Apa yang harus Lyana lakukan?Lyana mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang, mencoba mendatangkan kantuknya, tetapi hasilnya nihil. Matanya terpejam, tapi hati dan pikirannya tidak mendukung. Bagaimana caranya agar kantuknya datang dan rasa bimbangnya pergi?Lyana membuka matanya dan bangun dari posisi tidurannya menjadi duduk di tepi tempat tidurnya. Ia mendongak. Sudah pukul sebelas leeat tiga menit malam. Biasanya saat ini Lyana sedang mimpi indah, tetapi malam ini berbeda.Tiba-tiha tenggorokan Lyana terasa kering. Ia menoleh ke arah nakas dan melihat gelas yang kosong. Lyana bahkan lupa untuk mengisi gelasny
Tiga hari telah berlalu, namun Lyana masih saja memikirkan kesepakatan yang ia buat bersama Ardhan. Pikiran tersebut seolah tak mau enyah dari kepala Lyana.Lyana tengah duduk di bangku kantin sembari mengaduk-ngaduk nasi goreng yang ia pesan beberapa menit yang lalu."LY!" panggil Chania untuk kesekian kalinya. Lyana menoleh tanpa terkejut sedikit pun."Lo masih mikirin yang kemarin?" panya Alisa sembari mendudukkan bokongnya di bangku sebelah Lyana."Gue kepikiran terus.""Berarti benar, lo tuh suka sama Ardhan," sahut Chania yakin."Entahlah, gue bingung." Lyana masih saja mengaduk-ngaduk nasi gorengnya, selera makannya mendadak hilang begitu saja."Kenapa nasi gorengnya cuma diaduk-aduk? Kenapa nggak dimakan?" tanya Christy sambil memperhatikan tangan Lyana yang masih sibuk mengaduk-ngaduk nasi goreng.
"MAMPUS, GUE KESIANGAN! KAK, BANGUN KAK. KITA KESIANGAN, KAK," teriak Dyana saat terbangun dari tidurnya. Lyana tersentak mendengar teriakan Dyana yang menggelegar. Lyana melihat jam dinding, sudah pukul enam pagi. Seharusnya saat ini Lyana dan Dyana tengah sarapan, tapi hari ini berbeda. Mereka kesiangan akibat menonton film terbaru di laptop Lyana, dan jadilah Lyana tertidur di kamar Dyana dan mereka pun baru tidur pada pukul tiga dini hari."Kakak udah bilang semalam, kalau mau nonton tuh, weekend aja. Lihat apa yang terjadi? Kita kesiangan, kan? Andai mama dan papa tau, mereka pasti marah," sahut Lyana sambil merapihkan tempat tidur."Duh Kakak, nanti aja deh ceramahnya. Aku mau mandi dulu. Lebih baik sekarang Kakak mandi juga, nanti telat," ucap Dyana sambil berlari menuju kamar mandi. Lyana hanya menggelengkan kepalanya. Setelah Dyana masuk ke kamar mandi, Lyana kembali ke kamarnya untuk mandi, tak lupa ia menutup pintu kamar adi
Lyana berjalan menyusuri trotoar menuju sekolahnya dengan semangat. Sesekali ia tersenyum ramah saat ada yang menyapanya.Saat tiba di gerbang sekolah, Lyana bertemu dengan Argha dan Arsha yang sedang berjalan dengan Argha yang merangkul bahu Arsha."Pagi, Lyan," sapa Argha sambil terkekeh pelan. Lyana dan Arsha ikut terkekeh."Pagi juga Kak Ghaga," balas Lyana menirukan adiknya waktu itu. Argha membelalakkan matanya, sedangkan Arsha hanya diam, bingung."Kenapa lo jadi ngikutin Dyana, sih?" tanya Argha tak terima jika namanya diubah."Lo juga kenapa jadi ngikutin Ardhan, sih?" tanya balik Lyana yang menirukan Argha barusan."Suka-suka gue lah," sahut Argha sengit. Sedangkan Lyana dan Arsha terkekeh."Baru datang, Ly?" tanya Arsha."Iya. Kalau kalian? Kenapa lo dirangkul sama Argha?" tanya balik Lyana.
Saat tiba di kantin, Lyana, Alisa, Chania dan Christy disambut oleh aroma nasi goreng yang sangat harum. Membuat para cacing yang berada di perut mereka bertambah meronta-ronta meminta jatah.Seperti biasa, Lyana, Alisa, Chania dan Christy langsung duduk di bangku paling pojok dekat jendela. Tanpa membuang waktu, Chania langsung memanggil ibu pemilik kedai nasi goreng yang aroma nasi gorengnya menyebar ke setiap penjuru kantin.Chania memesan empat porsi nasi goreng, dua porsi tidak memakai timun―untuknya dan Lyana―dan dua porsi lagi tidak memakai kerupuk―untuk Alisa dan Christy.Setelah menunggu kurang dari sepuluh menit, empat porsi nasi goreng sudah tersaji di meja paling pojok dekat jendela. Lyana, Alisa, Chania dan Christy mulai menyantap nasi gorengnya dengan lahap."Gila ya nih, nasi goreng. Semakin lama tambah enak aja. Kalau nanti lulus, makanan yang paling gue rindukan di
"Akhirnya sampai juga," ucap seorang gadis sambil memancarkan senyumnya begitu ia tiba di bandara. Senyuman itu seperti jarang diperlihatkan sejak ia tinggal di Jerman selama dua tahun lamanya. Dan kini, senyuman itu terlukis kembali di wajah cantiknya. Kerinduannya terhadap Indonesia sangatlah besar, meski Indonesia bukanlah tanah kelahirannya. "Jadi nggak sabar deh, lihat ekspresi Alisa dan Chania saat tau kalo Lyana udah pulang dari Jerman," ucapnya lagi kepada ayah dan ibunya. "Kak Ardhan gimana, Kak?" goda sang adik. Kali ini, gadis yang tersenyum merkah tadi hanya bisa menahan senyumnya, ia menjadi salah tingkah. Tak heran jika ayah dan ibunya ikut terkekeh pelan. "Apa sih, Dek." "Sudah-sudah. Lebih baik kalian berdua pulang. Papa sudah pesankan kalian taksi online, dan sebentar lagi mungkin taksinya akan tiba. Maaf Papa dan Mama tidak bisa ikut pulang b
Saat ini Lyana sedang mengikat tali sepatunya. Setelah kedua tali sepatunya sudah terikat dengan kencang, Lyana memasukkan ponselnya ke dalam saku roknya. Setelah itu, ia mengambil tasnya yang ia letakkan di atas kasur. Saat Lyana sedang menggendong tasnya, pintu kamarnya yang setengah terbuka diketuk oleh ibunya. Lyana menoleh ke arah pintu. "Sayang, kamu sudah siap?" tanya Bu Ryana yang memunculkan kepalanya dari balik pintu kamar Lyana. "Udah kok, Ma," jawab Lyana sembari berjalan menghampiri sang ibu. "Kalau begitu kita sarapan, yuk? Papa dan Dyana sudah menunggu di bawah," ajak Bu Ryana sembari tersenyum. "Ayo Ma." Lyana menutup pintu kamarnya. Kemudian, Bu Ryana dan Lyana menuruni anak tangga beriringan. "Pagi Pa, pagi Dek," sapa Lyana begitu tiba di ruang makan. "Pagi Sayang," balas Pak Andra. "Pagi Kak," balas
Saat tiba di kantin, Lyana, Alisa, Chania dan Christy disambut oleh aroma nasi goreng yang sangat harum. Membuat para cacing yang berada di perut mereka bertambah meronta-ronta meminta jatah.Seperti biasa, Lyana, Alisa, Chania dan Christy langsung duduk di bangku paling pojok dekat jendela. Tanpa membuang waktu, Chania langsung memanggil ibu pemilik kedai nasi goreng yang aroma nasi gorengnya menyebar ke setiap penjuru kantin.Chania memesan empat porsi nasi goreng, dua porsi tidak memakai timun―untuknya dan Lyana―dan dua porsi lagi tidak memakai kerupuk―untuk Alisa dan Christy.Setelah menunggu kurang dari sepuluh menit, empat porsi nasi goreng sudah tersaji di meja paling pojok dekat jendela. Lyana, Alisa, Chania dan Christy mulai menyantap nasi gorengnya dengan lahap."Gila ya nih, nasi goreng. Semakin lama tambah enak aja. Kalau nanti lulus, makanan yang paling gue rindukan di
Lyana berjalan menyusuri trotoar menuju sekolahnya dengan semangat. Sesekali ia tersenyum ramah saat ada yang menyapanya.Saat tiba di gerbang sekolah, Lyana bertemu dengan Argha dan Arsha yang sedang berjalan dengan Argha yang merangkul bahu Arsha."Pagi, Lyan," sapa Argha sambil terkekeh pelan. Lyana dan Arsha ikut terkekeh."Pagi juga Kak Ghaga," balas Lyana menirukan adiknya waktu itu. Argha membelalakkan matanya, sedangkan Arsha hanya diam, bingung."Kenapa lo jadi ngikutin Dyana, sih?" tanya Argha tak terima jika namanya diubah."Lo juga kenapa jadi ngikutin Ardhan, sih?" tanya balik Lyana yang menirukan Argha barusan."Suka-suka gue lah," sahut Argha sengit. Sedangkan Lyana dan Arsha terkekeh."Baru datang, Ly?" tanya Arsha."Iya. Kalau kalian? Kenapa lo dirangkul sama Argha?" tanya balik Lyana.
"MAMPUS, GUE KESIANGAN! KAK, BANGUN KAK. KITA KESIANGAN, KAK," teriak Dyana saat terbangun dari tidurnya. Lyana tersentak mendengar teriakan Dyana yang menggelegar. Lyana melihat jam dinding, sudah pukul enam pagi. Seharusnya saat ini Lyana dan Dyana tengah sarapan, tapi hari ini berbeda. Mereka kesiangan akibat menonton film terbaru di laptop Lyana, dan jadilah Lyana tertidur di kamar Dyana dan mereka pun baru tidur pada pukul tiga dini hari."Kakak udah bilang semalam, kalau mau nonton tuh, weekend aja. Lihat apa yang terjadi? Kita kesiangan, kan? Andai mama dan papa tau, mereka pasti marah," sahut Lyana sambil merapihkan tempat tidur."Duh Kakak, nanti aja deh ceramahnya. Aku mau mandi dulu. Lebih baik sekarang Kakak mandi juga, nanti telat," ucap Dyana sambil berlari menuju kamar mandi. Lyana hanya menggelengkan kepalanya. Setelah Dyana masuk ke kamar mandi, Lyana kembali ke kamarnya untuk mandi, tak lupa ia menutup pintu kamar adi
Tiga hari telah berlalu, namun Lyana masih saja memikirkan kesepakatan yang ia buat bersama Ardhan. Pikiran tersebut seolah tak mau enyah dari kepala Lyana.Lyana tengah duduk di bangku kantin sembari mengaduk-ngaduk nasi goreng yang ia pesan beberapa menit yang lalu."LY!" panggil Chania untuk kesekian kalinya. Lyana menoleh tanpa terkejut sedikit pun."Lo masih mikirin yang kemarin?" panya Alisa sembari mendudukkan bokongnya di bangku sebelah Lyana."Gue kepikiran terus.""Berarti benar, lo tuh suka sama Ardhan," sahut Chania yakin."Entahlah, gue bingung." Lyana masih saja mengaduk-ngaduk nasi gorengnya, selera makannya mendadak hilang begitu saja."Kenapa nasi gorengnya cuma diaduk-aduk? Kenapa nggak dimakan?" tanya Christy sambil memperhatikan tangan Lyana yang masih sibuk mengaduk-ngaduk nasi goreng.
Sedari tadi, Lyana belum juga memejamkan matanya. Lyana terus memikirkan kesepakatan yang dibuatnya bersama Ardhan. Ia bimbang. Di satu sisi, Lyana menyepakati kesepakatan yang ia buat bersama Ardhan, tetapi di sisi lain Lyana juga takut jika suatu hari Lyana melanggar kesepakatan tersebut. Apa yang harus Lyana lakukan?Lyana mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang, mencoba mendatangkan kantuknya, tetapi hasilnya nihil. Matanya terpejam, tapi hati dan pikirannya tidak mendukung. Bagaimana caranya agar kantuknya datang dan rasa bimbangnya pergi?Lyana membuka matanya dan bangun dari posisi tidurannya menjadi duduk di tepi tempat tidurnya. Ia mendongak. Sudah pukul sebelas leeat tiga menit malam. Biasanya saat ini Lyana sedang mimpi indah, tetapi malam ini berbeda.Tiba-tiha tenggorokan Lyana terasa kering. Ia menoleh ke arah nakas dan melihat gelas yang kosong. Lyana bahkan lupa untuk mengisi gelasny
Lyana baru saja tiba di kelas, tiba-tiba dikejutkan oleh sesuatu yang membuatnya tertawa. Ia melihat Christy berpenampilan agak berbeda dari sebelumnya. Rambut diikat dua, dan memakai kacamata bulat. Sangatlah lucu, bagi Lyana. "Style baru, Ty?" tanya Lyana sengaja. "Style dari mana? Ini tuh gara-gara Chania," jawab Christy cemberut. "Tapi lo terlihat tambah cantik Ty, kalau kayak gitu," tambah Chania di sela-sela ketawanya. "Udah-udah, kasihan Christy," bela Lyana. Christy membuka kacamata yang dipakaikan Chania tadi, lalu membuka ikat rambutnya dan merapihkannya lagi. "Guys, gimana kalau kita main ToD?" tanya Alisa memberi usul. "Boleh juga tuh, udah lama gue nggak main ToD." sahut Chania setuju. "Lo gimana Ly, Ty? Mau ikut kan?" tanya Alisa. Lyana dan Christy mengangguk. "Oke, dimulai dari Chania, setelah itu gue, lalu Lyana, dan seterusnya. Oke, sekarang giliran Chania. Truth or Dare?" tanya Alisa.
Weekend telah tiba. Seperti rencana yang sudah dibuat beberapa hari yang lalu, Lyana dan yang lainnya akan menghabiskan harinya di rumah Ardhan. Setelah selesai mengepang rambut dan memakai sepatu kets, Lyana mengambil tas selempang kecilnya yang berwarna hitam yang hanya muat untuk diisikan dompet dan ponsel. Setelah sudah siap, Lyana keluar dari kamarnya.***Tiba di anak tangga terakhir, Lyana melihat adiknya sedang duduk santai sembari menonton tv dan memakan beberapa cemilan. Dyana tak sengaja melihat kakaknya yang sudah rapi. Memakai T-shirt putih dibalut dengan cardigan berwarna coral, sepatu kets berwarna putih yang sudah melekat di kakinya, memakai tas selempang berwarna hitam dan rambut yang selalu dikepang. Terkadang Dyana merasa insecure dengan kakaknya yang sangat cantik. Meskipun wajah kakaknya mirip dengannya, perlu Dyana akui bahwa kecantikan sang kakak mampu mengalahkannya."Kakak mau ke mana, pagi-pagi gini? Ra
Sesampainya Lyana di sekolah, tidak sedikit murid seangkatannya yang menatapnya dengan berbagai tatapan. Merasa risih akan tatapan tersebut, Lyana mempercepat langkahnya menuju kelas.Hari ini Lyana berangkat sendiri, karena Ardhan harus mengantar Alia sekolah. Lyana memakluminya, karena Alia adalah kekasih Ardhan dan Lyana tidak mau merusak hubungan keduanya.Tibanya Lyana di kelas langsung disambut baik oleh ketiga sahabatnya. Seperti biasa, jika sudah mengerjakan tugas, Chania dan Christy akan bergabung di meja Lyana untuk mengobrol santai sembari menunggu bel masuk berbunyi."Ly, lo nggak risih memangnya ditatap kayak gitu?" tanya Christy memulai pembicaraan."Risih, tapi mau gimana lagi. Nggak mungkin kan, gue colok mata mereka satu per satu supaya mereka berhentu natap gue?" jawab Lyana yang diakhiri kekehan kecil."Maklum aja, guys. Mereka tuh baru lihat bidada
Bel masuk sudah berbunyi, bertanda bahwa waktu istirahat telah selesai. Seharusnya seluruh murid SMA Jayakarta masuk ke kelas untuk memulai pelajaran berikutnya. Namun sesuai dengan perubahan, jam pelajaran setelah istirahat akan dipakai untuk rapat oleh semua guru SMA Jayakarta. Jadi, seluruh kelas baik kelas sepuluh hingga kelas dua belas freeclass.Di saat semua murid sudah kembali ke kelasnya karena sudah mengisi perutnya di kantin, kini giliran Lyana, Alisa, Chania, dan Christy yang berjalan ke kantin untuk mengisi perut mereka.Lyana, Alisa, Chania, dan Christy berjalan di koridor kelas sebelas. Tak sedikit dari murid kelas sebelas menatap Lyana dengan berbagai tatapan. Ada yang terpesona dengannya, ada pula yang iri dengannya."Mereka kenapa sih, ngelihat gue kayak gitu banget?" tanya Lyana yang mulai risih yang ditatap seperti itu."Biasalah, mereka baru ketemu bidadari da