Saat ini Lyana sedang mengikat tali sepatunya. Setelah kedua tali sepatunya sudah terikat dengan kencang, Lyana memasukkan ponselnya ke dalam saku roknya. Setelah itu, ia mengambil tasnya yang ia letakkan di atas kasur. Saat Lyana sedang menggendong tasnya, pintu kamarnya yang setengah terbuka diketuk oleh ibunya. Lyana menoleh ke arah pintu.
"Sayang, kamu sudah siap?" tanya Bu Ryana yang memunculkan kepalanya dari balik pintu kamar Lyana.
"Udah kok, Ma," jawab Lyana sembari berjalan menghampiri sang ibu.
"Kalau begitu kita sarapan, yuk? Papa dan Dyana sudah menunggu di bawah," ajak Bu Ryana sembari tersenyum.
"Ayo Ma." Lyana menutup pintu kamarnya. Kemudian, Bu Ryana dan Lyana menuruni anak tangga beriringan.
"Pagi Pa, pagi Dek," sapa Lyana begitu tiba di ruang makan.
"Pagi Sayang," balas Pak Andra.
"Pagi Kak," balas Dyana.
"Sekarang kan sudah lengkap, ayo kita sarapan," suruh Bu Ryana.
"Lyana, hari ini kamu diantar oleh Pak Didit ya? Papa harus mengantar dan mengurus berkas-berkas perpindahan sekolah Dyana yang masih belum selesai. Kamu tidak apa-apa kan, jika diantar oleh Pak Didit?" tanya Pak Andra di sela-sela makannya. Lyana mendongak dan mengangguk pelan.
"Nggak apa-apa kok, Pa," jawab Lyana yang masih menyunyah roti yang ada di dalam mulutnya sembari tersenyum.
"Ya udah, kalo gitu Lyana berangkat ya, Ma, Pa, Dek," pamit Lyana setelah meneguk setengah gelas susu yang sempat dibuatkan oleh Bu Ryana.
"Iya Sayang, kamu jangan sembarangan jajannya, ya?" pesan Bu Ryana yang diangguki oleh Lyana.
"Oke Ma."
"Hati-hati di jalan ya, Sayang? Maaf Papa tidak bisa antar kamu. Oh ya, Papa hampir lupa. Jangan lupa kamu cari ruang TU saat tiba di sekolah." Kini giliran Pak Andra yang berpesan.
"Iya Pa, nggak apa-apa kok. Kalo gitu Lyana berangkat dulu, ya?" pamit Lyana lagi sambil mencium punggung tangan ayah dan ibunya bergantian kemudian mengelus kepala sang adik.
"Hati-hati Kak," ucap Dyana setengah berteriak dan hanya diacungi jempol sebagai balasan oleh Lyana.
****
Lyana telah tiba di depan sekolahnya. Ia menduga bahwa lima menit lagi bel masuk akan berbunyi. Maka dari itu, Lyana bergegas untuk membuka pintu mobil. Namun ketika ia ingin membuka pintu mobil, Pak Didit membuka suara.
"Non," panggil Pak Didit yang mampu menghentikan aktivitas Lyana.
"Iya Pak?"
"Nanti pulangnya mau dijemput atau bagaimana, Non?" tanya Pak Didit.
"Pak Didit nggak usah jemput Lyana. Nanti Lyana bisa naik angkot atau taksi online aja," tolak Lyana halus.
"Yang benar, Non?" tanya Pak Didit memastikan.
"Iya Pak, benar. Ya udah kalo gitu Lyana masuk dulu ya, Pak? Sebentar lagi bel," pamit Lyana kepada Pak Didit sembari membuka pintu mobil.
"Iya Non, semangat belajarnya ya? Jangan lupa cari ruang TU, Non."
"Oke Pak, siap." Lyana berlari masuk ke dalam gedung sekolahnya. Tiba di parkiran, Lyana mulai kebingungan dalam mencari letak ruang TU. Selain gedung sekolahnya yang sangat luas, murid di SMA Jayakarta cukup banyak, ditambah lagi Lyana sedikit telat datangnya.
Di depan Lyana terdapat tiga orang siswa laki-laki yang sedang duduk di atas motornya masing-masing sembari bercanda. Lyana mencoba untuk menghampirinya untuk bertanya letak ruang TU.
"Halo, gue mau nanya, boleh?" sapa Lyana sekaligus langsung bertanya. Ketiga laki-laki tadi hanya diam memandangi Lyana dari atas hingga bawah dengan mulut yang hampir terbuka sempurna. Mereka berdua terpesona oleh kecantikan Lyana. Padahal Lyana tidak memakai make up apapun, dan rambutnya hanya dikepang biasa.
"Halo, kok melamun?" tanya Lyana sambil mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah mereka berdua bergantian.
"E-eh iya, mau nanya apa?" jawab salah satu dari mereka bertiga kikuk.
"Gue mau nanya, ruang TU di sebelah mana, ya?" Tanya Lyana.
"Ru-ruang TU? Oh, lo lurus aja, nanti ada mading besar lo belok kanan," jawab salah satu dari mereka berdua memberitahu arah menuju ruang TU.
"Oke, terima kasih," balas Lyana sembari tersenyum kemudian melanjutkan langkahnya menuju ruang TU.
Ketiga siswa laki-laki tadi hanya bisa menatap punggung Lyana yang mulai menjauh dan hilang dari pandangan mereka. Mereka sangat terpesona dengan kecantikan Lyana. Baru kali ini mereka melihat ada gadis yang cantiknya natural tanpa make up apapun. Bisa dibilang penampilan Lyana sangatlah sederhana.
"Mimpi apa gue semalam, bisa ketemu bidadari secantik dia?" tanya Revan, salah satu di antara mereka bertiga.
"Mungkin semalam lo mimpi ketiban bulan, Van," jawab teman Revan yang bernama Argha.
"By the way, gue baru ketemu sama itu cewek. Anak baru kah, dia? Kelas berapa dia? Namanya siapa?" tanya Arsha—teman Revan dan Argha, setelah sekian lama menatap punggung Lyana, meski Lyana sudah tidak terlihat lagi dari pandangannya.
"Iya juga ya, sepertinya dia anak baru di sini." Belum saja Arsha menjawab lagi, bel masuk sudah berbunyi nyaring. Mereka bertiga harus segera masuk sebelum didahului oleh guru mata pelajaran pertama di kelas mereka.
****
Sepanjang perjalanan menuju ruang TU, tidak sedikit murid di sana menatap Lyana dengan berbagai tatapan. Bisa dibilang, Lyana menjadi pusat perhatian saat itu. Namun Lyana tidak mau ambil pusing, ia mempercepat langkahnya menuju ruang TU agar ia bisa cepat terlepas dari berbagai tatapan tersebut.
Lyana sudah tiba di depan ruang TU. Ia memberanikan dirinya untuk masuk, tidak lupa memberi salam terlebih dahulu. Di dalam ruang TU, terdapat seorang guru dengan sanggul kecilnya di belakang kepala dan kacamatanya sedang mencari sesuatu di laci nakas. Lyana memberanikan diri untuk menyapanya.
"Selamat pagi, Bu," sapa Lyana yang masih di ambang pintu. Guru yang sedang mencari sesuatu di laci nakas tersebut sontak menghentikan aktivitasnya dan menoleh ke sumber suara. Guru tersebut memperhatikan Lyana dari atas hingga bawah. Jika boleh jujur, Lyana sangat risih jika diperhatikan seperti itu.
"Selamat pagi kembali. Maaf, ada apa, ya? Tunggu, saya belum pernah melihat kamu sebelumnya, dan seragam kamu kenapa sama persis seperti seragam SMA Jayakarta?" tanya guru tersebut. Panggil saja Bu Vitha.
"Perkenalkan Bu, nama saya Lyana. Saya murid baru di sekolah ini," jawab Lyana sopan.
"Lyana? Murid baru di sekolah ini?" gumam Bu Vitha yang masih bisa di dengar oleh Lyana. Lyana mengangguk sopan sembari tersenyum.
"Oh iya, saya ingat. Kamu Danica Lyana Ararinda, kan? Anak baru di sekolah ini?" tanya Bu Vitha kembali setelah mengingat semuanya. Lyana lega akhirnya ia tidak perlu menjelaskan siapa dirinya sebenarnya, karena Bu Vitha sudah tau tentangnya.
"Iya Bu, saya Lyana, anak dari Pak Andra Leksmana."
"Sebelumnya perkenalkan, nama saya Vitha. Saya adalah wali kelas kamu. Dan karena bel masuk sudah berbunyi sedari tadi, mari ikut saya. Saya akan antar kamu ke kelas," ucap Bu Vitha sebelum berjalan meninggalkan ruang TU diikuti oleh Lyana di belakang.
****
Di lain tempat, tepatnya di kelas 12 IPS-5, terdapat tiga siswi yang sedang tertawa terbahak-bahak yang duduk di barisan dekat pintu masuk melihat teman sekelasnya yang bernama Revan yang diubah penampilannya oleh teman laki-lakinya menjadi penampilan geeky. Revan adalah teman Arsha dan Argha yang tadi berada di parkiran, sekaligus orang yang ditanyai tentang letak ruang TU oleh Lyana. Poninya dibelah menjadi dua, memakai kacamata bulat milik temannya, dan kerah leher seragamnya dikancingi tanpa memakai dasi. Sangat-sangat geeky. Itulah yang membuat ketiga siswi tersebut tertawa terbahak-bahak bahkan hingga mengeluarkan air mata.
"Gila ya si Revan, culun banget digituin. Aduh, sakit perut gue," ucap Chania—salah satu siswi dari ketiga siswi yang tertawa terbahak-bahak tersebut sambil memegangi perutnya.
"Jahat banget sih lo Chan, ngetawain gue sampe segitunya," aduh Revan.
"Gimana nggak ketawa, penampilan lo culun banget, Rev," sambung Christy, teman Chania—salah satu siswi dari ketiga siswi yang tertawa terbahak-bahak juga.
"Benar banget, lo tuh cocok banget Van, kayak gitu," ucap Alisa, teman Chania dan Christy sambil mengelap air matanya yang sempat keluar.
"Selamat pagi anak-anak," sapa Bu Vitha saat masuk ke dalam kelas.
Alisa, Chania, dan Christy belum juga berhenti tertawa meski Bu Vitha memasuki kelas. Selain suasana kelas yang berisik dan posisi Alisa, Chania, dan Christy yang membelakangi Bu Vitha, suara Bu Vitha juga terlalu kecil, sehingga sulit untuk di dengar oleh mereka bertiga.
"Perhatikan sebentar. Hari ini kalian akan mendapatkan teman baru di kelas ini. Silahkan masuk," ucap Bu Vitha kembali bersuara. Sepertinya Bu Vitha belum menyadari keberadaan Alisa, Chania, dan Christy yang sedang tertawa dengan posisi duduk yang membelakanginya, atau memang beliau sengaja membiarkan mereka bertiga tertawa sepuasnya sebelum pelajaran dimulai.
Lyana masuk ke dalam kelas atas perintah Bu Vitha. Saat Lyana masuk, tak sedikit siswa maupun siswi kelas 12 IPS-5 yang terpesona melihat Lyana. Lyana menghampiri Bu Vitha dan berdiri di sampingnya.
"Silahkan perkenalkan dirimu," suruh Bu Vitha.
"Selamat pagi." Tawa Alisa dan Chania berhenti begitu mendengar suara yang sangat familier.
"Suaranya kok familier ya, Sa?" tanya Chania kepada Alisa.
"Iya, gue juga kayak kenal sama suaranya," jawab Alisa.
"Perkenalkan, nama gue Lyana. Gue pindahan dari Jerman. Salam kenal semuanya," ucap Lyana memperkenalkan diri sembari tersenyum. Semua murid di kelas 12 IPS-5 kembali riuh saat melihat Lyana tersenyum. Berbeda dengan Alisa dan Chania. Mereka berdua langsung membelalakkan kedua mata mereka dan membalikkan tubuh mereka cepat saat mengetahui nama dari si pemilik suara.
Alisa dan Chania saling menatap untuk beberapa detik. Setelah itu mereka berdua sontak memanggil Lyana dengan suara lantang.
"LYANA." Suara Alisa dan Chania membuat seisi kelas 12 IPS-5 termasuk Lyana menoleh ke arah mereka dan menatapnya heran. Berbeda dengan Lyana yang menatap Alisa dan Chania terkejut, bahagia, dan tidak percaya. Detik berikutnya, Alisa dan Chania berdiri dan berlari menghampiri Lyana dan memeluknya erat.
"Akhirnya kita bisa satu sekolah dan sekelas lagi," ucap Chania senang.
"Kalian saling kenal?" Pertanyaan tersebut mampu membuat Lyana, Alisa, dan Chania melepaskan pelukannya dan menoleh ke sang wali kelas.
"Tentu. Lyana adalah sahabat kecil kami dari kelas satu SD, Bu," jawab Chania senang.
"Wahh, luar biasa. Cukup lama juga ya, usia persahabatan kalian. Usia anak saya saja belum sampai segitu," ucap Bu Vitha sembari terkekeh pelan.
"Maaf Bu, kami boleh duduk kan?" tanya Lyana hati-hati.
"Oh ya, silahkan. Kamu bebas mau duduk di mana saja, dan kebetulan ada beberapa kursi yang kosong."
"Terima kasih Bu." Lyana, Alisa, dan Chania berjalan menghampiri tempat duduk mereka masing-masing. Saat mereka bertiga ingin mendudukkan bokong mereka ke kursi, Bu Vitha kembali bersuara.
"Baiklah, sekarang kita lanjutkan pembelajaran minggu lalu," ucap Bu Vitha yang mampu membuat Alisa, Chania dan seisi kelas menatap Bu Vitha terkejut.
"Lho Bu, bukannya di jam pertama hari ini para guru rapat, ya?" bantah Chania.
"Rapatnya ditunda nanti siang setelah istirahat pertama. Silahkan kalian duduk dan keluarkan alat tulis kalian," suruh Bu Vitha. Chania hanya pasrah kemudian ia duduk di bangkunya dan mengeluarkan buku serta alat tulisnya.
****
Bel istirahat pertama telah berbunyi. Namun Lyana Alisa, Chania, dan Christy enggan untuk keluar kelas. Mereka akan menghabiskan waktu istirahat pertamanya untuk bertukar cerita.
Chania dan Christy memutar posisi bangku yang ada di depan Alisa dan Lyana menghadap ke arah mereka, kemudian duduk manis di sana.
"Gue masih nggak nyangka Ly, kita bisa sekelas lagi," ucap Alisa tersenyum senang.
"Iya gue juga. Om Andra memang terthe best deh, tau banget apa yang bisa buat kita bahagia," sambung Chania.
"Gue juga nggak nyangka akan satu sekolah, bahkan sekelas sama kalian. Gue senang banget."
"Oh iya Ly, kenalin ini Christy. Dia teman kita dari kelas sepuluh," ucap Chania memperkenalkan Christy kepada Lyana. "Ty, ini Lyana, sahabat kita yang selalu kita ceritain ke lo," lanjut Chania memperkenalkan Lyana kepada Christy.
"Halo, gue Christy," ucap Christy memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya. Lyana tersenyum dan menerima uluran tangan Christy.
"Salam kenal, gue Lyana. Lo bisa panggil gue Ly, atau Lya, tapi jangan Lyan," balas Lyana yang diakhiri kekehan kecil.
"Kenapa gue nggak boleh panggil lo Lyan?" tanya Christy kebingungan.
"Karena Lyan adalah panggilan kesayangan seseorang untuk Lyana," jawab Chania sambil merangkul bahu Christy.
"Chan, nggak usah dijelasin juga," protes Lyana. Chania terkekeh sambil melepas rangkulannya dari bahu Christy.
"Nggak apa-apa kali, Ly. Sekarang Christy udah jadi bagian dari kita."
"Tapi gue malu."
"Ly, pipi lo merah," aduh Alisa sambil memperhatikan pipi Lyana. Dengan cepat Lyana menutupi kedua pipinya menggunakan kedua tangannya.
"Alisa dipercaya." Chania tertawa lepas melihat ekspresi Lyana saat ini. Mereka menghabiskan waktu istirahat mereka hanya di kelas sembari bercerita dan bercanda.
Bel masuk sudah berbunyi, bertanda bahwa waktu istirahat telah selesai. Seharusnya seluruh murid SMA Jayakarta masuk ke kelas untuk memulai pelajaran berikutnya. Namun sesuai dengan perubahan, jam pelajaran setelah istirahat akan dipakai untuk rapat oleh semua guru SMA Jayakarta. Jadi, seluruh kelas baik kelas sepuluh hingga kelas dua belas freeclass.Di saat semua murid sudah kembali ke kelasnya karena sudah mengisi perutnya di kantin, kini giliran Lyana, Alisa, Chania, dan Christy yang berjalan ke kantin untuk mengisi perut mereka.Lyana, Alisa, Chania, dan Christy berjalan di koridor kelas sebelas. Tak sedikit dari murid kelas sebelas menatap Lyana dengan berbagai tatapan. Ada yang terpesona dengannya, ada pula yang iri dengannya."Mereka kenapa sih, ngelihat gue kayak gitu banget?" tanya Lyana yang mulai risih yang ditatap seperti itu."Biasalah, mereka baru ketemu bidadari da
Sesampainya Lyana di sekolah, tidak sedikit murid seangkatannya yang menatapnya dengan berbagai tatapan. Merasa risih akan tatapan tersebut, Lyana mempercepat langkahnya menuju kelas.Hari ini Lyana berangkat sendiri, karena Ardhan harus mengantar Alia sekolah. Lyana memakluminya, karena Alia adalah kekasih Ardhan dan Lyana tidak mau merusak hubungan keduanya.Tibanya Lyana di kelas langsung disambut baik oleh ketiga sahabatnya. Seperti biasa, jika sudah mengerjakan tugas, Chania dan Christy akan bergabung di meja Lyana untuk mengobrol santai sembari menunggu bel masuk berbunyi."Ly, lo nggak risih memangnya ditatap kayak gitu?" tanya Christy memulai pembicaraan."Risih, tapi mau gimana lagi. Nggak mungkin kan, gue colok mata mereka satu per satu supaya mereka berhentu natap gue?" jawab Lyana yang diakhiri kekehan kecil."Maklum aja, guys. Mereka tuh baru lihat bidada
Weekend telah tiba. Seperti rencana yang sudah dibuat beberapa hari yang lalu, Lyana dan yang lainnya akan menghabiskan harinya di rumah Ardhan. Setelah selesai mengepang rambut dan memakai sepatu kets, Lyana mengambil tas selempang kecilnya yang berwarna hitam yang hanya muat untuk diisikan dompet dan ponsel. Setelah sudah siap, Lyana keluar dari kamarnya.***Tiba di anak tangga terakhir, Lyana melihat adiknya sedang duduk santai sembari menonton tv dan memakan beberapa cemilan. Dyana tak sengaja melihat kakaknya yang sudah rapi. Memakai T-shirt putih dibalut dengan cardigan berwarna coral, sepatu kets berwarna putih yang sudah melekat di kakinya, memakai tas selempang berwarna hitam dan rambut yang selalu dikepang. Terkadang Dyana merasa insecure dengan kakaknya yang sangat cantik. Meskipun wajah kakaknya mirip dengannya, perlu Dyana akui bahwa kecantikan sang kakak mampu mengalahkannya."Kakak mau ke mana, pagi-pagi gini? Ra
Lyana baru saja tiba di kelas, tiba-tiba dikejutkan oleh sesuatu yang membuatnya tertawa. Ia melihat Christy berpenampilan agak berbeda dari sebelumnya. Rambut diikat dua, dan memakai kacamata bulat. Sangatlah lucu, bagi Lyana. "Style baru, Ty?" tanya Lyana sengaja. "Style dari mana? Ini tuh gara-gara Chania," jawab Christy cemberut. "Tapi lo terlihat tambah cantik Ty, kalau kayak gitu," tambah Chania di sela-sela ketawanya. "Udah-udah, kasihan Christy," bela Lyana. Christy membuka kacamata yang dipakaikan Chania tadi, lalu membuka ikat rambutnya dan merapihkannya lagi. "Guys, gimana kalau kita main ToD?" tanya Alisa memberi usul. "Boleh juga tuh, udah lama gue nggak main ToD." sahut Chania setuju. "Lo gimana Ly, Ty? Mau ikut kan?" tanya Alisa. Lyana dan Christy mengangguk. "Oke, dimulai dari Chania, setelah itu gue, lalu Lyana, dan seterusnya. Oke, sekarang giliran Chania. Truth or Dare?" tanya Alisa.
Sedari tadi, Lyana belum juga memejamkan matanya. Lyana terus memikirkan kesepakatan yang dibuatnya bersama Ardhan. Ia bimbang. Di satu sisi, Lyana menyepakati kesepakatan yang ia buat bersama Ardhan, tetapi di sisi lain Lyana juga takut jika suatu hari Lyana melanggar kesepakatan tersebut. Apa yang harus Lyana lakukan?Lyana mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang, mencoba mendatangkan kantuknya, tetapi hasilnya nihil. Matanya terpejam, tapi hati dan pikirannya tidak mendukung. Bagaimana caranya agar kantuknya datang dan rasa bimbangnya pergi?Lyana membuka matanya dan bangun dari posisi tidurannya menjadi duduk di tepi tempat tidurnya. Ia mendongak. Sudah pukul sebelas leeat tiga menit malam. Biasanya saat ini Lyana sedang mimpi indah, tetapi malam ini berbeda.Tiba-tiha tenggorokan Lyana terasa kering. Ia menoleh ke arah nakas dan melihat gelas yang kosong. Lyana bahkan lupa untuk mengisi gelasny
Tiga hari telah berlalu, namun Lyana masih saja memikirkan kesepakatan yang ia buat bersama Ardhan. Pikiran tersebut seolah tak mau enyah dari kepala Lyana.Lyana tengah duduk di bangku kantin sembari mengaduk-ngaduk nasi goreng yang ia pesan beberapa menit yang lalu."LY!" panggil Chania untuk kesekian kalinya. Lyana menoleh tanpa terkejut sedikit pun."Lo masih mikirin yang kemarin?" panya Alisa sembari mendudukkan bokongnya di bangku sebelah Lyana."Gue kepikiran terus.""Berarti benar, lo tuh suka sama Ardhan," sahut Chania yakin."Entahlah, gue bingung." Lyana masih saja mengaduk-ngaduk nasi gorengnya, selera makannya mendadak hilang begitu saja."Kenapa nasi gorengnya cuma diaduk-aduk? Kenapa nggak dimakan?" tanya Christy sambil memperhatikan tangan Lyana yang masih sibuk mengaduk-ngaduk nasi goreng.
"MAMPUS, GUE KESIANGAN! KAK, BANGUN KAK. KITA KESIANGAN, KAK," teriak Dyana saat terbangun dari tidurnya. Lyana tersentak mendengar teriakan Dyana yang menggelegar. Lyana melihat jam dinding, sudah pukul enam pagi. Seharusnya saat ini Lyana dan Dyana tengah sarapan, tapi hari ini berbeda. Mereka kesiangan akibat menonton film terbaru di laptop Lyana, dan jadilah Lyana tertidur di kamar Dyana dan mereka pun baru tidur pada pukul tiga dini hari."Kakak udah bilang semalam, kalau mau nonton tuh, weekend aja. Lihat apa yang terjadi? Kita kesiangan, kan? Andai mama dan papa tau, mereka pasti marah," sahut Lyana sambil merapihkan tempat tidur."Duh Kakak, nanti aja deh ceramahnya. Aku mau mandi dulu. Lebih baik sekarang Kakak mandi juga, nanti telat," ucap Dyana sambil berlari menuju kamar mandi. Lyana hanya menggelengkan kepalanya. Setelah Dyana masuk ke kamar mandi, Lyana kembali ke kamarnya untuk mandi, tak lupa ia menutup pintu kamar adi
Lyana berjalan menyusuri trotoar menuju sekolahnya dengan semangat. Sesekali ia tersenyum ramah saat ada yang menyapanya.Saat tiba di gerbang sekolah, Lyana bertemu dengan Argha dan Arsha yang sedang berjalan dengan Argha yang merangkul bahu Arsha."Pagi, Lyan," sapa Argha sambil terkekeh pelan. Lyana dan Arsha ikut terkekeh."Pagi juga Kak Ghaga," balas Lyana menirukan adiknya waktu itu. Argha membelalakkan matanya, sedangkan Arsha hanya diam, bingung."Kenapa lo jadi ngikutin Dyana, sih?" tanya Argha tak terima jika namanya diubah."Lo juga kenapa jadi ngikutin Ardhan, sih?" tanya balik Lyana yang menirukan Argha barusan."Suka-suka gue lah," sahut Argha sengit. Sedangkan Lyana dan Arsha terkekeh."Baru datang, Ly?" tanya Arsha."Iya. Kalau kalian? Kenapa lo dirangkul sama Argha?" tanya balik Lyana.
Saat tiba di kantin, Lyana, Alisa, Chania dan Christy disambut oleh aroma nasi goreng yang sangat harum. Membuat para cacing yang berada di perut mereka bertambah meronta-ronta meminta jatah.Seperti biasa, Lyana, Alisa, Chania dan Christy langsung duduk di bangku paling pojok dekat jendela. Tanpa membuang waktu, Chania langsung memanggil ibu pemilik kedai nasi goreng yang aroma nasi gorengnya menyebar ke setiap penjuru kantin.Chania memesan empat porsi nasi goreng, dua porsi tidak memakai timun―untuknya dan Lyana―dan dua porsi lagi tidak memakai kerupuk―untuk Alisa dan Christy.Setelah menunggu kurang dari sepuluh menit, empat porsi nasi goreng sudah tersaji di meja paling pojok dekat jendela. Lyana, Alisa, Chania dan Christy mulai menyantap nasi gorengnya dengan lahap."Gila ya nih, nasi goreng. Semakin lama tambah enak aja. Kalau nanti lulus, makanan yang paling gue rindukan di
Lyana berjalan menyusuri trotoar menuju sekolahnya dengan semangat. Sesekali ia tersenyum ramah saat ada yang menyapanya.Saat tiba di gerbang sekolah, Lyana bertemu dengan Argha dan Arsha yang sedang berjalan dengan Argha yang merangkul bahu Arsha."Pagi, Lyan," sapa Argha sambil terkekeh pelan. Lyana dan Arsha ikut terkekeh."Pagi juga Kak Ghaga," balas Lyana menirukan adiknya waktu itu. Argha membelalakkan matanya, sedangkan Arsha hanya diam, bingung."Kenapa lo jadi ngikutin Dyana, sih?" tanya Argha tak terima jika namanya diubah."Lo juga kenapa jadi ngikutin Ardhan, sih?" tanya balik Lyana yang menirukan Argha barusan."Suka-suka gue lah," sahut Argha sengit. Sedangkan Lyana dan Arsha terkekeh."Baru datang, Ly?" tanya Arsha."Iya. Kalau kalian? Kenapa lo dirangkul sama Argha?" tanya balik Lyana.
"MAMPUS, GUE KESIANGAN! KAK, BANGUN KAK. KITA KESIANGAN, KAK," teriak Dyana saat terbangun dari tidurnya. Lyana tersentak mendengar teriakan Dyana yang menggelegar. Lyana melihat jam dinding, sudah pukul enam pagi. Seharusnya saat ini Lyana dan Dyana tengah sarapan, tapi hari ini berbeda. Mereka kesiangan akibat menonton film terbaru di laptop Lyana, dan jadilah Lyana tertidur di kamar Dyana dan mereka pun baru tidur pada pukul tiga dini hari."Kakak udah bilang semalam, kalau mau nonton tuh, weekend aja. Lihat apa yang terjadi? Kita kesiangan, kan? Andai mama dan papa tau, mereka pasti marah," sahut Lyana sambil merapihkan tempat tidur."Duh Kakak, nanti aja deh ceramahnya. Aku mau mandi dulu. Lebih baik sekarang Kakak mandi juga, nanti telat," ucap Dyana sambil berlari menuju kamar mandi. Lyana hanya menggelengkan kepalanya. Setelah Dyana masuk ke kamar mandi, Lyana kembali ke kamarnya untuk mandi, tak lupa ia menutup pintu kamar adi
Tiga hari telah berlalu, namun Lyana masih saja memikirkan kesepakatan yang ia buat bersama Ardhan. Pikiran tersebut seolah tak mau enyah dari kepala Lyana.Lyana tengah duduk di bangku kantin sembari mengaduk-ngaduk nasi goreng yang ia pesan beberapa menit yang lalu."LY!" panggil Chania untuk kesekian kalinya. Lyana menoleh tanpa terkejut sedikit pun."Lo masih mikirin yang kemarin?" panya Alisa sembari mendudukkan bokongnya di bangku sebelah Lyana."Gue kepikiran terus.""Berarti benar, lo tuh suka sama Ardhan," sahut Chania yakin."Entahlah, gue bingung." Lyana masih saja mengaduk-ngaduk nasi gorengnya, selera makannya mendadak hilang begitu saja."Kenapa nasi gorengnya cuma diaduk-aduk? Kenapa nggak dimakan?" tanya Christy sambil memperhatikan tangan Lyana yang masih sibuk mengaduk-ngaduk nasi goreng.
Sedari tadi, Lyana belum juga memejamkan matanya. Lyana terus memikirkan kesepakatan yang dibuatnya bersama Ardhan. Ia bimbang. Di satu sisi, Lyana menyepakati kesepakatan yang ia buat bersama Ardhan, tetapi di sisi lain Lyana juga takut jika suatu hari Lyana melanggar kesepakatan tersebut. Apa yang harus Lyana lakukan?Lyana mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang, mencoba mendatangkan kantuknya, tetapi hasilnya nihil. Matanya terpejam, tapi hati dan pikirannya tidak mendukung. Bagaimana caranya agar kantuknya datang dan rasa bimbangnya pergi?Lyana membuka matanya dan bangun dari posisi tidurannya menjadi duduk di tepi tempat tidurnya. Ia mendongak. Sudah pukul sebelas leeat tiga menit malam. Biasanya saat ini Lyana sedang mimpi indah, tetapi malam ini berbeda.Tiba-tiha tenggorokan Lyana terasa kering. Ia menoleh ke arah nakas dan melihat gelas yang kosong. Lyana bahkan lupa untuk mengisi gelasny
Lyana baru saja tiba di kelas, tiba-tiba dikejutkan oleh sesuatu yang membuatnya tertawa. Ia melihat Christy berpenampilan agak berbeda dari sebelumnya. Rambut diikat dua, dan memakai kacamata bulat. Sangatlah lucu, bagi Lyana. "Style baru, Ty?" tanya Lyana sengaja. "Style dari mana? Ini tuh gara-gara Chania," jawab Christy cemberut. "Tapi lo terlihat tambah cantik Ty, kalau kayak gitu," tambah Chania di sela-sela ketawanya. "Udah-udah, kasihan Christy," bela Lyana. Christy membuka kacamata yang dipakaikan Chania tadi, lalu membuka ikat rambutnya dan merapihkannya lagi. "Guys, gimana kalau kita main ToD?" tanya Alisa memberi usul. "Boleh juga tuh, udah lama gue nggak main ToD." sahut Chania setuju. "Lo gimana Ly, Ty? Mau ikut kan?" tanya Alisa. Lyana dan Christy mengangguk. "Oke, dimulai dari Chania, setelah itu gue, lalu Lyana, dan seterusnya. Oke, sekarang giliran Chania. Truth or Dare?" tanya Alisa.
Weekend telah tiba. Seperti rencana yang sudah dibuat beberapa hari yang lalu, Lyana dan yang lainnya akan menghabiskan harinya di rumah Ardhan. Setelah selesai mengepang rambut dan memakai sepatu kets, Lyana mengambil tas selempang kecilnya yang berwarna hitam yang hanya muat untuk diisikan dompet dan ponsel. Setelah sudah siap, Lyana keluar dari kamarnya.***Tiba di anak tangga terakhir, Lyana melihat adiknya sedang duduk santai sembari menonton tv dan memakan beberapa cemilan. Dyana tak sengaja melihat kakaknya yang sudah rapi. Memakai T-shirt putih dibalut dengan cardigan berwarna coral, sepatu kets berwarna putih yang sudah melekat di kakinya, memakai tas selempang berwarna hitam dan rambut yang selalu dikepang. Terkadang Dyana merasa insecure dengan kakaknya yang sangat cantik. Meskipun wajah kakaknya mirip dengannya, perlu Dyana akui bahwa kecantikan sang kakak mampu mengalahkannya."Kakak mau ke mana, pagi-pagi gini? Ra
Sesampainya Lyana di sekolah, tidak sedikit murid seangkatannya yang menatapnya dengan berbagai tatapan. Merasa risih akan tatapan tersebut, Lyana mempercepat langkahnya menuju kelas.Hari ini Lyana berangkat sendiri, karena Ardhan harus mengantar Alia sekolah. Lyana memakluminya, karena Alia adalah kekasih Ardhan dan Lyana tidak mau merusak hubungan keduanya.Tibanya Lyana di kelas langsung disambut baik oleh ketiga sahabatnya. Seperti biasa, jika sudah mengerjakan tugas, Chania dan Christy akan bergabung di meja Lyana untuk mengobrol santai sembari menunggu bel masuk berbunyi."Ly, lo nggak risih memangnya ditatap kayak gitu?" tanya Christy memulai pembicaraan."Risih, tapi mau gimana lagi. Nggak mungkin kan, gue colok mata mereka satu per satu supaya mereka berhentu natap gue?" jawab Lyana yang diakhiri kekehan kecil."Maklum aja, guys. Mereka tuh baru lihat bidada
Bel masuk sudah berbunyi, bertanda bahwa waktu istirahat telah selesai. Seharusnya seluruh murid SMA Jayakarta masuk ke kelas untuk memulai pelajaran berikutnya. Namun sesuai dengan perubahan, jam pelajaran setelah istirahat akan dipakai untuk rapat oleh semua guru SMA Jayakarta. Jadi, seluruh kelas baik kelas sepuluh hingga kelas dua belas freeclass.Di saat semua murid sudah kembali ke kelasnya karena sudah mengisi perutnya di kantin, kini giliran Lyana, Alisa, Chania, dan Christy yang berjalan ke kantin untuk mengisi perut mereka.Lyana, Alisa, Chania, dan Christy berjalan di koridor kelas sebelas. Tak sedikit dari murid kelas sebelas menatap Lyana dengan berbagai tatapan. Ada yang terpesona dengannya, ada pula yang iri dengannya."Mereka kenapa sih, ngelihat gue kayak gitu banget?" tanya Lyana yang mulai risih yang ditatap seperti itu."Biasalah, mereka baru ketemu bidadari da