Musim dingin, kota Andreas.Gemersik suara angin terdengar di kesunyian, matahari masih belum menunjukan dirinya. Hayes terbangun dari tidurnya, bulu matanya yang panjang itu bergerak pelan, menaungi sepasang mata zambrudnya yang langsung memandangi sofa kosong di depannya. Sebuah sofa yang penuh dengan serangkai kenangan dan mengubah seluruh hidupnya.Di sofa hijau tua itu, terdapat sebuah selimut dan bantal yang tidak pernah ada satu orangpun diizinkan untuk mengubah posisinya dan menyentuhnya.Tempat itu sudah seperti sebuah artefak yang tidak bisa disentuh karena jika disentuh, akan menghilangkan jejak berharga di permukaannya.Bula mata Hayes kembali bergerak, berkedip pelan, penglihatan samar-samar melihat butiran salju yang turun di luar.Sekali lagi lagi Hayes melihat sofa kosong itu, sesuatu yang sudah menjadi pemandangan pertama yang dia lihat dalam waktu tiga bulan terakhir ini.Hayes memejamkan matanya perlahan, aroma pagi dibawah salju yang turun. Pria itu bercumbu deng
Sebuah cincin bertahtakan berlian kuning berada dalam genggaman. Theodor mengangkatnya, pria itu tidak berhenti memandanginya sejak tadi.Cincin itu dia dapatkan dari sebuah pelelangan. Sang seniman pemilik cincin itu mengatakan bahwa bahwa cincin itu melambangkan bunga matahari yang mekar di musim panas, dibawah langit biru yang cerah.Saat melihat cincin itu, Theodor teringat dengan kenangan indahnya bersama Alice di bawah pohon ginkgo, di antara hamparan daun kuning yang berguguran. “Kenapa Anda hanya memandangnya? Pergilah dan lamar nona Alice,” nasihat Samuel yang sejak tadi duduk membaca beberapa laporan di document.Samuel tahu betul Theodor harus mengeluarkan hampir delapan ratus ribu dollar hanya untuk cincin itu dan mengalahkan beberapa kolektor perhiasan.“Melamar tidak semudah memetik bunga.”“Jika Anda tidak melamarnya dalam waktu dekat, lalu kapan?” tanya Samuel tidak sabaran.Awalnya Samuel tidak suka dan tidak setuju jika Theodor terlalu dekat dengan Alice karena stat
Bibir Alice terkatup rapat, gadis itu mengerjap memastikan jika apa yang dilihatnya saat ini bukanlah sebuah ilusi. Beberapa butir salju yang berada di bahu Hayes menarik perhatian. “Lama tidak bertemu,” sapa Hayes dengan senyuman dan berhsil membuat Alice terlonjak kaget hingga mundur menjauh.Pria itu benar-benar Hayes Borsman, mantan suaminya, laki-laki yang terakhir kali Alice lihat di pesta ulang tahun Theodor. Dengan wajah pucat Alice mendongkak menatap bingung.Sekali lagi Alice mengerjap, Alice tidak mengerti, bagaimana bisa Hayes datang ke rumahnya?“Apa yang membawamu datang ke sini?” tanya Alice terbata.“Apa aku boleh masuk?” Alice balik bertanya.Alice melihat ke belakang, gadis itu mengusap sikunya merasa tidak nyaman. Sudah cukup lama mereka tidak bertemu, tidak pula berkomunikasi meski Hayes masih mengirimnya bunga setiap hari.Tetap saja, Alice canggung harus berbicara apa jika nanti Hayes masuk ke dalam, terlebih Athur tengah pergi.Angin berhembus kencang, salju ya
"Alice, apa besok kau memiliki waktu?”“Untuk apa?” Alice balik bertanya.“Aku ingin tahu tentang sudut tempat di daerah ini, kau sudah tinggal selama tiga bulan, mungkin kau bisa menemanimuku pergi,” ucap Hayes dengan tenang tidak menunjukan sedikitpun keraguan.Alice menelan salivanya dengan kesulitan, dia ragu menerima ajakan Hayes, disisi lain Alice bingung bagaimana cara menolaknya. “Kau akan lama tinggal di sini?”“Sampai urusanku di sini selesai. Karena itu, kau mau kan Alice?” tanya Hayes lagi, mendesak sebuah jawaban.“Baiklah,” jawab Alice samar terdengar.Hayes membalasnya dengan senyuman puas, pria itu segera beranjak dari duduknya. “Sebaiknya aku pergi saja, sampai jumpa besok.”“Sampai jumpa,” jawab Alice.Hayes berbalik pergi, urusanya untuk malam ini akan sampai di sini saja karena hari esok Hayes akan kembali datang dan melakukan sebuah kemajuan yang lebih jauh.Hayes memasuki mobilnya, pria itu sempat dibuat terdiam memperhatikan Alice yang kini berdiri menatap bing
Di sore yang gelap dan hujan turun deras, Damian berjalan kaki menyusuri jalanan menggunakan payungnya, pria paruh baya itu memeluk sekantung belanjaan untuk di masak.Setelah resmi bercerai dengan Ivana, Damian merasa lebih nyaman dan tenang dengan kehidupan barunya. Bekerja sebagai pengajar, menikmati kehidupan yang sederhana tanpa beban dan rasa bersalah lagi di setiap langkah yang telah di ambilnya.Disetiap akhir pekan Damian akan menyempatkan diri menghubungi Alice maupun Hayes untuk menanyakan kabar mereka.Hubungan Damian dan Claud Borsman merenggang hingga menjadi asing usai Claud mengetahui bahwa Damian telah menceritakan segalanya kepada Hayes.Damian menutup payungnya dan menyimpannya di rak, pria itu masuk melewati lobby menuju lift, pergi ke unit apartement yang dia tempati sejak dua bulan lebih.Ketenangan di wajah Damian sedikit berubah dengan sebuah kerutan di keningnya, melihat Usman, seorang dokter pribadi keluarga Borsman. Usman tengah berdiri di depan pintu apart
Cerita Athur mengusik pikiran Alice, ada sesuatu yang tiba-tiba mengganjal di dalam hatinya. Pikiran Alice menjadi penuh tanya, Alice tidak bermaksud menjadi seseorang yang narsis dan terlalu percaya diri, namun aneh rasanya bila menjadi sebuah kebetulan biasa saat Hayes membangun sesuatu di sekitar tempat tinggalnya.Apa yang sebenarnya ingin Hayes lakukan?Dapatkah Alice menanyakan ini kepada Hayes? Alice tidak menolak kehadiran Hayes, tetapi Alice sedikit trauma dengan hal-hal buruk yang pernah dia lalui saat bersama Hayes. Alice mengerjap dan menggeleng, menyingkirkan pikiran dan perasaan yang buruk menggelayut di dalam hatinya, dengan cepat dia menata piring-piring yang sudah di cucinya ke sebuah rak.“Bagaimana dengan bisnis minumanmu?” tanya Alice.Athur sedikit mengalihkan perhatiannya dari laptopnya. “Setelah mendapatkan izin beredar, aku dan temanku akan memulai memasarkannya minggu sekitar empat hari lagi, anggur ini sangat cocok untuk menemani akhir musim dingin.”“Semo
Alice tidak lagi berbicara, gadis itu hanya bisa memandang keluar jendela terjebak dalam keheningan dan perjalanan panjang.Alice tidak memahami, bagian mana yang berubah dari diri Hayes. Pria itu tidak lagi berbicara kasar, namun suaranya yang tenang seperti kobaran bendera merah.Salju turun menapaki jendela, mobil yang Hayes kendarai bergerak semakin jauh melewati bentangan jembatan dan bergerak menuju hutan, langit terlihat biru dan putih yang cerah.Mereka akhirnya sampai ke wilayah desa Simmur, jalanan yang berbatu dan tumpukan salju yang memenuhi jalan membuat kendaraan tersendat-sendat.Hayes mencengkram kuat kemudinya, pandangan Hayes lurus ke depan, warna putih yang mendominasi sekitar hutan yang berhasil membuat pandangan pria itu mengabur kehilangan fokusnya.Hayes berkedip beberapa kali dan melihat ke jalanan, perlahan samar-samar jalanan yang dilihatnya menggelap.“Hayes, berhati-hatilah,” ucap Alice panik. “Hayes!”Suara bantingan keras terdengar bersama ringisan Alice
“Bagaimanan kabarmu?” Tangan Theodor terkepal kuat di atas paha. “Seperti yang kau lihat saat ini, aku selalu baik-baik saja,” jawab Theodor terdengar datar.Bibir pucat Vanka mengukir senyuman, wanita itu tertunduk tidak berani menatap mata Theodor. Sepasang mata yang dulu selalu memandangnya penuh cinta dan pengharapan, kini berubah dingin menyimpan banyak kemuakan yang membuat Vanka malu setengah mati.Vanka bisa memahami kebencian yang harus dia terima dari Theodor.Sampai detik ini, terkadang Vanka sering menangis dalam penyesalan, dia menyesal telah menyia-nyiakan ketulusan Theodor dan memanfaatkan segala kebaikannya. Dia justru mengejar sesuatu yang tidak pernah bisa dia gapai hingga menghancurkan seluruh masa depannya dan terjatuh pada lubang yang begitu dalamDi malam-malam yang dingin, di sebuah kontrakan kecil khusus mantan narapidana, Vanka sering kali masih menangis, mempertanyakan apakah ini semua mimpi? Dunianya yang sempurna hancur sampai ke debu. Setelah terjerat ka