Alice tidak lagi berbicara, gadis itu hanya bisa memandang keluar jendela terjebak dalam keheningan dan perjalanan panjang.Alice tidak memahami, bagian mana yang berubah dari diri Hayes. Pria itu tidak lagi berbicara kasar, namun suaranya yang tenang seperti kobaran bendera merah.Salju turun menapaki jendela, mobil yang Hayes kendarai bergerak semakin jauh melewati bentangan jembatan dan bergerak menuju hutan, langit terlihat biru dan putih yang cerah.Mereka akhirnya sampai ke wilayah desa Simmur, jalanan yang berbatu dan tumpukan salju yang memenuhi jalan membuat kendaraan tersendat-sendat.Hayes mencengkram kuat kemudinya, pandangan Hayes lurus ke depan, warna putih yang mendominasi sekitar hutan yang berhasil membuat pandangan pria itu mengabur kehilangan fokusnya.Hayes berkedip beberapa kali dan melihat ke jalanan, perlahan samar-samar jalanan yang dilihatnya menggelap.“Hayes, berhati-hatilah,” ucap Alice panik. “Hayes!”Suara bantingan keras terdengar bersama ringisan Alice
“Bagaimanan kabarmu?” Tangan Theodor terkepal kuat di atas paha. “Seperti yang kau lihat saat ini, aku selalu baik-baik saja,” jawab Theodor terdengar datar.Bibir pucat Vanka mengukir senyuman, wanita itu tertunduk tidak berani menatap mata Theodor. Sepasang mata yang dulu selalu memandangnya penuh cinta dan pengharapan, kini berubah dingin menyimpan banyak kemuakan yang membuat Vanka malu setengah mati.Vanka bisa memahami kebencian yang harus dia terima dari Theodor.Sampai detik ini, terkadang Vanka sering menangis dalam penyesalan, dia menyesal telah menyia-nyiakan ketulusan Theodor dan memanfaatkan segala kebaikannya. Dia justru mengejar sesuatu yang tidak pernah bisa dia gapai hingga menghancurkan seluruh masa depannya dan terjatuh pada lubang yang begitu dalamDi malam-malam yang dingin, di sebuah kontrakan kecil khusus mantan narapidana, Vanka sering kali masih menangis, mempertanyakan apakah ini semua mimpi? Dunianya yang sempurna hancur sampai ke debu. Setelah terjerat ka
Suasana desa Simmur tetap ramai meski musim dingin, para petani tidak berhenti beraktivitas meski kini salju turun. Bunga Pansy bermekaran indah di antara tumpukan salju, bunga-bunga tsubaki cerah mencolok merah.Aroma anggur bisa tercium ketika melewati beberapa kedai, suara langkah sepatu kuda terdengar melewati jalanan setapak, gemercik air di sungai terdengar, warnanya biru jernih.Alice sangat menyukai desa ini, semua sudut tempat yang terlihat terasa seperti berada di neeri dongeng.Terakhir kali dia datang ke sini bersama Theodor, menikmati waktu mereka berdua dengan berkuda, memetik strawberry, dan bermalam di sebuah villa pinggiran sungai.Masih bisa Alice ingat senyuman indanya, pelukan hangatnya yang menahannya Alice agar tidak terjatuh ketika menunggangi kuda. Di malam hari, Theodor mengajak Alice berbelanja, tanpa terduga Theodor meminta Alice mencoba memakan suatu makanan lain selain bubur dan Jelly.Alice sangat gugup, namun Theodor meyakinkannya bahwa semuanya baik-bai
Bunga Pansy berwarna ungu terlihat mekar dengan cantik di dalam sebuah pot tanah, ada beberapa butir salju yang ikut di permukaan daunnya, Alice menerima bunga itu dari Hayes.Seorang petani yang memiliki kebun bunga itu sempat mengatakan bahwa nama Pansy berasal dari Prancis yang memiliki arti perasaan cinta dan kenangan.Pikiran Alice berkelana, terngiang oleh ucapan Hayes saat mereka berada di kedai tempat minum. Kata-katanya ambigu dan tidak bisa Alice abaikan dengan melupakannya begitu saja.Mengapa Hayes membicarakan seorang anak? Apa yang sebenarnya ada di pikiran pria itu?Alice takut, dia ingin segera pulang ke rumah dan menenangkan diri di sana.Matahari yang cerah sudah mulai bergerak turun ke arah barat, salju tidak berhenti turun.Hayes menengadahkan wajahnya, matanya terpejam merasakan ada butiran salju yang terjatuh di kulitnya dan menimbulkan sensasi dingin. “Ayo kita pulang,” suara Alice yang memanggil berhasil membuat Hayes kembali membuka matanya dan melihat gadis
Sore akhirnya tiba, salju yang turun mulai reda, matahari yang kekuningan mulai meredup terlihat di antara pepohonan. Hayes mengendarai mobilnya meninggalkan wilayah desa Simmur.Badai yang turun jauh lebih lama dari apa yang diperkirakan.Alice memeluk erat sabuk pengamannya, gadis itu kian tidak banyak bicara, tertekan oleh perkataan yang telah diucapkan Hayes.Alice sempat berpikir, jika setelah bercerai dan berdamai dengan apa yang telah terjadi, mereka akan mulai membangun hubungan yang jauh lebih baik. Setiap hari Hayes mengirimnya bunga yang indah. Sayangnya hubungan baru mereka tidak seindah bunga yang telah dikirimkan.Hayes merenggangkan pedal gasnya, melihat jalanan bersalju yang ternyata masih belum di bersihkan, membuat ban mobil beberapa kali tergelincir karena licin.Cahaya kemerahan kian berkurang.Hayes menopang sisi kepalanya dalam kepalan tangan, menikmati keterdiaman Alice yang sedang banyak berpikir. Tidak peduli jika Alice menganggapnya jahat dan egois, Hayes t
Langkah Alice dan Hayes mulai memelan setelah menghabiskan perjalanan hampir dua kilometer. Semua yang mereka pikir akan baik-baik saja mulai menjadi sesuatu yang mengkhawatirkan. Alice mulai merasakan sakit dan keram di perut, begitu pula dengan keadaan suhu tubuh Hayes yang kian membeku dan beberapa kali sempat akan terjatuh karena tidak bisa melihat dengan jelas. Di bawah payung dan cahaya lampu dari handpone, mereka berjalan selangkah demi selangkah.“Hayes, apa kita bisa beristirahat?” tanya Alice menekan perutnya yang sakit.Sepanjang jalan, Hayes tidak mendengar sedikitpun Alice mengeluh. Hayes melepaskan genggaman tangannya dan meraih wajah Alice, jarinya yang dingin membeku mengusap bibir mungil Alice yang gemetar kedinginan dan hangat napasnya yang tidak beraturan.“Kau sakit.” Hayes melepaskan genggamannya dan segera membungkuk di hadapan Alice, “Naiklah ke punggungku, jalanan di sini sudah dibersihkan, kemungkinan kita akan menemukan banyak kendaraan.”“Itu tidak perlu
Damian tercekat mendengar ucapan Hayes. Damian tahu jika harga diri Hayes sangat tinggi, namun menanggung sakit dalam kesedirian juga bukanlah hal yang baik.“Hayes, apa kau sudah menganggapku orang asing sekarang? Jika kau masih menganggap aku adaa, kau bisa memberitahu aku, Hayes. Mengapa harus menanggungnya sendiri?”Bibir Hayes mengukir senyuman, namun matanya meredup menyiratkan luka. “Aku masih memiliki rasa malu. Tidak mungkin untuk membagi penderitaan dan menahan kepergian Ayah ke Singapur setelah puluhan tahun lamanya Ayah mengorbankan masa depan Ayah hanya untuk menjadi anak yang tidak tahu diri sepertiku.”Hati Damian tertohok sakit begitu tahu tentang apa yang sebenarnya kini ada di pikiran Hayes. “Hayes, demi Tuhan, aku tidak pernah menyesal mengorbankan puluhan tahun untuk menjadi ayahmu, dan sampai detik ini bagiku, kau tetap anakku.”Hayes tertunduk diam menahan senyuman pedihnya. Semakin Hayes berusaha menerima kebaikan yang telah Damian berikan selama ini, semakin d
Seorang pria paruh baya datang membawa setumpuk document dan meletakannya di meja, pria itu tidak langsung pergi, dia berdiri cukup lama, memandangi Theodor yang yang tengah bermain piano.Theodor duduk dengan anggun, irish matanya yang kebiruan tidak berhenti memandangi cincin di atas piano.Jemari rampingnya bergerak lembut menciptakan instrument indah dari salah satu karya Paul de Senneville-Mariage d’Amour. Sejak beberapa hari ini Theodor memainkan musik itu, disetiap nada yang dia hasilnya membawanya pada banyak kenangan indahnya bersama Alice. Semakin Theodor memikirkannya, rasa di dalam hatinya kian kuat.Theodor ingin melamar Alice dan menjaganya sepenuhnya, menempatkannya di sisinya, saling berbagi kehidupan yang tersisa.Tidak masalah untuk Theodor jika hubungan mereka dirahasiakan dalam waktu yang lama agar kehormatan Alice tidak tercoreng dan orang-orang tidak berpikir buruk padanya.Namun, apakah Alice bersedia jika Theodor melamar?Theodor tidak percaya diri. Theodor ta