Bunga Pansy berwarna ungu terlihat mekar dengan cantik di dalam sebuah pot tanah, ada beberapa butir salju yang ikut di permukaan daunnya, Alice menerima bunga itu dari Hayes.Seorang petani yang memiliki kebun bunga itu sempat mengatakan bahwa nama Pansy berasal dari Prancis yang memiliki arti perasaan cinta dan kenangan.Pikiran Alice berkelana, terngiang oleh ucapan Hayes saat mereka berada di kedai tempat minum. Kata-katanya ambigu dan tidak bisa Alice abaikan dengan melupakannya begitu saja.Mengapa Hayes membicarakan seorang anak? Apa yang sebenarnya ada di pikiran pria itu?Alice takut, dia ingin segera pulang ke rumah dan menenangkan diri di sana.Matahari yang cerah sudah mulai bergerak turun ke arah barat, salju tidak berhenti turun.Hayes menengadahkan wajahnya, matanya terpejam merasakan ada butiran salju yang terjatuh di kulitnya dan menimbulkan sensasi dingin. “Ayo kita pulang,” suara Alice yang memanggil berhasil membuat Hayes kembali membuka matanya dan melihat gadis
Sore akhirnya tiba, salju yang turun mulai reda, matahari yang kekuningan mulai meredup terlihat di antara pepohonan. Hayes mengendarai mobilnya meninggalkan wilayah desa Simmur.Badai yang turun jauh lebih lama dari apa yang diperkirakan.Alice memeluk erat sabuk pengamannya, gadis itu kian tidak banyak bicara, tertekan oleh perkataan yang telah diucapkan Hayes.Alice sempat berpikir, jika setelah bercerai dan berdamai dengan apa yang telah terjadi, mereka akan mulai membangun hubungan yang jauh lebih baik. Setiap hari Hayes mengirimnya bunga yang indah. Sayangnya hubungan baru mereka tidak seindah bunga yang telah dikirimkan.Hayes merenggangkan pedal gasnya, melihat jalanan bersalju yang ternyata masih belum di bersihkan, membuat ban mobil beberapa kali tergelincir karena licin.Cahaya kemerahan kian berkurang.Hayes menopang sisi kepalanya dalam kepalan tangan, menikmati keterdiaman Alice yang sedang banyak berpikir. Tidak peduli jika Alice menganggapnya jahat dan egois, Hayes t
Langkah Alice dan Hayes mulai memelan setelah menghabiskan perjalanan hampir dua kilometer. Semua yang mereka pikir akan baik-baik saja mulai menjadi sesuatu yang mengkhawatirkan. Alice mulai merasakan sakit dan keram di perut, begitu pula dengan keadaan suhu tubuh Hayes yang kian membeku dan beberapa kali sempat akan terjatuh karena tidak bisa melihat dengan jelas. Di bawah payung dan cahaya lampu dari handpone, mereka berjalan selangkah demi selangkah.“Hayes, apa kita bisa beristirahat?” tanya Alice menekan perutnya yang sakit.Sepanjang jalan, Hayes tidak mendengar sedikitpun Alice mengeluh. Hayes melepaskan genggaman tangannya dan meraih wajah Alice, jarinya yang dingin membeku mengusap bibir mungil Alice yang gemetar kedinginan dan hangat napasnya yang tidak beraturan.“Kau sakit.” Hayes melepaskan genggamannya dan segera membungkuk di hadapan Alice, “Naiklah ke punggungku, jalanan di sini sudah dibersihkan, kemungkinan kita akan menemukan banyak kendaraan.”“Itu tidak perlu
Damian tercekat mendengar ucapan Hayes. Damian tahu jika harga diri Hayes sangat tinggi, namun menanggung sakit dalam kesedirian juga bukanlah hal yang baik.“Hayes, apa kau sudah menganggapku orang asing sekarang? Jika kau masih menganggap aku adaa, kau bisa memberitahu aku, Hayes. Mengapa harus menanggungnya sendiri?”Bibir Hayes mengukir senyuman, namun matanya meredup menyiratkan luka. “Aku masih memiliki rasa malu. Tidak mungkin untuk membagi penderitaan dan menahan kepergian Ayah ke Singapur setelah puluhan tahun lamanya Ayah mengorbankan masa depan Ayah hanya untuk menjadi anak yang tidak tahu diri sepertiku.”Hati Damian tertohok sakit begitu tahu tentang apa yang sebenarnya kini ada di pikiran Hayes. “Hayes, demi Tuhan, aku tidak pernah menyesal mengorbankan puluhan tahun untuk menjadi ayahmu, dan sampai detik ini bagiku, kau tetap anakku.”Hayes tertunduk diam menahan senyuman pedihnya. Semakin Hayes berusaha menerima kebaikan yang telah Damian berikan selama ini, semakin d
Seorang pria paruh baya datang membawa setumpuk document dan meletakannya di meja, pria itu tidak langsung pergi, dia berdiri cukup lama, memandangi Theodor yang yang tengah bermain piano.Theodor duduk dengan anggun, irish matanya yang kebiruan tidak berhenti memandangi cincin di atas piano.Jemari rampingnya bergerak lembut menciptakan instrument indah dari salah satu karya Paul de Senneville-Mariage d’Amour. Sejak beberapa hari ini Theodor memainkan musik itu, disetiap nada yang dia hasilnya membawanya pada banyak kenangan indahnya bersama Alice. Semakin Theodor memikirkannya, rasa di dalam hatinya kian kuat.Theodor ingin melamar Alice dan menjaganya sepenuhnya, menempatkannya di sisinya, saling berbagi kehidupan yang tersisa.Tidak masalah untuk Theodor jika hubungan mereka dirahasiakan dalam waktu yang lama agar kehormatan Alice tidak tercoreng dan orang-orang tidak berpikir buruk padanya.Namun, apakah Alice bersedia jika Theodor melamar?Theodor tidak percaya diri. Theodor ta
“Jangan bercanda padaku disaat seperti ini Damian! Katakanlah dengan sebenarnya jika ini semua bohong kan?” isak Ivana penuh dengan permohonan.“Aku tidak berbohong Ivana,” jawab Damian pelan.“Tidak!” Ivana menggeleng keras. “Putraku, Hayes sempurna, setiap tahun hasil catatan medisnya dia tidak memiliki catatan apapun. Ini tidak mungkin!”Damian mengangguk samar, memahami seberapa shocknya Ivana saat ini. “Ivana, Hayes menyembunyikannya sejak beberapa bulan yang lalu, dan kini keadaanya semakin memburuk,” tegas Damian memberitahu.Ivana menutup mulutnya dengan tangan, wanita itu kian menangis keras, hatinya terkoyak sangat sakit membayangkan jika kini putranya mengalami hal yang sama dengan dirinya.Rasa sakit yang dirasa sangat teramat perih hingga membuat Ivana merasa seluruh dunianya runtuh di detik ini juga.Suara tangisan pilu Ivana terdengar di pendengaran, Damian bisa merasakan kehancurannya yang mengguncang wanita itu mendengar kabar Hayes yang selalu sehat, kini memiliki ge
“Alice, menikahlah denganku.”Tiga kalimat yang terucap berhasil menciptakan keheningan hebat, bahkan suara angin yang bergerak pun mendadak terhenti, seluruh permukaan kulit Alice berdesir memanas dan jantungnya berdebar kencang tidak terkendali.Sebuah kalimat yang tidak pernah sedikitpun terlintas di pikiran Alice bahwa dia akan mendengar seorang laki-laki mengajaknya menikah.Apakah ini mimpi? Apakah ini nyata?Ekspresi apa yang harus Alice tunjukan? Dia takut menjadi wanita yang lancang dan serakah bila berpikir bahwa apa yang di ucapkan Theodor adalah serius, bagaiamana jika ternyata apa yang Alice dengar hanyalah sebuah halusinasi?Alice mengerjap beberapa kali sampai harus mengucek matanya, mencoba untuk mengembalikan kesadarannya lagi dan tidak mempermalukan diri sendiri di hadapan Theodor.“Theodor, barusan kau bicara apa?” tanya Alice mencoba meyakinkan diri.Theodor membuka sebuah kotak beludru di tangannya, memperlihatkan sebuah cincin yang sejak lama tidak pernah dia tin
“Shanie,” panggil Vanka dengan suara bergetar.Wajah mungil Shanie terangkat, menatap lekat sepasang mata indah ibunya dengan bibir yang tidak berhenti mengunyah. Tangan Shanie terangkat, anak itu sempat mengusap pipi Vanka dan menyingkirkan air matanya yang sempat terjatuh.Setiap hari Shanie selalu melihat ibunya menangis, dan di setiap kali Shanie bertanya, Vanka mengaku bahwa dirinya tidak menangis.“Jadilah anak yang baik. Jangan pernah mencintai siapapun dengan berlebihan, jangan pernah mengikuti jejakku,” nasihat Vanka mengulangi ucapannya yang sudah dia katakan entah ke berapa kalinya sejak semalam.Shanie yang tidak mengerti apapun hanya mengangguk dan menggigit lebih banyak rotinya.Vanka membuang mukanya sesaat, menyingkirkan air mata yang membasahi pipi. Dilihatnya lagi Shanie dengan tatapan mata sendu menyiratkan begitu banyak luka yang dalam. “Shanie…”“Iya, Ibu.”“Ibu sangat sayang padamu.”“Aku juga sayang Ibu,” jawab Shanie dengan senyuman lebarnya.“Jika bertemu den