“Alice, menikahlah denganku.”Tiga kalimat yang terucap berhasil menciptakan keheningan hebat, bahkan suara angin yang bergerak pun mendadak terhenti, seluruh permukaan kulit Alice berdesir memanas dan jantungnya berdebar kencang tidak terkendali.Sebuah kalimat yang tidak pernah sedikitpun terlintas di pikiran Alice bahwa dia akan mendengar seorang laki-laki mengajaknya menikah.Apakah ini mimpi? Apakah ini nyata?Ekspresi apa yang harus Alice tunjukan? Dia takut menjadi wanita yang lancang dan serakah bila berpikir bahwa apa yang di ucapkan Theodor adalah serius, bagaiamana jika ternyata apa yang Alice dengar hanyalah sebuah halusinasi?Alice mengerjap beberapa kali sampai harus mengucek matanya, mencoba untuk mengembalikan kesadarannya lagi dan tidak mempermalukan diri sendiri di hadapan Theodor.“Theodor, barusan kau bicara apa?” tanya Alice mencoba meyakinkan diri.Theodor membuka sebuah kotak beludru di tangannya, memperlihatkan sebuah cincin yang sejak lama tidak pernah dia tin
“Shanie,” panggil Vanka dengan suara bergetar.Wajah mungil Shanie terangkat, menatap lekat sepasang mata indah ibunya dengan bibir yang tidak berhenti mengunyah. Tangan Shanie terangkat, anak itu sempat mengusap pipi Vanka dan menyingkirkan air matanya yang sempat terjatuh.Setiap hari Shanie selalu melihat ibunya menangis, dan di setiap kali Shanie bertanya, Vanka mengaku bahwa dirinya tidak menangis.“Jadilah anak yang baik. Jangan pernah mencintai siapapun dengan berlebihan, jangan pernah mengikuti jejakku,” nasihat Vanka mengulangi ucapannya yang sudah dia katakan entah ke berapa kalinya sejak semalam.Shanie yang tidak mengerti apapun hanya mengangguk dan menggigit lebih banyak rotinya.Vanka membuang mukanya sesaat, menyingkirkan air mata yang membasahi pipi. Dilihatnya lagi Shanie dengan tatapan mata sendu menyiratkan begitu banyak luka yang dalam. “Shanie…”“Iya, Ibu.”“Ibu sangat sayang padamu.”“Aku juga sayang Ibu,” jawab Shanie dengan senyuman lebarnya.“Jika bertemu den
“Dia meninggalkan catatan untuk Anda. Tolong kembalilah sebentar, tidak ada yang mau mengurusnya selain Anda.”Theodor menutup matanya rapat-rapat, merasakan ada sesuatu yang teramat perih menelusup dan menggores masuk ke dalam hatinya. Theodor menarik napasnya dengan kesulitan, butuh waktu beberapa detik untuknya agar bisa kembali berbicara.“Kau anan bercanda Samuel.”“Tuan, saya serius, nona Vanka sudah terjun ke danau dan ditemukan sudah tidak bernyawa, beliau hanya meninggalkan catatan terakhirnya untuk Anda saja. Karena itu, saya harap Anda bisa berjiwa besar untuk mengurusnya untuk yang terakhir kalinya, saya percaya Anda masih menganggapnya sebagai teman.”Pegangan pada handpone menguat, Theodor menarik napasnya dengan kesulitan.Tadi pagi,dia masih melihat Vanka di depan rumahnya, wanita itu duduk di depan gerbang rumahnya dalam waktu yang lama. Vanka menolak pergi, dia juga menolak diberi makanan dan pakaian hangat.Tadi pagi, Theodor memilih mengabaikannya begitu saja dan t
Bibir mungil Alice sedikit terbuka, membuang napasnya dengan penuh syukur dan kelegaan, melihat Hayes yang kini berdiri dalam keadaan baik-baik saja seperti biasanya.Alice sempat sangat khawatir dengan keadaannya karena di malam itu, Hayes terlihat sangat kesakitan. Athur beranjak dari duduknya dengan penuh semangat menyambut kedatangan Hayes. Hayes langsung menanyakan persiapan minuman yang akan Athur perkenalkan nanti malam di acaranya.Athur mempersilahkannya duduk sebelum dia pergi ke dalam rumah. Athur harus mengambil beberapa berkas penting untuk menunjukan izin edar dan persetujuan nama brandnya, Athur juga harus membawa salah satu botol anggur agar Hayes bisa mencicipinya sendiri kualitasnya.Kepergian Athur yang cepat ke dalam rumah menciptkan keheningan. Sekali lagi Alice dan Hayes saling memandang.Hayes tidak berbicara sepatah katapun, namun tatapannya yang lekat tidak berhenti menatap wajah Alice yang kini sedikit kemerahan karena cuaca yang cerah.Sangat menyenangkan d
Shanie duduk bersimpuh dengan lutut di lantai, suara tangisannya yang lemah terdengar, anak itu memeluk peti Vanka, memandangi ibunya yang terias cantik tertidur tenang tidak kunjung membuka matanya ketika Shanie berusaha membangunkannya.Air mata tidak berhenti berjatuhan, tangan kecilnya gemetar mengusap kaca berusaha untuk menggapai wajah ibunya. Shanie ingin memeluknya. Calla dan Aaric yang sejak tadi ikut mendampingi, beberapa kali berusaha menghibur Shanie, namun Shanie menolak beranjak dari sisi ibunya.Theodor duduk dengan lesu, melihat betapa sepinya keberadaan rumah duka yang dia buatkan untuk Vanka. Tidak ada yang melayat, tidak lebih dari sepuluh orang yang ada di dalam ruangan itu.Beberapa kali Theodor melihat ke belakang dengan tatapan kecewa, kedua orang tua Vanka tidak menunjukan diri bahwa mereka akan datang, padahal Samuel sudah memberi mereka kabar.Mengapa mereka sekejam ini pada Vanka? Sebesar apapun kesalahan Vanka di masa lalu yang sudah mempermalukan keluarga
Malam yang indah, gelap di antara bintang-bintang yang bersinar di kegelapan dan suara deburan ombak yang memukul karang. Angin berhembus kencang, lampu-lampu di pinggiran pantai menyala menerangi jalanan setapak. Beberapa kapal pesiar terlihat berlayar di malam hari.Suara tawa samar-samar terdengar. Alice membungkuk di bibir pantai, gadis itu menepuk-nepuk deburan ombak yang beberapa kali bergerak ke arahnya, cahaya biru bersinar indah karena fitoplankton yang muncul.Pemandangan indah ini, masih terasa sama menakjubkannya seperti saat pertama kali Alice melihatnya. Suasana laut, dan aromanya yang khas membuat Alice semakin nyaman.Tangan Alice terbuka menyambut ombak kecil yang datang, berlian yang tersemat di jari manisnya terlihat indah di antara cahaya yang dikeluarkan fitoplankton.Alice tersenyum, wajah cantiknya terlihat di antara pantulan cahaya. Alice teringat dengan lamaran sederhana yang dia terima hari ini. Sesuatu yang tidak pernah Alice duga, dan Alice terkejut denga
Hening, orang-orang yang jumlahnya sedikit sudah tidak terlihat lagi, kini hanya menyisakan beberapa pengawal yang berjaga.Theodor duduk berselonjoran di sisi Aaric, sementara Shanie meringkuk tertidur di tengah-tengah mereka berselimutkan jass Aaric.Sudah sangat lama mereka tidak menghabiskan waktu bersama bertiga. Dulu, semenjak duduk di bangku sekolah tk hingga lulus kuliah, Theodor, Aaric juga Vanka, mereka selalu bersama dan menghabiskan banyak waktu bersama hampir setiap hari.Kini, sekian tahun lamanya tidak bersama, waktu kembali mempersatukan mereka bertiga di dalam sebuah ruangan, sayangnya kehadiran Vanka hanya tinggal tubuhnya.“Apa yang harus kita lakukan dengan anak ini?” tanya Theodor terdengar serius.Aaric menatap lekat Shanie. “Apa yang terjadi pada Vanka memiliki kaitannya denganku, aku tidak bisa mempercayakan dia pada keluarga Vanka maupun panti asuhan. Karena itu, aku dan Calla sudah sepakat akan membawanya dan mengangkatnya menjadi anak kami,” jawab Aaric pela
Alice menutup mulutnya rapat-rapat dengan tangan, tubuhnya luruh ke lantai kehilangan banyak energy, gadis itu menangis pilu melihat kepergian Athur yang sudah dibawa pergi. Hati Alice tidak sanggup melihat adiknya harus mengalami masalah ini semua, bahkan meski belum ada kepastian, namun perasaan Alice tetap mengatakan bahwa kini Athur sedang dalam kesulitan.Alice menyeka air matanya, dengan terhuyung dia pergi mengambil tas dan menutup pintu. Alice berlari mengambil sepedanya dan menggayuhnya dengan cepat, berusaha untuk mengejar mobil yang sudah membawa Athur.Alice tidak bisa membiarkan Athur sendirian, bahkan meski dia tidak tahu harus melakukan apa untuk membantu Athur, Alice ingin tetap berada di sisi adiknya untuk membantu menguatkannya.Samar pandangan Alice terhalang oleh air mata yang terus berjatuhan, namun kaki kecilnya tidak berhenti untuk terus menggayuh, mengejar mobil yang jauh berada di depannya.Sekuat tenaga Alice berusaha mengejar, namun mobil yang diikuti semak