Angin yang kencang bisa terdengar dengan jelas ketika kaca jendela diturunkan, tubuh Alice menegak memandangi sesuatu yang tidak pernah sekalipun dia lihat dalam hidupnya.Semua yang dia lihat begitu mirip dengan sebuah lukisan.Pohon-pohon tembuh di pesisir, hijaunya rumput di atas tebing, saling berlawanan dengan warna biru lautan dan putihnya pasir. Langit yang bersih seakan menjadi garis ujung lautan.Alice tidak dapat berkedip, gadis itu terkesiap memandangi luasnya keberadaan air yang jauh lebih besar dari pandangan matanya.Tanpa sadar Alice mengusap lengannya merasakan seluruh permukaan kulitnya meremang. Semua yang Alice pandang ternyata jauh lebih hebat dari apa yang dipikirkan selama ini. Jantung Alice berdebar-debar seakan tengah jatuh cinta dengan semua yang tengah dilihatnya.Theodor menepikan mobilnya di ujung jalan bebatuan.“Ayo keluar,” suara Theodor yang memanggil menyentak lamunan Alice.Alice terperangah, dia terlalu fokus melihat sesuatu yang ada di hadapannya
FlashbackHari itu hujan deras turun tanpa henti sejak pagi hingga menjelang sore, musim gugur yang datang benar-benar berhasil membasahi seluruh permukaan yang ada.Dari celah teralis besi, air turun masuk ke dalam bak air terjun.Alice berdiri sudah cukup lama di sudut ruangan, kakinya tampak gemetar dan wajahnya pucat pasi karena kedinginan. Air sudah masuk hampir sampai melewati mata kaki Alice.Meski teralis itu sempat ditahan dengan kayu agar air tidak masuk, namun tetap saja derasnya permukaan diluar berakhir di ke tempat tinggalnya.Alice sudah lelah mengambil air di dalam ruangan sempit itu dengan ember, alih-alih membaik, air hujan yang masuk kian banyak karena hujan semakin deras.Tidak ada tanda-tanda hujan akan mereda, sementara volume air akan semakin naik seiring dengan berjalannya waktu.Bibir Alice menekan gemetar kedinginan, gadis itu memandangi lemari butut tanpa pintu, di atasnya ada beberapa pakaian dia simpan untuk diselamatkan.“Aku tidak tahan,” bisik Alice den
“Apa yang membawa Anda datang ke sini?” tanya seorang pria berbadan besar dengan wajah yang dipuhi bekas luka tebasan dipermukaan kulitnya.Ivana menghela napasnya dengan berat, dia pergi sejauh ini untuk menemui seseorang, dan kini ketika mereka bertemu, Ivana sedikit ragu dengan keputusannya. “Nyonya Ivana,” panggil Justin.“Aku memiliki pekerjaan untukmu,” jawab Ivana terdengar tenang meski tubuhnya dipenuhi oleh ketegangan.Justin bersedekap, pria itu tersenyum simpul. “Katakan saja pekerjaannya apa.”Ivana terdiam dalam waktu yang lama, keraguan dan ketakutan menjadi satu, menahan Ivana untuk berbicara. Pikiran dan perasaan Ivana sedang sangat tidak tentram semenjak diganggu Giselle di butik, Ivana menjadi sulit tidur dan histeris tidak terkendali.Datangnya Giselle menjadi momok besar dalam rumah tangganya.Selama Giselle masih hidup, bahkan meski jika dia berada di balik jeruji penjara, Ivana tidak akan pernah bisa melanjutkan hidupnya dengan tenang jika Giselle masih ada di m
Hayes kembali lebih cepat, kejadian hari ini membuat perasaannya tidak nyaman. Meski Hayes sangat menantikan jika seluruh asset dan statusnya sebagai pewaris segera diumumkan secara resmi, entah mengapa kini dia tidak begitu senang.Justru, keputusan Damian yang memberikan beberapa asset lebih cepat dari perjanjian justru menimbulkan banyak pertanyaan-pertanyaan di kepala Hayes.Ada apa dengan Damian? Apakah telah terjadi sesuatu padanya?Hayes mengambil handponenya dari saku jass, dia memutuskan menghubungi salah satu assistant Damian yang berada di kantor pusat.“Selamat sore Bety, ini aku, Hayes,” sapa Hayes begitu teleponnya tersambung.“Selamat sore, Tuan Muda, ada yang bisa saya bantu?”Langkah Hayes terhenti di sebuah taman. “Aku ingin tahu, kemana aku harus menghubungi ayahku di Thailand.”“Tuan Damian pergi sendiri tanpa ditemani salah satu sekretaris di sini, kami juga kesulitan menghubunginya.”Kening Hayes mengerut samar, jawaban tidak biasa Bety kian menimbulkan rasa pena
Mobil Theodor menepi di depan pintu gerbang kediaman keluarga Borsman. Alice melepas sabuk pengamannya, sesaat dia melirik Theodor yang melihat ke samping luar, sebuah senyuman yang dia sembunyikan dapat Alice lihat di bayangan jendela.Alice ikut tersenyum, teringat Theodor mengajarkannya menulis dan membaca di atas pasir, lalu ombak menyapunya, membawa Alice berlari menjauh sebelum air membasahi kakinya.Betapa menyenangkan hari ini, membangun banyak harapan yang lebih baik untuk hari esok.“Terima kasih untuk hari ini, itu sangat menyenangkan,” ucap Alice memecah keheningan.“Aku juga senang,” jawab Theodor menggantung, melihat ke arah Alice dengan senyuman yang tertahan. Alice terdiam, ada sesuatu yang menahannya untuk tidak segera keluar, tetapi tidak ada hal yang harus dibicarakan lagi karena sepanjang jalan pulang mereka sudah saling bercerita sampai membuat lidah kering.“Sampai jumpa,” pamit Alice sebelum memutuskan pergi keluar, gadis itu melambaikannya tangannya sebagai
“Kau mau kemana Ivana? Aku bisa mengantarmu, bukankah kita teman?”“Bagaimana bisa kau ada di sini?” bisik Ivana dengan suara yang bergetar, Ivana berusaha kuat untuk tenang meski kini dia takut setengah mati. Giselle akan semakin mengintimidasinya dengan penuh kesenangan jika Ivana menunjukan ketakutannya.Giselle tersenyum lebar, mencengkram lengan Ivana dan mendorongnya pada sebuah pagar. “Aku datang untuk membuat transaksi menguntungkan denganmu. Tetapi, kau haru mencabut tuntutanku di kepolisian Ivana,” bisik Giselle terdengar misterius.Ivana terbelalak, sebuah ketakutan yang sangat kuat mencekik dirinya.Ivana terpekik kaget menerasakan dorongan kasar Giselle sampai membuat tongkatnya jatuh ke lantai. Tenaga Ivana luruh begitu dia menyadari bahwa keberadaannya ada di sisi panggar dan di dekat tangga.“Jawab sialan!” bentak Gisella marah sampai menunjuk-nunjuk kelopak mata Ivana dengan ujung senjatanya.“Bukan aku yang melaporkanmu!” jawab Ivana panik.“Sama saja! Panggil putram
“Hayes Borsman, apa kau belum tahu jika sebenarnya kau bukan anak Damian?” tanya Giselle dengan penuh kesenangan.Darah di seluruh nadi Hayes membeku, napasnya ikut tertahan dengan raut wajahnya tidak dapat menyembunyikan seberapa terkejutnya dia saat ini. “Jaga ucapanmu, jangan bicara omong kosong,” jawab Hayes berusaha keras untuk tetap berdiri dengan tegak.“Aku tidak beromong kosong kan Ivana?” kekeh Giselle membelai pipi Ivana dengan ujung pistolnya, Ivana menangis kian menjadi sampai menutup telinganya rapat-rapat.Hayes menarik napasnya yang tiba-tiba sangat sesak dan sakit, dia ingin tidak mempercayai ucapan Giselle, namun reaksi hancurnya Ivana memperkuat ucapan Giselle.“Astaga, sudah kuduga, ternyata kau tidak tahu,” tawa Giselle terhibur dengan ketegangan semua orang yang terkejut. “Jika kau tidak percaya, lakukanlah tes DNA, buktikan sendiri kebenarannya.”“Cukup! Hentikan!” jerit histeris Ivana tidak terkendali. “Berisik!” geram Giselle manarik lebih kuat rambut Ivana
“Sialan! Jalang sialan!” maki Giselle mengerang kesakitan merasakan darah yang tidak berhenti keluar dari nadinya.Gigitan Alice sangat tajam dan dalam di pergelangan tepat di pembuluh nadi Giselle.Andre memacu kendaraannya semakin cepat, sesekali dia melihat ke belakang, khawatir jika ada seseorang yang mengejar. Kini Giselle akan menjadi buronan sepenuhnya, sementara Andre yang selama ini selalu menjadi kaki tangan kejahatanya Giselle akan ikut terseret dalam kasus ini.“Berani-beraninya jalang itu melukai tanganku,” geram Giselle menekan kuat kain kasa yang menggulung lengannya, kain yang berwarna putih itu berubah merah pekat karena darah yang tidak berhenti keluar.Selama ini Alice tidak pernah sekalipun melawan kekerasan Giselle, bahkan untuk menatap sepasang matanya saja, Alice langsung gemetar ketakutan.Sejak bayi, Giselle sudah mendoktrinnya dengan berbagai kata buruk agar Alice menjadi manusia yang sama sekali tidak berguna.Tapi, mengapa kini Alice jauh berubah dalam waktu