“Hayes Borsman, apa kau belum tahu jika sebenarnya kau bukan anak Damian?” tanya Giselle dengan penuh kesenangan.Darah di seluruh nadi Hayes membeku, napasnya ikut tertahan dengan raut wajahnya tidak dapat menyembunyikan seberapa terkejutnya dia saat ini. “Jaga ucapanmu, jangan bicara omong kosong,” jawab Hayes berusaha keras untuk tetap berdiri dengan tegak.“Aku tidak beromong kosong kan Ivana?” kekeh Giselle membelai pipi Ivana dengan ujung pistolnya, Ivana menangis kian menjadi sampai menutup telinganya rapat-rapat.Hayes menarik napasnya yang tiba-tiba sangat sesak dan sakit, dia ingin tidak mempercayai ucapan Giselle, namun reaksi hancurnya Ivana memperkuat ucapan Giselle.“Astaga, sudah kuduga, ternyata kau tidak tahu,” tawa Giselle terhibur dengan ketegangan semua orang yang terkejut. “Jika kau tidak percaya, lakukanlah tes DNA, buktikan sendiri kebenarannya.”“Cukup! Hentikan!” jerit histeris Ivana tidak terkendali. “Berisik!” geram Giselle manarik lebih kuat rambut Ivana
“Sialan! Jalang sialan!” maki Giselle mengerang kesakitan merasakan darah yang tidak berhenti keluar dari nadinya.Gigitan Alice sangat tajam dan dalam di pergelangan tepat di pembuluh nadi Giselle.Andre memacu kendaraannya semakin cepat, sesekali dia melihat ke belakang, khawatir jika ada seseorang yang mengejar. Kini Giselle akan menjadi buronan sepenuhnya, sementara Andre yang selama ini selalu menjadi kaki tangan kejahatanya Giselle akan ikut terseret dalam kasus ini.“Berani-beraninya jalang itu melukai tanganku,” geram Giselle menekan kuat kain kasa yang menggulung lengannya, kain yang berwarna putih itu berubah merah pekat karena darah yang tidak berhenti keluar.Selama ini Alice tidak pernah sekalipun melawan kekerasan Giselle, bahkan untuk menatap sepasang matanya saja, Alice langsung gemetar ketakutan.Sejak bayi, Giselle sudah mendoktrinnya dengan berbagai kata buruk agar Alice menjadi manusia yang sama sekali tidak berguna.Tapi, mengapa kini Alice jauh berubah dalam waktu
Hayes terduduk di sebuah bangku tempat menunggu, beberapa kali dia mengubah posisi duduknya dan sesekali bangkit hanya untuk mondar-mandir, menunggu operasi yang Ivana jalani untuk mengangkat peluru yang bersarang di bahunya.Dua pengawal yang terluka ikut menjalani operasi yang sama di ruangan lain.Hayes menengadahkan kepalanya, melihat langit-langit lorong rumah sakit dengan tatapan nyalang.Pikiran Hayes terus terbagi ke berbagai arah, semua yang terjadi hari ini masih terasa seperti sebuah mimpi saking sulit untuk Hayes terima dengan akal sehatnya. Suara langkah terdengar, Philip menyerahkan satu cup teh hangat untuk Hayes agar dia bisa menanangkan diri. “Bagaimana keadaan Alice?” tanya Hayes terdengar serak.Philip segera duduk di sisi Hayes. “Mery bilang, nona Alice keadaannya cukup parah, namun beliau memilih tidur setelah diobati,” jawab Philip apa adanya.“Tolong hubungi dokter pribadiku, minta dia datang mengobati Alice.”“Dokter sudah ada, namun nona Alice tetap menolak.
Suara letupan senjata terdengar menggema di pendengaran, keringat dingin yang membasahi wajah pucat Alice, gadis itu bergerak gelisah diserang oleh mimpi buruk yang hebat.Tangannya bergerak di udara mencari-cari sesuatu yang dipegang erat. Bibir Alice yang mengering tampak gemetar mengeluarkan suara rintihan kesakitan.Dalam satu sentakan Alice terbangun begitu bisa melepaskan diri dari mimpi buruknya. Deru napas kasar tidak beraturan terdengar di kesunyian.Dengan lemah Alice duduk, menatap sekitar dengan waspada. Sepanjang malam Alice diserang demam, suara kencang dari letupan senjata membangkitkan kembali traumanya pada suara nyaring.Alice mengusap keningnya yang basah oleh keringat dingin.Waktu sudah menunjukan pukul empat pagi..Perlahan Alice beranjak dari sofanya, dengan sempoyongan gadis itu pergi ke kamar mandi dan meminum beberapa teguk air dari keran, lalu membasuh wajahnya. Sejenak Alice berdiri di depan cermin, memeriksa keningnya yang membiru pekat dan masih sedikit
“Makanlah sarapanmu,” titah Damian yang tengah duduk di sebuah kursi.Ivana tersenyum sendu, merasakan hangat sinar matahari pagi yang menyapu sisi wajahnya.“Tidak bisakan kau menyuapiku?” tanya Ivana dengan suara yang serak dan mata sembab. “Aku tidak bisa melihat, satu tanganku juga baru selesai melakukan operasi, ini sangat sulit,” ucap Ivana lagi dengan rintihan menahan diri untuk tidak kembali menangis.Damian segera berpindah duduk ke sisi ranjang, pria itu mengambil alih sendok dan perlahana menyuapi Ivana sedikit demi sedikit. “Apa kau tidak sedikitpun kasihan padaku sekarang?” tanya Ivana pelan.“Apa rasa kasihanku padamu akan membuat keadaanmu membaik?” tanya balik Damian terdengar tenang dan terus menyuapi Ivana.Ivana tersenyum sedih, wanita itu menelan makananya dengan kesulitan. “Aku tidak mengerti, mengapa kehidupanku semakin menyulitkan akhir-akhir ini. Hatika semakin hancur karena kini Hayes sudah tahu kebenarannya,” jawab Ivana kian pelan.Damian tersenyum masam, d
Hayes melihat kursi di sisinya kosong, sudah hampir lima menit dia duduk menunggu, namun Alice belum datang padahal sudah saatnya kini makan malam.Damian yang baru duduk ikut melihat kursi Alice yang kosong. “Kemana Alice?” tanya Damian.“Aku juga tidak tahu,” jawab Hayes menggantung, tersadar jika sejak tadi dia tidak melihat keberadaan Alice.“Apa kalian bertengkar lagi?” tebak Damian.“Tidak.”Mery yang baru datang membawa semangkuk bubur untuk Alice, tampak terkejut melihat kursi Alice yang kembali kosong. Alice sama sekali tidak datang ke meja makan sejak sarapan pagi tadi, dan sepertinya kejadian tadi siang sudah mengguncangnya.Mery sudah mendisiplinkan beberapa pelayan agar mereka menjaga sikap dan berhenti ikut campur sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Tampaknya apa yang Mery lakukan tidak cukup membuat beberapa pelayan patuh.Mery tidak bisa membiarkan ini terjadi terus berlanjut.Sebagai kepala pelayan, semua urusan pekerjaan adalah tanggung jawabnya, di
Selepas kepergian Hayes, dengan hati-hati Alice membaringkan dirinya lagi, meringkuk miring sambil memeluk perutnya yang sakit. Tendangan Giselle kemarin malam sangat sakit sampai ke ulu hati, perut Alice yang rentan dan mudah sakit, membuatnya keram kesulitan untuk bergerak.Ditambah lagi dengan suara ledakan dari tembakan yang nyaring, lebih keras dan menakutkan dari pecahan gelas terus menghantui Alice.Ketakutannya pada makanan kembali mengganggu Alice karena suara nyaring itu.Alice berusaha memejamkan matanya lagi agar bisa tidur, berharap jika besok pagi sakitnya akan berkurang karena Alice harus mencari pekerjaan lagi.Waktu Alice tinggal di rumah ini semakin sedikit, jika dia tidak bekerja dan tidak memiliki uang yang cukup, Alice tidak bisa menata kehidupan barunya. Suara pintu yang terbuka kembali terdengar, derap langkah tergesar mendekat ke arah Alice. “Apa kau sudah gila? Kenapa berbohong jika sebenarnya kau belum makan apapun?” suara menggertak Hayes terdengar hampir
Ivana berjalan tertatih-tatih menyusuri dinding, tangannya menggapai udara, disetiap langkah yang dia ambil penuh kehati-hatian, pendengarannya dipasang tajam hanya untuk memastikan jika tidak ada siapapun orang yang masuk ke dalam kamarnya.Langkah Ivana terhenti di depan sebuah laci kecil yang tersimpan di sudut ruangan kamar. Ivana mengambil sebuah telepon genggam jadulnya yang tersimpan di salah satu kolong laci, dia membawanya pergi mendekati jendela menuju balkon.Lama Ivana diam disana tanpa melakukan apapun, wanita itu kembali memastikan tidak ada siapapun yang datang, matanya bergerak pasif hanya dengan mendengar suara hembusan angin di sekitar jendela yang terbuka.Jemari Ivana bergerak di keyboyrd, menekan beberapa angka yang sangat dia ingat untuk bisa menghubungi Justin yang sejak pagi ini sangat ingin dia hubungi. Ivana harus menunggu beberapa deringan sampai Justin menerima panggilan darinya.“Aku ingin tahu, apa kau sudah memiliki jawaban atas pekerjaan yang aku tawark