Suasana sarapan mereka hari itu terasa sangat menegangkan. Wicak, Rafli, Tomi, dan Hani hanya bisa saling pandang sambil menghabiskan makanan mereka dengan cepat. Sementara Rhea dan Naren seperti ada dalam zona peperangan sendiri. Keduanya menunduk sambil sesekali melemparkan tatapan tajam."Kalau kalian sudah selesai, langsung jalan aja. Hari ini saya bawa mobil sendiri." perintah Naren sambil berlalu meninggalkan mereka.Hani mencolek lengan Rhea. "Berantem?"Rhea mengedikkan bahu sebagai pertanda tidak mau menjawabnya. Pun ia sendiri tidak tahu apakah ia memang bertengkar dengan Naren, karena mereka berdua sama-sama memilih diam untuk menekan segala ego dan emosi.Ponsel yang diletakkan Rhea di atas meja bergetar, ia melihat sebentar pesan yang baru masuk ke ponselnya, kemudian meraih tasnya. "Aku nggak bareng kalian ya, temenku jemput sekalian dia mau balik ke Jakarta," ucapnya sambil berlalu."Sekarang tau kan kenapa suasananya nggak enak banget?" Hani menatap sisa anggota tim ya
Rhea menghabiskan waktu sore sepulang kerja dengan berendam di bathtub. Ia hampir tidak pernah menggunakan bathtub yang tersedia di kamar mandi karena menurutnya buang-buang air. Tapi sepertinya kali ini ia benar-benar butuh untuk sekadar melepaskan penat dan ... berpikir.Sesekali ia menenggelamkan kepalanya, siapa tahu otaknya bisa kembali normal. Bagaimana mungkin ia berdebar ketika Naren mengecup punggung tangannya? Bagaimana bisa debaran jantungnya tidak terkontrol saat Naren mengatakan ingin menghapus jejak Brama di lehernya?"Wake up, Rhe! Kamu nggak mau kan terjerumus ketiga kalinya!" hardik hati kecilnya. "Dasar lemah."Entah selama apa Rhea menghabiskan waktu di dalam bathtub, yang jelas ia baru menyelesaikan prosesi berendamnya setelah ujung jarinya terlihat keriput.Setelah itu pun, ia masih rebahan di atas kasur sambil bermain ponsel. Sekitar jam makan malam, barulah ia turun ke lanti bawah, bergabung bersama rekan timnya yang lain.Matanya terbelalak ketika melihat seora
Satu jam lamanya Naren diam dalam posisinya. Lama-lama ia lelah juga. Tapi ia tidak bisa menurunkan kewaspadaannya. Atau mungkin Brama tidak akan datang? Tidak mungkin. Buat apa dia membuat seisi villa teler kalau bukan karena ingin datang ke villa.Saat itu lah Naren mendengar derit pintu. Saat pintu di hadapannya terbuka, sosok Brama muncul. Bekas luka yang sempat ia berikan untuk laki-laki itu sudah hampir pudar walau masih ada beberapa lebam kebiruan di sekitar matanya."Lama juga ya. Padahal udah dari tadi semua orang nggak sadar." Naren menatap Brama tanpa rasa gentar sedikit pun. "Oh, atau sengaja? Sampai kamu yakin kalau semua orang yang ada di sini nggak akan terbangun untuk mencegah niat busukmu?"Brama terkekeh. Kini ia sama sekali tidak merasa takut dengan Naren. Ia hanya ingin segera menuntaskan dendamnya kepada Rhea dan kepada laki-laki di hadapannya yang dengan jemawa menantangnya. "Sebuah kehormatan bagi saya, Pak Naren mau menyambut saya seperti ini. Yaah, walaupun se
"Rhe, tolongin dong. Naren belum makan. Kasian kalo mesti naik turun," ucap Pras.Seharian itu, baik Pras, Brian, Rama terlihat sibuk mengurus berbagai hal. Mulai dari memeriksakan satu per satu orang yang baru sadar dari efek obat tidur, menyusun bukti-bukti, mengambil rekaman cctv, mengantar Naren ke kantor polisi untuk memberikan keterangan dan bahkan menemani Naren untuk visum.Rhea benar-benar bersyukur atas kehadiran mereka. Ia tidak bisa membayangkan kalau harus menghadapinya seorang diri.Ketukan di pintu kamarnya membuat Naren berdecak kesal. Ia baru saja kembali dari kantor polisi dan ingin menghabiskan waktu dengan tidur karena badannya masih terasa remuk."Apa?" ucapnya sedikit berteriak.Rhea membuka pintu kamar Naren dan menemukan lelaki itu sedang berbaring sambil memejamkan mata."Makan dulu."Mata Naren seketika terbuka begitu mendengar suara Rhea."Sorry, Rhe. Kirain anak-anak."Rhea masuk ke dalam kamar dan meletakkan makanan yang dibawanya ke atas nakas."Aku ngant
Seminggu setelah peristiwa Naren dihajar Brama dan Brama akhirnya ditangkap, Naren secara resmi membubarkan timnya. Tugas timnya sudah beres, bahkan timnya memberikan insight baru kepada perusahaan yoghurt kesayangan almarhumah neneknya itu agar bisa melakukan diversifikasi usaha.Untuk merayakan pencapaian mereka, Naren sengaja memesan tempat di restoran salah satu hotel berbintang yang ada di Bogor, sebelum mereka kembali ke Jakarta.Sembari menunggu makanan yang dipesannya datang, Naren mengeluarkan lima kotak berwarna hitam dari paper bag yang sejak tadi ditentengnya dan menyerahkannya kepada masing-masing anggota timnya. "Simbol ucapan terima kasih dan hadiah dari Pak Aditama." Naren memang selalu menggunakan sapaan resmi jika berhubungan dengan pekerjaan.Kelimanya saling lirik penuh tanya, ragu untuk membukanya, tapi penasaran isinya."Buka aja kalo penasaran," ujar Naren sembil tersenyum.Rafli yang pertama kali membuka kotak itu. Matanya seketika berbinar, dan karena melihat
"Mama! Mama! Bangun, Ma! Kakak pulang bawa cowok."Ranu, adik Rhea satu-satunya, dengan perbedaan jarak 17 tahun, tapi hubungan mereka tetap terjalin akrab. Sama-sama punya jiwa menindas. Rhea menindas adiknya dengan segala perintahnya yang harus dituruti karena ia anak tertua dan Ranu membalas kakaknya dengan segala jenis kejahilannya. Melihat kakaknya mengajak teman laki-laki pulang ke rumah tentu saja akan menjadi bahan kejahilannya yang terbaru."Beneran?" Wanita bernama Dyah Hapsari itu segera membuka mata, tanpa ekspektasi terlalu tinggi. Rhea masih memegang prinsipnya seperti dulu, hanya akan mengenalkan pacarnya kalau ia dalam tahapan yang serius. Maka setiap laki-laki yang diajak pulang, statusnya hanya mentok sebagai teman, benar-benar teman, tidak lebih.Dyah merapikan tampilannya sebelum turun ke ruang tamu. Ia sempat mengintip sebelum masuk ke ruang tamu. Benar, ada seorang lelaki yang duduk di seberang anaknya, terlihat cukup canggung menghadapi suaminya."Udah pulang,
"Kamu ngapain, Kak?” tanya Haris yang tengah mengenakan kaus kaki di kursi teras depan rumahnya.Dua koper sudah tersusun rapi di ujung teras. Rhea yang sedang mengelap spion mobilnya seketika menoleh kepada papanya sambil mengernyit bingung. “Manasin mobil buat nganter ke bandara kan?”“Oooh, nggak usah,” jawab Haris tanpa mendongak sama sekali ke arah putrinya.“Lah terus? Mau naik taksi? Aku anter aja lah, Pa.”Belum sempat papanya menjawab, teriakan seseorang terdengar dari luar pagar. “Sore, Om.”“Sore. Bukain pagernya, Kak.”Rhea menatap Naren dan papanya bergantian, kemudian beranjak ke belakang pagar untuk menuruti perintah papanya membukakan pagar untuk Naren.“Mau ngapain? Aku mau nganter keluargaku ke bandara.” ucap Rhea di depan Naren. Ia sengaja tidak bersuara terlalu kencang. Orang tuanya bisa memberinya ceramah tujuh hari tujuh malam kalau ia bersikap atau berucap kasar ke orang lain, apalagi orang tuanya kelihatan menyukai Naren yang selalu dipuji-puji telah ‘menyelama
Rhea melemparkan diri ke kasurnya begitu tiba di kamar. Ia meraih bantal dan menangkupkannya di atas wajahnya."Aaaargh. Rhea!" Ia berteriak lumayan kencang karena itulah ia membutuhkan bantal untuk meredam suaranya.Selain teriakannya, kini kakinya ikut menendang-nendang udara.Semua sel tubuhnya seakan protes atas apa yang telah dilakukan si empunya tubuh. Padahal semua sel itu berhianat padanya saat kejadian itu terjadi.Bisa-bisanya ia menerima ciuman Naren dan malah memejamkan mata.***-Beberapa jam sebelumnya-Rhea menatap fotonya dengan Naren. Ia tersenyum melihatnya. Lelaki di foto itu, Naren, adalah pacar pertamanya. Kadang ia rindu saat itu, saat di mana ia rela menjadi pacar tiga puluh hari seorang Narendra, dan diperlakukan istimewa oleh lelaki itu.Sekarang lelaki itu ada di sampingnya, memberikan harapan, lalu menyakiti, dan datang kembali dengan mengaku cinta. Harus bagaimana ia bersikap?Saat pikirannya tengah bercabang, ia merasakan dagunya ditarik seseorang dan dala