HAPPY READING!!!
'Gak usah ngelarang. Kalo Lo Sendiri gak suka dilarang-larang.'
*
Orang itu mulai melangkah maju. Sedangkan Talita terus mundur sampai ke tepi rooftop dan hampir saja terjatuh kalau bukan ditahan dengan orang yang tidak dikenalnya itu.
"Tenanglah. Jangan kesini. Nanti kau jatuh terus mati, itu sangat merepotkan nantinya. Duduk saja." Katanya dengan bahasa baku menyuruh Talita duduk di sofa usang yang berada disana. Mau tak mau Talita menurutinya dan duduk disofa itu.
Orang itu berjongkok dihadapan Talita. Dengan tangan yang dilapisi sarung tangan lateks berwarna hitam, ia memegang tangan Talita dan mengelusnya lembut. "Tanganmu sungguh lembut sekali nona. Apa tangan ini digunakan untuk berbuat hal jahat seperti membully orang lemah?" Tanyanya lalu menggenggam tangan Talita erat sampai merintih kesakitan.
Orang itu tersenyum dibalik topeng yang dipakainya lalu mengendurkan genggaman tangannya di tangan Talita. "L—lo mau apa? Ja—jangan sakitin gue. Please!" Mohon Talita dengan air mata yang sudah mengalir.
"Tenang saja. Aku tidak akan menyakitimu nona. Aku hanya ingin kau membayar hutangmu padaku."
"Be-beneran? Gue punya hutang berapa sama Lo?" Tanya dengan terus menangis.
"JANGAN MENANGIS! Saya paling benci liat orang lemah!" Bentaknya yang membuat Talita berhenti menangis. "Ulurkan tanganmu." Titahnya yang membuat Talita mau tak mau menurutinya lagi.
Talita mengulurkan tangannya ke hadapan orang itu. Sedangkan orang itu mengelus lengan mulus Talita lalu mengambil sesuatu dari saku Hoodienya dan langsung menancapkannya dilengannya yang membuat Talita seketika langsung pingsan.
"Oy!" Panggil seseorang dari depan pintu rooftop lalu menyenderkan punggungnya ke tembok sembari bersedekap dada.
"Tutup pintunya."
Cowok itu menutup pintunya dan duduk tak jauh dari tempat Talita. "Mau apa sih, Fi?" Tanya orang ber-hoodie itu.
"Seperti biasa ye. Maennya Alus bener, ye kan. Na?" Ana melempar topeng yang dipakainya kearah Alfi dan menatapnya kesal
"Ganggu Mulu Lo kambing!" Ketusnya.
"Lanjut aja. Btw, gak Lo suntik mati kan nih orang?" Tanya Alfi melirik ke arah suntikan di tangan Ana yang masih menancap dilengan Talitha. Ana menggeleng. "Kagak elah. Cuma gue suntik, kasih obat bius sama obat tidur. Biar gak Berisik!"
"Lanjut dah!" Suruh Alfi santai.
Alih-alih bukannya menghentikan. Alfi justru membiarkannya, ia hanya menonton dan menikmati apa yang sedang terjadi didepannya itu.
'Gak usah ngelarang. Kalo Lo Sendiri gak suka dilarang-larang.' begitulah prinsip Ana dan Alfi. Yang selalu mereka yakini dari dulu sampai sekarang. Mereka tidak akan saling melarang melakukan hal yang disukainya, kecuali hal itu sudah kelewatan baru akan dihentikan.
Ana terdiam dan melihat jari-jari Maia didepannya. Dia yang merasa bingung pun berniat meminta pendapat ke Alfi yang sedari tadi hanya menonton saja. "Ki—"
"Jari telunjuk aja. Biar dia gak bisa ngupil." Katanya lalu tertawa sebelum Ana meyelesaikan perkataannya.
"Boleh." Ana tersenyum miring lalu mengambil sesuatu di dalam saku Hoodienya.
Penggaris kecil.
Ana selalu menggunakan dan membawanya kemana pun. Penggaris itu bukan sembarang penggaris. Dengan sedikit di modifikasi dengannya dan ditambah ujung mata pisau yang tajam. Membuatnya tersenyum melihatnya.
Ia meletakkan penggarisnya diatas jari telunjuk tangan kanan Talita. Dia menyesuaikan dengan ukuran jarinya lalu mengangkat penggarisnya.
KRAK!
Dengan sekali hentakkan, penggaris itu langsung bisa mematahkan jari telunjuk tangan terpasang cicin emas itu. Ana tersenyum dan mengambil jarinya, tanpa menghiraukan darah yang terus keluar dari tangan Talita. Ia melepaskan cincin itu dan meletakkannya disebelah tangan Talita.
"Gue gak berniat buang ngambil barang-barang Lo. Gue cuma mau ambil jari Lo." Ucap Ana Tersenyum puas lalu memasukan jari itu kedalam plastik.
"Bayarannya udah gue terima." Ana mengangkat plastik berisi jari telunjuk milik Talita, lalu memasukkannya kedalam saku Hoodienya.
"Pulang sekarang?" Tanya Alfi setelah selesai mengobati jari Talita. Ana mengangguk lalu meletakkan sebuah catatan kecil disana.
"Yok!" Ana melangkahkan kakinya meninggalkan Alfi disana. "Maafin temen gue ya. Lain kali, Lo jangan coba-coba buat cari masalah sama dia, kalo gak mau kayak gini lagi" Gumamnya melihat Talita yang masih tak sadarkan diri lalu melangkah pergi dari sana.
*
Ana memberhentikan motornya dihalaman depan rumah berukuran sedang itu. Setelah melepas helmnya, ia langsung melangkahkan kakinya menuju ke halaman belakang lewat samping. Sebelum benar-benar sampai dihalaman belakang rumah, di memberhentikan langkahnya dan menengok ke orang yang berada dibelakangnya.
"Lo ngapain ngikutin gue njir??" Tanyanya kesal ke arah Alfi yang membututinya sedari tadi disekolah sampai kesini.
"Mau ngikutin aja. Toh, daripada gue dirumah. Gabut. Mending disini... Gangguin Lo," sahutnya sembari mencubit hidung perempuan didepannya itu.
"Terserah." Sahut Ana tak mau ribet. Ia meletakkan tasnya ke saung yang berada disana dan langsung menghampiri beberapa orang yang berada disana.
PLAK!
"Yo! Mau latihan Lo?" Tanya orang yang tiba-tiba saja datang dari belakangnya dan memukul kepalanya pelan.
"Gak usah ngeplak pala orang Mulu bisa gak sih?! Anta kampret!" Ketus Ana berbalik lalu memukul dada bidang orang didepannya.
PLETAK!
Lagi dan lagi, Jidat Ana kembali disentil dengan lelaki yang dipanggil Anta itu. "Kakak! Atau Abang gitu? Manggil nama Mulu," Ana mencibir pelan saat mendengarnya. "Cuma beda dua tahun doang, kok ribet?" Gumamnya.
"Apa?" Tanya Anta.
Atlanta Prayudha. Seorang lelaki tinggi, berkulit putih dengan alis yang tipis namun buku matanya panjang dan lentik. Matanya yang berwarna coklat terang persis sekali dengan mata bapaknya. Dia adalah Anak dari Aidinal dan Ipeh. Atau lebih tepatnya Ipeh merupakan ibu sambungnya setelah ibu kandungnya meninggal beberapa tahun lalu.
"Udah sana lo! Ada si Alfi noh!" Tunjuk Ana kearah Alfi yang sedang duduk dan memperhatikan mereka dari jauh.
Tanpa mengucapkan apapun, Anta Langsung pergi dari sana menghampiri Alfi untuk diajak Mabar seperti biasa.
"Baru dateng lo Na?" Tanya seseorang yang datang dari belakang Ana. Orang itu mengelap keringatnya yang membanjiri wajahnya bahkan tubuhnya juga sampai bajunya terlihat sangat lepek.
"Hm." Gumam Ana menyahutinya pelan. "Nyebur dimana Lo? Lepek amat." Sindirnya
"Lo lama datengnya sih. Jadi gue tinggal. Gue udah keliling sepuluh kali ini komplek dari tadi." Sahut orang itu sembari duduk dan meluruskan kakinya.
"Parah banget, ninggalin." Kesal Ana. "Ayo lari lagi?" Ajaknya.
"Besok aja. Capek gue wey."
"Ah! Lemah Lo Fi!" Sindir Ana sembari melakukan peregangan dan membuat orang itu menautkan alisnya heran lalu tersenyum miring.
"Bapeerrr," Ledeknya.
"Berisik!"
Ragiel Fadl Kafi. Seorang Anak laki-laki dari pasangan Nadya dan Dino. Dia memiliki tubuh yang tidak terlalu tinggi. Bisa juga dibilang pendek, kalau dipantarkan dengan laki-laki lain. Dia memiliki mata berwarna hitam pekat, dengan alisnya yang tebal. Berkulit sawo mateng dan juga memiliki rahang yang tegas. Bisa Membuat perempuan lain saat melihatnya langsung klepek klepek.
"Baru balik sekolah, Lo? Makanya telat?" Tanya Kafi.
"Gak. Dari tadi." Sahut Ana lalu duduk disebelah Kafi. "Cuma ada urusan aja."
"Lo mulai lagi kan? Hm?" Ana yang mendengar itu, spontan menutup mulut Kafi dengan tangannya dan menengok ke kanan-kiri. "Jaga omongan Lo. Jangan sampe mereka pada tau! Apalagi bonyok gue!" Peringatnya.
Kafi mengangkat bahunya acuh tak acuh. Ia nyengir dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Santai aja. Toh, mereka udah pada tau juga." Katanya santai.
*
—TO BE CONTINUE—
HAPPY READING!!!'Kita semua sama. Gak ada yang dibeda-bedain! Ngerti?'*"MAKSUD LO APA HAH?!" Teriak Ana Langsung mencengkeram kerah baju Kafi."Mereka tau. Tapi bonyok Lo enggak. Santai dikit Napa." Kekehnya."Lo ngasih tau mereka?" Tanya Ana."Domino. Lo tau perkumpulan itu?" Tanya balik Kafi."Perkumpulan? Perkumpulan apaan itu?""Febriana Aurelie. Seorang leader. Atau pendiri dari Domino yang baru aja dibentuk satu tahun yang lalu. Perkumpulan yang suka membantu masyarakat dan juga kadang membuat masalah. Dan yang dikira orang-orang semua anggota itu cowok. Ternyata leadernya itu cewek. Lo tertutup sama orang lain. Tapi Lo terbuka dengan anggota Lo, dengan bilang kalo Lo itu cewek." Ujar Kafi panjang lebar."Lah? Apaan njir? Udah kayak cerita novel aja?" Tawanya pelan.&nb
HAPPY READING!!!*Tok.... Tok...tok..Pintu rumah diketuk. Tak lama kemudian pintu itu terbuka dan menampakkan seorang perempuan berhijab yang membukakan pintunya."Ananya kecapean nih Tan. Biasa." Kata Zeldan menunjuk ke arah Ana yang berada dipunggung Jidan."Langsung bawa masuk ke kamarnya aja." Suruh Okta mempersilahkan semua remaja itu masuk kedalam rumahnya.Setelah membaringkan Ana di kasurnya, Jidan keluar dari kamar temannya itu dengan menutup pintu kamarnya perlahan dan melangkah menghampiri teman-temannya yang lain sedang menunggu di ruang tamu."Tidur dia?" Jidan mengangguk menyahutinya.Mereka semua berkumpul diruang tamu. Sembari menonton dan memakan cemilan-cemilan yang disediakan. Atau lebih tepatnya, mereka ngambil sendiri tanpa perlu disuruh.Beberapa menit kemudian. Pintu kamar
HAPPY READING!!!Kalau satu orang dapat hukuman, semuanya juga akan ikut dihukum.*Ana mengerem Motor Vespa putih kesayangannya itu saat sudah sampai tepat didepan gerbang sekolah yang sudah tertutup rapat.Tin...tin..Ana membunyikan klakson Motornya sampai penjaga sekolah keluar berada di posnya. "Mang, bukain gerbangnya mang!" Teriak Ana yang membuat beberapa orang yang juga telat disana melihat kearahnya."Neng Ana lagi?" Gumam penjaga sekolah itu menggaruk kepalanya. "Saya gak bisa bukain gerbangnya. Tunggu aja Bu Wenda kesini. Tunggu bareng yang lainnya tuh," Lanjutnya sembari menunjuk ke beberapa orang yang juga telat sepertinya."Urgent nih mang. Gak bisa nunggu, saya." Desak Ana."Gak bisa." Kekeuh penjaga gerbang itu.
HAPPY READING!!!!"Gak usah liat-liat gue. Ganggu!"*"Ana, Pesen makan." Suruh Kafi, yang membuat Ana baru saja mau duduk di kursi kantin, Langsung merengut kesal menatapnya."Gue--""Sut... Anak kecil gak usah banyak bacot. Pesen sana." Potong Alfi cepat yang membuat Ana tambah kesal saat melihat sifat tengilnya."Awas Lo Fi!" Ancam Ana tajam. Orang yang diancamnya itu hanya tersenyum meledek kearahnya"Jidan, Edan. Temenin." Pinta Ana dengan memasang wajah memelas kehadap dua orang kembar yang justru menghiraukannya dan asik mengobrol."Oh.. gitu?! Biarin aja. Gue pesen buat gue sendiri. Males. Awas aja pada minta!" Putus Ana lalu pergi dari sana. Lalu disambut gelak tawa
HAPPY READING!!!"Saya suka kok,"*"EGAS?" Panggil Ana yang menghentikan langkahnya."Ya." Sahut Egas singkat.Ana mendekat kearah Egas yang berada didepannya. Ia mendekatkan telinganya ke arah lelaki itu. Dia tersenyum miring lalu menatap kearah lelaki dihadapannya itu. "Lo bohong." Katanya enteng."Bohong?" Gumam Egas."Ini. Lo pasti tau. Ini obat maag." Kata Ana menunjuk ke obat hijau kecil yang berada ditangannya. "Tapi gue tau, Lo mau minum ini bukan karena lo sakit maag." Tebaknya."Enggak " elak Egas."Lo gak sakit maag. Tapi Lo Laper! Makanya Lo mau minum obat itu biar Lo tahan kalo g
HAPPY READING!!!'Gue baru sehari kenal sama dia 'kan, ya?'*MEREKA menyelesaikan makannya. Mamah Ana membereskan piring-piring kotor, sedangkan Ana, Nata dan Egas masih duduk diam di ruang makan.Ana yang merasa bosan pun memainkan ponselnya dengan meletakkan kepalanya diatas meja makan. Yang secara tidak langsung kepalanya menghadap ke arah Egas yang duduk disebelahnya.Drrt....drrt...Ponsel Ana berdering yang membuatnya seketika terkejut dan mendengus kesal saat melihat nama kontak di layar ponselnya.ALFI 🤡 CALLING..."apaan?" Sewot Ana."Lah, situ yang sewot. Kemana Lo woy?" Sahut Alfi yang membu
HAPPY READING!!!'Besok Ana kesini lagi kok, pak.'»«PEREMPUAN berhijab itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, dengan Cengiran lebar diwajahnya saat berhadapan dengan sang mamah yang sudah menunggunya sedari tadi."Dari mana aja, hm?" Tanya mamahnya menatap kearah Ana sembari bersedekap dada."A--""Udah. Marahnya dilanjut nanti. Sekarang jadi pergi gak?" Potong Papahnya sebelum Ana menyelesaikan ucapannya."Kamu ke kamar, Ganti baju." Titah Mamahnya."Asiap!" Ana segera berlari masuk kedalam kamarnya.»«Setelah mencabuti rumput-rumput liar yang
HAPPY READING!!!'Sesuai janji, Gue bebasin Lo. Dan biarin Lo pergi ke neraka.'»«BRUK...! Terdengar suara punggung seseorang yang menabrak tembok dibelakangnya. Orang itu gemetar ketakutan, matanya membesar saat melihat orang didepannya berjalan santai kearahnya dan sedikit membungkukkan badannya ke arahnya."A-ampun. Sa-saya ng-ngaku. S-sa-saya salah! Saya pelakunya!" Katanya dengan nada gemetar ketakutan dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya.Lelaki didepannya ini terdiam, lalu beberapa saat kemudian ia tersenyum lebar. "Begitu?" Sahutnya."Shit! Harusnya dari tadi Lo ngakuny
HAPPY READING!!!!"Kamu diam, jangan teriak, sekarang kita pergi dari sini,"★Egas menahan pundak Ana, agar perempuan itu berhenti berjalan,dan kini menatap kearahnya. "are you okey?" tanyanya, khawatir.Ana tersenyum tipis, "im okey," jawabnya."Kesini naik apa?" tanya Egas, lagi."Motor,"Ana berjalan ke arah motornya, kebetulan mereka kini sudah berada di parkiran depan sekolah, Ana segera menaiki motor pespa putih kesayangannya itu, memakai helmnya lalu berpamitan. "Duluan," pamitnya, sebelum ditahan Egas."Yakin bisa? Gak bakal jatuh, kan?" Egas terlihat khawatir. "Kuat, gue duluan, dah," Ana menjalankan motornya dengan kecepatan sedang, pergi dari area sekolah.★
HAPPY READING!!!"Lo itu pembunuh, Na," ★Ana mengenakan jaketnya, dan tidak lupa mengambil masker dari laci nakas, memakainya, lalu keluar dari kamar.10.35 WibAna melihat jam di pergelangan tangannya, "huh," ia menghela nafas."Kamu mau kemana, Ana, heum?" tanya mamahnya dari ruang tamu, menghampiri Ana dengan tergesa-gesa. "Kamu masih sakit, masuk kamar lagi sana," suruhnya.Ana tak kunjung menjawab, mamahnya berkacak pinggang dan berkata,"jawab, Febriana Aurelie,"Ana menggaruk kepalanya pelan, lalu nyengir lebar dibalik maskernya kearah mamahnya. "Hehe," cengirnya."Ana mau ke sekolah, ada urusan bentarrrr doang, boleh kan mah?" ijinnya"Gak boleh," jawab mamahnya cepat.A
HAPPY READING!!!'Ekspektasinya terlalu tinggi'★Ana menengok, kemudian menunjuk dirinya sendiri, seakan berkata, 'ngomong sama gue?'Cowok itu mengangguk, "iya, elo." katanya, menghampiri Ana.Ana mengangkat sebelah alisnya. 'kenapa?'"Thanks buat yang tadi, lain kali pasti bakal gue ganti," ujarnya, tulus. "Gue Indra," Indra mengulurkan tangannya kehadapan Ana."Dia Arka," lanjutnya menunjuk kearah temannya disebelahnya.Ana mengangguk paham. "Santai." hanya kata itu yang keluar dari mulut Ana."Nama Lo?" tanya Arka, membuat Ana menengok kearahnya.Belum juga Ana menjawab, tetesan air hujan sudah lebih dulu jatuh ketanah. Membuat kedua lelaki disana segera melindungi kepala mereka dengan tanga
HAPPY READING!!!'jelas-jelas berbohong, karena memang kenyataannya tidak seperti yang diucapkannya.'*Waktu sudah menunjukkan pukul tengah malam.Didalam kamarnya, Ana hanya menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong, entah ingin melakukan apa, dia sendiri merasa malas melakukan apapun.Sore tadi, setelah acara pemakaman Zidan selesai, Ana langsung pulang kerumah. Walaupun hanya bisa melihat dari kejauhan, dia sudah merasa cukup. Karena tak ingin membuat keributan karena Zeldan tak ingin ia ada disana, Ana lebih mencari aman."Maafin gue, Dat."batin Ana, lirih."Apa lo marah sama gue, Dat?""Maaf.. maaf... Maaf,"Lagi. Ana lagi-lagi kembali menangis dalam diam. Kembali merasakan sesaknya menahan tangisnya, agar tidak membuat kedua oran
HAPPY READING!!!'Dia pergi...:»«Anta berlari ke arah salah satu suster yang berjalan keluar dari ruangan operasi, beberapa suster yang lainnya pergi begitu saja dari sana. "Sus," panggilnya."Maaf, ada apa ya?" Tanya susternya."Pasien yang korban kecelakaan, yang tadi dioperasi. Atas nama Zidan Fadlan Albani, dia dimana ya? Gimana keadaannya?" Tanyanya beruntut.Suster itu terdiam, lalu menjawab. "Korban kecelakaan kereta tadi sore?" Mereka semua yang ada diantara mengangguk."Korban sudah dibawa ke ruang jenazah,ti—"Zeldan maju dengan emosi, namun dengan cepat di tahan dengan Kafi dan Alfi disana. "SUSTER KALO MAU BERCANDA JANGAN KELEWATAN, BISA GAK, HAH?!" Bentak Zeldan. "SEKARANG DIMANA ZIDAN! DIMANA KEMBARAN SAYA, HAH?!"emosinya kalut."
HAPPY READING:):'Dia pasti baik-baik saja.'»«Kembali ke rumah Anta, tepatnya dikamar Anta--tempat semuanya berkumpul kini. Mata Anta dan Kafi tertuju pada Zeldan, saat mendengar ponselnya yang jatuh tiba-tiba ke lantai, dan lelaki itu meringis memegangi kepalanya, yang entah mengapa terasa sangat sakit.Zidan yang tadinya sibuk dengan ponselnya, kini memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa sangat sakit, lalu beberapa saat kemudian dia pingsan, membuat kedua temannya disana mulai panik dan berusaha untuk menyadarkannya."Oy, Dan!" Anta yang melihat Zeldan tergeletak di lantai mulai mendekatinya. "Kenapa,Lo?!" Tanyanya, terdengar dari nada suaranya, kalau Lelaki itu kini tengah khawatir, begitu juga dengan Kafi."Jangan bercanda, tolol! Bercandaan Lo gak lucu!" Sambung Kafi.
HAPPY READING!!!'Jangan tutup mata Lo, oke?'»«Zidan beranjak dari tempatnya sambil terus mengumpati Zeldan yang seenaknya saja menyuruhnya. "Punya kembaran gak ada akhlak emang." Kesalnya."Samanya kayak Lo anjir," sahut Kafi."Ya sama lah bedon! Kan mereka kembar!" Sewot Anta, lalu mengeplak kepala Kafi, kesal."Dahlah!" Zidan mengambil kunci motornya dan berjalan ke pintu. Ana ikut beranjak dari tempatnya menyusul Zidan, dengan Surya mengenakan Jaketnya. "Gue ikut." Pinta Ana."Dih, ngapain Lo?" Heran Zidan. "Disini aja, udah!" Suruhnya."Mau ikut. Bosen gue disini mulu." Sahutnya. "Apalagi sekarang udah sore, langitnya pasti lagi bagus!" Lanjutnya, menarik turunkan alisnya menatap Zidan agar mengijinkannya ikut.Zidan mengangguk pelan, lalu mencu
HAPPY READING!!!'Heee....'»«Rendy dan Ana kembali ke atas, ketempat semua teman-temannya berkumpul. Disaat mereka melewati salah satu kamar milik anggota Domino yang jaraknya lumayan dekat dengan ruangan bawah tanah, terdengar suara laknat dari dalam kamar yang membuat Rendy langsung menutup kedua telinga Ana dengan tangannya."Ada apaan dah, bang?" Tanya Ana heran.Rendy menggeleng, "gak ada apa-apaan. Udah sana balik. Masalah disini, biar gue yang beresin." Ujarnya, sambil membawa Ana pergi menjauh dari sana sampai tempat teman-temannya berada."Ayo pulang." Ajak Ana menarik tangan Kafi, dan lainnya pun mengikutinya dari belakang.Beberapa saat kemudian.Masih didalam Markas Domino. Rendy duduk santai didepan kamar yang tadi dilewatinya bersamaan Ana, dengan santa
HAPPY READING!!'Mulut Lo emang ngomong begitu. Tapi dihati Lo lain lagi, kan?'»«Selesai latihan, Ana sedikit menjauh dari teman-temannya, lalu menerima telpon yang masuk ke ponselnya."Ya?""Masalah satu anggota geng Derwis yang Lo tahan waktu itu..." Terdengar suara Rendy disebrang sana"Terus? Dia masih gak mau ngomong?""Ya begitu.. dia masih gak mau ngomong siapa leadernya. Gimana nih?""Biar gue aja. Nanti gue kesana." Ucapnya lalu menutup teleponnya Secara sepihak.Zidan menengok, "Kenapa?" Tanyanya."Gak ada." Jawabnya sambil beranjak dari tempatnya. "Abis ini gue mau ke markas, ada urusan."Egas ikut beranjak dari tempatnya, "gue... Duluan, ada urusan soalnya," pamitnya.