"Joan ...,""Aku tahu kau tidak akan datang."Brak!!Ciel dibuat melotot saat melihat sosok yang menendang pintu setengah terbuka. Bukan Luke, melainkan gadis berambut pirang dikuncir kuda dengan topi baseball."Jangan berani menyebut nama tunanganku!" ujar Caroline.Matanya menatap lurus ke arah empat pria yang ada di ruangan tersebut. Di luar dugaan, Caroline sempat berpikir kalau hanya akan ada satu atau dua pria yang ditugaskan untuk melukai Ciel. Tapi ternyata ...Sebanyak ini?"Wah, lihat! Ciel sekarang berteman dengan anak konglomerat!"Caroline mendecih pelan mendengar ucapan pria yang berdiri tepat di depannya. Ia melirik Ciel melalui ekor matanya. Rupanya gadis itu sudah mendapat cukup banyak luka."Kau bisa berdiri?" tanya Caroline.Ciel mengangguk pelan sembari berusaha bangun walau perutnya terasa sangat sakit. Setelah berdiri ternyata rasa nyerinya perlahan sirna."Sepertinya aku masih sanggup berlari," ujar Ciel diiringi kekehannya.Caroline mengangguk pelan. Ia melirik
Caroline membuka matanya terlebih dahulu. Ia menoleh ke samping, ia mendapati Ciel tertidur di sofa. Sementara Luke tergeletak di lantai berbantal lengannya sendiri.Ponsel di samping pria itu terus berdering. Caroline segera turun, lalu meraih benda tersebut. Nama Suster Elle terpampang di sana. Pasti wanita itu sangat khawatir pada anak asuhnya."Halo, Suster.""No-Nona Caroline? Apakah Nona bersama dengan Tuan Joan?"Caroline melirik ke arah Luke, lalu mengangguk. "Ya, kami ada di hotel.""HAH?! Ho-hotel?""Ya, jadi ada apa kau menghubungi Joan sampai sebegitu banyaknya?"Elle tidak langsung menjawab. Ia diam cukup lama, lebih dari 5 menit hingga Caroline sempat menjauhkan ponsel dari telinganya. Ia mengira Elle sudah mengakhiri panggilan."Suster Elle?" panggil Caroline."Ah, itu ... Tuan Galiard menunggu di rumah.""Rumah siapa?""Rumah Anda, Nona.""HAH?!"Caroline langsung mengakhiri panggilan. Lalu ia mengguncang tubuh Luke berulang kali. Wajahnya terlihat sangat panik, apalag
Mari kita bertarung lebih serius!Luke kembali bersiap dengan kuda-kudanya. Ia memegang katana dengan sebelah tangan melalui atas kepalanya. Ini merupakan teknik yang biasa digunakan Luke saat menghadapi bandit.Senyuman tipis Luke langsung terbit saat melihat celah di sekitar perut dan dada Galiard. Ia bisa memanfaatkan kecerobohan pria tersebut.Baru saja hendak menerjang, tiba-tiba ponsel Galiard berdering sangat nyaring. Ia langsung menjatuhkan katananya dan melangkah pergi sembari menempelkan ponsel di telinga."Tunggu, Tuan!" seru Luke.Galiard sedikit menoleh sambil menempelkan telunjuk di bibirnya. Seolah ia mengisyaratkan Luke untuk diam."Wah, padahal aku baru ingin serius bertarung," gerutu Luke.Pletak!Luke meringis sembari memegangi puncak kepalanya. Caroline muncul dari samping membuat Luke menjadi tahu pelakunya. Gadis itu meliriknya dengan sinis, lalu ia menarik sebelah tangan Luke."Ayo ke rumah sakit!""Kenapa ke rumah sakit? Siapa yang sakit?" tanya Luke.Caroline
Matahari sudah tenggelam sepenuhnya, berganti dengan terangnya bulan. Luke menggeser kursi ke depan jendela. Ia memandang ke luar sana. Walau hanya bisa melihat lampu dari rumah dan jalan, rasanya cukup menenangkan.Ceklek.Ia sontak menoleh saat mendengar suara pintu terbuka. Nampak gadis mungil yang tengah menyunggingkan senyum padanya."Kamu tidak bilang kalau terluka separah ini."Luke langsung bangun dari tempat duduknya. "Hai. Bagaimana keadaanmu, Ciel?"Ciel mendengus, ia memukul bahu Luke cukup keras. "Kamu mengabaikan ucapanku.""Ini bukan luka yang parah. Lihatlah."Luke mengangkat bajunya dan menampakkan perban yang sudah melilit perutnya. Ia memukul tempat di mana luka itu berada sembari tersenyum."Perawatan di sini sangat bagus. Aku sudah merasa sangat sehat," ujar Luke."Baguslah kalau begitu."Ciel duduk di atas ranjang rumah sakit. Sementara Luke kini kembali duduk di dekat jendela, namun ia mengubah arah menjadi menghadap Ciel. Ia terus mengamati gadis yang sedang me
Setelah insiden di rumah sakit, Caroline menjadi sulit untuk ditemui dua hari ini. Bahkan sekedar mengangkat telepon saja gadis itu tidak mau. Tentu saja membuat Luke sedikit frustasi."Suster!" seru Luke.Elle nampak sangat terkejut melihat Luke ada di pintu masuk. Pria itu berlari ke arahnya dengan senyum yang ceria. Semakin hari, Elle semakin yakin kalau pria itu berubah drastis."Jangan berlari seperti itu, Tuan. Luka Anda belum pulih," katanya.Luke tidak peduli, ia tetap berlari seperti biasa. Senyumnya merekah lalu merangkul bahu Elle. Rasanya ia sudah sangat merindukan wanita tersebut."Bagaimana kabar, Suster?" tanya Luke.Elle mengerutkan dahinya. "Harusnya saya yang bertanya.""Aku baik-baik saja, Suster.""Biar saya lihat luka Anda," kata Elle, tangannya bergerak hendak menyentuh pakaian Luke."Tidak boleh!"Elle dan Luke menoleh serentak. Nampak Caroline yang mengenakan gaun mekar menjuntai ke lantai. Mata bulatnya menatap lurus ke arah Luke. Ia berjalan pelan sembari men
"Pergi dari tubuhku, sialan!"Prak!Luke kembali dibuat mematung. Walau sebelumnya ia sudah menyiapkan hati untuk menerima panggilan itu, namun rasanya masih tetap terkejut."Ponselmu jatuh," ujar Ciel yang baru datang dari arah dapur.Luke masih tidak menjawab. Pandangan dan isi kepalanya sama-sama kosong. Perlahan Ciel mendekatinya, lalu menepuk sebelah pipi pria tersebut.Luke terlonjak kaget. Keringat langsung membasahi dahi dan sekitar hidungnya. Ia menoleh ke sana ke mari dengan wajah bingung."Di mana ponselku?" tanya Luke.Ciel mengambil benda yang kini ada di lantai. Lalu ia menyodorkannya pada Luke. Detik kemudian jemari pria itu nampak tergesa bergerak di atas layar. Tiba-tiba saja matanya membulat."Hilang ...," gumamnya."Apa yang hilang?"Luke bergegas bangun dari tempat duduknya. Kemudian ia menyambar jaket dan dompetnya yang tergeletak di atas meja."Aku pergi dulu. Ada urusan mendadak," ujar Luke.Ciel mengangguk samar. Ia melirik ke arah dua gelas kopi yang kini ada
"Walaupun harus membunuh Caroline dan keluarganya?"Luke terdiam, lidahnya mendadak kelu. Ia tidak bisa membalas ucapan Yellowdious."Ada lagi yang ingin Anda katakan, Kesatria?"Luke menggeleng pelan. "Tidak ... aku tidak bisa membunuh Caroline.""Maka dari itu, Joan yang akan melakukannya.""Mengapa dia melakukan itu? Padahal dia tunangannya," gumam Luke sembari mengusap wajahnya dengan kasar.Yellowdious tertawa. "Tentu saja karena Joan yang asli tidak mencintai Caroline. Sementara Anda?""Aku tidak—"Ucapan Luke mendadak terhenti saat pintu kamarnya diketuk dari luar. Yellowdious langsung menghilang begitu saja bersamaan dengan pintu yang mulai dibuka. Tidak lama, kepala Caroline melongok masuk."Kamu sedang bicara dengan siapa?" tanya Caroline, matanya nampak melirik ke segala arah.Luke sontak mengambil ponsel yang ada di atas ranjangnya. "A-aku sedang menelepon Ciel."Caroline menyipitkan kedua matanya. "Sepertinya kamu semakin dekat dengan dia.""Benar, hahaha! Mungkin karena
Aku menyukai Caroline?Luke terus memperhatikan Caroline yang duduk berhadapan dengannya. Biasanya ia akan selalu fokus makan tanpa melirik gadis itu sedikit pun."Kamu tidak suka menu hari ini?"Mata Luke mengerjap beberapa kali saat tersadar dari lamunannya. Kini pandangannya bertemu dengan Caroline. Reflek ia menunduk dan kembali menyantap makanannya."Hei, Joan."Luke melirik sekilas ke arah gadis tersebut. "Ya? Apa ada sesuatu yang ingin kamu katakan?""Kamu aneh sejak tadi pagi.""Aku tidak apa-apa," balas Luke dengan cepat.Caroline mendecak, lalu meletakkan sendok dan garpunya di piring. Ia menatap Luke dengan tangan terlipat di dada. Pandangannya tajam menusuk."Ada sesuatu yang kamu sembunyikan."Luke menangkat kepalanya, lalu menggeleng cepat. "Tidak!""Ya, benar. Wajahmu yang mengatakan semuanya," ujar Caroline.Gadis itu kembali melanjutkan makannya. Namun kali ini dengan wajah yang ditekuk. Luke menghela napasnya lalu berdiri dari tempat duduk. Ia meletakkan piring dan g