"Pergi dari tubuhku, sialan!"Prak!Luke kembali dibuat mematung. Walau sebelumnya ia sudah menyiapkan hati untuk menerima panggilan itu, namun rasanya masih tetap terkejut."Ponselmu jatuh," ujar Ciel yang baru datang dari arah dapur.Luke masih tidak menjawab. Pandangan dan isi kepalanya sama-sama kosong. Perlahan Ciel mendekatinya, lalu menepuk sebelah pipi pria tersebut.Luke terlonjak kaget. Keringat langsung membasahi dahi dan sekitar hidungnya. Ia menoleh ke sana ke mari dengan wajah bingung."Di mana ponselku?" tanya Luke.Ciel mengambil benda yang kini ada di lantai. Lalu ia menyodorkannya pada Luke. Detik kemudian jemari pria itu nampak tergesa bergerak di atas layar. Tiba-tiba saja matanya membulat."Hilang ...," gumamnya."Apa yang hilang?"Luke bergegas bangun dari tempat duduknya. Kemudian ia menyambar jaket dan dompetnya yang tergeletak di atas meja."Aku pergi dulu. Ada urusan mendadak," ujar Luke.Ciel mengangguk samar. Ia melirik ke arah dua gelas kopi yang kini ada
"Walaupun harus membunuh Caroline dan keluarganya?"Luke terdiam, lidahnya mendadak kelu. Ia tidak bisa membalas ucapan Yellowdious."Ada lagi yang ingin Anda katakan, Kesatria?"Luke menggeleng pelan. "Tidak ... aku tidak bisa membunuh Caroline.""Maka dari itu, Joan yang akan melakukannya.""Mengapa dia melakukan itu? Padahal dia tunangannya," gumam Luke sembari mengusap wajahnya dengan kasar.Yellowdious tertawa. "Tentu saja karena Joan yang asli tidak mencintai Caroline. Sementara Anda?""Aku tidak—"Ucapan Luke mendadak terhenti saat pintu kamarnya diketuk dari luar. Yellowdious langsung menghilang begitu saja bersamaan dengan pintu yang mulai dibuka. Tidak lama, kepala Caroline melongok masuk."Kamu sedang bicara dengan siapa?" tanya Caroline, matanya nampak melirik ke segala arah.Luke sontak mengambil ponsel yang ada di atas ranjangnya. "A-aku sedang menelepon Ciel."Caroline menyipitkan kedua matanya. "Sepertinya kamu semakin dekat dengan dia.""Benar, hahaha! Mungkin karena
Aku menyukai Caroline?Luke terus memperhatikan Caroline yang duduk berhadapan dengannya. Biasanya ia akan selalu fokus makan tanpa melirik gadis itu sedikit pun."Kamu tidak suka menu hari ini?"Mata Luke mengerjap beberapa kali saat tersadar dari lamunannya. Kini pandangannya bertemu dengan Caroline. Reflek ia menunduk dan kembali menyantap makanannya."Hei, Joan."Luke melirik sekilas ke arah gadis tersebut. "Ya? Apa ada sesuatu yang ingin kamu katakan?""Kamu aneh sejak tadi pagi.""Aku tidak apa-apa," balas Luke dengan cepat.Caroline mendecak, lalu meletakkan sendok dan garpunya di piring. Ia menatap Luke dengan tangan terlipat di dada. Pandangannya tajam menusuk."Ada sesuatu yang kamu sembunyikan."Luke menangkat kepalanya, lalu menggeleng cepat. "Tidak!""Ya, benar. Wajahmu yang mengatakan semuanya," ujar Caroline.Gadis itu kembali melanjutkan makannya. Namun kali ini dengan wajah yang ditekuk. Luke menghela napasnya lalu berdiri dari tempat duduk. Ia meletakkan piring dan g
"Sepertinya aku menyukaimu."Caroline sontak mendorong tubuh Luke agar menjauh darinya. Tanpa mengatakan apa-apa, gadis itu berlari keluar. Sementara Luke masih tetap berdiri di tempatnya dengan jantung berdebar cepat."Hah, benar-benar ...," gumamnya lirih sembari mengacak rambutnya ke depan.Langkah panjangnya mengarah ke lemari kecil tempat semua topi disimpan. Ia mengambil acak benda dari dalam sana. Kini di tangannya sudah ada topi hitam polos.Kedua sudut bibirnya tertarik begitu tiba di depan cermin. Tawa pelan lolos dari dalam mulutnya."Ternyata benar. Aku cukup tampan."~~~Luke menyeringai kala sinar matahari menyerang wajahnya tanpa terhalang apa pun. Matanya menelusur ke tempat yang dikatakan Robert.Bajingan! Om-om sialan! umpatnya dalam hati.Walau dengan suasana hati yang buruk, ia tetap menunggu Robert di bawah pohon. Ia tidak akan dengan ceroboh masuk ke gedung tempat Christoper Brandom dan anak buahnya berkumpul.Kluk!Mata Luke langsung membulat. Tanpa sadar ia ter
"Joan!""Joan!""Hei, Joan!"Luke tersentak saat bahunya dipukul cukup keras. Sontak ia terbangun dari tempat tidurnya. Matanya menelusuri setiap sudut ruangan tersebut."Aku di mana?" kata Luke dengan wajah panik.Caroline langsung menahan sebelah tangan pria tersebut. "Tenanglah! Kamu ada di ruanganku.""Apa yang terjadi?""Harusnya aku yang menanyakan itu." Caroline menarik kursinya, lalu menghadap ke Luke. "Apa yang terjadi sampai kamu pingsan?"Luke menggaruk tengkuknya sembari tertawa. Ia mengingat semua yang terjadi. Mulai dari mendapatkan potion, sampai gagalnya misi. Hanya saja ia tidak ingat bagaimana caranya bisa berada di ruangan Caroline. Entah berjalan sendiri atau dibawa paksa."Kamu melamun lagi.""Ah, tidak!" Luke menggeleng cepat. "Aku tidak ingat apa pun."Caroline mengerutkan dahinya. "Yang benar?"Luke mengangguk samar. "Oh iya, siapa yang membawaku ke sini?""Ciel."Kedua alis Luke langsung terangkat. Bersamaan dengan itu, Ciel muncul dari pintu yang setengah ter
Rupanya aku akan mati di sini. "Joan! Gunakan kekuatanmu kalau tidak mau mati!" Sialan! Rupanya dia tahu kalau aku punya kekuatan. Luke langsung memejamkan kedua matanya, lalu ia memilih lokasi untuk berpindah tempat. Kini ia sudah berdiri di belakang Ciel. Napasnya terengah-engah dan seluruh tubuhnya terasa panas. Kekuatan ini menguras seluruh energiku, batin Luke. "Kamu ... benar-benar punya kekuatan ya?" tanya Ciel. Luke tersenyum miring, lalu membiarkan tubuhnya ambruk di lantai. Ia butuh waktu untuk mengisi kembali staminanya. Sementara Ciel, memilih untuk duduk di samping pria tersebut. "Sejak kapan kau mengetahuinya?" tanya Luke. Ciel menggaruk tengkuknya sembari tertawa pelan. "Sejak kamu memberikan Caroline syal yang bisa membuatnya menghilang." Luke mengerutkan dahinya. "Bagaimana bisa kau tahu?" "Tidak ada yang bisa melihat kami saat syal itu ada di atas kepala. Tapi begitu dilepas, orang-orang langsung menatap kami." "Mungkin karena kalian aneh. Jadi orang-orang
4 tahun yang lalu, di dalam buku 7 Kesatria Naga."Kesatria Luke, diminta menghadap Putra Mahkota."Luke yang sedang asik menyantap ayam utuh itu sontak mengangkat kepalanya dan menatap ajudan Putra Mahkota. Sesaat ia terdiam, namun detik berikutnya ia menjadi terburu-buru merapikan wajah dan pakaiannya."Baik! Saya akan bergegas dalam 5 menit!" seru Luke sebelum menutup pintunya.Ia memandang dirinya di cermin cukup lama. Setelah dirasa sempurna, barulah ia berani membuka pintu. Ajudan Putra Mahkota masih setia bertengger di depan pintu sembari membaca sesuatu."Kapan Yang Mulia datang?" tanya Luke.Nue, ajudan yang paling dipercaya Putra Mahkota itu hanya mengangkat ketiga jarinya tanpa bicara. Luke mendesis pelan, jika tidak bergegas, pasti akan muncul surat gulungan ke kediamannya.Langkah kedua pria itu terhenti saat Putra Mahkota bersama dua pengawalnya terlebih dahulu tiba di hadapan mereka. Secepat mungkin Nue dan Luke membungkuk untuk memberi penghormatan."Kau terlambat, Kes
"Mengapa Anda bisa setuju begitu saja dijodohkan seperti ini, Kesatria?" tanya Deliana. Luke tersenyum tipis sembari menuang teh ke cangkir gadis tersebut. Mereka baru bertemu sebentar, namun Luke sudah merasa cukup nyaman dengan Deliana. "Nona sendiri? Bukankah situasi Nona Marquis lebih mudah untuk membatalkan perjodohan ini?" balas Luke. Deliana meletakkan potongan kue yang semula hampir masuk ke mulutnya. Ia memilih menarik cangkir teh di depannya, lalu ia meminumnya secara perlahan. "Saya dengar Kesatria Luke pandai menggunakan pedang." Sebelah alis Luke tertarik. "Hanya karena itu?" "Ya. Saya menyukai pria yang pandai berpedang," sahut Deliana. Tidak lama, dari arah gerbang utama terlihat Putra Mahkota yang diikuti beberapa orang pengawal. Ia berjalan pelan ke arah tempat Luke dan Deliana bertemu. Bukan hanya sekarang, namun di perjodohan sebelumnya, Putra Mahkota selalu datang. Seolah dia ingin membuat Luke menjadi tidak percaya diri. "Putra Mahkota!" seru Deliana dan Lu