Semua Bab Terpikat Hasrat CEO Dingin : Bab 21 - Bab 30

83 Bab

Permintaan Maaf Lucian

Aku tidak menjawab. Sebagai gantinya, aku hanya menatapnya, membiarkan ketegangan di antara kami menggantung di udara. Tamu-tamu lain di restoran ini berpura-pura sibuk dengan makanan mereka, tetapi aku tahu mereka mencuri dengar percakapan kami. Bagaimana tidak? Sejak aku tiba, Veronica tidak berhenti melempar sindiran pedas. Akhirnya, dia menyeringai kecil. “Yah, aku harap kau menikmati makan malammu.” Aku meletakkan serbet di atas meja dengan gerakan pelan dan terkendali, lalu berdiri. “Tidak. Aku sudah selesai di tempat ini.” Aku meraih tas tanganku dan berjalan keluar tanpa melihat ke belakang. Namun, sebelum aku mencapai pintu restoran, suara Veronica terdengar lagi—cukup pelan untuk hanya kudengar, tetapi cukup tajam untuk menusuk pikiranku. “Aku penasaran, Seraphina. Seberapa lama kau bisa bertahan dalam kebohongan ini sebelum sem
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-11
Baca selengkapnya

Kejanggalan Dalam Foto

“Aku tidak mengerti kenapa kau terus menghindar." Suara Lucian terdengar dingin, namun tidak terlalu keras. Aku memutar tubuh menghadapnya, menatap pria yang berdiri di depan balkon dengan setelan jas sempurna. “Aku tidak menghindar,” jawabku, berusaha tetap tenang meskipun aku tahu nadaku tidak sepenuhnya meyakinkan. Lucian mengangkat alisnya, matanya tajam seperti selalu bisa membaca kebohongan. “Benarkah? Lalu kenapa kau tidak ada pagi ini saat kita seharusnya sarapan bersama?” Aku mendesah, mengalihkan pandangan ke lantai marmer putih yang dingin. “Aku butuh udara segar. Tidak boleh?” “Tidak jika itu berarti kau meninggalkan apartemen tanpa memberitahuku,” balasnya cepat, menghampiriku dengan langkah mantap. “Kita punya kesepakatan, Seraphina. Dan aku tidak suka jika kau melanggarnya.” Aku mendongak, menatap matanya langsung. “Kesepakatan ini tidak berarti aku harus melaporkan setiap langkahku kepadamu. Aku punya hidupku sendiri, Lucian.” Pria itu terdiam sejenak,
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-12
Baca selengkapnya

Wanita Keras Kepala

“Lucian, apa maksud dari ini?” tanyaku sambil melemparkan amplop cokelat itu ke atas meja di ruang tamu. Suaraku terdengar tegas, meski dalam hati aku merasa dadaku sesak. Foto-foto di dalam amplop itu mulai berantakan di atas meja, menampilkan potongan-potongan masa lalu yang tidak pernah dia ceritakan. Lucian yang sedang berdiri di dekat jendela dengan segelas anggur di tangannya, hanya melirik sekilas ke arah amplop itu. Wajahnya tetap tenang, terlalu tenang. Seolah-olah dia sudah menduga hal ini akan terjadi. “Aku bertanya, Lucian,” ulangku, suaraku mulai meninggi. “Apa hubunganmu dengan Damien?” Ia meletakkan gelas anggurnya di meja kecil di samping jendela, kemudian berbalik menghadapku. “Itu bukan urusanmu.” Aku terkesiap mendengar jawabannya. “Bukan urusanku? Kau serius? Aku istrimu—baiklah, istri kontrak, tapi aku masih pantas tahu apa yang terjadi. Apalagi jika itu melibatkan Damien, pria yang meng
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-12
Baca selengkapnya

Muncul Rintangan Baru

"Aku ingin jawaban, Seraphina. Apa yang sebenarnya kau lakukan di belakang Lucian?" Nada suara Veronica tajam, penuh tekanan, sementara jemarinya mengetuk permukaan meja kaca dengan ritme pelan tapi menyesakkan. Matanya mengunci pandanganku, seolah menunggu tanda kepanikan sekecil apa pun dari diriku. Aku menahan napas. Di hadapanku, amplop berwarna krem itu terbuka, memperlihatkan foto-foto yang sengaja dibiarkan berantakan di atas meja. Aku mengenalinya. Gambar-gambar yang dikirim seseorang ke apartemen beberapa hari lalu—foto-foto yang selama ini aku harapkan tidak akan terbongkar. Aku mengira hanya aku yang melihatnya. Ternyata Veronica sudah lebih dulu mengetahuinya. Bisa jadi, dia telah mengawasi langkahku lebih dari yang aku duga. Aku menarik napas perlahan, berusaha untuk tetap tenang. Jangan panik.
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-12
Baca selengkapnya

Selalu Ada Kecacatan

“Jangan menatapku seolah aku milikmu." Suaraku keluar lebih tajam dari yang kubayangkan. Aku menatap pria di hadapanku, duduk dengan santai di sofa kulit gelap, satu tangan memegang gelas anggur, tangan lainnya bertumpu di sandaran sofa seolah dia sedang menikmati pertunjukan. Damien Vaughn. Mantan tunanganku. Pria yang pernah bersumpah setia kepadaku, lalu mengkhianatiku demi keuntungan yang lebih besar. Dia terkekeh kecil, menyesap anggurnya perlahan sebelum menatapku dengan sorot mata penuh permainan. “Aku hanya ingin melihat wajahmu lagi, Seraphina. Kau semakin cantik.” Aku menahan rasa jijik yang merayap di tenggorokan. Aku tidak datang ke sini untuk mendengar pujian kosongnya. “Katakan saja apa yang kau tahu tentang Lucian.” Damien mengangkat alis, lalu menyandarkan tubuhnya lebih da
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-12
Baca selengkapnya

Tentang Rasanya Kehilangan

"Jangan temui dia lagi, Seraphina. Atau kau akan menyesal." Lucian mengatakannya dengan nada datar, tetapi ketegangan dalam suaranya terlalu jelas untuk diabaikan. Matanya menatapku tajam, seolah memberi peringatan yang lebih serius daripada sekadar kata-kata. Saat itu, aku hanya mengangguk. Aku tidak ingin berdebat dengannya. Aku tahu dia tidak sepenuhnya mempercayaiku. Dan aku juga tahu bahwa peringatan itu bukan sekadar rasa cemburu yang buta. Tapi pada akhirnya, aku tetap melakukannya. Aku tetap pergi menemui Damien. Blouse satin ivory yang kukenakan terasa dingin di kulitku, kontras dengan hawa panas yang menyelimutiku sejak aku melangkah keluar. Celana high-waist taupe dan blazer nude kupilih agar tampak tegas namun tetap elegan. Sepasang heels beige sederhana melengkapi penampilanku—seperti lapisan pertahanan terakhir yang kubangun di sekelilingku. Aku tidak bodoh. Aku tah
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-13
Baca selengkapnya

Bukan Sekedar Obsesi

Aku seketika terdiam. Tatapan Lucian kini berbeda—bukan hanya penuh amarah, tetapi juga … terluka dan kecewa. "Seraphina .…" Suaranya lebih rendah kali ini. "Aku tahu seperti apa rasanya dikhianati. Aku tahu bagaimana rasanya ketika seseorang yang kau percaya menghujamkan belati ke punggungmu." Aku mengerjap. Untuk pertama kalinya, kemarahannya tidak lagi membara, tetapi berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam—lebih menyakitkan. Lucian menghela napas panjang, lalu melangkah mundur. Jemarinya terangkat ke rambutnya, menariknya dengan frustrasi. Aku memperhatikannya dalam diam. Selama ini, aku selalu melihat Lucian sebagai pria yang nyaris tak tergoyahkan, dingin, dan penuh kendali. Tapi sekarang? Ada sesuatu yang lebih rapuh di balik tatapan tajamnya. "Aku tumbuh di lingkungan di mana kepercayaan tidak lebih dari sekadar alat untuk bertahan hidup." Suaranya terdengar lebih pelan,
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-13
Baca selengkapnya

Tatapan yang Mengunci

Aku berdiri di dapur, memegang sekaleng soda yang dinginnya menusuk kulitku. Kubuka dengan satu gerakan cepat, dan suara desis karbonasi memenuhi keheningan ruangan. Aku menyesapnya perlahan, membiarkan gelembung-gelembung kecil itu meledak di lidahku, menggantikan keinginan untuk sesuatu yang lebih kuat—alkohol. Aku membutuhkan sesuatu untuk menenangkan pikiranku, tetapi aku tidak bisa membiarkan diriku mabuk di sini. Tidak di apartemen ini. Tidak di bawah atap yang sama dengan Lucian. Lucian. Aku menggigit bibir, mengingat sorot matanya beberapa jam yang lalu. Kata-katanya terus bergema di benakku, 'kau tidak akan pernah bisa benar-benar lepas dariku'. Jantungku berdegup lebih cepat. Aku tidak tahu apa yang lebih menggangguku—cara dia mengatakannya, atau kenyataan bahwa aku sama sekali tidak bisa menyangkalnya. Aku menyesap soda lagi, tetapi tiba-tiba sebuah suara langkah terdengar di belakangku. Aku membek
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-13
Baca selengkapnya

Lengkungan Sudut Bibir

Kegaduhan kecil datang dari dapur, aroma telur dan roti panggang menguar memenuhi ruangan. Aku berdiri di depan kompor, mengenakan celemek yang entah milik siapa, rambutku diikat ke atas, memperlihatkan leherku yang biasanya tersembunyi. "Hari ini cerah, pagi yang indah~" Aku bernyanyi kecil sambil membolak-balik telur dadar di wajan. Tak ada yang lebih menyenangkan daripada memasak di pagi hari. Sejak tinggal di apartemen Lucian, aku hampir tak pernah memasak sendiri. Tapi pagi ini, aku ingin makan sesuatu yang lebih manusiawi daripada sarapan mahal yang dikirimkan oleh asisten rumah tangga yang bahkan tidak pernah kutemui. Kutinggalkan telur di atas wajan sebentar, meraih roti panggang dan menaruhnya di piring. Aku masih bersenandung pelan, memilih lagu lama yang sering dinyanyikan ibuku dulu. "It's a lovely morning, don't you see~ The sky is blue, and my heart feels free~"
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-13
Baca selengkapnya

Waktu Untuk Menyesal

Aku menatap Lucian yang tengah mengenakan jasnya, bersiap untuk berangkat ke kantor. "Aku ingin menemui Damien hari ini," kataku akhirnya, memecah keheningan di antara kami. Lucian yang sedang merapikan lengan jasnya berhenti sejenak. Mata kelamnya langsung mengarah padaku, menyorot tajam seolah aku baru saja mengatakan hal paling tidak masuk akal. "Apa kau bilang?" "Aku hanya ingin ini menjadi yang terakhir," jelasku dengan nada tenang. "Aku tidak akan percaya apa pun yang dia katakan. Justru karena itu, aku ingin memastikan dia tak punya alasan lagi untuk menemuiku." Rahangnya mengeras. Tatapannya penuh ketidaksetujuan, tetapi aku bisa melihat sesuatu yang lain di baliknya—sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kemarahan. "Dan kau pikir aku akan membiarkanmu pergi menemuinya begitu saja?" Aku sedi
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-14
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
9
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status