Aku berdiri di dapur, memegang sekaleng soda yang dinginnya menusuk kulitku. Kubuka dengan satu gerakan cepat, dan suara desis karbonasi memenuhi keheningan ruangan. Aku menyesapnya perlahan, membiarkan gelembung-gelembung kecil itu meledak di lidahku, menggantikan keinginan untuk sesuatu yang lebih kuat—alkohol.
Aku membutuhkan sesuatu untuk menenangkan pikiranku, tetapi aku tidak bisa membiarkan diriku mabuk di sini. Tidak di apartemen ini. Tidak di bawah atap yang sama dengan Lucian. Lucian. Aku menggigit bibir, mengingat sorot matanya beberapa jam yang lalu. Kata-katanya terus bergema di benakku, 'kau tidak akan pernah bisa benar-benar lepas dariku'. Jantungku berdegup lebih cepat. Aku tidak tahu apa yang lebih menggangguku—cara dia mengatakannya, atau kenyataan bahwa aku sama sekali tidak bisa menyangkalnya. Aku menyesap soda lagi, tetapi tiba-tiba sebuah suara langkah terdengar di belakangku. Aku membekKegaduhan kecil datang dari dapur, aroma telur dan roti panggang menguar memenuhi ruangan. Aku berdiri di depan kompor, mengenakan celemek yang entah milik siapa, rambutku diikat ke atas, memperlihatkan leherku yang biasanya tersembunyi. "Hari ini cerah, pagi yang indah~" Aku bernyanyi kecil sambil membolak-balik telur dadar di wajan. Tak ada yang lebih menyenangkan daripada memasak di pagi hari. Sejak tinggal di apartemen Lucian, aku hampir tak pernah memasak sendiri. Tapi pagi ini, aku ingin makan sesuatu yang lebih manusiawi daripada sarapan mahal yang dikirimkan oleh asisten rumah tangga yang bahkan tidak pernah kutemui. Kutinggalkan telur di atas wajan sebentar, meraih roti panggang dan menaruhnya di piring. Aku masih bersenandung pelan, memilih lagu lama yang sering dinyanyikan ibuku dulu. "It's a lovely morning, don't you see~ The sky is blue, and my heart feels free~"
Aku menatap Lucian yang tengah mengenakan jasnya, bersiap untuk berangkat ke kantor. "Aku ingin menemui Damien hari ini," kataku akhirnya, memecah keheningan di antara kami. Lucian yang sedang merapikan lengan jasnya berhenti sejenak. Mata kelamnya langsung mengarah padaku, menyorot tajam seolah aku baru saja mengatakan hal paling tidak masuk akal. "Apa kau bilang?" "Aku hanya ingin ini menjadi yang terakhir," jelasku dengan nada tenang. "Aku tidak akan percaya apa pun yang dia katakan. Justru karena itu, aku ingin memastikan dia tak punya alasan lagi untuk menemuiku." Rahangnya mengeras. Tatapannya penuh ketidaksetujuan, tetapi aku bisa melihat sesuatu yang lain di baliknya—sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kemarahan. "Dan kau pikir aku akan membiarkanmu pergi menemuinya begitu saja?" Aku sedi
Aku melangkah keluar dari mobil dengan tenang, membiarkan kacamata hitamku meluncur ke puncak kepala. Gedung Devereaux menjulang tinggi di depanku, bangunan kaca yang memantulkan cahaya matahari pagi dengan elegan. Begitu aku masuk ke lobi, suasana berubah drastis. Pendingin ruangan mengusir panas di luar, dan aroma kopi serta parfum mahal bercampur dalam udara. Lobi ini dipenuhi dengan orang-orang berpakaian rapi; pria dengan setelan mahal, wanita dengan rok pensil dan blazer yang dipotong sempurna. Aku bisa merasakan tatapan-tatapan itu. Orang-orang mulai memperhatikanku, beberapa dengan rasa ingin tahu, yang lain dengan spekulasi. Tapi aku pura-pura tidak peduli. Langkahku tetap stabil saat aku berjalan menuju lift pribadi di ujung ruangan—yang sebelumnya sudah diberitahu Lucian bahwa aku bisa menggunakannya kapan saja. Begitu pintu lift terbuka, aku melangkah masuk tanpa menoleh. Namun, se
Tangannya masih mencengkeram pinggangku dengan mantap, membuatku sulit bergerak. Aku bisa merasakan kehangatan yang dipancarkan tubuhnya, aroma khas cologne maskulin yang melekat pada kemejanya. Sial. Aku harus segera mengalihkan perhatian sebelum tubuhku sendiri bereaksi aneh. Aku menarik napas pelan, mencoba tetap tenang. “Aku hanya berbicara dengannya sebentar,” ujarku akhirnya. “Tentang pertemuan terakhir kami dan—” Aku menelan ludah, menatap matanya yang tajam. “Aku hanya memperingatkannya untuk tidak mengganggu hidupku lagi.” Lucian tidak bereaksi berlebihan. Tidak ada ekspresi marah, cemburu, atau ketidakpercayaan seperti yang mungkin kutemui jika ini adalah pria lain. Dia hanya mengangguk sekali, matanya tetap tertuju padaku. Atau lebih tepatnya … pada bibirku. Aku bisa m
Saat pintu ruang rapat terbuka, suasana hening seketika. Puluhan pasang mata tertuju padaku, termasuk seorang pria Timur Tengah dengan jas mahal yang duduk di ujung meja. Dari sorot matanya yang tajam dan ekspresi percaya dirinya, aku bisa menebak bahwa dia adalah CEO dari Dubai yang dimaksud Lucian. Aku merasa seperti rusa yang terjebak dalam sorotan lampu mobil. Tapi Lucian tetap tenang, menggenggam tanganku tanpa ragu saat membawaku masuk lebih dalam ke dalam ruangan. "Lucian." Seseorang dari pihak direksi menyapa dengan sedikit kebingungan, tatapannya bergeser padaku. "Dan ini?" Lucian menarik kursi di sebelahnya dan menuntunku untuk duduk. "Istriku, Seraphina Devereaux," katanya ringan, seolah ini bukan sesuatu yang luar biasa. Aku bisa merasakan bisik-bisik pelan di sekitar meja. Beberapa orang tampak terkejut, yang lain mencoba menilai keberadaanku
Setelah rapat berakhir, suasana di ruangan terasa lebih santai. Khalid masih tersenyum puas, sementara para eksekutif sibuk membereskan dokumen mereka. Tapi aku masih duduk diam, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Aku benar-benar baru saja berbicara dalam rapat bisnis besar. Dan entah bagaimana, aku tidak mempermalukan diri sendiri. Lucian berdiri dan menatapku sekilas. "Ikut denganku." Aku menoleh padanya, masih dalam keadaan setengah bingung. "Ke mana?" "Kita akan makan bersama dengan Khalid. Anggap saja perayaan kecil setelah kesepakatan tadi," jawabnya ringan. Aku mengerjap. Makan malam bisnis? Lagi? "Tunggu, aku tidak tahu kalau—" Tapi sebelum aku bisa menyelesaikan kalimatku, Khalid sudah berdiri dan menepuk bahuku dengan ramah. "Aku bersikeras kau ikut, Seraphina. Akan menyenangkan melihatmu lagi dalam suasana yang lebih santai." Aku melirik Lucian
Apartemen terasa sunyi ketika kami masuk. Tidak ada suara selain langkah kaki kami yang menggema di ruang tamu yang luas. Aku melepas mantel dan menggantungkannya di dekat pintu, sementara Lucian berjalan menuju dapur tanpa sepatah kata pun.Aku melirik ke arahnya. Biasanya, jika dia diam, itu bukan hal aneh—Lucian memang bukan pria yang banyak bicara. Tapi kali ini, diamnya berbeda. Ada sesuatu yang menggelayut di udara, sesuatu yang tak terlihat tapi bisa kurasakan di setiap helaan napasnya.Dia membuka kulkas, mengambil sekaleng soda, lalu meneguknya dalam sekali minum. Rahangnya sedikit menegang, seperti sedang menahan sesuatu."Lucian?" Aku akhirnya memanggilnya, mencoba mencari tahu.Dia tetap diam. Tidak melirikku, tidak bereaksi.Aku mengerutkan kening. Apa dia kesal? Karena apa?Tapi, pada akhirnya, aku memutuskan untuk tidak peduli. Jika dia ingin mengatakan sesuatu, dia pasti akan mengatakannya. Aku bukan ahli sihir ya
Lucian menerima potongan semangka yang kuberikan tanpa banyak bicara. Dia duduk di kursi bar dapur, mengunyah dengan ekspresi tenang, tapi aku tahu ada sesuatu yang mengganggunya.Aku bisa merasakannya sejak kami pulang tadi. Tapi, seperti biasa, dia tidak akan mengatakan apa-apa jika aku tidak bertanya langsung.Aku menggigit bibir, mempertimbangkan apakah aku harus bertanya atau tidak. Aku tahu Lucian bukan tipe pria yang suka berbagi perasaannya, apalagi jika itu sesuatu yang membuatnya kesal.Tapi aku juga tidak suka dikelilingi ketegangan yang tidak jelas."Lucian." Akhirnya aku membuka suara.Dia mengangkat kepalanya sedikit, tapi tetap mengunyah semangka."Apa kau baik-baik saja?" tanyaku, mencoba terdengar santai.Lucian tidak langsung menjawab. Dia menelan makanannya dulu, lalu menatapku dengan ekspresi datar. "Kenapa bertanya seperti itu?"Aku menghela napas. "Kau terlihat ... berbeda sejak tadi. Diam,
Cahaya matahari pagi menembus celah tirai kamar rumah sakit sehingga menciptakan pantulan hangat di lantai putih yang mengilap. Aku berdiri di samping ranjang, menatap wajah ibuku yang tiba-tiba mulai membuka matanya perlahan. Napasku tertahan di tenggorokan saat jari-jarinya bergerak pelan. "Seraphina," panggil wanita itu seperti bisikan, membuat air bening spontan memenuhi pelupuk mataku. "Ibu!" Aku segera menggenggam tangannya dan menunduk untuk memastikan aku tidak sedang bermimpi. "Ibu benar-benar sudah sadar?" Tatapan matanya masih lemah, tapi ada sudah kehangatan di dalamnya. Dia mengedarkan pandangan, seolah memastikan di mana dia berada sekarang. "Berapa lama aku tertidur?" Aku tersenyum lembut sambil menangis. "Cukup lama, tapi itu tidak penting sekarang. Yang penting, Ibu sudah kembali. Aku senang bisa melihat ibu membuka mata lagi." Pintu kamar kemudian terbuka. Ayahku masuk dengan langkah terburu-buru. Wajahnya yang selama ini selalu terlihat tegar, kini dipenuh
Aku memperhatikan Lucian yang berdiri di seberang meja. Raut wajahnya dingin seperti biasa, tetapi ada kilatan fokus di matanya. Di antara kami, berkas-berkas tersusun rapi—semua bukti yang selama ini dia kumpulkan. Laporan-laporan itu adalah hasil kerja keras yang akan membuktikan semuanya. "Jadi ini yang kau temukan?" Aku meraih salah satu dokumen dan membaca isinya. "Iya, aku sudah lama mencurigai Damien dan Celeste, tapi aku tidak bisa bertindak tanpa bukti konkret. Dan sekarang kita punya semuanya." Aku menggigit bibir. Ada banyak angka dalam laporan ini—transfer mencurigakan, aset yang tidak dilaporkan, dan transaksi ilegal yang mengarah pada penyelundupan. Damien dan Celeste benar-benar tenggelam dalam dunia kejahatan lebih dalam dari yang kuduga. Setiap halaman tampak seperti mencerminkan kegelapan dari kehidupan mereka yang selama ini tersembunyi. Lucian menyandarkan diri pada kursi, lalu menatapku lurus. "Setelah ini, tidak ada jalan kembali bagi mereka. Begitu kita m
Aku menatap ke luar jendela, membiarkan pikiranku tenggelam dalam kekosongan. Setelah insiden penculikan itu, segalanya terasa begitu berat. Keberanian yang sebelumnya mengalir dalam diriku perlahan-lahan memudar, tergantikan oleh keraguan yang menggerogoti. Aku memejamkan mata, mengingat kembali bagaimana Damien dan Celeste berusaha menghancurkanku. Bagaimana aku hampir tidak bisa keluar dari situasi itu. Setiap detik dalam penangkapan itu terukir jelas di ingatanku, seperti bayangan gelap yang terus membayangi. Namun, yang lebih mengusik pikiranku adalah bagaimana Lucian muncul tepat waktu, seperti selalu tahu aku dalam bahaya. Dan sekarang, aku duduk di kamar ini, menunggu kejujuran yang katanya akan dia berikan. Meskipun sebenarnya aku tidak tahu, apakah aku benar-benar siap untuk mendengar apa yang akan dikatakannya? Pintu terbuka, dan aku bisa mendengar langkahnya mendekat. Setiap langkahnya terasa seolah beban yang dia bawa jauh lebih berat dari yang aku pikirkan. Ak
Aku menggigit bibir menahan rasa sakit. Mungkin wanita lain akan menangis karena cengkraman Celeste sangat kuat, tapi aku tertawa kecil. Ini tidak sakit sama sekali daripada melihat ibuku terbaring tanpa tahu kapan bisa sadarkan diri."Kau lucu, Celeste.""Jangan tertawa, sialan!" bentak Celeste. Tangannya beralih menekan leherku hingga aku mendongak."Lalu harus apa? Menyebutmu sakit jiwa?" Aku tertawa renyah. Celeste melebarkan mata. "Kau tahu, Seraphina? Aku selalu bertanya-tanya, apa yang membuat Lucian memilih wanita tidak tahu diri sepertimu?" Aku menatap balik tanpa takut. Senyumku masih setia di bibir. "Entahlah, mungkin pria itu sudah gila?" Celeste menyeringai tipis, lalu tiba-tiba melepaskan cengkeramannya. "Aku bisa melakukan ini dengan cara yang lebih mudah. Namun, jika kau ingin cara yang sulit, aku tidak keberatan. Kau memang menarik, Seraphina." Aku terbatuk-batuk sambil mengerutkan kening. Aku melihat wanita itu memberi isyarat kepada seseorang di sudut ruan
Semuanya terjadi begitu cepat. Aku tidak menyangka malam ini akan berakhir menyeramkan. Awalnya, aku hanya berniat pulang lebih awal setelah menghadiri acara amal yang diadakan keluarga Devereaux. Lucian masih sibuk berbincang dengan beberapa rekan bisnisnya, jadi aku memutuskan untuk pulang sendiri. Namun, begitu aku melangkah keluar dari gedung acara, udara dingin malam menyambutku dengan cara yang berbeda. Bukan hanya karena angin yang berembus, tetapi karena sesuatu yang terasa tidak beres. Sebelum aku sempat menyadari apa yang terjadi, sepasang tangan kuat tiba-tiba mencengkeram lenganku dari belakang. Aku berusaha melawan sekuat tenaga, tetapi seseorang membekap mulutku dengan kain berbau menyengat. Pandanganku langsung berputar sehingga tubuhku melemah dalam hitungan detik. Aku hanya sempat melihat bayangan hitam sebelum semuanya menggelap. Saat aku sadar, kepalaku terasa berat. Ada rasa nyeri di pelipisku dan tubuhku terasa lemah. Aku mengerjapkan mata, mencoba me
Aku tidak pernah benar-benar percaya pada kebetulan. Namun, malam ini, langkah kecilku menuju kebenaran justru membawaku ke dalam kenyataan yang lebih menyesakkan. Sejak beberapa hari yang lalu, setelah aku akhirnya kembali pulang ke apartemen tanpa menarik perhatian siapa pun, aku menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Lucian semakin sering pulang larut, tapi raut wajahnya sangat lelah dan tegang. Aku menduga itu karena urusan bisnis, tetapi ada sesuatu yang lebih dari sekadar masalah perusahaan. Malam ini, aku memutuskan untuk menunggu di ruang kerja Lucian. Duduk di kursinya, aku mengamati dokumen yang berserakan di mejanya. Berkas-berkas keuangan, laporan saham, dan satu map tebal berwarna hitam yang tampak paling mencurigakan. Aku membuka map itu, mataku langsung terpaku pada serangkaian foto yang terlalu aneh ada di sana. Celeste dan Damien. Mereka sedang bertemu diam-diam di sebuah restoran hotel mewah. Ada ekspresi serius di wajah mereka. Beberapa dokumen tampak di a
Suasana rumah sakit terasa dingin, bukan hanya karena suhu AC yang menyelimuti setiap ruangan, tetapi juga karena ketegangan yang menggantung di udara. Aku duduk di kursi tunggu, tanganku mencengkeram lengan kursi dengan erat. Ibu masih berada di ICU, belum sadarkan diri sejak kejadian itu. Aku mencoba menenangkan napasku, tetapi pikiranku dipenuhi suara para perawat yang berlari tadi. Kejadian beberapa jam lalu masih berputar jelas di kepalaku. "Seraphina!" Suara Lucian membuatku tersentak. Aku menoleh dan melihatnya berjalan cepat ke arahku, wajahnya jelas tampak tegang. "Ada apa?" tanyaku, merasa suaraku sedikit bergetar. Lucian berhenti di hadapanku, matanya mengunci dengan dalam. "Seseorang mencoba menyusup ke ruang ICU ibumu." Jantungku seakan berhenti berdetak. Aku nyaris tidak bernapas sedetik. "A–apa? Apa ... maksudnya?" "Kami memang berhasil menghentikannya." Lucian melanjutkan, rahangnya terlihat mengencang dan menahan marah. "Keamanan rumah sakit sigap menangan
Aku tidak pernah menyangka pertemuan malam ini akan berjalan di luar dugaan. Ruangan itu terasa hening. Celeste duduk dengan ekspresi datar, tetapi aku bisa melihat ketegangan di rahangnya. Joanne berdiri di hadapannya, tangannya terlipat di depan dada. Mata tajamnya menatap Celeste tanpa ragu sedikit pun. “Aku tidak suka bertele-tele, Celeste." Joanne membuka suara dengan nada tegas. “Aku tahu kau terlibat dalam ancaman terhadap Seraphina.” Aku menahan napas, lalu melipat bibir ke dalam. Jantungku cukup berdegup kencang, tapi ekspresiku memperlihatkan sebaliknya. Celeste mengangkat dagu, tatapannya tidak goyah sedikit pun. “Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan.” Joanne tertawa pendek. “Jangan pura-pura naif. Aku mengenal orang sepertimu. Selalu bermain di balik orang suruhan, lalu menyusun rencana tanpa berani mengotori tangan sendiri.” Wajah Celeste tetap tenang, tetapi aku melihat jemarinya menggenggam gelas di tangannya dengan erat. “Jika kau tidak punya bukti, jangan
Aku menatap layar ponsel dengan jantung berdegup kencang. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak aku simpan. Namun, kali ini isinya jauh lebih spesifik. [Berhenti mencari tahu kebenaran yang tersembunyi, Seraphina. Jika tidak, kau akan kehilangan lebih banyak orang yang kau cintai.] Tanganku meremas ponsel erat. Napasku tersendat, mataku tidak bisa lepas dari pesan itu. Ini bukan pertama kalinya aku menerima ancaman, tapi kali ini … mereka menyebutkan orang-orang yang kucintai. Aku segera berdiri, langkahku tergesa menuju ruang kerja Lucian. Aku harus memberitahunya. Saat pintu terbuka, Lucian sedang berdiri di balik meja kerjanya sambil berbicara dengan Felix. Matanya langsung mengarah kepadaku dan seketika ekspresinya berubah begitu melihat wajahku. "Ada apa?" tanyanya tegas. Aku menyerahkan ponselku padanya tanpa berkata apa-apa. Lucian mengambilnya, matanya tajam membaca pesan itu. Rahangnya mengencang, lalu jemarinya menggenggam ponsel dengan kuat. "Felix, keluarlah