Apartemen terasa sunyi ketika kami masuk. Tidak ada suara selain langkah kaki kami yang menggema di ruang tamu yang luas. Aku melepas mantel dan menggantungkannya di dekat pintu, sementara Lucian berjalan menuju dapur tanpa sepatah kata pun.
Aku melirik ke arahnya. Biasanya, jika dia diam, itu bukan hal aneh—Lucian memang bukan pria yang banyak bicara. Tapi kali ini, diamnya berbeda. Ada sesuatu yang menggelayut di udara, sesuatu yang tak terlihat tapi bisa kurasakan di setiap helaan napasnya.Dia membuka kulkas, mengambil sekaleng soda, lalu meneguknya dalam sekali minum. Rahangnya sedikit menegang, seperti sedang menahan sesuatu."Lucian?" Aku akhirnya memanggilnya, mencoba mencari tahu.Dia tetap diam. Tidak melirikku, tidak bereaksi.Aku mengerutkan kening. Apa dia kesal? Karena apa?Tapi, pada akhirnya, aku memutuskan untuk tidak peduli. Jika dia ingin mengatakan sesuatu, dia pasti akan mengatakannya. Aku bukan ahli sihir yaLucian menerima potongan semangka yang kuberikan tanpa banyak bicara. Dia duduk di kursi bar dapur, mengunyah dengan ekspresi tenang, tapi aku tahu ada sesuatu yang mengganggunya.Aku bisa merasakannya sejak kami pulang tadi. Tapi, seperti biasa, dia tidak akan mengatakan apa-apa jika aku tidak bertanya langsung.Aku menggigit bibir, mempertimbangkan apakah aku harus bertanya atau tidak. Aku tahu Lucian bukan tipe pria yang suka berbagi perasaannya, apalagi jika itu sesuatu yang membuatnya kesal.Tapi aku juga tidak suka dikelilingi ketegangan yang tidak jelas."Lucian." Akhirnya aku membuka suara.Dia mengangkat kepalanya sedikit, tapi tetap mengunyah semangka."Apa kau baik-baik saja?" tanyaku, mencoba terdengar santai.Lucian tidak langsung menjawab. Dia menelan makanannya dulu, lalu menatapku dengan ekspresi datar. "Kenapa bertanya seperti itu?"Aku menghela napas. "Kau terlihat ... berbeda sejak tadi. Diam,
Aku tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata Lucian. "Apa yang menjadi milikku, tetap menjadi milikku." Itu bukan sekadar klaim kosong. Ada sesuatu dalam nadanya—sesuatu yang intens, mendalam, dan mengancam. Bukan ucapan biasa dari seorang pria kepada istri kontraknya. Aku mencoba meyakinkan diriku bahwa ini hanya bagian dari sifatnya yang tidak bisa menerima penolakan. Bahwa ini tidak berarti apa-apa. Tapi jika benar begitu, kenapa hatiku berdegup lebih cepat dari yang seharusnya? Aku menghela napas. Sudahlah. Aku tidak boleh membiarkan pikiranku berkelana terlalu jauh. Aku tidak boleh memikirkan sesuatu yang tidak penting. "Kalau begitu aku tidur dulu," gumamku akhirnya, memilih untuk tidak melanjutkan percakapan. Lucian tidak menanggapi. Tapi aku bisa merasakan tatapannya, dingin dan menusuk, seolah mencoba menembus pikiranku. Aku buru-buru berbalik, berja
Aku menatapnya dengan mata melebar, otakku berusaha mencerna kata-katanya. Bolehkah aku masuk? Aku tidak tahu bagian mana yang lebih mengejutkan—fakta bahwa Lucian datang mengetuk pintuku tengah malam, atau keberaniannya mengajukan permintaan yang begitu tidak masuk akal tanpa sedikit pun rasa ragu. Aku mengerjap cepat, lalu segera menggeleng. "Tidak." Lucian tidak langsung bereaksi. Dia hanya menatapku dalam diam, ekspresinya tetap tenang seperti biasa. Tapi entah kenapa, tatapan itu justru membuat jantungku berdetak lebih cepat. Aku mencoba bersikap tegas, mengangkat tangan untuk mendorong dadanya pelan. "Lucian, kau tidak boleh—" Sebelum aku bisa menyelesaikan kalimatku, Lucian bergerak. Dalam sekejap, dia mendorong tubuhku masuk ke dalam kamar, memaksaku mundur beberapa langkah sampai punggungku menabrak dinding. Aku nyaris terjatuh k
"Aku tidak suka dasimu." Aku menoleh ke arah Lucian dengan kening berkerut. Kami sedang dalam perjalanan ke kantor, duduk berdampingan di kursi belakang mobil. Aku tidak menyangka kalimat pertama yang keluar dari mulutnya hari ini justru kritik soal dasi. Karena sebenarnya aku sedang mengindari suasana canggung di dalam mobil. Lucian melirikku sekilas, lalu menarik dasinya sendiri, mengendorkannya sedikit. "Sejak kapan kau memperhatikan penampilanku?" Aku mendengkus kecil. "Aku hanya berpikir warna itu tidak cocok untukmu." Lucian menatapku lebih lama kali ini. Tanpa ekspresi yang berarti. "Sekarang kau benar-benar berani berkomentar soal selera pakaianku?" Aku mengangkat bahu santai. "Aku hanya jujur. Lagi pula, kau yang memulai. Kau yang lebih dulu melewati batas. Bahkan memberikan beberapa larangan padaku."
Veronica menyeringai kecil, jelas merasa menang setelah tindakannya yang kekanak-kanakan. “Setidaknya aku membuatmu diam.” Aku menghela napas pelan, menyeka air yang menetes dari pipiku. “Tidak, kau hanya semakin memperjelas bahwa aku jauh lebih unggul darimu.” Veronica mengernyit, tapi aku tidak memberinya kesempatan untuk membalas. Aku berdiri, mengambil tisu dari meja dan mulai mengeringkan wajahku dengan santai. “Lihatlah dirimu, Veronica. Kau punya segalanya—kekayaan, koneksi, dan status sosial. Tapi kau begitu terobsesi denganku seolah aku adalah musuh terbesarmu.” Mata Veronica berkilat marah. “Kau memang musuhku, Seraphina. Kau merusak segalanya.” Aku tertawa kecil. “Aku? Oh, Sayang … kau yang sedang merusak hidupmu sendiri. Kau melakukan perbuatan yang merugikan." Veronica mengepalkan tangannya. Aku bisa melihat bagaimana rahangnya mengeras, seolah dia berusaha mati-matian untuk tidak menamparku.
Felix menatapku sebentar sebelum akhirnya berkata, “Jika Anda mengizinkan, saya bisa membawakan baju dari apartemen Anda atau membelikannya.” Aku menoleh dengan alis terangkat, sedikit terkejut dengan tawarannya yang di luar dugaan. “Tidak perlu repot-repot." Felix masih menatapku seolah menunggu aku berubah pikiran. Tapi aku menggeleng dengan yakin. “Serius. Bajuku sudah hampir kering.” Dia menghela napas, lalu memasukkan tangannya ke dalam saku celana. “Baiklah. Tapi jika Anda membutuhkan sesuatu, apa pun itu, katakan saja.” Aku memiringkan kepala, memperhatikan ekspresinya yang benar-benar tulus. Apa pun? Tiba-tiba aku berpikir sejenak, lalu menatap sofa di tengah ruangan. “Kalau begitu, duduklah.” Felix mengangkat alis, jelas tidak menyangka permintaanku. Tapi dia tidak menolak. Dengan tenang, dia be
Aku tidak menyangka Lucian sudah kembali dari rapat. Refleks, aku bangkit dari sofa, nyaris bersamaan dengan Felix yang segera merapikan jasnya dengan sikap profesional. “Tuan Lucian,” ucapnya sopan, sedikit membungkuk sebelum menoleh ke arahku seolah meminta izin. Aku mengangguk kecil, dan Felix pun melangkah menuju pintu, meninggalkan kami berdua dalam keheningan yang tegang. Lucian tetap berdiri di ambang pintu, tidak mengatakan apa pun. Matanya tajam, dingin, dan penuh sesuatu yang sulit kutebak. Aku menelan ludah, merasa tiba-tiba canggung. Aku berharap dia tidak marah karena aku berbicara dengan Felix. Tapi ternyata, aku salah. Tanpa peringatan, Lucian berjalan mendekat, tangan besarnya meraih pergelangan tanganku dengan cekatan. Aku terkesiap saat dia menarikku, membuatku terduduk di kursi kerja miliknya. "L-Lucian—" Dia t
Lift terbuka, dan begitu aku dan Lucian masuk, aku nyaris menghela napas lega—sampai aku melihat seseorang berdiri di dalam. Veronica. Lucian masih memeluk pinggangku, dan aku bisa merasakan tubuhnya tetap rileks, seolah kehadiran adiknya bukan masalah besar. Tapi aku bisa melihat jelas bagaimana ekspresi Veronica berubah dalam sekejap. Matanya menyipit, bibirnya tertarik membentuk garis tipis yang penuh rasa tidak senang. Aku diam-diam tersenyum. Ah, betapa menyenangkannya melihat ekspresi itu. Aku merasakan perutku cukup geli. Veronica melipat tangan di depan dada, lalu menatap Lucian dengan sorot mata menilai. “Kau benar-benar seperti suami yang mencintai istrinya.” Lucian tidak bereaksi. Tidak ada kata-kata, tidak ada perubahan ekspresi. Hanya diam. Aku di sisi lain merasa gatal untuk membalas. Aku sedikit memiringkan kepala, seketika tersenyum manis tapi tetap anggun. “Mungkin kau hanya perlu menemukan pria yang sempurna seperti kakakmu sendiri.” Veronica menoleh padaku, a
Suara gemericik air dari keran masih terdengar saat aku membilas piring terakhir. Lampu dapur kuning redup membuat suasana terasa tenang. Setelah makan malam, Lucian ke kamar sebentar untuk menerima telepon. Entah dari siapa. Aku tidak terlalu peduli. Aku menyeka tangan dengan handuk kecil yang tergantung di dekat wastafel. Baru saja hendak berbalik, dua tangan kekar tiba-tiba melingkar ke pinggangku dari belakang. "Lucian," panggilku menahan gugup. Lucian hanya berdehem, dagunya sengaja bertumpu di bahuku. Napasnya menyapu kulit leher sehingga membuatku merinding, tapi aku tidak membantah jika itu terasa nyaman. "Kau kenapa? Apa ingin menanyakan sesuatu?" Lucian diam sejenak, lalu mengeratkan pelukannya pada perutku. "Aku tidak sabar untuk tidur bersamamu." Aku merasa jantungku membeku satu detik, tapi berusaha menjaga nada suaraku tetap tenang. "Kau seperti sedang menantikan sesuatu yang menyenangkan." "Itu benar. Kau memang pintar, Istriku." "Lucian ...." "Kenapa?
Cahaya matahari pagi menembus celah tirai kamar rumah sakit sehingga menciptakan pantulan hangat di lantai putih yang mengilap. Aku berdiri di samping ranjang, menatap wajah ibuku yang tiba-tiba mulai membuka matanya perlahan. Napasku tertahan di tenggorokan saat jari-jarinya bergerak pelan. "Seraphina," panggil wanita itu seperti bisikan, membuat air bening spontan memenuhi pelupuk mataku. "Ibu!" Aku segera menggenggam tangannya dan menunduk untuk memastikan aku tidak sedang bermimpi. "Ibu benar-benar sudah sadar?" Tatapan matanya masih lemah, tapi ada sudah kehangatan di dalamnya. Dia mengedarkan pandangan, seolah memastikan di mana dia berada sekarang. "Berapa lama aku tertidur?" Aku tersenyum lembut sambil menangis. "Cukup lama, tapi itu tidak penting sekarang. Yang penting, Ibu sudah kembali. Aku senang bisa melihat ibu membuka mata lagi." Pintu kamar kemudian terbuka. Ayahku masuk dengan langkah terburu-buru. Wajahnya yang selama ini selalu terlihat tegar, kini dipenuh
Aku memperhatikan Lucian yang berdiri di seberang meja. Raut wajahnya dingin seperti biasa, tetapi ada kilatan fokus di matanya. Di antara kami, berkas-berkas tersusun rapi—semua bukti yang selama ini dia kumpulkan. Laporan-laporan itu adalah hasil kerja keras yang akan membuktikan semuanya. "Jadi ini yang kau temukan?" Aku meraih salah satu dokumen dan membaca isinya. "Iya, aku sudah lama mencurigai Damien dan Celeste, tapi aku tidak bisa bertindak tanpa bukti konkret. Dan sekarang kita punya semuanya." Aku menggigit bibir. Ada banyak angka dalam laporan ini—transfer mencurigakan, aset yang tidak dilaporkan, dan transaksi ilegal yang mengarah pada penyelundupan. Damien dan Celeste benar-benar tenggelam dalam dunia kejahatan lebih dalam dari yang kuduga. Setiap halaman tampak seperti mencerminkan kegelapan dari kehidupan mereka yang selama ini tersembunyi. Lucian menyandarkan diri pada kursi, lalu menatapku lurus. "Setelah ini, tidak ada jalan kembali bagi mereka. Begitu kita m
Aku menatap ke luar jendela, membiarkan pikiranku tenggelam dalam kekosongan. Setelah insiden penculikan itu, segalanya terasa begitu berat. Keberanian yang sebelumnya mengalir dalam diriku perlahan-lahan memudar, tergantikan oleh keraguan yang menggerogoti. Aku memejamkan mata, mengingat kembali bagaimana Damien dan Celeste berusaha menghancurkanku. Bagaimana aku hampir tidak bisa keluar dari situasi itu. Setiap detik dalam penangkapan itu terukir jelas di ingatanku, seperti bayangan gelap yang terus membayangi. Namun, yang lebih mengusik pikiranku adalah bagaimana Lucian muncul tepat waktu, seperti selalu tahu aku dalam bahaya. Dan sekarang, aku duduk di kamar ini, menunggu kejujuran yang katanya akan dia berikan. Meskipun sebenarnya aku tidak tahu, apakah aku benar-benar siap untuk mendengar apa yang akan dikatakannya? Pintu terbuka, dan aku bisa mendengar langkahnya mendekat. Setiap langkahnya terasa seolah beban yang dia bawa jauh lebih berat dari yang aku pikirkan. Ak
Aku menggigit bibir menahan rasa sakit. Mungkin wanita lain akan menangis karena cengkraman Celeste sangat kuat, tapi aku tertawa kecil. Ini tidak sakit sama sekali daripada melihat ibuku terbaring tanpa tahu kapan bisa sadarkan diri."Kau lucu, Celeste.""Jangan tertawa, sialan!" bentak Celeste. Tangannya beralih menekan leherku hingga aku mendongak."Lalu harus apa? Menyebutmu sakit jiwa?" Aku tertawa renyah. Celeste melebarkan mata. "Kau tahu, Seraphina? Aku selalu bertanya-tanya, apa yang membuat Lucian memilih wanita tidak tahu diri sepertimu?" Aku menatap balik tanpa takut. Senyumku masih setia di bibir. "Entahlah, mungkin pria itu sudah gila?" Celeste menyeringai tipis, lalu tiba-tiba melepaskan cengkeramannya. "Aku bisa melakukan ini dengan cara yang lebih mudah. Namun, jika kau ingin cara yang sulit, aku tidak keberatan. Kau memang menarik, Seraphina." Aku terbatuk-batuk sambil mengerutkan kening. Aku melihat wanita itu memberi isyarat kepada seseorang di sudut ruan
Semuanya terjadi begitu cepat. Aku tidak menyangka malam ini akan berakhir menyeramkan. Awalnya, aku hanya berniat pulang lebih awal setelah menghadiri acara amal yang diadakan keluarga Devereaux. Lucian masih sibuk berbincang dengan beberapa rekan bisnisnya, jadi aku memutuskan untuk pulang sendiri. Namun, begitu aku melangkah keluar dari gedung acara, udara dingin malam menyambutku dengan cara yang berbeda. Bukan hanya karena angin yang berembus, tetapi karena sesuatu yang terasa tidak beres. Sebelum aku sempat menyadari apa yang terjadi, sepasang tangan kuat tiba-tiba mencengkeram lenganku dari belakang. Aku berusaha melawan sekuat tenaga, tetapi seseorang membekap mulutku dengan kain berbau menyengat. Pandanganku langsung berputar sehingga tubuhku melemah dalam hitungan detik. Aku hanya sempat melihat bayangan hitam sebelum semuanya menggelap. Saat aku sadar, kepalaku terasa berat. Ada rasa nyeri di pelipisku dan tubuhku terasa lemah. Aku mengerjapkan mata, mencoba me
Aku tidak pernah benar-benar percaya pada kebetulan. Namun, malam ini, langkah kecilku menuju kebenaran justru membawaku ke dalam kenyataan yang lebih menyesakkan. Sejak beberapa hari yang lalu, setelah aku akhirnya kembali pulang ke apartemen tanpa menarik perhatian siapa pun, aku menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Lucian semakin sering pulang larut, tapi raut wajahnya sangat lelah dan tegang. Aku menduga itu karena urusan bisnis, tetapi ada sesuatu yang lebih dari sekadar masalah perusahaan. Malam ini, aku memutuskan untuk menunggu di ruang kerja Lucian. Duduk di kursinya, aku mengamati dokumen yang berserakan di mejanya. Berkas-berkas keuangan, laporan saham, dan satu map tebal berwarna hitam yang tampak paling mencurigakan. Aku membuka map itu, mataku langsung terpaku pada serangkaian foto yang terlalu aneh ada di sana. Celeste dan Damien. Mereka sedang bertemu diam-diam di sebuah restoran hotel mewah. Ada ekspresi serius di wajah mereka. Beberapa dokumen tampak di a
Suasana rumah sakit terasa dingin, bukan hanya karena suhu AC yang menyelimuti setiap ruangan, tetapi juga karena ketegangan yang menggantung di udara. Aku duduk di kursi tunggu, tanganku mencengkeram lengan kursi dengan erat. Ibu masih berada di ICU, belum sadarkan diri sejak kejadian itu. Aku mencoba menenangkan napasku, tetapi pikiranku dipenuhi suara para perawat yang berlari tadi. Kejadian beberapa jam lalu masih berputar jelas di kepalaku. "Seraphina!" Suara Lucian membuatku tersentak. Aku menoleh dan melihatnya berjalan cepat ke arahku, wajahnya jelas tampak tegang. "Ada apa?" tanyaku, merasa suaraku sedikit bergetar. Lucian berhenti di hadapanku, matanya mengunci dengan dalam. "Seseorang mencoba menyusup ke ruang ICU ibumu." Jantungku seakan berhenti berdetak. Aku nyaris tidak bernapas sedetik. "A–apa? Apa ... maksudnya?" "Kami memang berhasil menghentikannya." Lucian melanjutkan, rahangnya terlihat mengencang dan menahan marah. "Keamanan rumah sakit sigap menangan
Aku tidak pernah menyangka pertemuan malam ini akan berjalan di luar dugaan. Ruangan itu terasa hening. Celeste duduk dengan ekspresi datar, tetapi aku bisa melihat ketegangan di rahangnya. Joanne berdiri di hadapannya, tangannya terlipat di depan dada. Mata tajamnya menatap Celeste tanpa ragu sedikit pun. “Aku tidak suka bertele-tele, Celeste." Joanne membuka suara dengan nada tegas. “Aku tahu kau terlibat dalam ancaman terhadap Seraphina.” Aku menahan napas, lalu melipat bibir ke dalam. Jantungku cukup berdegup kencang, tapi ekspresiku memperlihatkan sebaliknya. Celeste mengangkat dagu, tatapannya tidak goyah sedikit pun. “Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan.” Joanne tertawa pendek. “Jangan pura-pura naif. Aku mengenal orang sepertimu. Selalu bermain di balik orang suruhan, lalu menyusun rencana tanpa berani mengotori tangan sendiri.” Wajah Celeste tetap tenang, tetapi aku melihat jemarinya menggenggam gelas di tangannya dengan erat. “Jika kau tidak punya bukti, jangan