"Tiana, aku dengar kamu ada di sini, jadi aku datang mencarimu. Eh? Wenny, kamu juga di sini? Kalian ... saling kenal?"Zidan masuk dengan santai, tersenyum ramah menyapa mereka.Alis Tiana berkerut, ekspresinya makin dingin."Pergi."Zidan malah duduk di sebelahnya. "Kenapa sih? Aku baru datang, masa langsung disuruh pergi? Paling nggak, kasih aku minum dulu, dong."Dia melihat ke arah Wenny. Saat melihat wajah Wenny penuh air mata, matanya langsung membelalak. "Kak Wenny, kok menangis? Siapa yang sakiti kamu? Bilang sama aku, aku pasti bela kamu!"Wenny sempat bingung sejenak, lalu bertukar pandang dengan Tiana dan berkata, "Dia sudah tahu hubungan kita."Zidan berseru, "Apa?"Tiana menyipitkan mata indahnya, tatapannya tertuju pada wajah Zidan.Melihat ekspresi bingung Zidan, Tiana berkata, "Tenang saja, otaknya kosong."Maksudnya, Zidan memang bodoh dan tidak peka.Wenny merasa lega, mengambil gelas, dan kembali minum.Zidan tetap tidak mengerti. "Sebentar, Kak Wenny, Tiana, kalian
Read more