Semua Bab Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir: Bab 141 - Bab 150

214 Bab

BAB 140: ARYA KERTAJAYA PULIH

Setelah perjalanan spiritual ke puncak Gunung Suci, tim Raka kembali ke perkemahan sementara di lereng gunung. Arya Kertajaya, yang sebelumnya terluka parah dalam pertempuran melawan pasukan bayangan Ki Jagabaya, sedang berbaring di sebuah kemah kecil yang dikelilingi oleh obat-obatan tradisional dan ramuan herbal. Wajahnya masih pucat, tetapi luka-lukanya mulai sembuh berkat perawatan dari tabib kerajaan.Di luar kemah, angin malam berdesir pelan, membawa aroma daun sirih dan rempah-rempah yang digunakan untuk merawat luka. Api unggun di tengah perkemahan menyala-nyala, memberikan cahaya hangat yang kontras dengan dinginnya udara pegunungan. Suara alunan gamelan Jawa kuno terdengar samar-samar dari jarak jauh, menciptakan atmosfer mistis yang mendalam.Raka, Dyah Sulastri, dan beberapa prajurit lainnya berkumpul di dekat api unggun, membicarakan rencana berikutnya. Namun, mata mereka sesekali tertuju pada kemah Arya Kertajaya, khawatir akan kondisinya.Saat matahari mulai terbit di pa
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-10
Baca selengkapnya

BAB 141: NAGA NISKALA MEMBERIKAN JAWABAN

Setelah beberapa hari beristirahat di perkemahan, tim Raka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mereka menuju sungai suci yang terletak di lembah bawah gunung. Menurut legenda, sungai ini adalah tempat tinggal Naga Niskala, makhluk gaib penjaga kerajaan yang diyakini memiliki jawaban atas misteri lenyapnya Gilingwesi dari sejarah.Saat mereka tiba di tepi sungai, suasana menjadi semakin mistis. Air sungai berkilauan seperti permata biru di bawah sinar matahari pagi, namun di kedalaman air tampak bayangan hitam besar yang bergerak pelan. Uap tipis mengepul dari permukaan air, membawa aroma tanah basah dan rempah-rempah kuno. Angin sepoi-sepoi membawa suara gemericik air dan desiran dedaunan, menciptakan harmoni alam yang mendalam.Raka, Dyah Sulastri, Arya Kertajaya, dan para prajurit lainnya berdiri dengan hormat di tepi sungai. Mereka menyadari bahwa tempat ini bukan sekadar lokasi fisik—ini adalah portal spiritual yang menghubungkan dunia manusia dengan dunia gaib.Tiba-tiba, air
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-10
Baca selengkapnya

BAB 142: KI JAGABAYA MENYUSUN RENCANA BARU

Sementara tim Raka berada di tepi Sungai Suci, mencari jawaban dari Naga Niskala, Ki Jagabaya diam-diam merencanakan langkahnya di balik layar. Di ruang bawah tanah istana yang gelap dan lembap, ia duduk di depan meja kayu tua yang dipenuhi gulungan kuno, peta kerajaan, dan artefak-artefak misterius. Lilin hitam menyala-nyala, memancarkan cahaya redup yang membuat bayangan panjang di dinding batu. Udara di ruangan itu terasa berat, membawa aroma belerang dan rempah-rempah kuno.Ki Jagabaya adalah seorang tokoh yang selalu bergerak dalam bayang-bayang. Ia tahu bahwa kekuasaan sejati tidak datang dari tahta, melainkan dari pengendalian dunia gaib. Matanya yang tajam memandang peta kerajaan dengan ekspresi dingin, sementara tangannya memegang sebuah kristal hitam yang berdenyut pelan, seolah memiliki kehidupan sendiri."Raka," gumamnya pelan, suaranya seperti bisikan angin malam. "Kau pikir kau bisa mengubah takdir? Kita akan lihat."Ki Jagabaya mulai menyusun rencana baru untuk menggulin
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-11
Baca selengkapnya

BAB 143: PERTEMPURAN SPIRITUAL

Setelah meninggalkan tepi Sungai Suci, tim Raka memutuskan untuk kembali ke puncak gunung suci. Mereka percaya bahwa di sana, Raka akan menghadapi ujian spiritual yang menentukan apakah ia layak menjadi harapan baru bagi kerajaan Gilingwesi. Perjalanan menuju puncak dipenuhi dengan ketegangan dan antisipasi. Udara semakin dingin, dan kabut tebal mulai menyelimuti jalan mereka. Setiap langkah yang mereka ambil terasa lebih berat, seolah-olah gunung itu sendiri sedang menguji tekad mereka.Saat mereka mencapai puncak, suasana menjadi semakin mistis. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan bunga liar yang tidak dikenal. Di tengah puncak, sebuah altar batu kuno berdiri tegak, dikelilingi oleh api gaib yang menyala biru kehijauan. Resi Agung Darmaja, yang telah mendampingi mereka, memberikan instruksi terakhir kepada Raka."Inilah saatnya, Saudara Raka," katanya dengan nada serius. "Ujian ini bukan hanya tentang kekuatanmu, tetapi juga tentang keyakinanmu terhadap cinta, takdir
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-11
Baca selengkapnya

BAB 144: KEKUATAN BARU RAKA

Setelah pertempuran spiritual yang melelahkan di puncak gunung suci, Raka kembali ke perkemahan dengan langkah yang lebih ringan namun dipenuhi oleh rasa tanggung jawab yang semakin besar. Artefak di tangannya masih berdenyut lembut, seolah-olah memberikan pengakuan atas perjuangannya melawan bayangan dirinya sendiri. Udara malam terasa lebih tenang, tetapi aroma belerang dari dunia gaib masih menyelimuti atmosfer.Dyah Sulastri dan tim lainnya menyambutnya dengan senyum lega. Dyah mendekat, matanya penuh kekaguman. "Kau berhasil, Raka," katanya pelan. "Aku tahu kau bisa melakukannya."Raka tersenyum tipis, tetapi ekspresinya cepat berubah menjadi serius. Ia menatap artefak di tangannya, yang kini memancarkan cahaya biru keemasan. Ada sesuatu yang berbeda—ia merasakan hubungan baru antara dirinya dan dunia gaib."Ada sesuatu yang berubah," gumam Raka pelan. "Aku... aku bisa mendengar mereka."Angin malam berdesir pelan, membawa aroma daun basah dan bunga liar yang tidak dikenal. Suara
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-11
Baca selengkapnya

BAB 145: KEMBALI KE ISTANA

Setelah beberapa hari berada di puncak gunung suci, tim Raka memutuskan untuk kembali ke istana. Mereka membawa pengetahuan baru tentang artefak dan kekuatan spiritual mereka, tetapi suasana di antara mereka masih dipenuhi ketegangan. Udara pagi terasa dingin, dan kabut tebal menyelimuti hutan lebat yang mereka lalui. Suara angin bercampur dengan deru air sungai suci yang mengalir di kejauhan.Raka berjalan di depan, matanya penuh tekad. Artefak di tangannya masih berdenyut pelan, seolah-olah memberikan pengingat bahwa waktu mereka semakin sempit. Dyah Sulastri berjalan di sampingnya, wajahnya tampak cemas namun teguh. Ia tahu bahwa perang besar akan segera dimulai, dan ia harus siap menghadapi takdirnya."Kita tidak punya banyak waktu," kata Raka pelan, suaranya penuh keteguhan. "Ki Jagabaya sudah mulai menyerang desa-desa di pinggiran kerajaan. Jika kita tidak bertindak cepat, semuanya akan runtuh."Dyah menatapnya dengan mata penuh keyakinan. "Aku percaya padamu, Raka. Tapi aku juga
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-11
Baca selengkapnya

BAB 146: RAKAI WISESA MEMINTA BANTUAN

Dengan suasana yang semakin tegang, Rakai Wisesa mengumpulkan para pemimpin sekutu kerajaan di balairung istana. Udara di ruangan itu terasa berat, dipenuhi oleh kecemasan dan ketegangan. Para pemimpin sekutu duduk di kursi-kursi kayu yang dihiasi ukiran kuno, sementara prajurit-prajurit bersenjata lengkap berdiri di setiap sudut ruangan. Api unggun besar di tengah ruangan memberikan cahaya redup, namun tidak cukup untuk menghangatkan suasana.Rakai Wisesa berdiri di depan singgasana dengan wajah penuh tekad, meskipun garis-garis kelelahan tampak jelas di wajahnya. Di sisinya, Resi Agung Darmaja berdiri tenang, matanya menyapu seluruh ruangan dengan tatapan bijaksana. Raka, Dyah Sulastri, dan Arya Kertajaya berdiri di belakang raja, menunjukkan solidaritas mereka dalam situasi genting ini."Para sekutu setia," kata Rakai Wisesa dengan suara tegas, "kita berada di ambang perang besar melawan pasukan bayangan Ki Jagabaya. Mereka telah menyerang desa-desa kita, menculik warga, dan melemah
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-11
Baca selengkapnya

BAB 147: ARYA KERTAJAYA MEMIMPIN DIVISI LOYALIS

Di tengah malam yang sunyi, Arya Kertajaya duduk di tepi tempat tidurnya di ruang penyembuhan istana. Luka-lukanya akibat pertempuran sebelumnya masih belum sepenuhnya sembuh, tetapi pikirannya terus melayang ke medan perang yang akan datang. Suara angin malam berdesir pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang gugur. Aroma belerang samar-samar menyelinap masuk melalui celah jendela, menciptakan atmosfer yang menggelisahkan. Api lilin di sampingnya berkedip-kedip, menciptakan bayangan panjang di dinding.Meskipun tubuhnya masih lemah, tekadnya tak tergoyahkan. Ia tahu bahwa waktu mereka semakin sempit. Ki Jagabaya dan pasukan bayangannya sudah mendekati istana, dan jika tidak ada yang bertindak, kerajaan ini akan hancur. Pikiran tentang Dyah Sulastri—wanita yang ia cintai lebih dari apa pun—menghantui benaknya. Ia tidak bisa membiarkan apa pun terjadi padanya."Aku tidak bisa hanya duduk diam," gumam Arya Kertajaya pada dirinya sendiri, suaranya penuh keyakinan meskipun nadanya
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-12
Baca selengkapnya

BAB 148: DYAH SULASTRI MENGORBANKAN DIRI LAGI

Di tengah malam yang sunyi, Dyah Sulastri duduk di tepi altar suci di kuil bawah tanah istana. Udara dingin menyelimuti ruangan, dipenuhi aroma dupa kemenyan yang membakar perlahan-lahan. Cahaya lilin berkedip-kedip di sekitarnya, menciptakan bayangan panjang di dinding-dinding batu yang tertutup relief kuno. Relief-relief itu menggambarkan para leluhur kerajaan Gilingwesi yang melakukan ritual serupa—ritual pengorbanan diri untuk melindungi kerajaan.Dyah menatap artefak pusaka yang tergeletak di atas altar: sebuah piringan perunggu berukir simbol-simbol gaib. Ia tahu bahwa nasib kerajaan bergantung pada keputusannya malam ini. Meskipun hatinya berat, ia telah memutuskan untuk melanjutkan ritual suci yang telah lama menjadi beban garis keturunan keluarganya."Aku tidak punya pilihan lain," gumamnya pelan, suaranya hampir tersapu oleh desiran angin yang masuk melalui celah-celah kuil. "Jika aku tidak melakukannya, kerajaan ini akan hancur."Namun, di balik keteguhan ekspresinya, ada ra
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-12
Baca selengkapnya

BAB 149: RITUAL SUKSES, TETAPI HARGA MAHAL

Dalam kegelapan malam yang sunyi, para pendeta kerajaan berkumpul di kuil suci yang terletak di tepi sungai mistis. Udara di sekitar kuil dipenuhi aroma dupa kemenyan dan bunga kenanga yang menyengat, menciptakan atmosfer magis yang mendalam. Nyala api obor berkedip-kedip, memantulkan bayangan panjang di dinding-dinding batu yang dihiasi ukiran kuno. Di tengah-tengah kuil, Dyah Sulastri berdiri di atas altar batu, wajahnya pucat namun teguh.Raka berdiri di luar kuil, tangannya mengepal erat saat ia menyaksikan ritual itu dari kejauhan. Matanya penuh dengan kecemasan, tetapi ia tahu bahwa ia tidak bisa menghentikannya lagi. Rakai Wisesa dan Resi Agung Darmaja berdiri di sisi lain kuil, wajah mereka penuh keteguhan meskipun ada rasa berat di hati mereka."Apakah ini benar-benar satu-satunya cara?" gumam Raka pelan, suaranya penuh penyesalan.Resi Agung Darmaja menatapnya dengan mata bijaksana. "Ini adalah harga yang harus dibayar untuk melindungi kerajaan ini. Dyah Sulastri adalah jemba
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-12
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1314151617
...
22
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status