All Chapters of Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!: Chapter 71 - Chapter 78

78 Chapters

69

Benar saja, keesokan harinya Tristan terbang ke New York.Aku dikepung tumpukan dokumen dari beberapa divisi. Panthelis, perusahaan tempatku bekerja, memang tengah menggeliat agresif di pasar global. Fokus utama kami adalah produksi rokok, dan sejak Tristan menjabat sebagai CEO, ekspansi bisnis menjadi gila-gilaan. Tak hanya Asia, kini kami mulai menancapkan kuku di Eropa. Bahkan, kami sedang mengembangkan lini produk baru: rokok elektrik atau vape, dengan sentuhan desain dari Paris dan riset dari New York.Tumpukan file di mejaku tak hanya soal distribusi, tapi juga konsep visual, kemasan, rasa, hingga strategi branding. Di depan mataku, ada blueprint elegan untuk rokok elektrik bernuansa retro-futuristik. Aromanya? Cherry-vanilla bourbon. Fancy. Logo-nya terukir Taffer Phantelis, entah bagaimana aku menduga itu berarti sesuatu seperti “Kerjaan Phantelis” dalam bahasa Prancis. Seolah menunjukkan bahwa ini bukan sekadar produk, tapi simbol baru dari eksistensi kami.Pintu ruanganku ti
last updateLast Updated : 2025-04-07
Read more

70

Paulo hanya tersenyum, berdiri sambil mencondongkan tubuhnya ke arahku. Bisikannya nyaris seperti racun yang disusupkan langsung ke pikiranku."Ada seseorang yang sengaja menjatuhkan kamu, Maya. Dan dia nggak main-main."Seketika udara di ruangan seolah membeku."Pasang flashdisk ini, tapi pastikan kita sendirian. Ini bukan sekadar soal gosip. Ini sudah personal."Aku menatapnya tajam. "Siapa, Paulo?"Ia hanya mengangkat alis, lalu berbisik,"Rahma bukan satu-satunya."Tanganku gemetar saat menerima flashdisk itu. Tubuhku mendadak dingin, meski AC kantorku sudah lama mati sejak siang. Pikiran tentang Bimo, pekerjaanku, dan reputasi yang kujaga selama ini mendadak seperti benang kusut yang siap putus kapan saja."Kalau ini jebakan," ucapku pelan.Dia mengangkat tangan, "Relax, darling. Aku di tim kamu. Selalu di tim kamu."Aku menarik napas dalam, lalu bangkit dari kursi dan menuju ke pintu. Kupastikan ruangan terkunci, bahkan kucek ulang gorden agar tak ada celah untuk orang luar meng
last updateLast Updated : 2025-04-07
Read more

71

“Boleh saya tahu siapa saksi mata itu?” tanyaku. “Atau, setidaknya, apakah bisa dihadirkan sekarang juga agar saya bisa membela diri dengan adil?” Pak Haryo menatapku sangat tajam. "Tidak perlu. Tonton saja rekaman ini."Pria itu menjentikkan jari meminta operator untuk menyalakan proyektor. Di layar terpampang adegan Tristan menggendongku dan memasukkanku ke kamarnya. Jantungku sontak berdegup. Itu adalah hari di mana aku baru keluar dari rumah sakit setelah menjalani rehabilitasi. Hanya itu yang dipertontonkan padaku. Bu Nanda memijit pelipisnya. "Biarkan saya menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, Pak," mohonku.Kepala tim legal itu mengangkat tangannya, kode menolak permohonanku. "Kita lakukan rapat direksi besok siang. Semua bukti sudah kuat, kami tidak ingin mencoreng nama baik Panthelis dengan tindakan tidak senonoh. Sekarang kembali ke posisi masing-masing."Aku menunduk dalam-dalam, mengangguk kecil tanpa suara. Sia-sia menjelaskan sekarang. Mereka sudah menutup telinga.
last updateLast Updated : 2025-04-08
Read more

72

"Tidak perlu!" sela seseorang yang baru saja masuk ke ruang rapat. Semua orang tertuju padanya."Kita selesaikan masalah ini sekarang juga!"Mataku terbelalak mengetahui siapa orang itu. Sosok yang tanpa sadar aku rindukan kehadirannya. Paulo tersenyum lega ke arahku. "Maaf, Pak Tristan tapi-" Pak Haryo berusaha mencegah Tristan."Tidak ada tapi-tapian Pak Haryo. Lihat bukti saya terlebih dahulu." Tristan melemparkan flasdisk kepada Paulo. Paulo pun memainkan rekaman cctv di kamar Tristan yang ada di New York dan Paris."Bisa kalian lihat sendiri, aku dan sekretarisku menempati kamar yang berbeda. Meskipun ruangannya sama, rapi ada dua kamar di sana. Kami berdua tidak pernah melewati batas, justru orang lain sudah mengusik privasiku. Sampai mencuri jaketku!" Tristan mengarahkan pandangan dan jari telunjuknya pada Rahma. Perempuan yang beberapa kali mengunjungi kamar kami di New York.Mulut Rahma terngaga berusaha mencuatkan alasan, tetapi ditahan Tristan."Tidak perlu beralasan, aku
last updateLast Updated : 2025-04-09
Read more

73

Ketiga karyawan tersebut menoleh dengan kikuk. Cengir kuda dengan mata melotot, saling melemparkan lirikan. "He-he Pak..." ucap salah satu karyawan, dia menganggukkan kepalanya.Tristan tersenyum tulus pada mereka. "Ikut ke ruangan saya, sekarang."Saat membalikkan badan ke arahku, dia berucap. "Tolong, delivery makanan untuk kita berlima.""Baik, Pak." Kutundukkan sedikit kepalaku. Ketiga orang yang sebelumnya menggunjing kami, mematung.Tristan yang sudah berjalan beberapa langkah dari kami, segera berhenti dan menoleh. "Ayo.""S-siap, Pak!" Ketiga karyawan tersebut langsung mengikuti CEO masuk ke lift khusus eksekutif.Setelah pintu lift tertutup, aku menghela napas panjang. Dalam hati, aku sedikit merasa puas melihat ekspresi panik mereka yang tadinya sok berani menggunjing di balik punggung orang. Tapi di sisi lain, aku juga kasihan. Semoga mereka sadar dan tidak mengulangi hal yang sama lagi.Aku segera menuju pantry dan menghubungi layanan katering langganan kantor. “Lima pors
last updateLast Updated : 2025-04-13
Read more

74

Aku tak bisa menjawab.Ruangan terasa semakin sunyi. Bahkan deru AC pun seperti ikut menahan suara.“Saya tidak lari,” jawabku pelan. “Saya cuma menjaga diri.”Tristan mengangguk, lalu berdiri. Ia berjalan ke arahku, lalu berhenti tepat di depanku. “Kalau kamu terus menjaga diri dari orang yang benar-benar tulus, kamu akan kehilangan mereka. Termasuk aku.”Lalu, ia menoleh ke tiga karyawan itu dan berkata, “Rapat selesai. Kalian boleh kembali ke tempat masing-masing.”Mereka langsung bangkit dan meninggalkan ruangan dengan gesit, seolah lolos dari lubang jarum. Saat pintu tertutup yang tersisa hanya kami berdua.Aku belum sanggup menatapnya langsung.“Kenapa Anda lakukan ini, Pak?” tanyaku resah. Suaraku nyaris seperti bisikan.“Karena aku ingin semua orang tahu, kamu bukan siapa-siapa dalam hidupku.” Ia terdiam sebentar. “Tapi kamu adalah segalanya.”Tubuhku menegang.“Kalau aku masih harus membuktikannya dengan presentasi, testimoni, atau bahkan membuat video drama... aku akan lakuk
last updateLast Updated : 2025-04-16
Read more

75

Untuk beberapa saat, tak ada yang bicara. Hanya suara sendok dan garpu, sesekali terdengar obrolan meja lain. Aku bisa merasakan kalau Rosa tidak datang hanya untuk makan.“Kalau kamu butuh teman buat cerita. Ada aku, May. Kita mungkin sempat ada kesalahpahaman, jadi menjauh, tapi aku perempuan juga. Kadang, kita cuma butuh seseorang yang ngerti tanpa harus menghakimi.”Aku terperangah mendengar ucapannya yang mendadak itu. Suaranya terdengar lembut, nyaris tulus, tapi entah kenapa aku merasa ada kata yang tak sepenuhnya bisa kupercaya. Mungkin karena sejarah kami—meskipun Rosa belum pernah benar-benar menyakitiku secara langsung, sikapnya selama ini… terlalu licin. Seperti selalu memakai topeng berbeda untuk setiap orang.Aku tersenyum kecil, tapi tak sampai ke mata. “Terima kasih, Rosa. Aku baik-baik saja, kok.”Dia menyendok saladnya pelan, lalu mengangguk. “Ya, aku ngerti. Kamu memang tipe yang suka menyimpan semuanya sendiri.”Aku hanya menjawab dengan anggukan singkat. Dalam hat
last updateLast Updated : 2025-04-16
Read more

76

Langkah berat itu semakin mendekat. Aku buru-buru menyibukkan diri dengan mengaduk kopi yang sudah lama tak butuh diaduk. Paulo menyingkir ke samping, memasang wajah nakal seperti biasa.Tristan muncul di ambang pintu pantry, mengenakan setelan abu-abu yang pas badan, rambutnya sedikit berantakan seperti baru tertiup angin luar. Wajahnya datar, seperti biasa, tapi matanya langsung menemukan aku. Sejenak, waktu rasanya melambat.“Selamat pagi,” ucapnya singkat, lalu menoleh ke Paulo. “Bisa minta waktu sebentar, Paulo?”“Wah, sudah kuduga. Saya cuma figuran di drama kalian,” celetuk Paulo sebelum menghilang ke balik pintu dengan senyum menyeringai.Aku nyaris tertawa kalau saja jantungku tak berdebar kencang.Tristan melangkah masuk, lalu berhenti di depanku. Ada jeda sesaat sebelum ia bicara.“Maya.” Suaranya tenang tapi tegas. “Setelah kamu selesai bikin kopi, langsung ke ruanganku. Aku mau kamu laporkan pekerjaan kantor selama aku pergi.”Nada suaranya terdengar profesional. Tak ada
last updateLast Updated : 2025-04-17
Read more
PREV
1
...
345678
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status