Semua Bab Pesona Istri Dadakan Dokter Tedja: Bab 21 - Bab 30

40 Bab

Diana Dipecat

Di luar pintu ruangan, Gina masih berdiri mematung, matanya menatap celah pintu yang sedikit terbuka. Apa yang dia lihat barusan membuat pikirannya bercampur aduk. Tedja dan Adira... benar-benar? Gina mencoba mengingat ulang momen itu, wajah Tedja yang terpaku, Adira yang tampak panik. Mereka terlalu dekat. Terlalu akrab untuk sekadar bos dan sekretaris. Belum lagi dengan apa yang dilihatnya di lobi hotel malam itu. Namun, lamunannya buyar ketika seorang perawat berlari kecil mendekatinya dari ujung koridor. “Dokter Gina! Tolong, Dok! Ada kecelakaan besar. Korban banyak, dan tenaga medis kita nggak cukup!” ujar perawat itu panik. Gina menoleh kaget, tapi segera menguasai dirinya. Dia melirik jam di pergelangan tangan. Sekarang belum masuk jadwal shift jaganya. Namun, kondisi darurat seperti ini tidak mungkin dia abaikan. Dia menghela napas panjang, pandangannya kembali ke pintu ruang Tedja yang masih sedikit terbuka. Sebuah keinginan untuk langsung mengonfrontasi Adira terpendam.
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-27
Baca selengkapnya

Umumkan yang Benar!

Adira dan Tedja saling bertukar tatapan canggung di dalam mobil. Keduanya baru saja menyadari bahwa mereka mendapat undangan dari dua pihak berbeda untuk masalah yang sepertinya sama. Adira diundang kakeknya Tedja, sedangkan Tedja diundang oleh Edwin, kakak Adira. “Dari cara nulisnya sih, kayaknya Kak Edwin lagi bad mood banget, nih,” ujar Adira menakut-nakuti Tedja. “Jangan bercanda kamu?” Tedja berusaha menyembunyikannya, tapi Adira yakin kalau pria itu sedikit gentar. Dia terkekeh, lalu berkata, “Santai aja, Dok. Waktu kita ke rumah Kakak, kan dokter gak kenapa-kenapa.” “Kamu itu, ya,” gerutu Tedja sambil mengetuk dahi Adira pelan. Sambil melipat lengannya di dada, Adira berkata, “Mereka minta ketemunya di waktu yang sama. Gimana kalau dijadikan satu aja, Dok?” “Boleh. Di rumah Kakek aja,” sahut Tedja. Malam harinya, mereka tiba di rumah besar Daryanatha, atmosfernya sudah terasa tegang. Selain Daryanatha, di ruang keluarga sudah ada Sofia, Edwin, dan tentu saja Erna yang te
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-27
Baca selengkapnya

Tidak Usah Dihitung

Adira berusaha keras menormalkan ekspresinya meski wajahnya masih terasa panas. Dia kembali ke wastafel, melanjutkan mencuci piring dengan gerakan cepat seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal, dalam hati, dia sudah ingin ikut pergi mengalir bersama busa pencuci piring wangi jeruk nipis itu. “Ya ampun... bisa-bisanya malah kayak tadi...” batinnya, mencoba mengendalikan detak jantung yang masih menggila. Erna, yang jelas-jelas kalah telak, berdiri sebentar di pintu dapur dengan tatapan penuh rasa sebal. Setelah mendengus dengan kasar, dia akhirnya pergi tanpa sepatah kata. Tedja, di sisi lain, masih berdiri di tempatnya. Dia juga merasakan canggung yang sama, tapi senyuman kecil mulai muncul di sudut bibirnya. “Ternyata ciuman sama dia gak terlalu menyebalkan,” pikirnya dalam hati. Setelah beberapa saat, Tedja membersihkan tenggorokannya dengan pelan, “Aku duluan, ya. Kalau selesai, langsung susul aja.” Adira mengangguk tanpa menoleh, pura-pura sibuk membilas piring terakhir. “Iya,
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-28
Baca selengkapnya

Konfrontasi Gina

Ruangan tempat mereka berada tidak terlalu luas, hanya ada dua bunk bed dan sofa abu-abu panjang dengan meja kayu di tengahnya. Di sudut ruangan terdapat dispenser dan rak kecil yang penuh dengan mie cup, kotak teh serta kopi instan. Meski suasananya seharusnya nyaman, bagi Adira ruangan itu terasa seperti ruang interogasi. Gina mengangkat satu alis. “Jangan pura-pura bodoh, Ra. Kamu pikir aku nggak lihat apa yang terjadi kemarin? Aku tahu ada yang nggak beres antara kalian!” “Gak beres gimana sih, Gin? Perasaan aku sama dr. Tedja biasa-biasa aja,” Adira berdalih. Kemudian, Gina mengeluarkan ponselnya dari saku jas dokter. Dia menunjukkan sebuah foto di layar, sebuah potret Adira dengan daster floral sederhana sedang berdiri di lobi hotel tempat penthouse Tedja berada. “Ini apa? Jangan bilang kamu lupa!” Adira menatap layar itu dengan wajah datar. “Kamu gak tinggal bareng bosmu kan?” Gina menyelidik. Temannya ini kalau menebak hampir selalu tepat. Meski pikirannya panik, Adira
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-28
Baca selengkapnya

Nyi Roro Kidul dan Nyi Blorong

Rapat persiapan acara ulang tahun Grup Rumah Sakit Alaric Medika berlangsung singkat tapi padat. Adira dengan rapi mempresentasikan laporan terbarunya: semua undangan telah disebar, tempat acara sudah siap, katering dipastikan datang tepat waktu, dan susunan acara telah dikonfirmasi dengan MC. Semua berjalan sesuai rencana. "Jadi, ini jadwal acara resminya, Dok. Cek terakhir dari tim protokol sudah selesai. Tinggal memastikan semuanya lancar di hari H," ujar Adira sambil menyerahkan dokumen kepada Tedja. Tedja membuka dokumen itu sekilas. "Bagus. Kamu memang bisa diandalkan." Adira hanya tersenyum kecil sambil mengangguk. Dia tahu pujian dari Tedja yang biasanya santai itu adalah bentuk penghargaan yang tulus. Setelah rapat selesai dan staf lainnya meninggalkan ruangan, Tedja memanggil Adira untuk tetap tinggal. "Ra, kamu udah punya gaun buat nanti malam?" tanya Tedja sambil menutup foldernya. Adira menoleh, sedikit bingung. "Gaun? Ada sih beberapa. Mungkin saya pakai yang udah
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-28
Baca selengkapnya

Drama di Pesta

Ballroom hotel mewah itu penuh dengan gemerlap lampu kristal dan alunan musik lembut yang mengisi suasana. Para tamu undangan, mulai dari petinggi rumah sakit hingga kolega bisnis Grup RS Alaric Medika, tampak berbincang santai dengan senyum yang terjaga rapi. Adira berdiri di samping Tedja, menyapa tamu-tamu dengan sikap profesional seperti biasa. Namun, kesibukannya sejenak terhenti ketika sebuah tangan menepuk pundaknya. Adira menoleh dan mendapati Gina, yang tersenyum lebar dengan Giovanni di sebelahnya. “Gina, Kak Gio? Akhirnya kalian datang juga,” Adira tampak terkejut sekaligus senang. “Kamu cantik sekali. Gaunnya cocok,” puji Giovanni. Sambil tersenyum Adira menjawab, “Makasih, Dok. Dokter juga tampan.” “Aku? Aku gimana, Dir?” tanya Gina seraya memutar badan menunjukkan gaun biru mudanya yang menjuntai cantik di lantai. Sejenak Adira memikirkan jawaban yang tepat, lalu berkata, “Cantik. Tapi bakal lebih cantik kalau sambil bawa boneka Olaf.” Gina mendengus, “Kalau itu m
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-29
Baca selengkapnya

Sok Suci

Adira menatap gelas anggur merah yang disodorkan Zia. Jarinya hampir menyentuh pinggiran gelas, tetapi sesuatu di dalam dirinya menahan langkahnya. Matanya sedikit menyipit, memperhatikan Zia yang berdiri di hadapannya dengan wajah penuh penyesalan. Situasi ini terasa aneh, dan dia tahu ada sesuatu yang lebih besar di balik gestur "permintaan maaf" ini. Namun, sebelum Adira sempat memutuskan, Giovanni yang berdiri di sebelahnya tiba-tiba bersuara, “Adira, bukannya kamu nggak bisa minum alkohol?” Adira merasa seperti mendapat penyelamat tak terduga. Dalam hati dia bersorak, “Good job, Kak Gio!” Dia mengangguk cepat, menoleh ke Zia, dan menjelaskan dengan nada sesopan mungkin, “Iya, Dr. Zia. Saya nggak bisa minum alkohol. Penyakit lambung saya lumayan parah, soalnya. Maaf banget, saya benar-benar nggak bisa.” Zia memasang ekspresi terkejut yang tampak begitu meyakinkan. “Beneran? Ya ampun, aku nggak tahu. Aku minta maaf, Adira.” Suaranya penuh nada iba, seolah dia benar-benar meras
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-29
Baca selengkapnya

Akting Juga Butuh Latihan

Tedja membuka pintu ruangan istirahat dengan gerakan terburu-buru. Dengan Adira yang masih dalam gendongannya, ia berjalan menuju sofa besar di tengah ruangan. Tapi, ketika kakinya hanya beberapa langkah lagi, tubuhnya mulai goyah. “Berat juga ya kamu!” gerutunya sembari berusaha menjaga keseimbangan. Adira yang mendengar itu merasa tersinggung. “Berat dari mananya, Dok? Berat badanku aja nggak sampai 50 kilogram!” Tedja menurunkan Adira dengan hati-hati. Lebih cocok disebut menjatuhkannya ke sofa, sih. Dia menatap Adira dengan ekspresi campuran antara kelelahan dan rasa bersalah. Dalam hati, Tedja bergumam, “Berarti ini aku yang kurang fit. Kapan terakhir kali nge-gym, ya?” Adira sibuk merapikan gaunnya yang sedikit kusut. “Kak Edwin aja sering bilang kalau saya kerempeng,” katanya lagi. Entah kenapa Tedja merasa disindir. Tetapi, itu membuat Tedja semakin termotivasi. Dalam hati, ia bersumpah akan lebih sering ke gym setelah ini. Namun, tatapan Tedja kemudian menangkap sesuatu
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-29
Baca selengkapnya

Luka Palsu

Setelah insiden yang mengguncang pesta tadi, suasana di ballroom perlahan kembali terkendali. Musik mulai mengalun lembut, memecah keheningan yang sebelumnya terisi bisikan-bisikan penuh spekulasi. Namun, di sudut-sudut ruangan, percakapan tentang Adira, Tedja, dan Zia masih bergaung. Di salah satu sudut, Indah mencoba menenangkan Zia, yang terlihat begitu terpukul. Mata Zia yang biasanya penuh percaya diri kini berkaca-kaca. Dia menggelengkan kepala berulang kali, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. “Tante... aku nggak mendorong dia. Aku nggak akan pernah melakukan hal seperti itu. Adira salah paham... semuanya salah paham,” bisiknya dengan nada penuh kepedihan. Indah, yang memandang Zia dengan mata penuh kasih sayang, meletakkan tangan di pundak wanita muda itu. “Tante percaya sama kamu. Kamu bukan orang yang seperti itu. Tenang, ya.” Namun, di dalam hatinya, Indah merasa goyah. Satu sisi, dia tahu Zia sebagai wanita lembut yang penuh kasih sayang. Tapi, sisi
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-29
Baca selengkapnya

Trik Dewi

Setelah berhasil menghindari kerumunan tamu yang terus bertanya tentang insiden dengan Zia, Adira akhirnya bisa menarik napas sejenak. Namun, sebelum benar-benar bisa beristirahat, suara familiar menyapanya. "Adira, lama nggak ketemu," suara itu terdengar ramah, tapi ada sesuatu dalam nadanya yang membuat Adira menegang seketika. Dia menoleh, dan mendapati Dewi berdiri di hadapannya dengan senyum manis yang sudah sangat ia kenal sejak dulu. “Dewi?” Adira berkedip, sedikit terkejut melihat sosok itu di acara sebesar ini. Dewi mengangguk dengan anggun. “Kaget, ya? Aku nggak diundang langsung, tapi nemenin bosku ke acara ini.” Adira mencoba tetap tenang, meski dalam pikirannya ia bertanya-tanya. “Bosnya? Oh! Maksudnya Bu Nia yang dari asuransi Happy Life kali ya?” Dewi tampaknya menangkap kebingungan Adira, dan tanpa diminta, dia melanjutkan, “Bosku kebetulan kenal sama beberapa petinggi rumah sakit. Aku ikut sebagai pendamping, ya sekalian networking juga.” Adira mengangguk pelan.
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-29
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status