Home / Rumah Tangga / Istri Baru untuk Suamiku / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Istri Baru untuk Suamiku : Chapter 11 - Chapter 20

50 Chapters

Bab 11 : Di Ambang Keputusan

Sinar matahari pagi yang cerah menembus tirai jendela kamarku, tapi kehangatannya tak mampu mengusir dingin yang merasuki hati ini. Aku bangun dengan perasaan berat, seperti membawa beban yang semakin hari semakin tak tertahankan. Mas Rey sudah tidak ada di rumah saat aku turun ke ruang makan. Meja makan terlihat kosong, hanya menyisakan secangkir kopi dingin yang mungkin dia tinggalkan dalam terburu-buru. Ada kelegaan kecil karena aku tak perlu menghadapi tatapannya yang selalu penuh penyesalan. Namun, di sisi lain, keheningan ini semakin menyiksa. Berbeda dengan tahun-tahun awal pernikahan kami, tiap pagi menjelang kami kompak untuk sarapan pagi bersama. Bercanda tentang apapun itu. Namun, semuanya kini tinggal kenangan yang ada. Aku menatap layar ponselku, memikirkan pesan dari Karin malam sebelumnya. Kalau kamu butuh tempat untuk berpikir, datanglah ke sini. Aku akan selalu ada untukmu. Aku tahu Karin benar. Aku butuh ruang, jauh dari suamiku, jauh dari semua tekanan yang t
last updateLast Updated : 2024-12-26
Read more

Bab 12 : Di Balik Harapan

Hujan turun deras membasahi kota. Dedaunan di taman kecil depan rumah bergoyang ditiup angin, sementara aku duduk di meja makan, menatap cangkir kopi yang sudah dingin. Hari ini adalah hari yang menentukan. Aku dan Mas Rey memutuskan untuk pergi bersama menemui konselor pernikahan untuk terakhir kalinya, sesuatu yang selama ini memang selalu kami hindari. Rey turun dari lantai atas, mengenakan kemeja putih dan celana jeans. Penampilannya rapi, tapi garis-garis di wajahnya menunjukkan bahwa dia sama tegangnya denganku. “Siap, Yang?” tanyanya, suaranya pelan namun penuh makna. Aku mengangguk, walaupun jauh di dalam hati, aku merasa belum benar-benar siap menghadapi apa yang akan kami bicarakan. Ruang konseling itu sederhana namun nyaman, dengan sofa empuk dan dinding yang dihiasi lukisan-lukisan abstrak. Konselor kami, seorang wanita paruh baya duduk di depan kami dengan senyum lembut. “Selamat datang, Pak Rey dan Bu Ira,” sapanya hangat. “Saya senang kalian memutuskan untuk me
last updateLast Updated : 2024-12-26
Read more

Bab 13 : Titik Balik di Tengah Keraguan

Hujan kembali turun deras malam ini, membuat suasana rumah semakin dingin dan sunyi. Di luar, kilat sesekali menerangi langit, diikuti oleh suara guntur yang bergemuruh saling bersahutan. Aku duduk di ruang tamu, menatap surat dari Mas Rey yang masih terlipat rapi di atas meja. Kata-katanya, meski sederhana, terus terngiang di pikiranku: "Mas tidak tahu apakah Mas bisa memperbaiki semua ini, tapi Mas akan mencoba." Tapi apakah mencoba cukup? Aku tahu ada sesuatu yang berubah sejak sesi konseling terakhir. Mas Rey mulai lebih sering di rumah, berusaha lebih banyak bicara denganku, dan bahkan mengambil inisiatif untuk membantu pekerjaan rumah—sesuatu yang hampir tidak pernah Mas Rey lakukan sebelumnya. Tapi setiap kali aku ingin percaya bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang lebih baik, bayangan masa lalu kembali menghantui pikiranku. Salah satu bayangan itu bernama Citra. Suara bel pintu memecah kesunyian malam. Aku mengernyit, bertanya-tanya siapa yang datang larut malam seper
last updateLast Updated : 2024-12-26
Read more

Bab 14 : Jalan di Antara Keputusan

Aku terbangun dengan perasaan berat. Matahari yang biasanya memancarkan kehangatan kini terasa seperti beban di atas bahuku. Di sisi tempat tidur, Mas Rey masih tertidur pulas. Wajahnya terlihat tenang, seperti tidak ada badai yang melanda pernikahan kami. Tapi di dalam diriku, badai itu masih berkecamuk, mencabik-cabik rasa percaya dan harapan yang tersisa. Hari ini adalah hari kami kembali menuju konselor pernikahan untuk sesi konseling berikutnya. Kami sepakat menambah waktu konseling meskipun beberapa hari sebelumnya sudah berakhir. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi aku tahu ini adalah salah satu langkah terakhir untuk menentukan apakah pernikahan kami bisa bertahan atau harus diakhiri. --- Di ruang konseling, suasana terasa lebih tegang dari biasanya. Mas Rey duduk di sebelahku, tangannya bertaut di atas meja. Aku bisa merasakan suamiku ingin meraih tanganku, tetapi terlihat menahan diri. Konselor kami membuka percakapan dengan senyum lembut. “Bagaimana minggu P
last updateLast Updated : 2024-12-27
Read more

Bab 15 : Pilihan yang Memisahkan

Hujan turun makin deras, menyelimuti rumah kami dengan suara gemuruh yang memekakkan telinga. Aku duduk di ruang tamu, memandang ke luar jendela. Di tanganku, secangkir teh yang kini sudah dingin masih kupegang, sama seperti hatiku yang terasa beku setelah membaca surat suamiku yang tak sengaja kutemukan kemarin. Aku merasa terjebak di persimpangan besar. Ada jalan yang mengarah pada upaya untuk memperbaiki hubungan kami, dan ada jalan lain yang mengarah pada kebebasan dari rasa sakit yang telah lama menggerogoti hatiku. Suamiku telah mencoba bicara denganku sejak semalam, tapi aku belum siap untuk benar-benar mendengarkan. Aku butuh waktu untuk mencerna semua ini. Pagi harinya, aku duduk di meja makan dengan segelas kopi di tangan. Mas Rey masuk ke ruang makan, tampak cemas. Dirinya duduk di seberangku, wajahnya penuh kelelahan, seolah tidak tidur semalaman. “Yang, kita perlu bicara,” katanya, memecah keheningan. Aku menatapnya sekilas. “Tentang apa lagi, Mas? Tentang keboho
last updateLast Updated : 2024-12-28
Read more

Bab 16 : Pengkhianatan yang Tersingkap

Aku duduk di tepi ranjang, memandangi ponsel di tanganku. Pesan dari Citra yang diteruskan Karin masih terngiang di benakku. Pesan itu bukan sekadar kata-kata, melainkan pukulan telak yang membuatku mempertanyakan segalanya—pernikahanku, kepercayaan, bahkan harga diriku. Aku memutuskan untuk menghadapi suamiku. Aku tidak bisa terus hidup dalam keraguan dan rasa sakit. Apapun yang terjadi, aku harus mendapatkan jawaban darinya. Mas Rey duduk di ruang tamu ketika aku turun dari kamar. Dirinya sedang membaca koran, seolah-olah tidak ada yang salah di dunia ini. Aku berdiri di depannya, menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. “Mas Rey, kita perlu bicara,” kataku, suaraku terdengar tegas meski hatiku bergetar. Suamiku meletakkan koran dan menatapku dengan ekspresi bingung. “Ada apa, Yang?” Aku menunjukkan ponselku padanya. “Ini.” Laki-laki itu mengambil ponsel yang kutunjukkan, lalu membaca pesan didalamnya. Wajahnya langsung berubah. “Ini ... ini tidak seperti yang kamu pi
last updateLast Updated : 2024-12-28
Read more

Bab 17 : Di Ujung Harapan

Aku duduk di balkon kamar, memandangi tetesan embun yang masih melekat di dedaunan yang terlihat samar. Suasana rumah sepi, dan hanya suara burung di kejauhan yang menemani pikiranku yang masih kalut. Mas Rey sudah berangkat lebih pagi ke kantor, meninggalkan pesan singkat di atas meja makan. “Mas akan membuktikan semuanya. Tunggu Mas pulang.” Pesan itu terdengar penuh harapan, tetapi juga meninggalkan ruang kosong di hatiku. Aku tidak tahu sampai kapan aku bisa terus menunggu. Rasanya, setiap hari yang kujalani semakin mengikis kepercayaanku, bukan hanya kepada Mas Rey, tetapi juga kepada diriku sendiri. Tengah hari, saat aku sedang mencoba mengalihkan perhatian dengan memasak di dapur, ponselku berbunyi. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. “Ira, kamu mungkin ingin tahu tentang suamimu dan pertemuannya hari ini. Datanglah ke kafe di jalan Manggis pukul 2 siang.” Aku terpaku menatap pesan itu. Siapa yang mengirimnya? Dan kenapa aku harus pergi ke tempat itu? Tetapi ras
last updateLast Updated : 2024-12-28
Read more

Bab 18 : Keputusan di Tengah Badai

Udara pagi yang dingin menyentuh kulitku saat aku melangkah keluar dari rumah. Jalanan lengang, hanya suara langkah kakiku yang terdengar di trotoar yang basah oleh sisa hujan semalam. Hari ini, aku memutuskan untuk mengambil waktu sendiri, mencoba menjernihkan pikiran setelah semua yang terjadi. Mas Rey sudah pergi lebih pagi ke kantor, dan rumah terasa terlalu sunyi untuk menampung kekacauan emosiku. Aku berjalan menuju taman kecil di ujung jalan, tempat yang sering aku datangi ketika ingin menenangkan diri. Namun, ketenangan yang aku cari tidak kunjung datang. Bayangan percakapan kami dengan ibu mertua terus terngiang di pikiranku, begitu pula dengan pertemuan terakhirku dengan Citra. Rasanya seperti berada di tengah badai yang tak kunjung reda. Aku duduk di salah satu bangku taman, mencoba menikmati udara segar. Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekat, dan aku menoleh. Sosok Citra berdiri di depanku, dengan senyum tipis yang membuatku merasa tidak nyaman. “Apa kamu selalu la
last updateLast Updated : 2024-12-28
Read more

Bab 19 : Di Antara Pilihan dan Penyesalan

(POV Rey) Aku duduk di meja kerja, menatap dokumen yang terbentang di depanku tanpa benar-benar membacanya. Pikiranku terlalu kacau. Malam-malam panjang dengan istriku semakin penuh dengan kebisuan yang menyakitkan. Aku mencoba mencari cara untuk menembus dinding hati yang dia bangun, tetapi rasanya seperti berteriak ke ruang kosong yang tak ada jawaban. Ponselku bergetar di atas meja. Melihat nama yang muncul di layar, aku merasa jantungku mencelos. Karin. Aku tidak tahu mengapa dia menghubungiku malam ini, tapi aku tahu itu bukan kabar baik. Aku mengangkat panggilan itu, meskipun aku merasa enggan. “Mas Rey,” suara Karin terdengar tegas di ujung sana. “Kita perlu bicara. Tentang Mbak Ira.” Karin memilih tempat netral untuk pertemuan kami, sebuah kafe kecil yang tidak jauh dari kantorku. Ketika aku tiba, dia sudah duduk di sana dengan wajah serius. “Apa yang terjadi, Mbak?” tanyaku, langsung ke inti masalah. Dia menatapku tajam. “Apa yang kamu lakukan, Mas? Aku tahu tent
last updateLast Updated : 2024-12-30
Read more

Bab 20 : Bayangan Masa Lalu

(POV Rey) Aku duduk di meja kerja dengan gelas kopi yang masih terasa hangat di tangan. Pikiran tentang percakapan dengan istriku tempo hari masih mengganggu. Istriku berterus-terang bilang butuh waktu untuk percaya padaku lagi, dan aku memahaminya. Tapi tidak ada yang mengatakan seberapa sulit rasanya menunggu, apalagi ketika aku tahu istriku masih menyimpan luka yang aku buat. Aku membuka laptop, mencoba mengalihkan perhatian dengan pekerjaan. Namun, pikiranku terus kembali ke masa lalu, mengingat bagaimana semuanya bermula. Pernikahan kami tidak pernah sempurna, tapi aku pikir cinta kami cukup untuk melewati semua badai. Ternyata aku salah. Saat aku tenggelam dalam lamunan, teleponku berdering. Nama yang muncul di layar membuatku terdiam sejenak—Citra. Aku menarik napas panjang sebelum menjawab. “Assalamualaikum?” “Mas Rey,” suaranya terdengar tegas tetapi lembut. “Aku butuh bicara denganmu.” Salam yang kulontarkan tidak dijawab olehnya. Sangat berbeda sekali dengan istr
last updateLast Updated : 2024-12-31
Read more
PREV
12345
Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status