(POV Rey) Aku duduk di meja kerja, menatap dokumen yang terbentang di depanku tanpa benar-benar membacanya. Pikiranku terlalu kacau. Malam-malam panjang dengan istriku semakin penuh dengan kebisuan yang menyakitkan. Aku mencoba mencari cara untuk menembus dinding hati yang dia bangun, tetapi rasanya seperti berteriak ke ruang kosong yang tak ada jawaban. Ponselku bergetar di atas meja. Melihat nama yang muncul di layar, aku merasa jantungku mencelos. Karin. Aku tidak tahu mengapa dia menghubungiku malam ini, tapi aku tahu itu bukan kabar baik. Aku mengangkat panggilan itu, meskipun aku merasa enggan. “Mas Rey,” suara Karin terdengar tegas di ujung sana. “Kita perlu bicara. Tentang Mbak Ira.” Karin memilih tempat netral untuk pertemuan kami, sebuah kafe kecil yang tidak jauh dari kantorku. Ketika aku tiba, dia sudah duduk di sana dengan wajah serius. “Apa yang terjadi, Mbak?” tanyaku, langsung ke inti masalah. Dia menatapku tajam. “Apa yang kamu lakukan, Mas? Aku tahu tent
(POV Rey) Aku duduk di meja kerja dengan gelas kopi yang masih terasa hangat di tangan. Pikiran tentang percakapan dengan istriku tempo hari masih mengganggu. Istriku berterus-terang bilang butuh waktu untuk percaya padaku lagi, dan aku memahaminya. Tapi tidak ada yang mengatakan seberapa sulit rasanya menunggu, apalagi ketika aku tahu istriku masih menyimpan luka yang aku buat. Aku membuka laptop, mencoba mengalihkan perhatian dengan pekerjaan. Namun, pikiranku terus kembali ke masa lalu, mengingat bagaimana semuanya bermula. Pernikahan kami tidak pernah sempurna, tapi aku pikir cinta kami cukup untuk melewati semua badai. Ternyata aku salah. Saat aku tenggelam dalam lamunan, teleponku berdering. Nama yang muncul di layar membuatku terdiam sejenak—Citra. Aku menarik napas panjang sebelum menjawab. “Assalamualaikum?” “Mas Rey,” suaranya terdengar tegas tetapi lembut. “Aku butuh bicara denganmu.” Salam yang kulontarkan tidak dijawab olehnya. Sangat berbeda sekali dengan istr
(POV Rey) Pagi ini aku bangun lebih awal dari biasanya. Semalam, percakapan kami—walau berat—menyisakan sedikit kelegaan. Aku merasa istriku bersedia memberiku waktu untukku membuktikan niatku. Tapi aku tahu, kepercayaan yang telah hancur tidak bisa dibangun kembali dalam semalam. Aku berdiri di depan cermin, memandangi bayanganku sendiri. Wajah yang menatap balik padaku adalah seseorang yang merasa lelah tapi bertekad kuat. Hari ini adalah hari yang penting. Aku akan melakukan sesuatu yang mungkin bisa menjadi langkah awal dalam membuktikan keseriusanku kepada istriku. Setelah mandi, aku duduk di ruang kerja, mencoba menyusun rencana. Aku ingin menunjukkan kepada istriku bahwa aku mendengarkan setiap keluh kesahnya semalam. Salah satu hal yang dikatakannya adalah betapa istriku merasa tidak dihargai selama ini—seolah-olah semua pengorbanannya untuk pernikahan ini tidak pernah berarti bagiku. Aku memutuskan untuk membuat kejutan kecil untuknya. Bukan sesuatu yang besar atau mew
(POV Rey) Matahari baru saja naik, menyinari ruang tamu dengan cahaya keemasan. Suasana rumah tampak tenang, tapi ada kekosongan yang menyakitkan di dalam hatiku. Aku duduk di meja makan dengan secangkir kopi di tanganku, tetapi rasa pahitnya terasa hambar dibandingkan perasaan yang terus menghantui pikiranku. Istriku sudah pergi sejak pagi. Dirinya tidak mengatakan banyak saat berangkat, hanya ucapan singkat, “Aku ada urusan,” tanpa menoleh ke arahku. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya, tapi aku bisa merasakan jarak di antara kami semakin melebar. Di atas meja, surat dari pengacara perihal bisnis yang sedang aku urus tergeletak di samping ponselku. Namun, pikiranku tidak bisa fokus pada pekerjaan. Bayang-bayang semalam—tatapan istriku yang penuh keraguan, ucapannya yang menyiratkan ketidakpercayaan—terus menghantui. Pukul sembilan pagi, ponselku berbunyi. Aku mengangkatnya tanpa melihat nama yang muncul di layar, berharap itu istriku. “Mas Rey?” Suara di seberang memb
Malam ini, aku tidak bisa tidur. Pikiran tentang istriku, Ira terus menghantui. Suara pintu yang tertutup ketika dia meninggalkan pesta terus terngiang di telingaku. Aku mencoba mencari jawaban atas semua kesalahanku, tetapi semakin aku merenung, semakin aku merasa bersalah. Pagi datang terlalu cepat. Matahari perlahan mulai naik, tapi kehangatannya tidak mampu menenangkan hatiku. Aku duduk di sofa ruang tamu, memandangi ponselku yang tergeletak di meja. Aku ingin menelepon istriku dan memintanya untuk pulang. Di tengah kebimbanganku, sebuah pesan masuk. Itu dari Adrian. “Rey, aku minta maaf soal kemarin. Aku tidak tahu Citra akan datang ke acara itu. Dia datang tanpa diundang,” tulisnya. Aku membaca pesan itu berulang kali, mencoba meredakan amarah yang perlahan membara. Aku tidak tahu apakah istriku akan mempercayaiku jika aku memberitahunya tentang ini. Tanpa berpikir panjang, aku menelepon Adrian. “Halo, Adrian. Aku butuh bicara denganmu.” “Rey, aku benar-benar minta ma
Waktu tak terasa kian berlalu dengan cepat. Aku menatap satu bendel berkas di depanku, tak terasa tanganku gemetar. Sebuah surat dengan kop pengadilan agama, isinya jelas: Ira, istriku telah mengajukan gugatan cerai. Matahari yang masuk melalui jendela hanya membuat huruf-huruf di atas kertas itu semakin jelas dan menyakitkan. Aku memejamkan mata, mencoba mencerna semuanya. Hatiku seolah diperas, sesak yang tak tertahankan. Ira benar-benar melangkah sejauh ini. Apa yang membuatnya sampai pada keputusan yang sangat berani ini? Hari itu aku harus menghadapi kenyataan. Aku datang ke pengadilan agama dengan setelan gelap, berharap bisa menunjukkan ketenangan yang sesungguhnya tidak kurasakan. Ira sudah ada di sana, duduk dengan wajah tegas yang membuat jantungku semakin berat. Dia tampak anggun dengan balutan gaun yang juga berwarna hitam. Meskipun tampak serasi denganku saat ini, sorot matanya menunjukkan kelelahan. Kami bertatapan sejenak sebelum dia mengalihkan pandangannya, seola
Rumahku terasa lebih sunyi dari biasanya. Sejak istriku tercinta, Ira pergi, tempat ini seolah kehilangan nyawanya. Semua benda di sekelilingku masih sama, tapi atmosfernya berubah—dingin, sepi, dan penuh kenangan yang menghantui. Bel pintu berbunyi dengan nyaring, biasanya dengan sigap istriku yang berjalan untuk membuka pintu dan aku menatapnya dari kejauhan. Kini, tiada yang bisa kuharapkan lebih, aku berjalan ke depan dengan setengah hati. Aku tidak mengharapkan siapa pun datang saat ini. Ketika kubuka pintu, Ibu berdiri di sana dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Bu?” tanyaku, terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba. “Ibu masuk,” katanya tanpa basa-basi, berjalan melewatiku dan langsung duduk di sofa ruang tamu. Aku menghela napas panjang, menutup pintu, dan mengikutinya ke ruang tamu. Ini bukan pertanda baik. Setiap kali Ibu datang tanpa pemberitahuan, selalu ada sesuatu yang tidak menyenangkan. Ibu menatapku dengan sorot mata tajam. “Rey, aku punya sesuatu yang
Rumah sakit malam itu terasa lebih sunyi daripada biasanya. Aku duduk di kursi ruang tunggu, masih memikirkan kondisi Citra yang belum sadar. Ibu duduk di sebelahku, wajahnya masih terlihat lelah dan sembab setelah menangis seharian. Aku mencoba fokus pada apa pun untuk mengalihkan pikiranku, tetapi rasanya mustahil. Ketika suasana seolah mulai tenang, Ibu tiba-tiba membuka pembicaraan. “Rey,” katanya dengan nada pelan namun tegas, “Ibu ingin bicara serius denganmu.” Aku menoleh ke arahnya. “Tentang apa lagi, Bu?” tanyaku, meskipun aku sudah bisa menebak arah pembicaraan ini. “Ini tentang Citra,” jawabnya, menghela napas berat. “Dan tentang Ira.” Aku menghela napas panjang. “Bu, apa lagi yang Ibu ingin sampaikan? Aku sudah lelah.” “Rey, dengar dulu,” potong Ibu. “Ibu hanya ingin kamu sadar. Ibu ingin kamu melihat kenyataan.” Ibu menatapku dengan mata yang penuh tekanan. “Rey, kamu tahu Citra itu seperti apa. Dia berasal dari keluarga yang luar biasa. Ayahnya memiliki peru
Setelah percakapan panjang mereka di kafe, Rey melirik jam tangannya. Hari sudah mulai gelap. Ia menatap Ira yang masih tampak tenggelam dalam pikirannya."Mas antar pulang, Yang," kata Rey tiba-tiba.Ira menoleh, ragu sejenak. "Nggak usah, Mas. Aku bisa pulang sendiri."Rey menghela napas, menatapnya serius. "Yang, ini sudah malam. Mas nggak akan tenang kalau kamu pulang sendirian."Ira terdiam tidak menjawab.Rey melirik meja di samping mereka, matanya menyapu permukaannya dengan cepat. Dahinya mengernyit. "Sayang ga bawa mobil, kan?" tanyanya pelan, tapi penuh arti.Ira mengangkat bahu, berusaha tetap santai. "Memangnya kenapa?"Rey menatapnya lebih lama, seolah mencoba membaca pikirannya. "Sayang selalu naruh kunci mobil di atas meja. Sekarang nggak ada." Ia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, suaranya lebih pelan. "Berarti Sayang nggak bawa mobil, kan?"Ira menelan ludah, tidak langsung menjawab. Rey masih mengingat kebiasaannya dengan baik.Rey tersenyum kecil, sedikit menggel
Alnaira Riquina duduk di meja kerjanya, menatap dokumen-dokumen yang belum tersentuh. Namun, pikirannya melayang kepada sosok Reyvaldo Anggara, lelaki yang masih menghantuinya meskipun mereka tidak lagi tinggal seatap.Suara ponselnya bergetar di atas meja. Ia melirik layar—nama Karin muncul di sana. Dengan ragu, ia mengangkat telepon."Halo, assalamualaikum, Karin.""Waalaikumsalam, Ra, kamu sudah dengar kabar tentang Rey?" Suara Karin terdengar khawatir.Ira mengernyitkan dahi. "Kabar apa?""Rapat dewan direksi tadi pagi ... Aku dengar posisinya semakin terancam. Ada banyak pihak yang ingin menjatuhkannya."Ira menghela napas panjang. "Aku sudah menduga. Sejak masalah merger itu, semuanya pasti menjadi semakin sulit baginya.""Ya, tapi ini lebih dari sekadar merger. Ada pihak yang ingin menyingkirkannya secara permanen. Aku dengar beberapa pemegang saham mulai goyah."Ira menggigit bibirnya. "Rey itu orang yang sangat ambisius dalam pekerjaannya, tapi selalu profesional. Kalau sampa
Rapat yang berlangsung selama lebih dari dua jam akhirnya ditunda. Para direksi meninggalkan ruangan satu per satu, menyisakan Rey yang masih duduk sambil menatap layar laptopnya. Ia merasa lega karena merger tidak diputuskan secara tergesa-gesa, tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa tekanan dari berbagai pihak akan semakin besar.Pintu ruangan terbuka pelan, dan Nia masuk sambil membawa secangkir kopi di atas nampan. Ia melangkah dengan hati-hati, lalu meletakkan kopi di meja kerja Rey.Nia tersenyum kecil. “Kopi hitam tanpa gula, seperti biasa.”Rey menoleh ke arah Nia, menghela napas panjang sebelum meraih cangkir itu. “Terima kasih."Nia memperhatikan wajah Rey yang tampak lelah. “Rapat tadi cukup berat, ya, Pak?”Rey mengangguk sambil mengaduk kopinya pelan. “Lebih dari itu. Aku sudah menduga kalau mereka akan berusaha menekanku, tapi tidak kusangka sampai seintens ini.”Nia menarik kursi dan duduk sebentar. “Sepertinya Pak Rendra dan beberapa direksi benar-benar ingin merger ini se
Pak Surya mengetuk meja layaknya pak hakim memutuskan perkara. "Setelah mendengar berbagai pertimbangan, saya rasa kita perlu waktu lebih banyak untuk menganalisis semua kemungkinan. Keputusan sebesar ini tidak bisa diambil dalam satu pertemuan.”Pak Arman mengangguk setuju. “Saya juga merasa kita terlalu terburu-buru. Ada terlalu banyak hal yang belum jelas. Saya usul kita menunda rapat ini selama satu minggu agar semua pihak bisa mengkaji ulang proposal merger dengan lebih mendalam.”Rey menyambut usulan itu dengan tenang. “Saya setuju. Dalam waktu satu minggu, saya dan tim keuangan akan menyusun proyeksi dampak merger ini dalam berbagai skenario, termasuk risiko jangka panjangnya.”Pak Rendra terlihat tidak senang, tetapi ia berusaha menyembunyikannya. “Baik, kalau itu keputusan mayoritas, kita tunda dulu.”Pak Surya menutup rapat dengan ketukan meja. “Baiklah, rapat ditunda dan akan dilanjutkan minggu depan. Saya harap semua tim bisa membawa analisis yang lebih detail.”---Seming
Rey berjalan menuju ruang rapat dengan langkah tegap. Di tangannya, ia membawa dokumen yang telah direvisi oleh timnya. Ia tahu, pertemuan ini akan menjadi momen krusial. Dewan direksi sudah menunggu, begitu juga dengan beberapa pemegang saham utama yang memiliki pengaruh besar dalam keputusan merger.Begitu Rey memasuki ruang rapat, ia langsung menangkap pemandangan yang membuatnya sedikit waspada. Pak Rendra, kepala divisi hukum, sedang berbisik dengan beberapa anggota direksi lainnya, terutama dari pembelian dan investasi. Sesekali, mereka melirik ke arahnya sebelum kembali berbisik.Pak Surya, ketua dewan direksi, mengetuk meja sebagai tanda rapat dimulai. “Baiklah, kita langsung ke pokok pembahasan. Pak Rendra, Anda ingin menyampaikan sesuatu sebelum kita mulai membahas revisi proposal merger?”Pak Rendra menyunggingkan senyum tipis sebelum menatap Rey. “Tentu, Pak Surya. Sebelum Pak Rey menyampaikan analisanya, saya ingin menekankan bahwa revisi ini dibuat dengan mempertimbangka
BAB 45Bab 77Di ruangan kantornya yang luas, Reyvaldo Anggara duduk dengan wajah tegang. Berkas-berkas berserakan di atas mejanya, dan layar laptopnya menampilkan laporan keuangan yang masih belum ia selesaikan. Kepalanya terasa berat. Masalah pribadinya dengan Alnaira Riquina, istrinya, sudah cukup menguras pikirannya, tapi kini pekerjaannya juga mulai terancam.Pintu diketuk. Rey mendongak dan melihat Nia, asistennya, masuk dengan ekspresi ragu.“Pak Rey, rapat dengan dewan direksi dimajukan satu jam lebih cepat. Dan … ada beberapa revisi dalam proposal merger yang harus segera Bapak tinjau,” ucap Nia setelah masuk ruangan.Rey mengerutkan kening, meletakkan pulpen yang sedari tadi ia putar-putar di jarinya. “Dimajukan? Kenapa?”Nia meletakkan dokumen di meja atasannya, kemudian menghela napas pelan. “Dari informasi yang saya dapat, ada tekanan dari beberapa pemangku saham utama. Mereka ingin merger ini segera dieksekusi tanpa hambatan, Pak."Rey menyandarkan punggungnya, menatap d
Bab 76Ira duduk di sofa ruang tamu apartemen miliknya, jemarinya sibuk memijat pelipisnya yang terasa pusing. Semua perkataan Reyvaldo Anggara masih terngiang di pikirannya, membuatnya sulit berpikir jernih. Sidang pengadilan agama terakhir akan segera berlangsung, keputusan akhir ada di tangannya—melanjutkan perceraian atau memberi kesempatan untuk mediasi kembali.Mata wanita cantik itu terpejam mengingat percakapan tadi malam antara dirinya dan suaminya, Rey, melalui telepon."Sayang, kita harus bicara sebelum sidang terakhir," ajak laki-laki di seberang telepon dengan nada lembut tapi tegas.Ira menghela napas, suaranya datar, “Apa lagi yang perlu dibicarakan, Mas? Semuanya sudah jelas.”“Belum tentu. Kita masih bisa mencoba mediasi lagi. Mas yakin, kita bisa memperbaiki semuanya ini satu-persatu.” Suara Rey terdengar meyakinkan.Ira tertawa sinis, “Kita? Memperbaiki? Mas Rey, kita sudah sampai di titik ini bukan karena aku tidak mencoba. Aku sudah cukup lelah berusaha sendirian.
Bab 71Ira masih terdiam, memikirkan kata-kata Rizal."Aku tidak bisa terus seperti ini, Rizal. Aku butuh jawaban, tapi aku juga takut."Rizal tersenyum. "Takut bahwa jawaban itu bukan yang ingin kamu dengar?"Ira menatapnya dengan mata bimbang. "Aku takut, Rizal. Takut kalau pada akhirnya Mas Rey akhirnya memilih mendengarkan ibunya.""Maksudmu?" Rizal bertanya, meskipun ia sudah bisa menebak arah pembicaraan ini.Ira menggigit bibirnya, menunduk. "Ibunya selalu ingin dia bersama wanita yang bisa memberinya anak. Aku ... aku tidak tahu apakah Mas Rey cukup kuat untuk melawan keinginan ibunya."Rizal mengangguk pelan. "Dan kamu takut dia menyerah dan memilih wanita lain?"Ira mengangguk. "Aku takut dia memilih Erica. Dia pintar, datang dari keluarga sukses, dan sekarang bahkan membantu Mas Rey di bisnisnya. Itu seperti pasangan sempurna di mata ibunya."Rizal menarik napas panjang, mencoba memilih kata-kata yang tepat. "Ira, kamu tahu bahwa kebahagiaan sebuah pernikahan tidak hanya be
Bab 42Ira dan Rizal masih duduk berhadapan di dalam cafe. Percakapan mereka mengalir dengan mudah, membahas banyak hal, mulai dari pekerjaan hingga kenangan masa lalu."Jadi, bagaimana rasanya menjadi penasihat keuangan?" Rizal bertanya sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.Ira tersenyum tipis, menatap cangkir kopinya sebelum akhirnya menjawab. "Awalnya, aku tidak pernah berpikir akan sampai di titik ini. Dulu, aku hanyalah seorang manajer keuangan di perusahaan tempat aku dan Mas Rey bekerja."Rizal mengangkat alis, tertarik. "Oh? Jadi kamu dan Rey dulu satu kantor?"Ira mengangguk. "Iya. Aku dulu adalah atasan suamiku. Dia masih seorang staf keuangan waktu itu, dan aku yang membimbingnya dalam banyak hal. Aku ingat betul betapa keras kepalanya saat itu."Rizal terkekeh. "Jadi sejak awal kamu sudah terbiasa menghadapi sifat keras kepala Rey?"Ira tertawa kecil. "Bisa dibilang begitu. Tapi justru karena itulah kami semakin dekat. Aku melihat bagaimana dia berusaha membuktikan diriny