POV ReyPagi itu aku bangun lebih awal dari biasanya. Semalam, percakapan kami—walau berat—menyisakan sedikit kelegaan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa Ira bersedia memberiku ruang untuk membuktikan niatku. Tapi aku tahu, kepercayaan yang telah hancur tidak bisa dibangun kembali dalam semalam.Aku berdiri di depan cermin, memandangi bayanganku sendiri. Wajah yang menatap balik padaku adalah seseorang yang merasa lelah tapi bertekad. Hari ini adalah hari yang penting. Aku akan melakukan sesuatu yang mungkin bisa menjadi langkah awal dalam membuktikan keseriusanku kepada Ira.---Setelah mandi, aku duduk di ruang kerja, mencoba menyusun rencana. Aku ingin menunjukkan kepada Ira bahwa aku mendengarkan setiap keluh kesahnya semalam. Salah satu hal yang dia katakan adalah betapa dia merasa tidak dihargai selama ini—seolah-olah semua pengorbanannya untuk pernikahan ini tidak pernah berarti bagiku.Aku memutuskan untuk membuat kejutan kecil untuknya. Bukan sesuatu yan
POV ReyAku duduk di meja makan dengan secangkir kopi di tanganku, tetapi rasa pahitnya terasa hambar dibandingkan perasaan yang terus menghantui pikiranku. Matahari baru saja naik, menyinari ruang tamu dengan cahaya keemasan. Suasana rumah tampak tenang, tapi ada kekosongan yang menyakitkan di dalam hatiku.Ira sudah pergi sejak pagi. Dia tidak mengatakan banyak saat berangkat, hanya ucapan singkat, “Aku ada urusan,” tanpa menoleh ke arahku. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya, tapi aku bisa merasakan jarak di antara kami semakin melebar.Di meja, surat dari pengacara perihal bisnis yang sedang aku urus tergeletak di samping ponselku. Namun, pikiranku tidak bisa fokus pada pekerjaan. Bayang-bayang semalam—tatapan Ira yang penuh keraguan, ucapannya yang menyiratkan ketidakpercayaan—terus menghantui.---Pukul sembilan pagi, ponselku berbunyi. Aku mengangkatnya tanpa melihat nama yang muncul di layar, berharap itu Ira.“Rey?” Suara di seberang membuatku terdiam sejenak. Itu suara
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Pikiran tentang Ira terus menghantui. Suara pintu yang tertutup ketika dia meninggalkan pesta tadi malam terus terngiang di telingaku. Aku mencoba mencari jawaban atas semua kesalahanku, tetapi semakin aku merenung, semakin aku merasa tersesat.Pagi datang terlalu cepat. Matahari mulai naik, tapi kehangatannya tidak mampu menenangkan hatiku. Aku duduk di sofa ruang tamu, memandangi ponselku yang tergeletak di meja. Aku ingin menelepon Ira, memintanya pulang.---Di tengah kebimbanganku, sebuah pesan masuk. Itu dari Adrian.“Rey, aku minta maaf soal kemarin. Aku tidak tahu Citra akan datang ke acara itu. Dia datang tanpa diundang,” tulisnya.Aku membaca pesan itu berulang kali, mencoba meredakan amarah yang perlahan membara. Aku tidak tahu apakah Ira akan mempercayaiku jika aku memberitahunya tentang ini.Tanpa berpikir panjang, aku menelepon Adrian. “Halo, Adrian. Aku butuh bicara denganmu.”“Rey, aku benar-benar minta maaf. Aku tidak tahu situasinya s
Waktu tak terasa kian berlalu dengan cepat. Aku menatap satu bendel berkas di depanku, tak terasa tanganku gemetar. Sebuah surat dengan kop pengadilan agama, isinya jelas: Ira telah mengajukan gugatan cerai. Matahari yang masuk melalui jendela hanya membuat huruf-huruf di atas kertas itu semakin jelas dan menyakitkan.Aku memejamkan mata, mencoba mencerna semuanya. Hatiku seolah diperas, sesak yang tak tertahankan. Ira benar-benar melangkah sejauh ini. Apa yang membuatnya sampai pada keputusan yang sangat berani ini?---Hari itu aku harus menghadapi kenyataan. Aku datang ke pengadilan agama dengan setelan gelap, berharap bisa menunjukkan ketenangan yang sesungguhnya tidak kurasakan. Ira sudah ada di sana, duduk dengan wajah tegas yang membuat jantungku semakin berat.Dia tampak anggun dengan balutan gaun yang juga berwarna hitam. Meskipun tampak serasi denganku saat ini, sorot matanya menunjukkan kelelahan. Kami bertatapan sejenak sebelum dia mengalihkan pandangannya, seolah-olah aku
Rumahku terasa lebih sunyi dari biasanya. Sejak Ira pergi, tempat ini seolah kehilangan nyawanya. Semua benda di sekelilingku masih sama, tapi atmosfernya berubah—dingin, sepi, dan penuh kenangan yang menghantui.Ketika suara bel pintu berbunyi, aku berjalan ke depan dengan setengah hati. Aku tidak mengharapkan siapa pun. Ketika kubuka pintu, Ibu berdiri di sana dengan ekspresi yang sulit ditebak.“Bu?” tanyaku, terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba.“Aku masuk,” katanya tanpa basa-basi, berjalan melewatiku dan langsung duduk di sofa ruang tamu.Aku menghela napas panjang, menutup pintu, dan mengikutinya ke ruang tamu. Ini bukan pertanda baik. Setiap kali Ibu datang tanpa pemberitahuan, selalu ada sesuatu yang tidak menyenangkan.---Ibu menatapku dengan sorot mata tajam. “Rey, aku punya sesuatu yang perlu kubicarakan denganmu.”“Ada apa, Bu?” tanyaku sambil duduk di seberangnya.“Ini tentang Ira,” katanya langsung, membuat dadaku merasa sesak seketika.“Apa lagi, Bu?” Aku menc
Rumah sakit malam itu terasa lebih sunyi daripada biasanya. Aku duduk di kursi ruang tunggu, masih memikirkan kondisi Citra yang belum sadar. Ibu duduk di sebelahku, wajahnya masih terlihat lelah dan sembab setelah menangis seharian. Aku mencoba fokus pada apa pun untuk mengalihkan pikiranku, tetapi rasanya mustahil.Ketika suasana seolah mulai tenang, Ibu tiba-tiba membuka pembicaraan.“Rey,” katanya dengan nada pelan namun tegas, “Ibu ingin bicara serius denganmu.”Aku menoleh ke arahnya. “Tentang apa lagi, Bu?” tanyaku, meskipun aku sudah bisa menebak arah pembicaraan ini.“Ini tentang Citra,” jawabnya, menghela napas berat. “Dan tentang Ira.”Aku menghela napas panjang. “Bu, apa lagi yang Ibu ingin sampaikan? Aku sudah lelah.”“Rey, dengar dulu,” potong Ibu. “Ibu hanya ingin kamu sadar. Ibu ingin kamu melihat kenyataan.”---Ibu menatapku dengan mata yang penuh tekanan. “Rey, kamu tahu Citra itu seperti apa. Dia berasal dari keluarga yang luar biasa. Ayahnya memiliki perusahaan be
Aku berdiri di depan cermin kamar mandi toilet rumah sakit, menatap bayanganku dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Setelah berbagai pertengkaran, aku harus menghadapi ibu lagi. Tapi kali ini, aku bertekad untuk mengatakan sesuatu yang mungkin mengubah pandangannya, atau setidaknya membuatnya berpikir ulang tentang Ira.Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri."Ibu," kataku pelan, mengambil tempat di kursi ruang tunggu seberangnya.Ibu mengangkat alis. "Apa lagi, Rey? Kamu ingin membicarakan istrimu lagi?"Aku mengangguk. "Ya, Bu. Tapi kali ini, aku ingin ibu tahu semuanya.""Ira bukan hanya wanita biasa, Bu. Sebelum kami menikah, dia adalah seorang Manager Keuangan di perusahaan tempat aku bekerja. Posisi yang tidak mudah dicapai, apalagi oleh seorang wanita muda." Kuulangi lagi ucapanku tentang prestasi Ira.Ibu tampak skeptis. "Dan itu membuatnya istimewa? Banyak wanita karier di luar sana, Rey."Aku mengangguk. "Tapi Ira bukan sekadar wanita karier, Bu. Dia adalah se
GN Bab 28 : Pendirian yang Tak Tergoyahkan(49-50)Kamar rawat inap dengan dinding berwarna pastel lembut, lengkap dengan tirai putih yang terbuka sedikit hingga sinar matahari pun masuk dengan leluasa, membuat suasana sedikit lebih hangat. Namun, suasana hatiku tetap suram, tidak ada kehangatan didalamnya. Aku berdiri di lorong rumah sakit, menatap pintu kamar Citra dengan perasaan bercampur aduk."Ibu mohon, Rey." Suara Ibu terdengar tegas namun penuh tekanan. Ibu berdiri persis di sebelahku dengan tangan kanan menyentuh lenganku. "Masuklah. Temani Citra. Tunjukkan bahwa kamu peduli."Aku menoleh, mencoba membaca ekspresi wajahnya. "Ibu, ini bukan tentang kepedulian. Aku ...""Apa pun yang ingin kamu katakan, simpan untuk nanti," potongnya cepat. "Sekarang yang penting adalah menunjukkan bahwa kita mendukung Citra. Tidak ada salahnya kamu berada di sisinya, setidaknya untuk sementara waktu."Aku menarik napas panjang, mencoba meredakan gemuruh di dalam dadaku. Kata-kata Ibu selalu p
GN Bab 28 : Pendirian yang Tak Tergoyahkan(49-50)Kamar rawat inap dengan dinding berwarna pastel lembut, lengkap dengan tirai putih yang terbuka sedikit hingga sinar matahari pun masuk dengan leluasa, membuat suasana sedikit lebih hangat. Namun, suasana hatiku tetap suram, tidak ada kehangatan didalamnya. Aku berdiri di lorong rumah sakit, menatap pintu kamar Citra dengan perasaan bercampur aduk."Ibu mohon, Rey." Suara Ibu terdengar tegas namun penuh tekanan. Ibu berdiri persis di sebelahku dengan tangan kanan menyentuh lenganku. "Masuklah. Temani Citra. Tunjukkan bahwa kamu peduli."Aku menoleh, mencoba membaca ekspresi wajahnya. "Ibu, ini bukan tentang kepedulian. Aku ...""Apa pun yang ingin kamu katakan, simpan untuk nanti," potongnya cepat. "Sekarang yang penting adalah menunjukkan bahwa kita mendukung Citra. Tidak ada salahnya kamu berada di sisinya, setidaknya untuk sementara waktu."Aku menarik napas panjang, mencoba meredakan gemuruh di dalam dadaku. Kata-kata Ibu selalu p
Aku berdiri di depan cermin kamar mandi toilet rumah sakit, menatap bayanganku dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Setelah berbagai pertengkaran, aku harus menghadapi ibu lagi. Tapi kali ini, aku bertekad untuk mengatakan sesuatu yang mungkin mengubah pandangannya, atau setidaknya membuatnya berpikir ulang tentang Ira.Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri."Ibu," kataku pelan, mengambil tempat di kursi ruang tunggu seberangnya.Ibu mengangkat alis. "Apa lagi, Rey? Kamu ingin membicarakan istrimu lagi?"Aku mengangguk. "Ya, Bu. Tapi kali ini, aku ingin ibu tahu semuanya.""Ira bukan hanya wanita biasa, Bu. Sebelum kami menikah, dia adalah seorang Manager Keuangan di perusahaan tempat aku bekerja. Posisi yang tidak mudah dicapai, apalagi oleh seorang wanita muda." Kuulangi lagi ucapanku tentang prestasi Ira.Ibu tampak skeptis. "Dan itu membuatnya istimewa? Banyak wanita karier di luar sana, Rey."Aku mengangguk. "Tapi Ira bukan sekadar wanita karier, Bu. Dia adalah se
Rumah sakit malam itu terasa lebih sunyi daripada biasanya. Aku duduk di kursi ruang tunggu, masih memikirkan kondisi Citra yang belum sadar. Ibu duduk di sebelahku, wajahnya masih terlihat lelah dan sembab setelah menangis seharian. Aku mencoba fokus pada apa pun untuk mengalihkan pikiranku, tetapi rasanya mustahil.Ketika suasana seolah mulai tenang, Ibu tiba-tiba membuka pembicaraan.“Rey,” katanya dengan nada pelan namun tegas, “Ibu ingin bicara serius denganmu.”Aku menoleh ke arahnya. “Tentang apa lagi, Bu?” tanyaku, meskipun aku sudah bisa menebak arah pembicaraan ini.“Ini tentang Citra,” jawabnya, menghela napas berat. “Dan tentang Ira.”Aku menghela napas panjang. “Bu, apa lagi yang Ibu ingin sampaikan? Aku sudah lelah.”“Rey, dengar dulu,” potong Ibu. “Ibu hanya ingin kamu sadar. Ibu ingin kamu melihat kenyataan.”---Ibu menatapku dengan mata yang penuh tekanan. “Rey, kamu tahu Citra itu seperti apa. Dia berasal dari keluarga yang luar biasa. Ayahnya memiliki perusahaan be
Rumahku terasa lebih sunyi dari biasanya. Sejak Ira pergi, tempat ini seolah kehilangan nyawanya. Semua benda di sekelilingku masih sama, tapi atmosfernya berubah—dingin, sepi, dan penuh kenangan yang menghantui.Ketika suara bel pintu berbunyi, aku berjalan ke depan dengan setengah hati. Aku tidak mengharapkan siapa pun. Ketika kubuka pintu, Ibu berdiri di sana dengan ekspresi yang sulit ditebak.“Bu?” tanyaku, terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba.“Aku masuk,” katanya tanpa basa-basi, berjalan melewatiku dan langsung duduk di sofa ruang tamu.Aku menghela napas panjang, menutup pintu, dan mengikutinya ke ruang tamu. Ini bukan pertanda baik. Setiap kali Ibu datang tanpa pemberitahuan, selalu ada sesuatu yang tidak menyenangkan.---Ibu menatapku dengan sorot mata tajam. “Rey, aku punya sesuatu yang perlu kubicarakan denganmu.”“Ada apa, Bu?” tanyaku sambil duduk di seberangnya.“Ini tentang Ira,” katanya langsung, membuat dadaku merasa sesak seketika.“Apa lagi, Bu?” Aku menc
Waktu tak terasa kian berlalu dengan cepat. Aku menatap satu bendel berkas di depanku, tak terasa tanganku gemetar. Sebuah surat dengan kop pengadilan agama, isinya jelas: Ira telah mengajukan gugatan cerai. Matahari yang masuk melalui jendela hanya membuat huruf-huruf di atas kertas itu semakin jelas dan menyakitkan.Aku memejamkan mata, mencoba mencerna semuanya. Hatiku seolah diperas, sesak yang tak tertahankan. Ira benar-benar melangkah sejauh ini. Apa yang membuatnya sampai pada keputusan yang sangat berani ini?---Hari itu aku harus menghadapi kenyataan. Aku datang ke pengadilan agama dengan setelan gelap, berharap bisa menunjukkan ketenangan yang sesungguhnya tidak kurasakan. Ira sudah ada di sana, duduk dengan wajah tegas yang membuat jantungku semakin berat.Dia tampak anggun dengan balutan gaun yang juga berwarna hitam. Meskipun tampak serasi denganku saat ini, sorot matanya menunjukkan kelelahan. Kami bertatapan sejenak sebelum dia mengalihkan pandangannya, seolah-olah aku
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Pikiran tentang Ira terus menghantui. Suara pintu yang tertutup ketika dia meninggalkan pesta tadi malam terus terngiang di telingaku. Aku mencoba mencari jawaban atas semua kesalahanku, tetapi semakin aku merenung, semakin aku merasa tersesat.Pagi datang terlalu cepat. Matahari mulai naik, tapi kehangatannya tidak mampu menenangkan hatiku. Aku duduk di sofa ruang tamu, memandangi ponselku yang tergeletak di meja. Aku ingin menelepon Ira, memintanya pulang.---Di tengah kebimbanganku, sebuah pesan masuk. Itu dari Adrian.“Rey, aku minta maaf soal kemarin. Aku tidak tahu Citra akan datang ke acara itu. Dia datang tanpa diundang,” tulisnya.Aku membaca pesan itu berulang kali, mencoba meredakan amarah yang perlahan membara. Aku tidak tahu apakah Ira akan mempercayaiku jika aku memberitahunya tentang ini.Tanpa berpikir panjang, aku menelepon Adrian. “Halo, Adrian. Aku butuh bicara denganmu.”“Rey, aku benar-benar minta maaf. Aku tidak tahu situasinya s
POV ReyAku duduk di meja makan dengan secangkir kopi di tanganku, tetapi rasa pahitnya terasa hambar dibandingkan perasaan yang terus menghantui pikiranku. Matahari baru saja naik, menyinari ruang tamu dengan cahaya keemasan. Suasana rumah tampak tenang, tapi ada kekosongan yang menyakitkan di dalam hatiku.Ira sudah pergi sejak pagi. Dia tidak mengatakan banyak saat berangkat, hanya ucapan singkat, “Aku ada urusan,” tanpa menoleh ke arahku. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya, tapi aku bisa merasakan jarak di antara kami semakin melebar.Di meja, surat dari pengacara perihal bisnis yang sedang aku urus tergeletak di samping ponselku. Namun, pikiranku tidak bisa fokus pada pekerjaan. Bayang-bayang semalam—tatapan Ira yang penuh keraguan, ucapannya yang menyiratkan ketidakpercayaan—terus menghantui.---Pukul sembilan pagi, ponselku berbunyi. Aku mengangkatnya tanpa melihat nama yang muncul di layar, berharap itu Ira.“Rey?” Suara di seberang membuatku terdiam sejenak. Itu suara
POV ReyPagi itu aku bangun lebih awal dari biasanya. Semalam, percakapan kami—walau berat—menyisakan sedikit kelegaan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa Ira bersedia memberiku ruang untuk membuktikan niatku. Tapi aku tahu, kepercayaan yang telah hancur tidak bisa dibangun kembali dalam semalam.Aku berdiri di depan cermin, memandangi bayanganku sendiri. Wajah yang menatap balik padaku adalah seseorang yang merasa lelah tapi bertekad. Hari ini adalah hari yang penting. Aku akan melakukan sesuatu yang mungkin bisa menjadi langkah awal dalam membuktikan keseriusanku kepada Ira.---Setelah mandi, aku duduk di ruang kerja, mencoba menyusun rencana. Aku ingin menunjukkan kepada Ira bahwa aku mendengarkan setiap keluh kesahnya semalam. Salah satu hal yang dia katakan adalah betapa dia merasa tidak dihargai selama ini—seolah-olah semua pengorbanannya untuk pernikahan ini tidak pernah berarti bagiku.Aku memutuskan untuk membuat kejutan kecil untuknya. Bukan sesuatu yan
POV ReyPagi itu aku duduk di meja kerja dengan gelas kopi yang sudah dingin di tangan. Pikiran tentang percakapanku dengan Ira beberapa hari yang lalu masih mengganggu. Dia bilang dia butuh waktu untuk percaya padaku lagi, dan aku memahaminya. Tapi tidak ada yang mengatakan seberapa sulit rasanya menunggu, apalagi ketika aku tahu dia masih menyimpan luka yang aku buat.Aku membuka laptop, mencoba mengalihkan perhatian dengan pekerjaan. Namun, pikiranku terus kembali ke masa lalu, mengingat bagaimana semuanya bermula. Pernikahan kami tidak pernah sempurna, tapi aku pikir cinta kami cukup untuk melewati semua badai. Ternyata aku salah.---Saat aku tenggelam dalam pikiranku, teleponku berdering. Nama yang muncul di layar membuatku terdiam sejenak—Citra.Aku menarik napas panjang sebelum menjawab. “Halo?”“Rey,” suaranya terdengar tegas tetapi lembut. “Aku butuh bicara denganmu.”“Sekarang bukan waktu yang tepat, Cit,” jawabku, mencoba menahan ketegangan dalam suaraku.“Ini penting,” ka