GN Bab 28 : Pendirian yang Tak Tergoyahkan(49-50)Kamar rawat inap dengan dinding berwarna pastel lembut, lengkap dengan tirai putih yang terbuka sedikit hingga sinar matahari pun masuk dengan leluasa, membuat suasana sedikit lebih hangat. Namun, suasana hatiku tetap suram, tidak ada kehangatan didalamnya. Aku berdiri di lorong rumah sakit, menatap pintu kamar Citra dengan perasaan bercampur aduk."Ibu mohon, Rey." Suara Ibu terdengar tegas namun penuh tekanan. Ibu berdiri persis di sebelahku dengan tangan kanan menyentuh lenganku. "Masuklah. Temani Citra. Tunjukkan bahwa kamu peduli."Aku menoleh, mencoba membaca ekspresi wajahnya. "Ibu, ini bukan tentang kepedulian. Aku ...""Apa pun yang ingin kamu katakan, simpan untuk nanti," potongnya cepat. "Sekarang yang penting adalah menunjukkan bahwa kita mendukung Citra. Tidak ada salahnya kamu berada di sisinya, setidaknya untuk sementara waktu."Aku menarik napas panjang, mencoba meredakan gemuruh di dalam dadaku. Kata-kata Ibu selalu p
Aku duduk di sofa ruang tamu, mencoba menenangkan diriku. Tanganku gemetar, saling menggenggam erat di pangkuanku. Di depanku, Mas Rey duduk diam dengan kepala menunduk. Dia selalu begitu—terdiam ketika kami harus membahas sesuatu yang penting, terutama jika itu menyangkut ibunya. "Ibu … lagi-lagi membicarakan soal Citra," katanya akhirnya, suaranya terdengar lelah. Citra. Nama itu seperti belati yang menusuk dadaku setiap kali disebutkan. Aku tahu betul apa yang ingin disampaikan Mas Rey, bahkan sebelum dia membuka mulut. Citra adalah wanita yang dianggap ibu mertuaku sebagai istri ideal untuk Mas Rey. Dan aku? Aku hanyalah istri yang, menurut beliau, tidak pernah cukup baik. "Apa yang ibu katakan kali ini?" tanyaku, suaraku bergetar meskipun aku mencoba terdengar tegar. Mas Rey menghela napas panjang, lalu berkata, "Ibu bilang … aku harus mempertimbangkan ulang pernikahan kita. Katanya, lima tahun tanpa anak adalah bukti bahwa … mungkin ada sesuatu yang salah." Aku terdiam.
Aku memandangi layar ponselku yang tergeletak di meja. Pesan dari Rey masuk beberapa jam yang lalu, tapi aku belum membukanya. Pesan itu pasti berisi permintaan maaf atau alasan lain untuk mencoba menenangkan hatiku. Dia selalu begitu. Rey bukan tipe laki-laki yang pandai berkonfrontasi, apalagi jika itu menyangkut ibunya. Namun kali ini, aku tidak yakin permintaan maafnya cukup. Aku merasa sendirian di medan perang ini, berjuang melawan ombak yang semakin besar tanpa pelindung. Aku mencintai Rey, tapi aku tidak bisa terus-menerus bertahan sendirian. “Kalau aku lemah, apa artinya cinta kita?” gumamku pada diri sendiri. Kepalaku berdenyut memikirkan kejadian tadi pagi. Kehadiran Citra di ruang makan tadi bukanlah kebetulan. Ibu mertua sengaja membawa dia ke rumah untuk mempermalukanku, untuk menunjukkan bahwa aku bisa digantikan kapan saja. Dan Rey? Meski dia membela aku di depan ibunya, aku tahu dia tidak sepenuhnya mampu mengatasi ini. Aku mengambil ponsel itu dan membuka pesan d
Pagi itu, mendung menggantung di langit, seolah ingin memberi peringatan bahwa hari ini tidak akan berjalan dengan baik. Aku duduk di sofa ruang tamu, secangkir kopi yang mulai dingin tergeletak di meja. Aku memandangi jam dinding yang berdetak perlahan, seperti mengejek kebingunganku. Rey sudah berangkat lebih awal, seperti biasanya. Dia tidak berkata banyak, hanya sebuah "Aku pergi" yang terdengar kaku sebelum menutup pintu. Aku tidak tahu apakah dia sadar aku terjaga sepanjang malam, menangis pelan di sampingnya. Keheningan di antara kami semakin hari semakin sulit untuk dijembatani, seperti jurang yang terus melebar. Aku menghela napas panjang, mencoba mengalihkan pikiranku dengan membereskan rumah. Namun, tak sampai setengah jam, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal. "Bu Ira, saya dr. Laila dari klinik kesuburan yang Bapak Rey kunjungi kemarin. Kami ingin menjadwalkan pertemuan lanjutan untuk membahas hasil tes." Aku membaca pesan itu berulang k
Pagi itu terasa berat. Aku duduk di meja makan, menatap cangkir teh yang sudah dingin, mencoba mencari alasan untuk tidak berpikir terlalu banyak. Keheningan yang mengisi rumah kami semakin mencekik, dan setiap detik terasa semakin berat. Rey sudah pergi bekerja, meninggalkan aku dengan pikiran yang berlarian.Ke mana perginya kedamaian yang dulu kami miliki? Apa yang terjadi dengan kami? Rasanya aku sudah berusaha terlalu keras untuk mempertahankan hubungan ini, namun aku hanya semakin merasa jauh darinya.Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari nomor yang sudah tidak asing lagi: dokter Laila dari klinik kesuburan."Bu Ira, kami ingin mengonfirmasi jadwal pertemuan lanjutan untuk hasil tes. Mohon konfirmasi segera."Aku terdiam sejenak. Rey belum memberitahuku apa-apa tentang hasil tes ini. Aku merasa seperti sebuah bagian dari hidupnya yang disembunyikan dariku, dan itu memicu rasa sakit yang aku coba untuk tidak rasakan.Aku menekan nomor Rey. Panggilan diterima setelah beberapa derin
Hari itu terasa lebih panas dari biasanya. Aku berdiri di balkon rumah kami, menatap kota yang tampak hiruk-pikuk di bawah. Udara terasa lembap, dan aroma aspal yang terbakar oleh matahari memancar ke dalam ruangan. Hati ini penuh, tetapi tak ada yang bisa kuungkapkan. Bahkan angin yang berhembus pun tidak bisa menenangkan pikiranku.Rey belum pulang. Pikiranku kembali berlarian, mencoba mencari cara agar semuanya kembali normal, tetapi setiap kali aku berpikir begitu, kenyataan datang seperti tamparan. Hubungan kami yang dulu penuh dengan tawa, kini terasa hampa. Setiap percakapan terasa seperti adu argumen yang tak pernah selesai.Klinik kesuburan telah memberikan hasil tes terakhir, dan semuanya sudah jelas—kami berdua memiliki masalah. Namun, ada satu hal yang semakin menyakitkan, yang tak pernah kami bicarakan secara jujur: ibu mertuaku.Aku memikirkan kata-katanya yang seringkali menusuk, kata-kata yang terus bergema di kepala. “Istri yang tidak berguna.” “Kenapa kamu tidak bisa
Malam itu, udara terasa dingin menusuk. Hujan rintik-rintik menambah kesan muram yang menyelimuti hatiku. Aku duduk di ruang tamu sendirian, memandangi jendela kaca yang dipenuhi butiran air. Rasanya seperti melihat pantulan diriku—buram dan tak jelas.Rey baru saja keluar rumah, pergi dengan alasan yang terdengar biasa, tapi entah mengapa, aku merasa ada sesuatu yang lebih. Perasaan itu menghantui sejak beberapa hari terakhir, dan aku tak bisa mengabaikannya.Ketika waktu terus berlalu, pikiranku mulai dipenuhi oleh berbagai spekulasi. Ke mana dia pergi? Mengapa dia semakin sering keluar tanpa memberitahuku?Ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk."Ira, aku ingin bertemu denganmu. Ada sesuatu yang harus kita bicarakan."Pengirimnya adalah Karin, seorang wanita yang selama ini kerap disebut-sebut ibu mertua sebagai "pilihan yang lebih baik" untuk Rey. Aku tak pernah benar-benar berurusan dengannya secara langsung, tetapi setiap kali nama itu muncul, hatiku terasa diremas.Aku terdiam,
Aku duduk di kamar, menatap kosong ke arah jendela yang buram oleh hujan. Rasanya seperti ada jarak yang tak terjembatani antara aku dan Rey sejak percakapan terakhir kami. Kata-katanya terus terngiang di kepalaku, seperti potongan puzzle yang tak bisa kususun.Hari itu, aku memutuskan untuk tidak membiarkan semua ini hanya berputar di pikiranku. Aku harus mencari jawaban. Bukan hanya untuk diriku sendiri, tetapi untuk pernikahan kami yang perlahan retak.---Pagi-pagi sekali, aku mendengar suara dering ponsel Rey. Dia meninggalkannya di meja ruang tamu sebelum berangkat bekerja. Aku tidak pernah punya kebiasaan mengutak-atik ponselnya, tapi pagi ini ada sesuatu yang membuatku ragu.Nama pengirim pesan itu membuat tubuhku seketika menegang: Citra.Pesannya singkat, tapi cukup untuk membuat pikiranku liar."Rey, aku ingin bicara. Jangan lupa temui aku malam ini. Penting."Dadaku berdegup kencang. Citra? Nama itu sudah lama tak kudengar, tetapi aku tahu dia adalah bagian dari masa lalu
GN Bab 28 : Pendirian yang Tak Tergoyahkan(49-50)Kamar rawat inap dengan dinding berwarna pastel lembut, lengkap dengan tirai putih yang terbuka sedikit hingga sinar matahari pun masuk dengan leluasa, membuat suasana sedikit lebih hangat. Namun, suasana hatiku tetap suram, tidak ada kehangatan didalamnya. Aku berdiri di lorong rumah sakit, menatap pintu kamar Citra dengan perasaan bercampur aduk."Ibu mohon, Rey." Suara Ibu terdengar tegas namun penuh tekanan. Ibu berdiri persis di sebelahku dengan tangan kanan menyentuh lenganku. "Masuklah. Temani Citra. Tunjukkan bahwa kamu peduli."Aku menoleh, mencoba membaca ekspresi wajahnya. "Ibu, ini bukan tentang kepedulian. Aku ...""Apa pun yang ingin kamu katakan, simpan untuk nanti," potongnya cepat. "Sekarang yang penting adalah menunjukkan bahwa kita mendukung Citra. Tidak ada salahnya kamu berada di sisinya, setidaknya untuk sementara waktu."Aku menarik napas panjang, mencoba meredakan gemuruh di dalam dadaku. Kata-kata Ibu selalu p
Aku berdiri di depan cermin kamar mandi toilet rumah sakit, menatap bayanganku dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Setelah berbagai pertengkaran, aku harus menghadapi ibu lagi. Tapi kali ini, aku bertekad untuk mengatakan sesuatu yang mungkin mengubah pandangannya, atau setidaknya membuatnya berpikir ulang tentang Ira.Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri."Ibu," kataku pelan, mengambil tempat di kursi ruang tunggu seberangnya.Ibu mengangkat alis. "Apa lagi, Rey? Kamu ingin membicarakan istrimu lagi?"Aku mengangguk. "Ya, Bu. Tapi kali ini, aku ingin ibu tahu semuanya.""Ira bukan hanya wanita biasa, Bu. Sebelum kami menikah, dia adalah seorang Manager Keuangan di perusahaan tempat aku bekerja. Posisi yang tidak mudah dicapai, apalagi oleh seorang wanita muda." Kuulangi lagi ucapanku tentang prestasi Ira.Ibu tampak skeptis. "Dan itu membuatnya istimewa? Banyak wanita karier di luar sana, Rey."Aku mengangguk. "Tapi Ira bukan sekadar wanita karier, Bu. Dia adalah se
Rumah sakit malam itu terasa lebih sunyi daripada biasanya. Aku duduk di kursi ruang tunggu, masih memikirkan kondisi Citra yang belum sadar. Ibu duduk di sebelahku, wajahnya masih terlihat lelah dan sembab setelah menangis seharian. Aku mencoba fokus pada apa pun untuk mengalihkan pikiranku, tetapi rasanya mustahil.Ketika suasana seolah mulai tenang, Ibu tiba-tiba membuka pembicaraan.“Rey,” katanya dengan nada pelan namun tegas, “Ibu ingin bicara serius denganmu.”Aku menoleh ke arahnya. “Tentang apa lagi, Bu?” tanyaku, meskipun aku sudah bisa menebak arah pembicaraan ini.“Ini tentang Citra,” jawabnya, menghela napas berat. “Dan tentang Ira.”Aku menghela napas panjang. “Bu, apa lagi yang Ibu ingin sampaikan? Aku sudah lelah.”“Rey, dengar dulu,” potong Ibu. “Ibu hanya ingin kamu sadar. Ibu ingin kamu melihat kenyataan.”---Ibu menatapku dengan mata yang penuh tekanan. “Rey, kamu tahu Citra itu seperti apa. Dia berasal dari keluarga yang luar biasa. Ayahnya memiliki perusahaan be
Rumahku terasa lebih sunyi dari biasanya. Sejak Ira pergi, tempat ini seolah kehilangan nyawanya. Semua benda di sekelilingku masih sama, tapi atmosfernya berubah—dingin, sepi, dan penuh kenangan yang menghantui.Ketika suara bel pintu berbunyi, aku berjalan ke depan dengan setengah hati. Aku tidak mengharapkan siapa pun. Ketika kubuka pintu, Ibu berdiri di sana dengan ekspresi yang sulit ditebak.“Bu?” tanyaku, terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba.“Aku masuk,” katanya tanpa basa-basi, berjalan melewatiku dan langsung duduk di sofa ruang tamu.Aku menghela napas panjang, menutup pintu, dan mengikutinya ke ruang tamu. Ini bukan pertanda baik. Setiap kali Ibu datang tanpa pemberitahuan, selalu ada sesuatu yang tidak menyenangkan.---Ibu menatapku dengan sorot mata tajam. “Rey, aku punya sesuatu yang perlu kubicarakan denganmu.”“Ada apa, Bu?” tanyaku sambil duduk di seberangnya.“Ini tentang Ira,” katanya langsung, membuat dadaku merasa sesak seketika.“Apa lagi, Bu?” Aku menc
Waktu tak terasa kian berlalu dengan cepat. Aku menatap satu bendel berkas di depanku, tak terasa tanganku gemetar. Sebuah surat dengan kop pengadilan agama, isinya jelas: Ira telah mengajukan gugatan cerai. Matahari yang masuk melalui jendela hanya membuat huruf-huruf di atas kertas itu semakin jelas dan menyakitkan.Aku memejamkan mata, mencoba mencerna semuanya. Hatiku seolah diperas, sesak yang tak tertahankan. Ira benar-benar melangkah sejauh ini. Apa yang membuatnya sampai pada keputusan yang sangat berani ini?---Hari itu aku harus menghadapi kenyataan. Aku datang ke pengadilan agama dengan setelan gelap, berharap bisa menunjukkan ketenangan yang sesungguhnya tidak kurasakan. Ira sudah ada di sana, duduk dengan wajah tegas yang membuat jantungku semakin berat.Dia tampak anggun dengan balutan gaun yang juga berwarna hitam. Meskipun tampak serasi denganku saat ini, sorot matanya menunjukkan kelelahan. Kami bertatapan sejenak sebelum dia mengalihkan pandangannya, seolah-olah aku
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Pikiran tentang Ira terus menghantui. Suara pintu yang tertutup ketika dia meninggalkan pesta tadi malam terus terngiang di telingaku. Aku mencoba mencari jawaban atas semua kesalahanku, tetapi semakin aku merenung, semakin aku merasa tersesat.Pagi datang terlalu cepat. Matahari mulai naik, tapi kehangatannya tidak mampu menenangkan hatiku. Aku duduk di sofa ruang tamu, memandangi ponselku yang tergeletak di meja. Aku ingin menelepon Ira, memintanya pulang.---Di tengah kebimbanganku, sebuah pesan masuk. Itu dari Adrian.“Rey, aku minta maaf soal kemarin. Aku tidak tahu Citra akan datang ke acara itu. Dia datang tanpa diundang,” tulisnya.Aku membaca pesan itu berulang kali, mencoba meredakan amarah yang perlahan membara. Aku tidak tahu apakah Ira akan mempercayaiku jika aku memberitahunya tentang ini.Tanpa berpikir panjang, aku menelepon Adrian. “Halo, Adrian. Aku butuh bicara denganmu.”“Rey, aku benar-benar minta maaf. Aku tidak tahu situasinya s
POV ReyAku duduk di meja makan dengan secangkir kopi di tanganku, tetapi rasa pahitnya terasa hambar dibandingkan perasaan yang terus menghantui pikiranku. Matahari baru saja naik, menyinari ruang tamu dengan cahaya keemasan. Suasana rumah tampak tenang, tapi ada kekosongan yang menyakitkan di dalam hatiku.Ira sudah pergi sejak pagi. Dia tidak mengatakan banyak saat berangkat, hanya ucapan singkat, “Aku ada urusan,” tanpa menoleh ke arahku. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya, tapi aku bisa merasakan jarak di antara kami semakin melebar.Di meja, surat dari pengacara perihal bisnis yang sedang aku urus tergeletak di samping ponselku. Namun, pikiranku tidak bisa fokus pada pekerjaan. Bayang-bayang semalam—tatapan Ira yang penuh keraguan, ucapannya yang menyiratkan ketidakpercayaan—terus menghantui.---Pukul sembilan pagi, ponselku berbunyi. Aku mengangkatnya tanpa melihat nama yang muncul di layar, berharap itu Ira.“Rey?” Suara di seberang membuatku terdiam sejenak. Itu suara
POV ReyPagi itu aku bangun lebih awal dari biasanya. Semalam, percakapan kami—walau berat—menyisakan sedikit kelegaan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa Ira bersedia memberiku ruang untuk membuktikan niatku. Tapi aku tahu, kepercayaan yang telah hancur tidak bisa dibangun kembali dalam semalam.Aku berdiri di depan cermin, memandangi bayanganku sendiri. Wajah yang menatap balik padaku adalah seseorang yang merasa lelah tapi bertekad. Hari ini adalah hari yang penting. Aku akan melakukan sesuatu yang mungkin bisa menjadi langkah awal dalam membuktikan keseriusanku kepada Ira.---Setelah mandi, aku duduk di ruang kerja, mencoba menyusun rencana. Aku ingin menunjukkan kepada Ira bahwa aku mendengarkan setiap keluh kesahnya semalam. Salah satu hal yang dia katakan adalah betapa dia merasa tidak dihargai selama ini—seolah-olah semua pengorbanannya untuk pernikahan ini tidak pernah berarti bagiku.Aku memutuskan untuk membuat kejutan kecil untuknya. Bukan sesuatu yan
POV ReyPagi itu aku duduk di meja kerja dengan gelas kopi yang sudah dingin di tangan. Pikiran tentang percakapanku dengan Ira beberapa hari yang lalu masih mengganggu. Dia bilang dia butuh waktu untuk percaya padaku lagi, dan aku memahaminya. Tapi tidak ada yang mengatakan seberapa sulit rasanya menunggu, apalagi ketika aku tahu dia masih menyimpan luka yang aku buat.Aku membuka laptop, mencoba mengalihkan perhatian dengan pekerjaan. Namun, pikiranku terus kembali ke masa lalu, mengingat bagaimana semuanya bermula. Pernikahan kami tidak pernah sempurna, tapi aku pikir cinta kami cukup untuk melewati semua badai. Ternyata aku salah.---Saat aku tenggelam dalam pikiranku, teleponku berdering. Nama yang muncul di layar membuatku terdiam sejenak—Citra.Aku menarik napas panjang sebelum menjawab. “Halo?”“Rey,” suaranya terdengar tegas tetapi lembut. “Aku butuh bicara denganmu.”“Sekarang bukan waktu yang tepat, Cit,” jawabku, mencoba menahan ketegangan dalam suaraku.“Ini penting,” ka