Aduh, Mas Rey makin bingung di kondisi sekarang ini. Gimana caranya ngomong sama istrinya kalau itu memang bukan Citra, ya?
Rey duduk di ruang tamu rumah dengan memegang ponsel di tangan kanannya. Sudah berkali-kali dirinya mencoba menelepon Ira, istrinya, tetapi panggilannya selalu dialihkan. Dia tahu Ira pasti sedang marah besar setelah kejadian di sidang kemarin, terutama dengan kehadiran Erica yang membuat semuanya semakin rumit. Rey akhirnya mengetik pesan singkat: "Sayang, kita perlu bicara. Mas ingin menjelaskan semuanya. Kumohon." Namun, pesan itu hanya ditandai dengan centang satu. sepertinya wanita yang masih sah menjadi istrinya itu sengaja untuk menghindarinya. Rey menatap layar ponselnya agak lama, ragu sejenak sebelum akhirnya menekan tombol panggil ke salah satu nomor yang tersimpan dalam ponsel miliknya. Karin, sahabat dekat istrinya. Rey berpikir mungkin satu-satunya cara untuk mendekati Ira lagi adalah melalui perantara sahabat dekatnya. Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum suara lembut Karin terdengar menyapa. "Assalamualaikum ... Rey?" suara Karin terdengar di seberang. "Wa
Langit terasa suram seperti hati Rey yang diliputi kecemasan. Rey duduk di ruang tamu, menatap kosong ponselnya, berharap ada kabar dari Ira. Namun, harapan itu pupus.Rey akhirnya memberanikan diri lagi untuk menghubungi Karin, sahabat istrinya, untuk mengetahui keberadaannya. "Karin, aku perlu bicara denganmu.""Ada apa, Rey? Apa ini tentang Ira?" terdengar suara dari balik telepon dengan hati-hati."Dia meninggalkanku, Rin. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku sudah berusaha kemarin untuk menjelaskan ... aku ingin menjelaskan semuanya dengan detail, tapi dia tidak mau mendengarkanku."Karin menghela napas, "Rey, aku tau kamu sudah berusaha ... tapi ... aku lupa memberitahu. Kemarin waktu yang terbaik untuk berbicara dengan Ira. Di sela kesibukannya, dia masih mau menyempatkan waktu untuk menemuimu.""Maksudnya, Rin?" Kening Rey berkerut, berusaha menggali lebih dalam informasi dari sahabat istrinya itu."Istrimu, Ira. Kamu sendiri tau kan dulu posisi Ira bagus sebagai Manager K
Pagi hari datang menjelang, namun kebimbangan masih menyelimuti hati Reyvaldo. Lelaki itu menggenggam ponsel miliknya, menatap layar dengan ekspresi ragu. Ia harus segera menghubungi Ira, tetapi pikirannya terlalu penuh dengan kebingungan.Sementara itu, Ira sedang duduk bersama Rizal di area car free day, setelah malam sebelumnya janjian. Mereka tengah berbagi cerita sambil menikmati secangkir kopi. Obrolan mereka ringan, tetapi jelas terlihat ada kekhawatiran dalam tatapan Rizal setiap kali ia melihat wajah Ira.“Ira, kamu terlihat lelah. Kamu yakin baik-baik saja?” ucap Rizal penuh perhatian.Ira tersenyum samar, “Aku baik-baik saja, Rizal. Hanya sedikit tertekan dengan semua yang terjadi.”Rizal mencondongkan tubuh ke depan, “Masalah suamimu lagi, ya? Kamu tahu, kamu tidak harus memikul semua ini sendirian. Kalau kamu butuh bantuan, aku selalu ada untukmu.”Ira menghela napas panjang, menatap secangkir kopi yang hampir dingin di depannya. Uap hangatnya sudah lama menghilang, seper
Rey duduk termenung di area meja kerjanya, dengan tangan kanan memegang ponsel yang sejak tadi hanya menampilkan satu nama di layar : Ayang Alnaira. Tarikan napasnya berat, pikirannya bercabang antara apa yang ia ingin sampaikan dan apa yang mungkin Ira rasakan. Saat hendak menekan tombol panggil pada ponsel, suara bel pintu mengalihkan perhatiannya.Ia bangkit dengan rasa malas, kemudian membuka pintu, dan mendapati Adrian, sahabatnya, berdiri di depan pintu dengan senyum kecil.“Rey, mukamu kayak habis diserbu pasukan lebah,” seloroh Adrian sambil melangkah masuk tanpa diundang. Ia langsung duduk di sofa, menatap Rey yang masih berdiri. “Aku tahu masalah membuatmu kacau, Rey, aku ingin membantumu.”Rey hanya menghela napas, menutup pintu, lalu duduk di kursi di seberang Adrian.“Terimakasih, Adri. Tapi, aku tidak minta bantuan siapa pun,” gumam Rey pelan.“Justru itu masalahnya,” balas Adrian. “Kamu selalu mau menyelesaikan semuanya sendiri. Aku tahu kamu keras kepala, Rey. Tapi mas
Ruangan kantor Reyvaldo Anggara dipenuhi dengan dokumen yang berserakan di atas meja kerja, mencerminkan kekacauan yang sama dengan pikirannya saat ini. Lelaki berwajah rupawan itu memutuskan untuk tidak menunda lagi pemecahan masalah yang sedang dihadapinya. Hubungan dengan Ira, wanita yang sangat dicintainya harus segera diperbaiki, meskipun gugatan cerai dari istrinya sudah dilakukan, ditambah lagi dengan kehadiran Erica yang terus menjadi penghalang besar hubungan di antara mereka.Rey menatap ponselnya yang tergeletak di meja, diantara dokumen-dokumen yang terlihat masih berhamburan. Nama Ayang Alnaira masih ada di layar dari panggilan terakhirnya yang tidak terjawab. Kali ini, ia memutuskan untuk mencobanya lagi. Berusaha untuk menjelaskan pertemuan sebelumnya yang masih belum menemui titik terang.Setelah beberapa kali nada sambung terhubung, suara Ira terdengar di ujung sana. "Ada apa lagi, Mas?" tanyanya dengan nada dingin."Sayang, Mas perlu bicara lagi denganmu," kata Rey d
Cahaya matahari pagi menyusup masuk melalui celah tirai yang sedikit terbuka. Sinarnya yang terasa hangat menerpa wajah cantik Ira yang duduk di meja makan, menatap cangkir kopinya yang masih mengepul asap tipis. Di seberangnya duduk seorang sahabat yang setia menemaninya untuk bertukar pikiran, Karin, yang memandangnya dengan perasaan cemas."Jadi, bagaimana pembicaraanmu dengan Rizal semalam?" tanya Karin sambil menyeruput kopinya.Ira menghela napas panjang. "Dia memberiku perspektif baru. Aku merasa sedikit lebih tenang, meski masalahku dengan Mas Rey masih menjadi beban berat."Karin mencondongkan tubuhnya ke depan. "Kamu harus jujur pada dirimu sendiri, Ra. Apa yang sebenarnya kamu inginkan? Apakah kamu masih mencintai suamimu?"Ira terdiam sejenak. Kata-kata Karin membuatnya teringat pada ucapan Rizal semalam. "Aku ... aku tidak tahu, Rin. Rasanya seperti ada tembok besar di antara kami sekarang. Dan Erica, dia seperti bayangan yang terus menghantui pernikahan kami.""Aku menge
Rizal mengetuk pintu apartemen Ira dengan sopan. Suara ketukan itu terdengar keras namun tidak berlebihan, cukup untuk memastikan penghuni di dalam menyadarinya. Dari dalam, terdengar langkah kaki yang terburu-buru mendekat, seolah pemiliknya sedang tergesa-gesa menyelesaikan sesuatu sebelum membuka pintu.Setelah beberapa saat, suara kunci yang diputar terdengar pelan, dan pintu perlahan terbuka. Di balik pintu itu, seorang wanita cantik bernama Alnaira Riquina berdiri. Meski demikian, kerut di wajah cantiknya menampilkan ekspresi campuran antara terkejut dan bingung. Ia tidak menyangka akan menemukan Rizal berdiri di sana dengan senyum lembut di wajahnya.Rizal, seperti biasa, tampil rapi. Jas yang dikenakannya tampak sempurna tanpa satu pun lipatan, sementara jam tangan di pergelangan kirinya berkilauan samar di bawah cahaya lorong apartemen. Ada aura tenang dan percaya diri dalam sikapnya, membuat siapa pun yang melihatnya merasa bahwa kehadirannya selalu membawa kesan yang mendal
Rey duduk termenung di ruang kerjanya, menatap tumpukan berkas yang berserakan di meja. Rasa penyesalan dan kegelisahan menyelimuti dirinya, membuat fokusnya terpecah. Ira, sosok yang selama ini menjadi penyemangatnya, terasa semakin jauh. Rey tahu bahwa kesalahannya terlalu besar untuk ditebus hanya dengan permintaan maaf. Ia menghela napas panjang, menyadari betapa rumitnya masalah yang sedang dihadapinya.Namun, tumpukan pekerjaan di depannya tidak menunggu. Deadline proyek terus menghantui pikirannya, seolah berteriak meminta penyelesaian. Rey memijat pelipisnya, mencoba mengusir kelelahan yang mulai menguasai tubuhnya. Ia memutuskan untuk memanggil asisten pribadinya lagi untuk membantu menyelesaikan pekerjaan yang tertunda.Beberapa menit kemudian, Nia, asistennya, masuk ke ruang kerja dengan tumpukan dokumen di tangan. Penampilannya tetap rapi seperti biasa, meski pakaian yang dikenakannya terlihat sedikit ketat dan menarik perhatian. Rey melirik sekilas, lalu kembali memusatka
Setelah percakapan panjang mereka di kafe, Rey melirik jam tangannya. Hari sudah mulai gelap. Ia menatap Ira yang masih tampak tenggelam dalam pikirannya."Mas antar pulang, Yang," kata Rey tiba-tiba.Ira menoleh, ragu sejenak. "Nggak usah, Mas. Aku bisa pulang sendiri."Rey menghela napas, menatapnya serius. "Yang, ini sudah malam. Mas nggak akan tenang kalau kamu pulang sendirian."Ira terdiam tidak menjawab.Rey melirik meja di samping mereka, matanya menyapu permukaannya dengan cepat. Dahinya mengernyit. "Sayang ga bawa mobil, kan?" tanyanya pelan, tapi penuh arti.Ira mengangkat bahu, berusaha tetap santai. "Memangnya kenapa?"Rey menatapnya lebih lama, seolah mencoba membaca pikirannya. "Sayang selalu naruh kunci mobil di atas meja. Sekarang nggak ada." Ia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, suaranya lebih pelan. "Berarti Sayang nggak bawa mobil, kan?"Ira menelan ludah, tidak langsung menjawab. Rey masih mengingat kebiasaannya dengan baik.Rey tersenyum kecil, sedikit menggel
Alnaira Riquina duduk di meja kerjanya, menatap dokumen-dokumen yang belum tersentuh. Namun, pikirannya melayang kepada sosok Reyvaldo Anggara, lelaki yang masih menghantuinya meskipun mereka tidak lagi tinggal seatap.Suara ponselnya bergetar di atas meja. Ia melirik layar—nama Karin muncul di sana. Dengan ragu, ia mengangkat telepon."Halo, assalamualaikum, Karin.""Waalaikumsalam, Ra, kamu sudah dengar kabar tentang Rey?" Suara Karin terdengar khawatir.Ira mengernyitkan dahi. "Kabar apa?""Rapat dewan direksi tadi pagi ... Aku dengar posisinya semakin terancam. Ada banyak pihak yang ingin menjatuhkannya."Ira menghela napas panjang. "Aku sudah menduga. Sejak masalah merger itu, semuanya pasti menjadi semakin sulit baginya.""Ya, tapi ini lebih dari sekadar merger. Ada pihak yang ingin menyingkirkannya secara permanen. Aku dengar beberapa pemegang saham mulai goyah."Ira menggigit bibirnya. "Rey itu orang yang sangat ambisius dalam pekerjaannya, tapi selalu profesional. Kalau sampa
Rapat yang berlangsung selama lebih dari dua jam akhirnya ditunda. Para direksi meninggalkan ruangan satu per satu, menyisakan Rey yang masih duduk sambil menatap layar laptopnya. Ia merasa lega karena merger tidak diputuskan secara tergesa-gesa, tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa tekanan dari berbagai pihak akan semakin besar.Pintu ruangan terbuka pelan, dan Nia masuk sambil membawa secangkir kopi di atas nampan. Ia melangkah dengan hati-hati, lalu meletakkan kopi di meja kerja Rey.Nia tersenyum kecil. “Kopi hitam tanpa gula, seperti biasa.”Rey menoleh ke arah Nia, menghela napas panjang sebelum meraih cangkir itu. “Terima kasih."Nia memperhatikan wajah Rey yang tampak lelah. “Rapat tadi cukup berat, ya, Pak?”Rey mengangguk sambil mengaduk kopinya pelan. “Lebih dari itu. Aku sudah menduga kalau mereka akan berusaha menekanku, tapi tidak kusangka sampai seintens ini.”Nia menarik kursi dan duduk sebentar. “Sepertinya Pak Rendra dan beberapa direksi benar-benar ingin merger ini se
Pak Surya mengetuk meja layaknya pak hakim memutuskan perkara. "Setelah mendengar berbagai pertimbangan, saya rasa kita perlu waktu lebih banyak untuk menganalisis semua kemungkinan. Keputusan sebesar ini tidak bisa diambil dalam satu pertemuan.”Pak Arman mengangguk setuju. “Saya juga merasa kita terlalu terburu-buru. Ada terlalu banyak hal yang belum jelas. Saya usul kita menunda rapat ini selama satu minggu agar semua pihak bisa mengkaji ulang proposal merger dengan lebih mendalam.”Rey menyambut usulan itu dengan tenang. “Saya setuju. Dalam waktu satu minggu, saya dan tim keuangan akan menyusun proyeksi dampak merger ini dalam berbagai skenario, termasuk risiko jangka panjangnya.”Pak Rendra terlihat tidak senang, tetapi ia berusaha menyembunyikannya. “Baik, kalau itu keputusan mayoritas, kita tunda dulu.”Pak Surya menutup rapat dengan ketukan meja. “Baiklah, rapat ditunda dan akan dilanjutkan minggu depan. Saya harap semua tim bisa membawa analisis yang lebih detail.”---Seming
Rey berjalan menuju ruang rapat dengan langkah tegap. Di tangannya, ia membawa dokumen yang telah direvisi oleh timnya. Ia tahu, pertemuan ini akan menjadi momen krusial. Dewan direksi sudah menunggu, begitu juga dengan beberapa pemegang saham utama yang memiliki pengaruh besar dalam keputusan merger.Begitu Rey memasuki ruang rapat, ia langsung menangkap pemandangan yang membuatnya sedikit waspada. Pak Rendra, kepala divisi hukum, sedang berbisik dengan beberapa anggota direksi lainnya, terutama dari pembelian dan investasi. Sesekali, mereka melirik ke arahnya sebelum kembali berbisik.Pak Surya, ketua dewan direksi, mengetuk meja sebagai tanda rapat dimulai. “Baiklah, kita langsung ke pokok pembahasan. Pak Rendra, Anda ingin menyampaikan sesuatu sebelum kita mulai membahas revisi proposal merger?”Pak Rendra menyunggingkan senyum tipis sebelum menatap Rey. “Tentu, Pak Surya. Sebelum Pak Rey menyampaikan analisanya, saya ingin menekankan bahwa revisi ini dibuat dengan mempertimbangka
BAB 45Bab 77Di ruangan kantornya yang luas, Reyvaldo Anggara duduk dengan wajah tegang. Berkas-berkas berserakan di atas mejanya, dan layar laptopnya menampilkan laporan keuangan yang masih belum ia selesaikan. Kepalanya terasa berat. Masalah pribadinya dengan Alnaira Riquina, istrinya, sudah cukup menguras pikirannya, tapi kini pekerjaannya juga mulai terancam.Pintu diketuk. Rey mendongak dan melihat Nia, asistennya, masuk dengan ekspresi ragu.“Pak Rey, rapat dengan dewan direksi dimajukan satu jam lebih cepat. Dan … ada beberapa revisi dalam proposal merger yang harus segera Bapak tinjau,” ucap Nia setelah masuk ruangan.Rey mengerutkan kening, meletakkan pulpen yang sedari tadi ia putar-putar di jarinya. “Dimajukan? Kenapa?”Nia meletakkan dokumen di meja atasannya, kemudian menghela napas pelan. “Dari informasi yang saya dapat, ada tekanan dari beberapa pemangku saham utama. Mereka ingin merger ini segera dieksekusi tanpa hambatan, Pak."Rey menyandarkan punggungnya, menatap d
Bab 76Ira duduk di sofa ruang tamu apartemen miliknya, jemarinya sibuk memijat pelipisnya yang terasa pusing. Semua perkataan Reyvaldo Anggara masih terngiang di pikirannya, membuatnya sulit berpikir jernih. Sidang pengadilan agama terakhir akan segera berlangsung, keputusan akhir ada di tangannya—melanjutkan perceraian atau memberi kesempatan untuk mediasi kembali.Mata wanita cantik itu terpejam mengingat percakapan tadi malam antara dirinya dan suaminya, Rey, melalui telepon."Sayang, kita harus bicara sebelum sidang terakhir," ajak laki-laki di seberang telepon dengan nada lembut tapi tegas.Ira menghela napas, suaranya datar, “Apa lagi yang perlu dibicarakan, Mas? Semuanya sudah jelas.”“Belum tentu. Kita masih bisa mencoba mediasi lagi. Mas yakin, kita bisa memperbaiki semuanya ini satu-persatu.” Suara Rey terdengar meyakinkan.Ira tertawa sinis, “Kita? Memperbaiki? Mas Rey, kita sudah sampai di titik ini bukan karena aku tidak mencoba. Aku sudah cukup lelah berusaha sendirian.
Bab 71Ira masih terdiam, memikirkan kata-kata Rizal."Aku tidak bisa terus seperti ini, Rizal. Aku butuh jawaban, tapi aku juga takut."Rizal tersenyum. "Takut bahwa jawaban itu bukan yang ingin kamu dengar?"Ira menatapnya dengan mata bimbang. "Aku takut, Rizal. Takut kalau pada akhirnya Mas Rey akhirnya memilih mendengarkan ibunya.""Maksudmu?" Rizal bertanya, meskipun ia sudah bisa menebak arah pembicaraan ini.Ira menggigit bibirnya, menunduk. "Ibunya selalu ingin dia bersama wanita yang bisa memberinya anak. Aku ... aku tidak tahu apakah Mas Rey cukup kuat untuk melawan keinginan ibunya."Rizal mengangguk pelan. "Dan kamu takut dia menyerah dan memilih wanita lain?"Ira mengangguk. "Aku takut dia memilih Erica. Dia pintar, datang dari keluarga sukses, dan sekarang bahkan membantu Mas Rey di bisnisnya. Itu seperti pasangan sempurna di mata ibunya."Rizal menarik napas panjang, mencoba memilih kata-kata yang tepat. "Ira, kamu tahu bahwa kebahagiaan sebuah pernikahan tidak hanya be
Bab 42Ira dan Rizal masih duduk berhadapan di dalam cafe. Percakapan mereka mengalir dengan mudah, membahas banyak hal, mulai dari pekerjaan hingga kenangan masa lalu."Jadi, bagaimana rasanya menjadi penasihat keuangan?" Rizal bertanya sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.Ira tersenyum tipis, menatap cangkir kopinya sebelum akhirnya menjawab. "Awalnya, aku tidak pernah berpikir akan sampai di titik ini. Dulu, aku hanyalah seorang manajer keuangan di perusahaan tempat aku dan Mas Rey bekerja."Rizal mengangkat alis, tertarik. "Oh? Jadi kamu dan Rey dulu satu kantor?"Ira mengangguk. "Iya. Aku dulu adalah atasan suamiku. Dia masih seorang staf keuangan waktu itu, dan aku yang membimbingnya dalam banyak hal. Aku ingat betul betapa keras kepalanya saat itu."Rizal terkekeh. "Jadi sejak awal kamu sudah terbiasa menghadapi sifat keras kepala Rey?"Ira tertawa kecil. "Bisa dibilang begitu. Tapi justru karena itulah kami semakin dekat. Aku melihat bagaimana dia berusaha membuktikan diriny