Semua Bab Istri Baru untuk Suamiku : Bab 21 - Bab 30

50 Bab

Bab 21 : Cahaya di Ujung Terowongan

(POV Rey) Pagi ini aku bangun lebih awal dari biasanya. Semalam, percakapan kami—walau berat—menyisakan sedikit kelegaan. Aku merasa istriku bersedia memberiku waktu untukku membuktikan niatku. Tapi aku tahu, kepercayaan yang telah hancur tidak bisa dibangun kembali dalam semalam. Aku berdiri di depan cermin, memandangi bayanganku sendiri. Wajah yang menatap balik padaku adalah seseorang yang merasa lelah tapi bertekad kuat. Hari ini adalah hari yang penting. Aku akan melakukan sesuatu yang mungkin bisa menjadi langkah awal dalam membuktikan keseriusanku kepada istriku. Setelah mandi, aku duduk di ruang kerja, mencoba menyusun rencana. Aku ingin menunjukkan kepada istriku bahwa aku mendengarkan setiap keluh kesahnya semalam. Salah satu hal yang dikatakannya adalah betapa istriku merasa tidak dihargai selama ini—seolah-olah semua pengorbanannya untuk pernikahan ini tidak pernah berarti bagiku. Aku memutuskan untuk membuat kejutan kecil untuknya. Bukan sesuatu yang besar atau mew
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-31
Baca selengkapnya

Bab 22 : Jalan di Antara Kepedihan

(POV Rey) Matahari baru saja naik, menyinari ruang tamu dengan cahaya keemasan. Suasana rumah tampak tenang, tapi ada kekosongan yang menyakitkan di dalam hatiku. Aku duduk di meja makan dengan secangkir kopi di tanganku, tetapi rasa pahitnya terasa hambar dibandingkan perasaan yang terus menghantui pikiranku. Istriku sudah pergi sejak pagi. Dirinya tidak mengatakan banyak saat berangkat, hanya ucapan singkat, “Aku ada urusan,” tanpa menoleh ke arahku. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya, tapi aku bisa merasakan jarak di antara kami semakin melebar. Di atas meja, surat dari pengacara perihal bisnis yang sedang aku urus tergeletak di samping ponselku. Namun, pikiranku tidak bisa fokus pada pekerjaan. Bayang-bayang semalam—tatapan istriku yang penuh keraguan, ucapannya yang menyiratkan ketidakpercayaan—terus menghantui. Pukul sembilan pagi, ponselku berbunyi. Aku mengangkatnya tanpa melihat nama yang muncul di layar, berharap itu istriku. “Mas Rey?” Suara di seberang memb
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-31
Baca selengkapnya

Bab 23 : Jalan yang Terjal

Malam ini, aku tidak bisa tidur. Pikiran tentang istriku, Ira terus menghantui. Suara pintu yang tertutup ketika dia meninggalkan pesta terus terngiang di telingaku. Aku mencoba mencari jawaban atas semua kesalahanku, tetapi semakin aku merenung, semakin aku merasa bersalah. Pagi datang terlalu cepat. Matahari perlahan mulai naik, tapi kehangatannya tidak mampu menenangkan hatiku. Aku duduk di sofa ruang tamu, memandangi ponselku yang tergeletak di meja. Aku ingin menelepon istriku dan memintanya untuk pulang. Di tengah kebimbanganku, sebuah pesan masuk. Itu dari Adrian. “Rey, aku minta maaf soal kemarin. Aku tidak tahu Citra akan datang ke acara itu. Dia datang tanpa diundang,” tulisnya. Aku membaca pesan itu berulang kali, mencoba meredakan amarah yang perlahan membara. Aku tidak tahu apakah istriku akan mempercayaiku jika aku memberitahunya tentang ini. Tanpa berpikir panjang, aku menelepon Adrian. “Halo, Adrian. Aku butuh bicara denganmu.” “Rey, aku benar-benar minta ma
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-02
Baca selengkapnya

Bab 24 : Akhir Basa-Basi

Waktu tak terasa kian berlalu dengan cepat. Aku menatap satu bendel berkas di depanku, tak terasa tanganku gemetar. Sebuah surat dengan kop pengadilan agama, isinya jelas: Ira, istriku telah mengajukan gugatan cerai. Matahari yang masuk melalui jendela hanya membuat huruf-huruf di atas kertas itu semakin jelas dan menyakitkan. Aku memejamkan mata, mencoba mencerna semuanya. Hatiku seolah diperas, sesak yang tak tertahankan. Ira benar-benar melangkah sejauh ini. Apa yang membuatnya sampai pada keputusan yang sangat berani ini? Hari itu aku harus menghadapi kenyataan. Aku datang ke pengadilan agama dengan setelan gelap, berharap bisa menunjukkan ketenangan yang sesungguhnya tidak kurasakan. Ira sudah ada di sana, duduk dengan wajah tegas yang membuat jantungku semakin berat. Dia tampak anggun dengan balutan gaun yang juga berwarna hitam. Meskipun tampak serasi denganku saat ini, sorot matanya menunjukkan kelelahan. Kami bertatapan sejenak sebelum dia mengalihkan pandangannya, seola
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-03
Baca selengkapnya

Bab 25 : Bayangan yang Menghantui

Rumahku terasa lebih sunyi dari biasanya. Sejak istriku tercinta, Ira pergi, tempat ini seolah kehilangan nyawanya. Semua benda di sekelilingku masih sama, tapi atmosfernya berubah—dingin, sepi, dan penuh kenangan yang menghantui. Bel pintu berbunyi dengan nyaring, biasanya dengan sigap istriku yang berjalan untuk membuka pintu dan aku menatapnya dari kejauhan. Kini, tiada yang bisa kuharapkan lebih, aku berjalan ke depan dengan setengah hati. Aku tidak mengharapkan siapa pun datang saat ini. Ketika kubuka pintu, Ibu berdiri di sana dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Bu?” tanyaku, terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba. “Ibu masuk,” katanya tanpa basa-basi, berjalan melewatiku dan langsung duduk di sofa ruang tamu. Aku menghela napas panjang, menutup pintu, dan mengikutinya ke ruang tamu. Ini bukan pertanda baik. Setiap kali Ibu datang tanpa pemberitahuan, selalu ada sesuatu yang tidak menyenangkan. Ibu menatapku dengan sorot mata tajam. “Rey, aku punya sesuatu yang
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-03
Baca selengkapnya

Bab 26 : Luka Lama yang Terungkit

Rumah sakit malam itu terasa lebih sunyi daripada biasanya. Aku duduk di kursi ruang tunggu, masih memikirkan kondisi Citra yang belum sadar. Ibu duduk di sebelahku, wajahnya masih terlihat lelah dan sembab setelah menangis seharian. Aku mencoba fokus pada apa pun untuk mengalihkan pikiranku, tetapi rasanya mustahil. Ketika suasana seolah mulai tenang, Ibu tiba-tiba membuka pembicaraan. “Rey,” katanya dengan nada pelan namun tegas, “Ibu ingin bicara serius denganmu.” Aku menoleh ke arahnya. “Tentang apa lagi, Bu?” tanyaku, meskipun aku sudah bisa menebak arah pembicaraan ini. “Ini tentang Citra,” jawabnya, menghela napas berat. “Dan tentang Ira.” Aku menghela napas panjang. “Bu, apa lagi yang Ibu ingin sampaikan? Aku sudah lelah.” “Rey, dengar dulu,” potong Ibu. “Ibu hanya ingin kamu sadar. Ibu ingin kamu melihat kenyataan.” Ibu menatapku dengan mata yang penuh tekanan. “Rey, kamu tahu Citra itu seperti apa. Dia berasal dari keluarga yang luar biasa. Ayahnya memiliki peru
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-03
Baca selengkapnya

Bab 27 : Pilihan yang Sulit

Aku berdiri terpaku di depan cermin kamar mandi toilet rumah sakit, menatap bayanganku dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Setelah berbagai pertengkaran, aku harus menghadapi ibu lagi. Tapi kali ini, aku bertekad untuk mengatakan sesuatu yang mungkin mengubah pandangannya, atau setidaknya membuatnya berpikir ulang tentang istriku, Ira. Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Ibu," kataku pelan, mengambil tempat di kursi ruang tunggu seberangnya. Ibu mengangkat alis. "Apa lagi, Rey? Kamu ingin membicarakan istrimu lagi?" Aku mengangguk. "Ya, Bu. Tapi kali ini, aku ingin ibu tahu semuanya." "Kemarin sudah, Rey," Ibu menepis dengan keras. "Bu, untuk kali ini. Tolong dengarkan anakmu ini, Bu," ucapku penuh harap. Wanita paruh baya yang kuhormati di depanku terdiam dan tidak mengelak. Inilah kesempatanku. "Ira bukan hanya wanita biasa, Bu. Sebelum kami menikah, dia adalah seorang Manager Keuangan di perusahaan tempat aku bekerja. Posisi yang tidak mudah dicap
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-04
Baca selengkapnya

Bab 28 : Pendirian yang Tak Tergoyahkan

Dinding kamar rawat inap yang dihuni Citra berwarna pastel lembut. Tak jauh dari ranjang terdapat jendela dengan tirai berwarna putih yang terbuka sedikit hingga sinar matahari pun masuk dengan leluasa, membuat suasana sedikit lebih hangat. Namun, suasana hatiku tetap suram, tidak ada kehangatan didalamnya. Aku berdiri di lorong rumah sakit, menatap pintu kamar dimana Citra dirawat dengan perasaan campur aduk. "Ibu mohon, Rey." Suara Ibu terdengar tegas namun penuh tekanan. Ibu berdiri persis di sebelahku dengan tangan kanan menyentuh lenganku. "Masuklah. Temani Citra. Tunjukkan bahwa kamu peduli padanya. Kasihan dia, Ibu baru tahu kalau Citra hanyalah anak angkat. Dia butuh kasih sayang, Rey." Aku menoleh, mencoba membaca ekspresi wajahnya. "Ibu ... ini bukan tentang kepedulian. Aku ..." "Apa pun yang ingin kamu katakan, simpan untuk nanti," potongnya cepat. "Sekarang yang penting adalah menunjukkan bahwa kita mendukung Citra. Tidak ada salahnya kamu berada di sisinya, setidakny
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-06
Baca selengkapnya

Bab 29 : Telepon yang Mengguncang

Langit berwarna jingga menandakan sore hari datang menjelang. Aku duduk di taman kecil rumah sakit, mencoba merenungkan semua kekacauan yang terjadi dalam hidupku. Udara yang kuhirup terasa berat, mencerminkan perasaanku yang penuh beban. Suara langkah kaki di koridor rumah sakit samar-samar terdengar, tetapi pikiranku melayang entah ke mana. Ponselku berdering dan layar menampilkan nama seorang wanita, Alnaira Riquina istriku tercinta. Sudah beberapa hari ini aku tidak melakukan kontak dengannya. Dengan tangan gemetar, aku mengangkat panggilan darinya.“Assalamualaikum, Sayang,” suaraku terdengar serak, nyaris berbisik.“Mas Rey,” suara Ira terdengar datar, tanpa emosi. “Aku hanya ingin mengingatkanmu, Mas. Sidang kita akan berlanjut minggu depan. Mas tidak lupa, kan?” Deg. Hatiku terasa mencelos. Sidang cerai kami. Aku tahu hari itu akan datang, tapi setiap kali diingatkan, dadaku terasa sesak. "Mas ingat,” jawabku singkat, berusaha menekan kegelisahan yang melanda. "Lalu apa r
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-16
Baca selengkapnya

Bab 30 : Luka yang Tak Terucapkan

Pagi itu, aku kembali ke rumah sakit dengan perasaan campur aduk. Aku tidak bisa tidur semalaman, memikirkan semua yang Erica katakan. Saat aku sampai di kamar rawat Citra, suasana di sana tampak sedikit berbeda. Ada senyuman di wajah kedua orangtuanya saat mereka berbicara dengan Erica, yang tampak begitu percaya diri dan penuh energi. "Rey," panggil Pak Ghozali, ayah Citra, begitu melihatku di pintu. "Masuklah. Kamu datang tepat waktu." Aku mengangguk, melangkah masuk dengan hati-hati. Citra masih terbaring di tempat tidur, tetapi matanya terbuka dan ia tersenyum lemah ketika melihatku. "Rey," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. Aku mendekat, duduk di kursi di samping tempat tidurnya. "Bagaimana perasaanmu hari ini?" tanyaku pelan. Citra hanya mengangguk kecil. Erica, yang duduk di sofa dekat jendela, memperhatikan kami dengan mata tajam. "Kondisinya membaik sedikit," kata Erica tiba-tiba. "Tapi kita semua tahu, dia membutuhkan lebih dari sekadar obat-obatan untuk pulih
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-17
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status