Semua Bab Terjebak Hasrat Terlarang Dokter Denver: Bab 101 - Bab 110

163 Bab

Bab 101 : Kartu As

“Carissa!” Suara lantang menggema di dalam kamar besar itu, diikuti pintu yang terbuka tanpa permisi. Carissa yang sedang berdiri di depan meja rias sontak duduk dan tubuhnya menegang dengan wajahnya pucat. “N–Niang? Ada apa ini?” tanyanya dengan nada gemetar sambil berusaha tetap tenang. Wanita tua itu masuk dengan langkah mantap, mata tajamnya mengawasi Carissa yang terlihat gelisah. “Apa yang kamu sembunyikan lagi? Kenapa kamu selalu bertingkah, hah?” geram Niang menggaung keras dan penuh tekanan. Carissa memanfaatkan kemampuannya beralting. Dia tersenyum kaku, mencoba menyembunyikan kegugupan. “Aku enggak menyembunyikan apa-apa, Niang.” “Jangan bodohi aku!” hardik Niang, suaranya menggelegar, membuat Carissa mundur setengah langkah. “Apa ini berhubungan dengan Chico? Atau hal lain? Berapa banyak lagi rahasia yang kamu kubur?” “Niang, aku … enggak paham apa maksudmu,” elak Carissa dengan suara bergetar. Tangan wanita itu menggenggam pinggiran meja rias dan mulai berk
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-19
Baca selengkapnya

Bab 102 : Masalah Baru

“Jadi, mediasi akan dilanjutkan minggu depan,” kata mediator dengan penuturan tenang dan tajam, pandangannya bergantian antara Denver dan Carissa yang duduk di ujung meja panjang. Denver bergeming. Rahang pria itu mengeras dan sorot mata cokelat karamelnya lurus ke depan. “Saya tetap pada pendirian. Bercerai dengan Carissa.” Sedangkan Carissa yang duduk di seberangnya mengepalkan tangan di pangkuan, tentu saja tatapan matanya memerah. “Kenapa,hah? Kenapa harus seperti ini? Aku enggak setuju!” Suaranya meninggi dan melengking. “Carissa, hubungan kita sudah selesai. Tidak ada yang bisa diperbaiki lagi,” balas Denver dengan nada dingin serta menatap sekilas, lalu kembali memalingkan wajah. Sudah sangat lelah dia dihadapkan ada akting wanita itu. Mediator menepuk meja kecil di hadapannya. “Baik, kita sudahi sesi ini. Saya harap ada perkembangan sebelum mediasi selanjutnya.” Carissa berdiri dengan tergesa, menabrak kursi hingga berbunyi keras. “Perkembangan? Apa yang haru
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-19
Baca selengkapnya

Bab 103 : Apa Itu Kamu?

“Maharani, aku tidak punya waktu buat basa-basi!” Suara Denver terdengar tegas. Sudah lebih dari 15 menit dia berdiri di depan meja kasir restoran cukup besar itu. Mata cokelat karamelnya tajam mengintimidasi Maharani yang tampak gugup, tangan wanita itu sibuk menhitung uang dan menulis daftar belanjaan yang sama berulang-ulang. Ya, Denver turun tangan secara langsung menemui Maharani. Dia yakin Dewi dan wanita itu memiliki pertemanan yang erat. “Maaf, Dokter Denver, saya sibuk. Saya tidak bisa lama-lama ngobrol,” elak Maharani sambil berpaling dan berinteraksi dengan pegawai. Dia mencoba menghindari tatapan pria di depannya. “Berhenti pura-pura sibuk, Maharani!” geram Denver, “kamu tahu kenapa aku di sini?!” Maharani menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Dokter Denver, saya benar-benar tidak tahu di mana Dewi sekarang. Terakhir kali saya lihat dia, kondisinya memprihatinkan. Kandungannya lemah, dia juga … tidak punya uang.” Denver mengepalkan tangan di sisi
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-19
Baca selengkapnya

Bab 104 : Ibu Hamil Itu Adalah

“Dewi, kamu yakin kuat jalan pagi ini?” Suara lembut seorang wanita paruh baya memecah kesunyian. Wanita paruh baya itu membawa baskom berisi cucian, lalu meletakkannya di dekat jemuran bambu di halaman kecil rumah. Dewi yang duduk di tangga kayu hanya tersenyum kecil. Dia bertutur lembut, “Aku harus kuat, Bu Astuti. Kalau tidak, gimana nanti aku bisa melahirkan? Semua butuh uang ‘kan?” Astuti mendekat, lantas menghapus keringat di dahi Dewi dengan ujung selendangnya. “Tapi jangan terlalu dipaksa. Kamu sudah bantu banyak di sini, Wi. Maharani bilang kamu harus banyak istirahat dan jangan stres.” “Kalau cuma bantu-bantu bersihin rumah atau antar obat ke warga, aku masih bisa, kok.” Dewi tersenyum merekah. Dia mencoba meyakinkan dan tangannya yang kurus menggenggam erat tangan keriput Astuti. Wanita paruh baya itu menggeleng pelan, lalu duduk di sampingnya. “Kamu ini keras kepala sekali,” ucap Astuti sambil memukul pelan bahu Dewi. “Ibu tahu kamu ingin mandiri, tapi jangan sa
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-20
Baca selengkapnya

Bab 105 : Bisakah Membuktikannya?

Beberapa menit sebelumnya Dewi memasuki rumah tua. Dia mengantar obat-obatan untuk pemilik rumah. Namun, dia tekejut ketika mendapati suara yang tidak asing memenuhi udara. Dia menoleh dan membelalak melihat sosok yang selalu diingatnya berjalan mendekat. Napas Dewi terhenti, dan tanpa sadar tangannya mencengkeram erat kusen pintu. Jantung gadis itu berdegup kencang tidak terkendali. ‘Kenapa dia ada di sini?’ pikirnya dengan panik. Dewi menaruh obat-obatan di atas meja dan berkata, “Bu, maaf. Saya taruh obatnya di atas meja.” “Iya, Nak. Tolong minta dokter di Posko Bantuan supaya cepat datang. Perutku sakit,” rintih seorang wanita dari kamar. Sadar tidak bisa menggunakan jalan depan. Dewi melirik pintu dapur. Sebelumnya dia mengintip dari celah pintu yang terbuka sedikit. Sosok Denver makin dekat dan kini berdiri di teras depan. Pria itu lebih tinggi dan tegas dari yang terakhir kali dia ingat. Wajah tampannya terlihat lelah, tetapi sorot matanya masih tajam. “Maafkan Mama, Sa
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-20
Baca selengkapnya

Bab 106 : Membawanya Ke Pengadilan

“Dewi,” lirih Denver terdengar lembut dan penuh dengan ketegasan yang menggetarkan hati. “Aku tahu aku bukan laki-laki sempurna, tapi aku tidak akan berhenti melindungi kamu, melindungi anak kita.” Dewi menghindari tatapan pria itu, netra sipitnya terpaku pada tanah basah di bawah kakinya. “Tapi … aku takut, Dokter,” cicitnya. Denver menggeleng pelan, mendekap Dewi lagi tanpa ragu. “Jangan takut,” bisik Denver, “kamu punya aku sekarang dan selamanya.” Mata Dewi mulai berkaca-kaca. Namun, dia teringat bagaimana kejamnya Carissa serta Dywne yang memperlakukannya bagai sampah. Dia pun segera mengurai pelukan hangat ini. “Aku sudah … terbiasa sendiri,” sahut Dewi yang membohongi diri, “aku–” “Tapi kamu tidak harus selalu kuat sendirian,” potong Denver, “dan aku tidak bisa membiarkan kamu terus seperti ini.” Dewi menahan napas, dadanya terasa sesak. Kata-kata Denver masuk begitu dalam hingga dia tidak mampu memberikan balasan apa pun. Meliht keterdiaman Dewi, Denver kembali berujar
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-20
Baca selengkapnya

Bab 107 : Permusuhan

Pagi ini langit agak mendung dan rerumputan masih berembun ketika Dewi melangkah menuju Posko. Dia membawa tas kecil berisi obat-obatan untuk pasien. Meskipun tugas ini sudah menjadi rutinitasnya, hari ini dia merasa canggung. Hatinya tidak tenang sejak tahu Denver bertugas di tempat yang sama. Dia berhenti di depan pintu, mengambil napas panjang sebelum melangkah masuk. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar suara tawa kecil dari dalam. Dewi mengintip dari celah pintu dan melihat Denver berdiri di sudut ruangan, berbicara dengan seorang pasien. Pria itu tampak begitu menawan dengan senyumnya yang hangat, membuat siapa pun merasa nyaman. “Kenapa dia harus di sini?” gumam Dewi pelan, bibirnya mengerucut sebal. Dia segera meletakkan tas obat di meja dan cepat-cepat keluar tanpa menoleh lagi. Sesampainya di rumah, Dewi melepas selendangnya dan langsung menuju kebun belakang. Tangan kurus gadis itu sibuk mencabut gulma dan memetik sayuran. Akan tetapi, derap langkah kaki yang mend
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-21
Baca selengkapnya

Bab 108 : Pengganti Dokter Denver

“Kamu ngapain di sini?” bisik Carissa dengan intonasi tertahan dan mata bulat melotot ke arah seseorang yang duduk santai di sofa ruang tamu. Sosok itu hanya tersenyum kecil sambil memainkan gelang di pergelangan tangannya. “Memangnya aku tidak boleh datang ke sini, Honey?” jawabnya dengan suara pelan dan menusuk. “Jangan panggil aku begitu!” desis Carissa. Dia melangkah cepat mendekati pria itu. Carissa melirik ke arah pintu, memastikan Niang tidak mendengar apa pun. “Kamu gila, hah?! Kalau Niang tahu, kita bisa mati!” “Sudah terlambat, Ca,” balas Chico teramat santai, tetapi matanya menyiratkan kelelahan yang dalam. “Aku di sini karena aku butuh kamu … kita butuh kamu.” Wajah Carissa memucat seketika. Napas artis cantik itu tertahan sejenak, lalu dia berkata, “Aku enggak tahu apa yang kamu maksud. Kita sudah selesai, Chico. Pergi dari sini sebelum semuanya hancur!” Akan tetapi, sebelum Carissa bisa mengusir Chico, suara langkah kaki terdengar dari arah depan. Wajah artis
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-21
Baca selengkapnya

Bab 109 : Gadisku Kabur Lagi?

“Apa-apaan ini?!” seru Carissa dengan nada melengking, membuat gemanya terdengar di sepanjang lorong. Dia mengempaskan ponsel ke lantai dan menatap layar retak dengan rahang mengeras. Pesan itu terpampang jelas: [Berdasarkan pelanggaran dalam kontrak, kerja sama kami sebagai brand ambassador berakhir. Mohon lunasi penalti sebesar 5 miliar rupiah dalam waktu 14 hari.] Tubuh Carissa gemetar. Dia meremas rambutnya hingga kuku tajam menamcap ke kepala. “Cih, Mereka pikir mereka bisa seenaknya mempermalukan aku?!” Chico yang duduk di sebelahnya segera merangkul, tetapi Carissa menepis denhan kasar. “Ada apa, Honey?” tanya pria itu dengan raut lesu. “Ini semua karena kamu. Aku benci kamu!” teriak Carissa membuat dada besarnya naik turun. “Honey?” lirih Chico. Tanpa memedulikan pria itu, Carissa berdiri dan menatap plafon dengan napas berat. Pikirannya seletika dipenuhi kebencian pada Dewi. “Sialan! Semua ini salah Dewi! Kalau saja perempuan itu enggak muncul, aku masih
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-22
Baca selengkapnya

Bab 110 : Keputusan 

Saat ini Dewi sedang duduk di tepi ranjang pasien. Dia memalingkan wajah dengan pandangan kosong, seolah-olah ingin menghindari kenyataan yang sudah terlalu sering menyakitinya.Dari arah pintu Denver mendekat, lalu duduk di kursi kecil di hadapan Dewi. Dia bersandar dengan tangan terlipat, mencoba memahami gadis itu tanpa terlalu mendesak.“Kamu harus ke kota,” tutur Denver dengan suara lemah lembut, tetapi penuh penekanan.“Tidak bisa, Dokter. Aku … aman di sini,” sahut Dewi tampa memandang wajah rupawan Denver.“Aman, Dewi? Kamu pikir tinggal di tempat dengan fasilitas seadanya ini cukup untuk kondisi kamu dan anak kita?” sergah Denver, tetapi berusaha menjaga intonasinya.Dewi menunduk dan jari-jarinya meremas ujung selimut yang kusut. Dia tidak bisa menyangkal bahwa kata-kata Denver benar, tetapi relung hatinya masih enggan untuk memercayai pria itu lagi.“Tapi … semua orang di luar sana tidak menerima kehadiranku, Dokter! Aku dicap pelakor dan ….” Suara Dewi yang bergetar tertah
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-22
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
910111213
...
17
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status