akhirnya mereka bertemu juga ya ༎ຶ‿༎ຶ༎ຶ‿༎ຶ༎ຶ‿༎ຶ༎ຶ‿༎ຶ༎ຶ‿༎ຶ༎ຶ‿༎ຶ
“Dewi,” lirih Denver terdengar lembut dan penuh dengan ketegasan yang menggetarkan hati. “Aku tahu aku bukan laki-laki sempurna, tapi aku tidak akan berhenti melindungi kamu, melindungi anak kita.” Dewi menghindari tatapan pria itu, netra sipitnya terpaku pada tanah basah di bawah kakinya. “Tapi … aku takut, Dokter,” cicitnya. Denver menggeleng pelan, mendekap Dewi lagi tanpa ragu. “Jangan takut,” bisik Denver, “kamu punya aku sekarang dan selamanya.” Mata Dewi mulai berkaca-kaca. Namun, dia teringat bagaimana kejamnya Carissa serta Dywne yang memperlakukannya bagai sampah. Dia pun segera mengurai pelukan hangat ini. “Aku sudah … terbiasa sendiri,” sahut Dewi yang membohongi diri, “aku–” “Tapi kamu tidak harus selalu kuat sendirian,” potong Denver, “dan aku tidak bisa membiarkan kamu terus seperti ini.” Dewi menahan napas, dadanya terasa sesak. Kata-kata Denver masuk begitu dalam hingga dia tidak mampu memberikan balasan apa pun. Meliht keterdiaman Dewi, Denver kembali berujar
Pagi ini langit agak mendung dan rerumputan masih berembun ketika Dewi melangkah menuju Posko. Dia membawa tas kecil berisi obat-obatan untuk pasien. Meskipun tugas ini sudah menjadi rutinitasnya, hari ini dia merasa canggung. Hatinya tidak tenang sejak tahu Denver bertugas di tempat yang sama. Dia berhenti di depan pintu, mengambil napas panjang sebelum melangkah masuk. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar suara tawa kecil dari dalam. Dewi mengintip dari celah pintu dan melihat Denver berdiri di sudut ruangan, berbicara dengan seorang pasien. Pria itu tampak begitu menawan dengan senyumnya yang hangat, membuat siapa pun merasa nyaman. “Kenapa dia harus di sini?” gumam Dewi pelan, bibirnya mengerucut sebal. Dia segera meletakkan tas obat di meja dan cepat-cepat keluar tanpa menoleh lagi. Sesampainya di rumah, Dewi melepas selendangnya dan langsung menuju kebun belakang. Tangan kurus gadis itu sibuk mencabut gulma dan memetik sayuran. Akan tetapi, derap langkah kaki yang mend
“Kamu ngapain di sini?” bisik Carissa dengan intonasi tertahan dan mata bulat melotot ke arah seseorang yang duduk santai di sofa ruang tamu. Sosok itu hanya tersenyum kecil sambil memainkan gelang di pergelangan tangannya. “Memangnya aku tidak boleh datang ke sini, Honey?” jawabnya dengan suara pelan dan menusuk. “Jangan panggil aku begitu!” desis Carissa. Dia melangkah cepat mendekati pria itu. Carissa melirik ke arah pintu, memastikan Niang tidak mendengar apa pun. “Kamu gila, hah?! Kalau Niang tahu, kita bisa mati!” “Sudah terlambat, Ca,” balas Chico teramat santai, tetapi matanya menyiratkan kelelahan yang dalam. “Aku di sini karena aku butuh kamu … kita butuh kamu.” Wajah Carissa memucat seketika. Napas artis cantik itu tertahan sejenak, lalu dia berkata, “Aku enggak tahu apa yang kamu maksud. Kita sudah selesai, Chico. Pergi dari sini sebelum semuanya hancur!” Akan tetapi, sebelum Carissa bisa mengusir Chico, suara langkah kaki terdengar dari arah depan. Wajah artis
“Apa-apaan ini?!” seru Carissa dengan nada melengking, membuat gemanya terdengar di sepanjang lorong. Dia mengempaskan ponsel ke lantai dan menatap layar retak dengan rahang mengeras. Pesan itu terpampang jelas: [Berdasarkan pelanggaran dalam kontrak, kerja sama kami sebagai brand ambassador berakhir. Mohon lunasi penalti sebesar 5 miliar rupiah dalam waktu 14 hari.] Tubuh Carissa gemetar. Dia meremas rambutnya hingga kuku tajam menamcap ke kepala. “Cih, Mereka pikir mereka bisa seenaknya mempermalukan aku?!” Chico yang duduk di sebelahnya segera merangkul, tetapi Carissa menepis denhan kasar. “Ada apa, Honey?” tanya pria itu dengan raut lesu. “Ini semua karena kamu. Aku benci kamu!” teriak Carissa membuat dada besarnya naik turun. “Honey?” lirih Chico. Tanpa memedulikan pria itu, Carissa berdiri dan menatap plafon dengan napas berat. Pikirannya seletika dipenuhi kebencian pada Dewi. “Sialan! Semua ini salah Dewi! Kalau saja perempuan itu enggak muncul, aku masih
Saat ini Dewi sedang duduk di tepi ranjang pasien. Dia memalingkan wajah dengan pandangan kosong, seolah-olah ingin menghindari kenyataan yang sudah terlalu sering menyakitinya.Dari arah pintu Denver mendekat, lalu duduk di kursi kecil di hadapan Dewi. Dia bersandar dengan tangan terlipat, mencoba memahami gadis itu tanpa terlalu mendesak.“Kamu harus ke kota,” tutur Denver dengan suara lemah lembut, tetapi penuh penekanan.“Tidak bisa, Dokter. Aku … aman di sini,” sahut Dewi tampa memandang wajah rupawan Denver.“Aman, Dewi? Kamu pikir tinggal di tempat dengan fasilitas seadanya ini cukup untuk kondisi kamu dan anak kita?” sergah Denver, tetapi berusaha menjaga intonasinya.Dewi menunduk dan jari-jarinya meremas ujung selimut yang kusut. Dia tidak bisa menyangkal bahwa kata-kata Denver benar, tetapi relung hatinya masih enggan untuk memercayai pria itu lagi.“Tapi … semua orang di luar sana tidak menerima kehadiranku, Dokter! Aku dicap pelakor dan ….” Suara Dewi yang bergetar tertah
Ponsel dalam genggaman tangan Denver menyala, menampilkan sebuah video yang dikirim oleh seseorang. Video itu memperlihatkan Carissa di rumah sakit dan sebuah cafe, duduk bersama seorang pria asing. Bahkan detik berikutnya, suara tamparan keras menggema, menarik perhatian para pengunjung di cafe tersebut. Denver memutar ulang video itu dengan rahang mengeras. Tangannya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Pesan yang menyertai video itu terngiang di benaknya: [Carissa ini memalukan! Dia selingkuh, dan gosip tentang perceraian kalian sudah menyebar. Kenapa Mama harus tahu dari media? Mama mau bicara sama kamu. Tunggu Mama di Posko.] Dokter tampan itu mengembuskan napas panjang dan matanya memejam sejenak sebelum menutup ponsel. Rasa lelah bercampur emosi membuat pikiran Denver bergejolak, tetapi saat ini fokusnya tertuju pada Dewi dan anak mereka. Terpaksa pria itu memajukan jadwal pemeriksaan kandungan Dewi. Beruntunglah gadis itu setuju dan tanpa banyak bertanya
Pagi ini, Dewi terbangun dengan kepala yang terasa berat, seolah-olah ada beban tak kasat mata menghimpit pelipisnya. Napasnya pendek, dan dia mencoba bergerak dari ranjang. Namun, tubuhnya terasa lemah, seolah semua tenaga terkuras habis. “Bu Astuti?” panggilnya dengan suara serak, yang hampir tenggelam dalam kesunyian kamar rumah sakit. Tatapan manik hitam tertuju ke pintu kamar yang setengah terbuka, berharap ada langkah kaki yang mendekat. Namun, yang terdengar hanya suara angin dari luar jendela. Rasa mual menyerang dengan tiba-tiba. Dewi berusaha bangkit dari tempat tidur, meskipun langkahnya tertatih. Tangan kurusnya meraba dinding dan berusaha mencari pegangan, tetapi pandangannya mulai kabur. Semua terasa berputar, dan tubuhnya terasa ringan seperti ingin jatuh. Saat itulah pintu terbuka dengan cepat. Aroma hangat sup ikan yang memenuhi udara membuat Dewi sedikit lega, meskipun tubuhnya masih gemetar. “Ya ampun, Dewi!” seru Bu Astuti panik, lalu bergegas membantu Dewi to
Carissa mematung di tempat, mata bulatnya membelalak saat seseorang pria berdiri di ambang pintu. Pasalnya langkah pria itu memasuki ruangan dengan menggendong seorang anak kecil. Bocah itu mengenakan pakaian rapi, rambutnya diikat dua, dan kedua matanya yang besar menatap ke sekeliling dengan bingung. “Mama!” seru bocah itu, tangannya terulur ke arah Carissa. Suasana ruang sidang menjadi sunyi senyap. Bahkan suara detak jam di dinding terasa begitu jelas. Carissa makin membeku, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Denver melangkah mendekati pria itu dengan tatapan dingin dan tegas. “Biar aku yang gendong dia, Ruslan,” ujar Denver yang diangguki asistennya. Ruslan menyerahkan bocah kecil itu dengan hati-hati. Tatapannya sempat bertemu mata Denver, mengisyaratkan bahwa mereka sudah melakukan segalanya untuk sampai pada momen ini. Bahkan Ruslan sempat baku hantam bersama Chico demi menghadirkan bocah itu di ruangan ini. Perlahan Denver meraih anak kecil itu dengan hati-hat
“Tumben mendadak datang ke sini, Wi?” Intonasi Maharani terdengar tercekat, senyumnya kaku. “Ini masih pagi.”Dewi tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap lekat wajah Maharani, mengamati setiap perubahan ekspresinya. Napas Maharani tampak tersendat, jemarinya mencengkeram gelas susu sangat erat hingga sedikit bergetar. Terlalu jelas dia menyembunyikan sesuatu.“Rani … tujuanku datang ke sini ingin tahu apa hubunganmu dengan Dokter Dania. Aku tidak percaya kalian berteman,” ujar Dewi dengan nada tajam, mata sipitnya menyipit penuh selidik.Tangan Maharani makin gemetar. Gelas yang dipegangnya hampir tergelincir. Wajah yang semula tenang kini memucat.Dewi tidak bisa mengabaikan perasaan tidak nyaman sejak kemarin. Kedekatan tak wajar antara Maharani dan Dania terus mengusik pikirannya. Pagi ini, tanpa banyak berpikir, dia memutuskan mengunjungi rumah kontrakan.Denver yang kebetulan ada kegiatan pagi ini bersedia mengantarnya. Mereka berangkat lebih awal dari biasanya.“Ada apa, Ran
“Hari ini Pratiwi bisa bantu kamu belajar.” Denver menandatangani berkas di layar tabletnya, jemarinya cekatan bergerak tanpa sedikit pun mengalihkan perhatian.“Beneran?” Mata Dewi berbinar. “Memangnya dokterku enggak repot kalau ditinggal Suster Tiwi?” tanyanya sambil menyuapi Dirga dengan lembut, memastikan anaknya mengunyah dengan benar.Meskipun ada pengasuh, Dewi tetap ingin menikmati setiap momen berharga bersama putranya. Bahkan selama seminggu ini, saat dia menjalani masa magang di JB, Dirga selalu mengekor ke mana pun dia pergi, enggan jauh dari sang ibu.“Iya, Sayang. Hari ini aku libur praktik, cuma ada jadwal operasi jam tiga sore.” Denver akhirnya melirik, senyum tipis terbit di sudut bibirnya saat melihat wajah Dewi yang sumringah.Dewi memang sedang menempuh gelar profesinya sebagai perawat praktisi, dan Denver memberid dukungan penuh. Bahkan, dia rela melepas perawat kepercayaan untuk membim
“Bagaimana hasil pemeriksaanku? Umm … kapan program bayi tabungnya?” Maharani menyandarkan punggung pada dinding kamar sempitnya. Dia masih menempelkan telepon genggam di telinga, mendengar suara Dania yang terdengar ceria di seberang sana."Oke. Hasil pemeriksaanmu sangat bagus, Maharani. Dokter bilang badanmu dalam kondisi prima. Dengan obat yang sudah diberikan, sel telurmu berada dalam kualitas terbaik," tutur Dania yang suaranya penuh kepuasan.Maharani tersenyum getir. "Itu … kabar baik. Aku ingin semua berjalan lancar. Aku juga mau minta tolong Dokter Dania untuk daftar operasi plastik di rumah sakit JB … setelah melahirkan."Dania terdiam sejenak, lalu tertawa tanpa suara dan geleng-geleng. "Gampang. Aku bisa mengurus semuanya untukmu. Kamu hanya perlu menunggu kehamilan itu saja."Maharani menarik napas panjang dan berbisik, "Boleh aku minta sesuatu?”“Katakan saja!”“Umm … tolong siapkan tempat tingg
"Papa lihat ada pisang goleng gosong manis!" seru Dirga, saat melihat Denver baru saja pulang dari rumah sakit. Bocah kecil itu berlari mendekati papanya, sambil membawa pisang di kedua tangannya."Aaa ... Papa, ini enak. Onty Lani yang bawa." Dirga tersenyum lebar, lalu satu tangannya menunjuk ke samping."Papa mau coba, satu saja." Denver membuka mulutnya dan dia lumayan menikmati pisang 'gosong' kesukaan putranya.Dewi pun terkikik geli melihat tingkah dua lelaki itu, tetapi tidak dengan Maharani yang saat ini duduk di ruang keluarga rumah Dewi.Maharani memandangi sekeliling dengan perasaan campur aduk. Tangannya menggenggam kotak kecil berisi sale pisang buatannya sendiri, buah tangan darinya untuk sang sahabat.Aroma kayu manis dari diffuser ruangan bercampur dengan bau kopi yang disajikan pelayan rumah. Nyaman, hangat, dan jauh dari kesulitan yang beberapa hari ini membuat kepala Maharani dilanda pusing.Dewi kel
"Hari ini aku ke kampus. Ada kelas," kata Darius dengan suara datarnya. Pagi ini, Darius merapikan jasnya di depan cermin. Dia melirik Dania yang masih berbaring di tempat tidur dengan wajah ketus. Sejak tadi, wanita itu tidak mengucapkan sepatah kata pun. Semalam, Darius berhasil menggagalkan rencana liciknya. Tabung kecil berisi benihnya sudah dia amankan sebelum Dania sempat membawanya pergi. “Aku berangkat dulu,” ucap Darius lembut, dan mengecup puncak kepala sang istri. Dania tetap diam. Tangan wanita itu sibuk mengetuk-ngetuk layar ponsel, tetapi sorot matanya menunjukkan kekecewaan mendalam. Saat Darius hendak melangkah keluar, Dania bersuara pelan, tetapi penuh sindiran. “Kamu pikir bisa lolos terus?” Wanita itu menatap tajam pada Darius. "Aku akan menggunakan cara lain, apa kamu lupa aku ini lulusan kedokteran?" Darius berhenti sejenak, menoleh dengan ekspresi
Pagi-pagi sekali, Dania sudah tiba di Rumah Sakit JB. Dia melirik ke kanan dan kiri, lalu melangkah masuk ke dalam area klinik poli estetika.Wanita itu mengendap-endap layaknya penyusup, senyum tipis terpatri di wajahnya. Setelah berhasil mendapatkan sedikit informasi dari para perawat kemarin, hari ini dia berniat menggali lebih dalam.“Aku yakin Maharani itu kompeten,” gumamnya, dengan mata waspada, khawatir Darius mengikutinya.Dari balik meja resepsionis, seorang wanita berkulit sawo matang menyambut dengan senyum ramah. “Selamat siang, Dokter Dania, ada yang bisa saya bantu?”Dania menyeringai dan mengangguk kecil, lalu berdeham. “Aku mau bicara sama salah satu perawat di sini.”Wanita itu meneliti Dania sesaat, lantas mengangguk. “Sebentar, saya panggilkan.”Tidak butuh waktu lama, seorang wanita berkacamata dengan seragam perawat rapi datang menghampiri. “Ada yang bisa saya bantu, Dokter Dania?”Dania tersenyum r
Dania memandang kertas kecil di tangannya. Sebuah rincian medis atas nama seseorang."Maharani Putri, rincian biaya bedah plastik," ucapnya. Mata wanita itu menyipit, meneliti nama itu dengan saksama. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya, seakan-akan dia pernah mendengar dan bahkan mengenal orang ini.Awalnya, dia hendak meremas kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah. Namun, telinganya menangkap bisikan dua orang perawat yang baru saja keluar dari poli estetika, tengah berbincang di dekatnya."Kasihan, ya? Maharani apes banget.""Benar. Begitulah orang kaya, kalau tidak butuh, ya, ditendang.""Padahal dia bisa saja minta tolong sama Pak Rudi. Dia 'kan pernah jadi ibu pengganti."Langkah Dania seketika terhenti. Jari-jarinya yang tadi hendak membuang kertas itu kini mengurungkan niatnya dam menjauh dari tempat sampa. Mata wanita itu kembali tertuju pada tulisan pada kertas medis di tangannya. Maharani Putri. Ibu pengganti?Tiba-tiba sja senyuman miring terukir di bibirnya. Kerta
Dewi menatap wajah kecil dalam dekapannya. Tubuh mungil itu terasa menghangatkan hati, tetapi pikirannya merambat begitu dingin. Kata-kata Dania tadi masih menusuk-nusuk benaknya, berputar tanpa henti seakan menjadi mantra kutukan. "Mama, aku mau bobo dipeluk Mama, ya?" Dirga menggumam pelan, matanya yang indah mulai meredup dalam kantuk. Dewi tersentak dari lamunannya. Dia menelan ludah, berusaha mengembalikan fokus ke putranya. Bibir merah muda wanita itu melengkung samar, meskipun hatinya masih penuh gundah. "Iya, Sayang. Mama bakal peluk Dirga semalaman." "Janji. Mama nggak hilang, ya?" Bocah itu menatap sang mama dengan mata ngantuknya. "Janji, Bos Kecil." Dirga tersenyum kecil mendengar ucapan mamanya, lalu menyusup lebih dalam ke pelukan Dewi. Napas anak itu mulai teratur, tangannya masih menggenggam baju ibunya erat. Seakan takut jika melepaskan, Dewi akan kembali hilang. Denver melirik ke kaca spion, melihat istrinya yang masih menunduk, membelai rambut putranya de
Hening menyelimuti ruangan ketika Denver menekan tombol merah di ponsel. Wajah tampan Dokter itu masih serius, tatapannya dalam, tetapi terdapat sedikit kelegaan yang tersirat. Dia berbalik menatap Dewi yang masih terduduk di sofa dengan wajah cemas. Bahkan paras ayunya berubah jadi pucat karena tragedi ini. "Ayo, kita jemput Dirga," kata Denver, sambil berjalan mendekati Dewi. Dewi menatap sang suami dengan mata yang masih basah. Dia mengangguk lemah. Ketika dia hendak berkata untuk menjawab, Denver telah berjongkok di hadapannya. Pria itu menghapus sisa air mata di pipi istrinya dengan jemarinya yang hangat. "Jangan menangis lagi," ujar Denver lembut dan penuh ketenangan.. "Nanti Dirga bisa sedih melihatmu seperti ini." Dewi menunduk, menarik napas dalam, lalu berdiri. Dia menggenggam tangan Denver dengan erat, seakan dia takut terjatuh, karena satu-satunya yang bisa membuatnya tetap berdiri tegak adalah sang suami. Tanpa membuang waktu, mereka bergegas menuju mobil