kasih selamat kah karena jadi duda?
Carissa berdiri di tengah ruangan sempit dengan wajah merah padam. Setelah dari gedung pengadilan dia langsung menuju apartemen. Kini tangan wanita itu menggenggam erat ponsel yang layarnya sudah retak. Komentar-komentar penuh hinaan dari media sosial terpampang jelas di depannya, seolah menertawakan keterpurukannya. “Dasar artis murahan!” “Pantas saja ditinggal suami!” Carissa melempar ponsel lagi ke sofa tua, napasnya pun memburu. Dia memutar tubuh ke arah anak kecil yang duduk di sudut ruangan, memeluk boneka usang dengan wajah ketakutan. “Kamu kenapa diam saja?! Jangan lihat aku dengan tatapan itu!” bentak Carissa, suaranya penuh dengan amarah. Bocah kecil itu hanya menunduk, tangannya semakin erat memeluk bonekanya. “Kamu ini cuma bikin hidupku tambah susah!” raung Carissa sambil menendang kursi kecil di dekatnya. Kursi itu terjatuh dengan bunyi keras, membuat anak itu makin mengecilkan tubuhnya. Beberapa saat kemudian, pintu kamar terbuka, dan Chico muncul denga
Dewi terkesiap, tubuhnya sedikit merapat ke dinding. Bayangan wanita elegan yang baru saja dia lihat di lobi rumah sakit masih jelas terpatri di pikirannya. Namun, saat dia memberanikan diri untuk mengintip lagi, sosok itu menghilang. “Bu Dwyne …,” gumamnya dengan suara nyaris tak terdengar dan napas tercekat. Ketika Dewi sedang dirundung kegundahan, punggungnya mendadak ditepuk dari belakang. Dia tersentak, langsung berbalik dengan sorot mata penuh kewaspadaan. “Kenapa berdiri di sini?” tanya orang itu yang menatap dengan alis mengernyit. “Anda baik-baik saja?” Dewi menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Saya kira … ya, saya baik-baik saja. Kenapa Dokter Darius ada di sini?” Netra hitamnya masih memindai penuh kewaspadaan ke sekitar. “Boleh saya bantu antar ke kamar?” tawar Darius ramah. Dewi ragu sejenak, lalu mengangguk karena bagaimanapun Dwyne bisa muncul kapan saja. “Terima kasih, Dokter.” Senyum hangat terukir pada wajah kurus Dewi. “Jangan sungkan meminta
“Oh … sekarang Mama tahu, Ibu hamil yang kamu tolong waktu itu siapa,” sarkas Dwyne dengan senyum mengembang, tetapi terasa membuat bulu kuduk Dewi merinding.Melihat mamanya makin mendekat masuk, Denver berdiri tepat di depan Dewi. Menghalangi jarak pandang wanita itu. Dia yakin mamanya tidak akan tinggal diam saja.“Berhenti, Ma!” titah Denver begitu tegas. Bahkan saat ini rahangnya mengeras dan tangannya mengepal hingga urat-urat di punggung tangan tampak jelas.“Mama mau tanya bagaimana kabarnya Dewi, apa salah?” Tatapan Dwyne beralih pada Denver. “Bagaimanapun katanya dia hamil keturunan kita, bukan?”“Aku mohon Mama jangan sakiti Dewi!” tegas Denver lagi.Alih-alih merasakan takut dan menciut, justru Dewi menggenggam pergelangan tangan Denver membuat pria itu menoleh.“Aku tidak apa-apa, Dokter,” lirih Dewi dengan kerlingan kelopak mata yang seolah meyakinkan.Denver pun menggeser badan.Kini tampaklah Dewi dan Dwyne saling berhadapan. Dua wanita berbeda usia yang memiliki posis
Hari-hari yang dijalani Dewi seiring bertambahnya usia kandungan sangatlah berat. Sekarang, dia sama sekali kesulitan berjalan karena kakinya membengkak, termasuk wajah yang sebelumnya tirus. Dia pun menatap pantulan diri yang menyedihkan ini pada cermin.“Bertahanlah, Sayang,” gumamnya memandangi perut buncit.“Dewi, kenapa lama? Ada tamu!” teriak Astuti membuat Dewi buru-buru mencuci muka untuk menyamarkan garis sendu pada wajah.“Ya, Bu. Sebentar,” sahutnya.Sayang, rasa mual menyerangnya lagi hingga dia muntah. Padahal Denver sudah memberikan obat penunjang kesehatan untuk mengurangi dampak komplikasi, tetapi seolah tidak berpengaruh padanya.“Wi, kamu muntah lagi?” tanya Astuti.Dewi tidak menjawab karena desakan dari dalam lambung cukup hebat. Hingga Astuti menerobos masuk dan melihat dia sedang kepayahan. Ya, dia memang tidak pernah mengunci pintu.“Dewi bisa, Bu,” lirihnya sambil menyeka noda muntahan yang menempel pada dagu.“Jangan ngeyel, kamu, Wi! Ayo, Ibu bantu,” kata Ast
Semua orang dalam ruangan tercengang mendengar pernyataan itu. Namun, Dwyne maju dan menatap tajam kepada orang itu. “Kamu bukan dokter di rumah sakit ini, Darius!” hardiknya.“Tante, ini kondisi darurat!” sergah Darius yang kemudian melangkah maju dan melihat Dewi terbaring tidak berdaya. “Sebagai dewan komite, aku harap Tante Dwyne memberiku izin,” sambungnya.Darius menatap Dewi yang terbaring lemah di brankar. “Aku tidak bisa membiarkan dia seperti ini,” ucapnya tegas dan sorot matanya menunjukkan rasa bersalah.Dwyne mengepalkan tangan dan membuang tatapan ke arah lain, tetapi rintih kesakitan Dewi serta isak tangis Astuti membuat wanita itu mendengkus, lalu mengangguk pelan.“Sebagai dokter tamu. Bantu dia sampai Denver selesai operasi pasien lain!” tegas Dwyne.Seketika Darius memeriksa catatan hasil pemeriksaan tanda vital Dewi. Dokter itu pun mengambil keputusan membawa Dewi ke ruang operasi.“Tolong, Dokter. Selamatkan Dewi dan anaknya!” pinta Astuti sambil terus menggenggam
Mata karamel Denver bergetar menatap roda-roda brankar bergerak cepat keluar dari ruang operasi. Tubuh pria itu melemas bagai kehilangan rangkanya setelah melakukan penyelamatan kepada Dewi, yang mengalami pendarahan.“Dewi …,” lirih Denver, kini bersandar pada pintu kaca.Akan tetapi, tangis bayi menyadarkan Denver untuk tetap tegar dan berdiri kokoh sebagai pria sekaligus ayah. Dia menoleh dan melihat tubuh kecil itu.“Dokter, bayi Anda akan kami bawa ke NICU,” ujar seorang tim neonatalogis.Denver mengangguk, lantas meraih bayinya dan menggendongnya ke luar dari ruang operasi. Namun, di depan pintu dia menggeram ketika sang mama melontarkan sebuah pertanyaan menyakitkan, “Bayinya baik-baik saja, ‘kan? Kamu harus cepat tes DNA!”“Cukup, Ma!” desis Denver tertahan seolah enggan mengusik tidur bayi kecilnya.“Apa lagi? Kita harus tahu dia anakmu atau bukan!” desak Dwyne yang mendapat tatapan tajam dari Denver.Tatapan Dwyne sedikit goyah, tetapi dia segera mengangkat dagu. “Aku hanya
Saat ini Denver duduk termenung di bangku logam. Sepuluh jemari tangannya saling menyatu erat dan menempel pada kening. Sesekali, pria itu juga menatap pintu ruang bank darah.Ketika seseorang ke luar dengan lengan terpasang plester, detik itu Denver mendapat jawaban bahwa darah yang didonorkan oleh sang pendonor cocok dengan Dewi.“Terima kasih, Darius,” ucap Denver sambil melengkungkan senyum tipis.“Dia juga pasienku,” jawab Darius sambil menatap tajam, lalu bertanya, “Boleh aku menjenguknya?”Denver menatap pria itu beberapa saat. Meskipun sosok di hadapannya telah berjasa, tetap saja berat hati Denver mengizinkan. Dia menggeleng dan berkata, “Dilarang masuk selain petugas ICU dan dokter yang bertanggung jawab.”“Aku hanya ingin memastikan Dewi baik-baik saja, Denver,” ujar Darius, matanya menatap lurus seolah mencari celah dalam keteguhan Denver. Namun, tatapan Denver yang dingin tetap tidak memberi ruang.“Baiklah, aku mengerti. Sampaikan salamku padanya, katakan dia wanita heba
“Ada apa Mama datang ke sini?” Suara Denver sangat dingin dan datar, tetapi kedua tangannya mendekap erat sang mama dengan punggung berguncang.Pertanyaan itu tidak mendapat tanggapan apa pun dari mamanya, tetapi Denver sabar menunggu hingga Dwyne tenang. Dia membawa mamanya ke ruang praktik yang berjarak satu lantai dari ruang ICU.“Mama sakit?” tanya Denver memecah keheningan.Bukannya menjawab, Dwyne menggeleng dan punggungnya makin berguncang, lantas mengeluarkan gawai dari dalam tas. Hal ini membuat Denver mengernyit tidak mengerti. Dia kembali diam.“Denver … hasil tes DNA … positif, dia … anak kamu, cucu Mama,” lirih Dwyne, lantas menunjukkan laporan yang tadi pagi diterimanya melalui surat elektronik.Denver menatap layar gawai yang menunjukkan hasil tes DNA. Matanya memanas, tapi bukan karena kebahagiaan. Rasa bersalah dan amarah kepada mamanya mengalir deras di dadanya.‘Ini bukti yang Mama cari, tapi kenapa harus ada harga setinggi ini untuk kebenaran?’ gumamnya dengan suar
“Jadi siapa dia?” gumam Denver memandangi potret seorang pria yang dicurigainya itu.Pria dalam foto itu mengenakan jas mahal yang tampak pas untuk tubuhnya. Kerutan di wajahnya menggambarkan kelelahan, tetapi mata tajam, penuh perhatian, seperti sedang mengamati sesuatu dengan intens. Denver merasa tidak nyaman, seolah pria itu menyimpan sesuatu yang tidak terucap. Rambutnya beruban sebagian, menambah kesan misterius.Meskipun anak buahnya telah berhasil mengambil gambar sosok misterius itu, tetap saja mereka menemui kebuntuan.Pandangan Denver beralih kepada Ruslan yang berdiri tidak jauh darinya. Dia menunjukkan hasil foto itu. “Apa ini orang suruhan Mama? Wajahnya benar-benar asing,” tukasnya.Alih-alih memberikan jawaban yang melegakan hati, justru Denver melihat Ruslan geleng-geleng dengan alis tertaut.“Saya pikir bukan, Pak. Selama ini Nyonya Dwyne tidak pernah mempekerjakan orang lanjut usia seperti itu,” papar Ruslan yang menyerahkan kembali selembar foto.“Bisa jadi Mama me
“Ada apa Mama datang ke sini?” Suara Denver sangat dingin dan datar, tetapi kedua tangannya mendekap erat sang mama dengan punggung berguncang.Pertanyaan itu tidak mendapat tanggapan apa pun dari mamanya, tetapi Denver sabar menunggu hingga Dwyne tenang. Dia membawa mamanya ke ruang praktik yang berjarak satu lantai dari ruang ICU.“Mama sakit?” tanya Denver memecah keheningan.Bukannya menjawab, Dwyne menggeleng dan punggungnya makin berguncang, lantas mengeluarkan gawai dari dalam tas. Hal ini membuat Denver mengernyit tidak mengerti. Dia kembali diam.“Denver … hasil tes DNA … positif, dia … anak kamu, cucu Mama,” lirih Dwyne, lantas menunjukkan laporan yang tadi pagi diterimanya melalui surat elektronik.Denver menatap layar gawai yang menunjukkan hasil tes DNA. Matanya memanas, tapi bukan karena kebahagiaan. Rasa bersalah dan amarah kepada mamanya mengalir deras di dadanya.‘Ini bukti yang Mama cari, tapi kenapa harus ada harga setinggi ini untuk kebenaran?’ gumamnya dengan suar
Saat ini Denver duduk termenung di bangku logam. Sepuluh jemari tangannya saling menyatu erat dan menempel pada kening. Sesekali, pria itu juga menatap pintu ruang bank darah.Ketika seseorang ke luar dengan lengan terpasang plester, detik itu Denver mendapat jawaban bahwa darah yang didonorkan oleh sang pendonor cocok dengan Dewi.“Terima kasih, Darius,” ucap Denver sambil melengkungkan senyum tipis.“Dia juga pasienku,” jawab Darius sambil menatap tajam, lalu bertanya, “Boleh aku menjenguknya?”Denver menatap pria itu beberapa saat. Meskipun sosok di hadapannya telah berjasa, tetap saja berat hati Denver mengizinkan. Dia menggeleng dan berkata, “Dilarang masuk selain petugas ICU dan dokter yang bertanggung jawab.”“Aku hanya ingin memastikan Dewi baik-baik saja, Denver,” ujar Darius, matanya menatap lurus seolah mencari celah dalam keteguhan Denver. Namun, tatapan Denver yang dingin tetap tidak memberi ruang.“Baiklah, aku mengerti. Sampaikan salamku padanya, katakan dia wanita heba
Mata karamel Denver bergetar menatap roda-roda brankar bergerak cepat keluar dari ruang operasi. Tubuh pria itu melemas bagai kehilangan rangkanya setelah melakukan penyelamatan kepada Dewi, yang mengalami pendarahan.“Dewi …,” lirih Denver, kini bersandar pada pintu kaca.Akan tetapi, tangis bayi menyadarkan Denver untuk tetap tegar dan berdiri kokoh sebagai pria sekaligus ayah. Dia menoleh dan melihat tubuh kecil itu.“Dokter, bayi Anda akan kami bawa ke NICU,” ujar seorang tim neonatalogis.Denver mengangguk, lantas meraih bayinya dan menggendongnya ke luar dari ruang operasi. Namun, di depan pintu dia menggeram ketika sang mama melontarkan sebuah pertanyaan menyakitkan, “Bayinya baik-baik saja, ‘kan? Kamu harus cepat tes DNA!”“Cukup, Ma!” desis Denver tertahan seolah enggan mengusik tidur bayi kecilnya.“Apa lagi? Kita harus tahu dia anakmu atau bukan!” desak Dwyne yang mendapat tatapan tajam dari Denver.Tatapan Dwyne sedikit goyah, tetapi dia segera mengangkat dagu. “Aku hanya
Semua orang dalam ruangan tercengang mendengar pernyataan itu. Namun, Dwyne maju dan menatap tajam kepada orang itu. “Kamu bukan dokter di rumah sakit ini, Darius!” hardiknya.“Tante, ini kondisi darurat!” sergah Darius yang kemudian melangkah maju dan melihat Dewi terbaring tidak berdaya. “Sebagai dewan komite, aku harap Tante Dwyne memberiku izin,” sambungnya.Darius menatap Dewi yang terbaring lemah di brankar. “Aku tidak bisa membiarkan dia seperti ini,” ucapnya tegas dan sorot matanya menunjukkan rasa bersalah.Dwyne mengepalkan tangan dan membuang tatapan ke arah lain, tetapi rintih kesakitan Dewi serta isak tangis Astuti membuat wanita itu mendengkus, lalu mengangguk pelan.“Sebagai dokter tamu. Bantu dia sampai Denver selesai operasi pasien lain!” tegas Dwyne.Seketika Darius memeriksa catatan hasil pemeriksaan tanda vital Dewi. Dokter itu pun mengambil keputusan membawa Dewi ke ruang operasi.“Tolong, Dokter. Selamatkan Dewi dan anaknya!” pinta Astuti sambil terus menggenggam
Hari-hari yang dijalani Dewi seiring bertambahnya usia kandungan sangatlah berat. Sekarang, dia sama sekali kesulitan berjalan karena kakinya membengkak, termasuk wajah yang sebelumnya tirus. Dia pun menatap pantulan diri yang menyedihkan ini pada cermin.“Bertahanlah, Sayang,” gumamnya memandangi perut buncit.“Dewi, kenapa lama? Ada tamu!” teriak Astuti membuat Dewi buru-buru mencuci muka untuk menyamarkan garis sendu pada wajah.“Ya, Bu. Sebentar,” sahutnya.Sayang, rasa mual menyerangnya lagi hingga dia muntah. Padahal Denver sudah memberikan obat penunjang kesehatan untuk mengurangi dampak komplikasi, tetapi seolah tidak berpengaruh padanya.“Wi, kamu muntah lagi?” tanya Astuti.Dewi tidak menjawab karena desakan dari dalam lambung cukup hebat. Hingga Astuti menerobos masuk dan melihat dia sedang kepayahan. Ya, dia memang tidak pernah mengunci pintu.“Dewi bisa, Bu,” lirihnya sambil menyeka noda muntahan yang menempel pada dagu.“Jangan ngeyel, kamu, Wi! Ayo, Ibu bantu,” kata Ast
“Oh … sekarang Mama tahu, Ibu hamil yang kamu tolong waktu itu siapa,” sarkas Dwyne dengan senyum mengembang, tetapi terasa membuat bulu kuduk Dewi merinding.Melihat mamanya makin mendekat masuk, Denver berdiri tepat di depan Dewi. Menghalangi jarak pandang wanita itu. Dia yakin mamanya tidak akan tinggal diam saja.“Berhenti, Ma!” titah Denver begitu tegas. Bahkan saat ini rahangnya mengeras dan tangannya mengepal hingga urat-urat di punggung tangan tampak jelas.“Mama mau tanya bagaimana kabarnya Dewi, apa salah?” Tatapan Dwyne beralih pada Denver. “Bagaimanapun katanya dia hamil keturunan kita, bukan?”“Aku mohon Mama jangan sakiti Dewi!” tegas Denver lagi.Alih-alih merasakan takut dan menciut, justru Dewi menggenggam pergelangan tangan Denver membuat pria itu menoleh.“Aku tidak apa-apa, Dokter,” lirih Dewi dengan kerlingan kelopak mata yang seolah meyakinkan.Denver pun menggeser badan.Kini tampaklah Dewi dan Dwyne saling berhadapan. Dua wanita berbeda usia yang memiliki posis
Dewi terkesiap, tubuhnya sedikit merapat ke dinding. Bayangan wanita elegan yang baru saja dia lihat di lobi rumah sakit masih jelas terpatri di pikirannya. Namun, saat dia memberanikan diri untuk mengintip lagi, sosok itu menghilang. “Bu Dwyne …,” gumamnya dengan suara nyaris tak terdengar dan napas tercekat. Ketika Dewi sedang dirundung kegundahan, punggungnya mendadak ditepuk dari belakang. Dia tersentak, langsung berbalik dengan sorot mata penuh kewaspadaan. “Kenapa berdiri di sini?” tanya orang itu yang menatap dengan alis mengernyit. “Anda baik-baik saja?” Dewi menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Saya kira … ya, saya baik-baik saja. Kenapa Dokter Darius ada di sini?” Netra hitamnya masih memindai penuh kewaspadaan ke sekitar. “Boleh saya bantu antar ke kamar?” tawar Darius ramah. Dewi ragu sejenak, lalu mengangguk karena bagaimanapun Dwyne bisa muncul kapan saja. “Terima kasih, Dokter.” Senyum hangat terukir pada wajah kurus Dewi. “Jangan sungkan meminta
Carissa berdiri di tengah ruangan sempit dengan wajah merah padam. Setelah dari gedung pengadilan dia langsung menuju apartemen. Kini tangan wanita itu menggenggam erat ponsel yang layarnya sudah retak. Komentar-komentar penuh hinaan dari media sosial terpampang jelas di depannya, seolah menertawakan keterpurukannya. “Dasar artis murahan!” “Pantas saja ditinggal suami!” Carissa melempar ponsel lagi ke sofa tua, napasnya pun memburu. Dia memutar tubuh ke arah anak kecil yang duduk di sudut ruangan, memeluk boneka usang dengan wajah ketakutan. “Kamu kenapa diam saja?! Jangan lihat aku dengan tatapan itu!” bentak Carissa, suaranya penuh dengan amarah. Bocah kecil itu hanya menunduk, tangannya semakin erat memeluk bonekanya. “Kamu ini cuma bikin hidupku tambah susah!” raung Carissa sambil menendang kursi kecil di dekatnya. Kursi itu terjatuh dengan bunyi keras, membuat anak itu makin mengecilkan tubuhnya. Beberapa saat kemudian, pintu kamar terbuka, dan Chico muncul denga