Home / Urban / TAKHTA BAYANGAN / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of TAKHTA BAYANGAN: Chapter 31 - Chapter 40

44 Chapters

Bab 31: Jejak Penghianatan

Lorong-lorong fasilitas terasa makin sempit, seakan dinding-dindingnya menutup rapat, menghimpit setiap langkah mereka. Napas Dante memburu. Bukan karena kelelahan, tetapi karena tatapan Clara yang menusuk seperti belati. Tangannya yang menggenggam senjata bergetar, penuh keraguan. "Cepat putuskan, Clara," suara Lorenzo pecah, penuh ketegangan. Matanya tajam, mengawasi setiap gerakan kecil wanita itu. “Apakah kau akan menghianati kami? Atau akhirnya memilih berdiri di pihak yang benar?” Clara tidak menjawab. Tatapannya terarah pada Dante, wajahnya penuh pergolakan. --- "Clara," suara Dante tenang, namun berat oleh emosi. “Aku tahu kau tidak ingin ini terjadi. Aku tahu kau terpaksa memilih jalan ini. Tapi kita semua di sini—aku, Elena, Lorenzo—kita adalah keluargamu juga.” Kata-katanya menggantung di udara, menabrak tembok dingin keheningan. Clara menarik napas panjang, seakan mencoba menyingkirkan kebingungan di dadanya. “Aku tidak punya pilihan,” gumamnya, hampir tidak terdeng
last updateLast Updated : 2024-12-12
Read more

Bab 32: Kebangkitan dari Bayang-Bayang

Langit malam dipenuhi bintang yang tampak memudar seiring udara dingin menyelimuti pegunungan terpencil itu. Dante bersandar pada batu besar, tubuhnya terasa kosong tanpa kehadiran chipset yang selama ini memberinya keunggulan dalam segala hal. Meski fisiknya lelah, matanya masih menyala dengan tekad. Elena duduk di dekatnya, membalut luka di lengannya. "Kau tidak harus melakukannya sendiri, Dante," katanya, nada suaranya tegas namun penuh kelembutan. "Aku tahu," jawab Dante, suaranya hampir seperti bisikan. "Tapi aku tidak akan meminta orang lain mengorbankan sesuatu yang begitu penting. Ini adalah tanggung jawabku." Clara, yang selama ini tampak enggan mendekat, akhirnya mengambil langkah maju. Ia berlutut di samping Dante, wajahnya penuh rasa bersalah dan kekhawatiran. "Aku tidak mengerti bagaimana kau bisa begitu yakin... mengorbankan segalanya demi orang lain." Dante menatapnya dengan pandangan tenang. "Kadang, kita harus kehilangan sesuatu untuk menyelamatkan hal yang lebih
last updateLast Updated : 2024-12-12
Read more

Bab 33: Jejak Pengkhianatan lanjutan

Matahari mulai naik, menyinari sisa pertempuran malam sebelumnya. Dante berdiri di atas tebing kecil, memandangi lembah di bawahnya. Udara pagi yang dingin seolah berusaha menenangkan pikirannya yang terus bergolak. Namun, bayangan pengkhianatan Lorenzo masih menghantui. Clara berdiri di belakangnya, ragu-ragu sebelum akhirnya memecah keheningan. "Kau terlihat seperti menanggung beban dunia, Dante." Dante menoleh, senyum samar di wajahnya. "Mungkin memang begitu rasanya. Aku kehilangan terlalu banyak, Clara. Tapi aku tak bisa berhenti sekarang." "Dia mengkhianatimu. Lorenzo mengkhianati kita semua," Clara berkata, nada suaranya tajam namun penuh emosi. "Bagaimana kau bisa begitu tenang?" Dante menunduk, membiarkan angin membawa sebagian dari rasa berat di dadanya. "Ketenangan itu bukan pilihan. Jika aku menyerah pada kemarahan, aku akan kehilangan diriku." Clara menghela napas. "Kau terlalu baik untuk dunia ini, Dante. Tapi kebaikanmu akan menjadi kelemahan jika kau tidak hati-h
last updateLast Updated : 2024-12-12
Read more

Bab 34: Bayangan Pengkhianatan

Udara malam terasa dingin menusuk, seolah memperingatkan Dante bahwa badai lebih besar tengah mendekat. Di ruang pertemuan markas, Dante duduk di ujung meja panjang, dikelilingi oleh tim yang kini wajahnya penuh keraguan. Cahaya dari lampu di atas kepala mereka berpendar samar, menciptakan bayangan gelap di dinding yang tampak seperti menghantui. Di tangannya, ia memegang catatan kecil yang ditemukan Elena—sebuah ancaman halus namun jelas, bahwa musuh mereka selangkah lebih maju. Suara bisik-bisik mengisi ruangan, membuat kepala Dante berdenyut. “Cukup!” suara Dante menggema, membungkam kegaduhan. “Kita tidak akan ke mana-mana jika terus saling meragukan.” Namun, tatapan ragu-ragu dari Marco, salah satu anak buah terpercaya Lorenzo, menusuk Dante. “Bagaimana kami bisa tidak ragu, Dante? Lorenzo telah tiada, dan sekarang ini? Catatan ini hanya membuktikan ada seseorang di antara kita yang berkhianat.” Dante menarik napas dalam-dalam, menekan rasa frustrasinya. Ia tahu apa yang Mar
last updateLast Updated : 2024-12-13
Read more

Bab 35: Persimpangan Takdir

Langit masih kelabu ketika Dante berdiri di balkon markas, angin malam menyapu wajahnya. Tatapan matanya kosong, seolah terjebak dalam lautan pikirannya sendiri. Di bawah sana, timnya bekerja tanpa henti, mempersiapkan markas untuk segala kemungkinan. Tetapi, di dalam dirinya, ada perang yang jauh lebih besar sedang berlangsung. Suara pintu yang terbuka perlahan membuyarkan lamunannya. Elena muncul, membawa secangkir teh hangat yang mengepul. Ia mendekat tanpa suara, lalu menyerahkan cangkir itu ke tangan Dante. “Kau butuh ini,” katanya singkat. Dante hanya mengangguk, mengambil cangkir itu, tetapi tidak segera meminumnya. “Berapa lama lagi menurutmu sebelum Leonhardt bergerak?” Elena menatapnya lekat, mencoba membaca ekspresi di wajahnya. “Bisa hitungan jam, atau hari. Tidak ada yang pasti, terutama setelah Andre tertangkap. Mereka pasti tahu kita sudah mempersiapkan diri.” Dante mendesah panjang, lalu mengalihkan pandangannya ke kota di kejauhan. Lampu-lampu yang berkelip di m
last updateLast Updated : 2024-12-14
Read more

Bab 36: Bayangan di Balik Tirai

Ruang utama markas Leonhardt terasa dingin dan hening, meski dindingnya terlapis ornamen mahal yang memancarkan kemewahan. Lampu gantung kristal di langit-langit berkilauan, tetapi sinarnya tak mampu mengusir kegelapan yang seakan menyelimuti setiap sudut ruangan. Dante berdiri tegap, tetapi di dalam dirinya, badai berkecamuk. Di hadapannya, Leonhardt masih duduk santai di kursi megahnya. Mata pria itu menatap tajam, penuh keyakinan, seolah tahu bahwa setiap langkah Dante telah diperhitungkan sebelumnya. “Kau benar-benar mengejutkanku, Dante,” kata Leonhardt sambil menyilangkan kaki. “Aku kira kau akan menyerah di tengah jalan, tapi ternyata kau lebih keras kepala dari yang kubayangkan.” Dante mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, mencoba menahan gejolak emosinya. “Aku tidak datang untuk mendengar omongan kosongmu, Leonhardt. Aku datang untuk mengakhiri semua ini.” Leonhardt tersenyum tipis, seperti seorang guru yang sedang mengamati muridnya yang ceroboh. “Mengakhiri? Kau
last updateLast Updated : 2024-12-14
Read more

Bab 37: Bayang Pengkhianat

Lorong gelap itu terasa seperti menyempit di sekitar Dante, setiap langkahnya membisikkan ancaman baru. Bau mesiu yang menggantung di udara bercampur dengan aroma besi dari darah yang telah lama mengering di lantai. Namun, pikiran Dante bukan tentang bau itu, melainkan tentang kata-kata Leonhardt. "Aku tahu semua tentang kalian." Kata-kata itu terus terngiang di telinganya, menekan dada Dante seperti beban tak terlihat. Saat langkah kakinya membawa dia lebih dalam ke labirin markas, Dante menggenggam senjatanya erat-erat, meskipun ia tahu bahwa peluru bukan satu-satunya alat yang akan ia perlukan untuk bertahan. “Elena, Marco, tetap di belakangku,” ucap Dante tanpa menoleh. Suaranya tenang, tapi penuh otoritas. Marco merespons dengan nada cemas, “Dante, kita tidak bisa terus seperti ini. Kita perlu strategi yang lebih baik. Leonhardt jelas sudah mempermainkan kita.” “Strategi itu tidak akan berguna jika kita tidak keluar dari sini hidup-hidup,” balas Dante cepat, mengamati setia
last updateLast Updated : 2024-12-15
Read more

Bab 38: Perang Pikiran

Suara jerat listrik masih terngiang di telinga Dante. Tubuhnya terbaring lemah di lantai dingin, napasnya tersengal-sengal. Rasa panas yang menjalar ke seluruh tubuh membuat setiap ototnya menjerit dalam kesakitan, seolah memaksanya menyerah pada takdir kelam yang dihadapi. Di atasnya, Leonhardt berdiri dengan percaya diri. Tatapannya tajam, seolah menatap mangsa yang tak berdaya. Bibirnya menyunggingkan senyum yang dipenuhi ejekan. “Kau benar-benar keras kepala, Dante,” Leonhardt membuka percakapan, suaranya dingin. “Aku sudah memberimu banyak kesempatan untuk mundur. Tapi lihatlah dirimu sekarang. Hancur, lemah, tak berdaya.” Dante menggeram dalam hati. Ia ingin menjawab, tetapi jerat listrik itu terlalu kuat, membuatnya sulit bergerak, apalagi berbicara. Leonhardt berjalan mengelilinginya dengan santai, seperti seorang raja yang baru saja memenangkan perang. “Kau pikir kau bisa mengalahkan aku? Kau pikir semua omong kosong tentang harapan dan keadilan bisa menghancurkan k
last updateLast Updated : 2024-12-15
Read more

Bab 39: Perang di Tengah Bayangan

Suara hujan yang jatuh di atas genting logam menciptakan ritme melankolis di kawasan industri yang terlantar. Dante berdiri di bawah naungan bayangan sebuah kontainer besar, matanya menyusuri gelapnya malam dengan penuh kehati-hatian. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, telapak tangan terasa dingin tetapi tetap kokoh, seperti kegigihan yang telah melekat dalam dirinya. “Zayba,” panggil Dante, suaranya pelan namun tegas. “Analisa situasi.” Suara Zayba terdengar di telinganya, tenang seperti biasa. “Ada lima penjaga di gerbang utama. Mereka dilengkapi persenjataan berat, dan satu truk suplai sudah tiba. Jika mereka berhasil membawa truk itu pergi, misi kita akan gagal.” Dante menutup matanya sejenak, menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri dari tekanan yang terus menggelayuti pikirannya. Ini bukan hanya soal memenangkan pertempuran, tetapi soal membuktikan bahwa ia mampu menghadapi setiap tantangan, apapun risikonya. Di kejauhan, Marco dan Elena menunggu di posisi masing-m
last updateLast Updated : 2024-12-16
Read more

Bab 40: Bayangan Masa Lalu

Hujan telah reda, meninggalkan jejak embun di dedaunan dan aspal basah yang memantulkan kelamnya malam. Di sudut kota yang tersembunyi, sebuah gudang tua berdiri bisu, menyembunyikan berbagai rahasia yang terlalu gelap untuk disentuh cahaya. Dante berdiri di tengah ruangan yang remang, memandangi papan tulis penuh catatan, peta, dan potret-potret yang telah ia susun selama beberapa bulan terakhir. Wajah-wajah itu tampak familiar. Musuh yang telah ia lawan, teman yang telah ia kehilangan, dan orang-orang yang telah ia kecewakan. Jemarinya bergerak lambat menyentuh foto Marco, Elena, dan dirinya sendiri, yang terpajang di sudut papan itu. “Kapan ini akan berakhir?” gumamnya, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. Zayba, asisten virtualnya, menjawab dengan nada datar namun penuh perhatian. “Hanya ketika kau memutuskan untuk berhenti, Dante. Tetapi kau tahu, jalan ini sudah terlalu jauh untuk dihentikan sekarang.” Dante mendengus, setengah menyalahkan, setengah setuju. “
last updateLast Updated : 2024-12-16
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status