Beranda / Urban / TAKHTA BAYANGAN / Bab 36: Bayangan di Balik Tirai

Share

Bab 36: Bayangan di Balik Tirai

Penulis: Zayba Almira
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-14 16:05:34

Ruang utama markas Leonhardt terasa dingin dan hening, meski dindingnya terlapis ornamen mahal yang memancarkan kemewahan. Lampu gantung kristal di langit-langit berkilauan, tetapi sinarnya tak mampu mengusir kegelapan yang seakan menyelimuti setiap sudut ruangan. Dante berdiri tegap, tetapi di dalam dirinya, badai berkecamuk.

Di hadapannya, Leonhardt masih duduk santai di kursi megahnya. Mata pria itu menatap tajam, penuh keyakinan, seolah tahu bahwa setiap langkah Dante telah diperhitungkan sebelumnya.

“Kau benar-benar mengejutkanku, Dante,” kata Leonhardt sambil menyilangkan kaki. “Aku kira kau akan menyerah di tengah jalan, tapi ternyata kau lebih keras kepala dari yang kubayangkan.”

Dante mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, mencoba menahan gejolak emosinya. “Aku tidak datang untuk mendengar omongan kosongmu, Leonhardt. Aku datang untuk mengakhiri semua ini.”

Leonhardt tersenyum tipis, seperti seorang guru yang sedang mengamati muridnya yang ceroboh. “Mengakhiri? Kau
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 37: Bayang Pengkhianat

    Lorong gelap itu terasa seperti menyempit di sekitar Dante, setiap langkahnya membisikkan ancaman baru. Bau mesiu yang menggantung di udara bercampur dengan aroma besi dari darah yang telah lama mengering di lantai. Namun, pikiran Dante bukan tentang bau itu, melainkan tentang kata-kata Leonhardt. "Aku tahu semua tentang kalian." Kata-kata itu terus terngiang di telinganya, menekan dada Dante seperti beban tak terlihat. Saat langkah kakinya membawa dia lebih dalam ke labirin markas, Dante menggenggam senjatanya erat-erat, meskipun ia tahu bahwa peluru bukan satu-satunya alat yang akan ia perlukan untuk bertahan. “Elena, Marco, tetap di belakangku,” ucap Dante tanpa menoleh. Suaranya tenang, tapi penuh otoritas. Marco merespons dengan nada cemas, “Dante, kita tidak bisa terus seperti ini. Kita perlu strategi yang lebih baik. Leonhardt jelas sudah mempermainkan kita.” “Strategi itu tidak akan berguna jika kita tidak keluar dari sini hidup-hidup,” balas Dante cepat, mengamati setia

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-15
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 38: Perang Pikiran

    Suara jerat listrik masih terngiang di telinga Dante. Tubuhnya terbaring lemah di lantai dingin, napasnya tersengal-sengal. Rasa panas yang menjalar ke seluruh tubuh membuat setiap ototnya menjerit dalam kesakitan, seolah memaksanya menyerah pada takdir kelam yang dihadapi. Di atasnya, Leonhardt berdiri dengan percaya diri. Tatapannya tajam, seolah menatap mangsa yang tak berdaya. Bibirnya menyunggingkan senyum yang dipenuhi ejekan. “Kau benar-benar keras kepala, Dante,” Leonhardt membuka percakapan, suaranya dingin. “Aku sudah memberimu banyak kesempatan untuk mundur. Tapi lihatlah dirimu sekarang. Hancur, lemah, tak berdaya.” Dante menggeram dalam hati. Ia ingin menjawab, tetapi jerat listrik itu terlalu kuat, membuatnya sulit bergerak, apalagi berbicara. Leonhardt berjalan mengelilinginya dengan santai, seperti seorang raja yang baru saja memenangkan perang. “Kau pikir kau bisa mengalahkan aku? Kau pikir semua omong kosong tentang harapan dan keadilan bisa menghancurkan k

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-15
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 39: Perang di Tengah Bayangan

    Suara hujan yang jatuh di atas genting logam menciptakan ritme melankolis di kawasan industri yang terlantar. Dante berdiri di bawah naungan bayangan sebuah kontainer besar, matanya menyusuri gelapnya malam dengan penuh kehati-hatian. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, telapak tangan terasa dingin tetapi tetap kokoh, seperti kegigihan yang telah melekat dalam dirinya. “Zayba,” panggil Dante, suaranya pelan namun tegas. “Analisa situasi.” Suara Zayba terdengar di telinganya, tenang seperti biasa. “Ada lima penjaga di gerbang utama. Mereka dilengkapi persenjataan berat, dan satu truk suplai sudah tiba. Jika mereka berhasil membawa truk itu pergi, misi kita akan gagal.” Dante menutup matanya sejenak, menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri dari tekanan yang terus menggelayuti pikirannya. Ini bukan hanya soal memenangkan pertempuran, tetapi soal membuktikan bahwa ia mampu menghadapi setiap tantangan, apapun risikonya. Di kejauhan, Marco dan Elena menunggu di posisi masing-m

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-16
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 40: Bayangan Masa Lalu

    Hujan telah reda, meninggalkan jejak embun di dedaunan dan aspal basah yang memantulkan kelamnya malam. Di sudut kota yang tersembunyi, sebuah gudang tua berdiri bisu, menyembunyikan berbagai rahasia yang terlalu gelap untuk disentuh cahaya. Dante berdiri di tengah ruangan yang remang, memandangi papan tulis penuh catatan, peta, dan potret-potret yang telah ia susun selama beberapa bulan terakhir. Wajah-wajah itu tampak familiar. Musuh yang telah ia lawan, teman yang telah ia kehilangan, dan orang-orang yang telah ia kecewakan. Jemarinya bergerak lambat menyentuh foto Marco, Elena, dan dirinya sendiri, yang terpajang di sudut papan itu. “Kapan ini akan berakhir?” gumamnya, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. Zayba, asisten virtualnya, menjawab dengan nada datar namun penuh perhatian. “Hanya ketika kau memutuskan untuk berhenti, Dante. Tetapi kau tahu, jalan ini sudah terlalu jauh untuk dihentikan sekarang.” Dante mendengus, setengah menyalahkan, setengah setuju. “

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-16
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 41: Kabut di Balik Bayangan

    Hujan masih menderas di luar gudang, menciptakan irama monoton yang hampir menenangkan. Namun, di dalam ruangan itu, ketenangan tidak pernah benar-benar hadir. Dante duduk di meja, wajahnya tertutup bayangan lampu redup. Di depannya, layar besar menampilkan serangkaian data yang terus bergerak, hasil pencarian Zayba tentang Phantom.“Dante, aku menemukan beberapa informasi penting,” suara Zayba memecah keheningan.Dante mengangkat kepala, menatap layar. “Apa yang kau temukan?”“Phantom adalah nama sandi dari individu bernama Ezra Viscari. Dia adalah mantan informan keluarga Lamonte sebelum terjadi insiden yang mengubah segalanya. Sekarang, dia memimpin jaringan kriminal bawah tanah yang lebih kompleks dari apa yang kita duga sebelumnya.”Dante menghela napas panjang, mencoba menenangkan gejolak emosinya. Ezra bukan hanya sekadar nama dari masa lalu. Dia adalah seseorang yang dulu ia percayai, seseorang yang ia anggap sebagai bagian dari keluarganya.“Kenapa sekarang?” Dante bergumam p

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-17
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 42: Langkah Dalam Kegelapan

    Pagi di gudang aman terasa lebih sunyi dari biasanya. Tidak ada hiruk-pikuk langkah kaki atau percakapan ringan yang biasa terdengar. Semua orang tenggelam dalam pikiran masing-masing. Dante berdiri di depan jendela kecil yang menghadap ke halaman belakang, tatapannya kosong seperti orang yang memikul dunia di pundaknya.“Dante,” suara Elena memecah keheningan.Dante berbalik, menemukan Elena berdiri di ambang pintu. Rambutnya diikat sederhana, tetapi ada kekuatan dalam cara ia menatapnya, seolah-olah mencoba menembus lapisan dinding emosional yang ia bangun.“Kita harus bicara,” kata Elena tegas.Dante mengangguk, meski dalam hatinya ia tahu pembicaraan ini tidak akan mudah.Elena menutup pintu di belakangnya, memastikan mereka memiliki privasi. Ia mendekat, duduk di kursi kayu yang sudah tua dan tampak hampir roboh.“Aku tahu kau mencoba melindungi kami,” kata Elena, suaranya rendah tapi tegas. “Tapi kau tidak bisa terus seperti ini, Dante. Kami membutuhkanmu sepenuhnya—tidak hanya

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-17
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 43: Perang Bayangan

    Lorong gedung tua itu dipenuhi dengan bayangan dan debu. Denting peluru yang melayang di udara menjadi latar suara yang menusuk hati. Dante merapatkan tubuhnya ke dinding beton, napasnya terengah, sementara pikirannya terus bekerja mencari jalan keluar. “Elena,” bisiknya, mencoba tetap tenang meski dadanya terasa sesak. “Kita tidak punya banyak waktu.” Elena, yang bersembunyi di sudut ruangan, mengangguk dengan wajah tegang. Tatapannya tak pernah lepas dari lorong gelap di depannya, di mana bayangan musuh terus berkeliaran. “Apa rencananya sekarang, Dante?” tanya Elena, suaranya rendah tapi penuh urgensi. Dante memejamkan mata sejenak, mencoba meredam amarah yang mendidih di dalam dirinya. “Kita harus menuju ruang kontrol dan mematikan sistem mereka. Itu satu-satunya cara untuk membalikkan keadaan.” Dengan isyarat tangan, Dante meminta Elena bergerak terlebih dahulu melalui pintu samping. Ia sendiri tetap di tempat, menciptakan pengalih perhatian dengan melemparkan granat asap k

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-18
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 44: Jalan Di Antara Reruntuhan

    Debu menggantung tebal di udara, membuat setiap napas terasa berat dan menyakitkan. Dante duduk bersandar di salah satu pilar yang masih berdiri, tangannya mencengkeram sisi perutnya yang terluka. Darah mengalir perlahan, menciptakan pola gelap pada kemejanya. Di sampingnya, Elena sibuk mencoba mengatur alat komunikasi darurat yang tampaknya rusak."Berhasil?" tanya Dante pelan, suaranya hampir tak terdengar di tengah deru napasnya.Elena menggigit bibirnya, frustrasi. "Tidak. Semua saluran mati. Entah mereka memutuskan jaringan atau alat ini memang tidak berguna."Dia melemparkan alat itu ke tanah dengan kemarahan yang tertahan, lalu menoleh ke arah Dante. Wajahnya mencerminkan kekhawatiran yang mendalam. "Kau... bagaimana lukamu?"Dante tersenyum kecil, meskipun rasa sakit menjalari seluruh tubuhnya. "Tidak separah yang kelihatannya. Aku hanya butuh waktu sebentar.""Tidak, Dante. Kita tidak punya waktu." Elena memeriksa lukanya dengan cermat, meskipun ia tahu mereka kekurangan perl

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-18

Bab terbaru

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 123

    Malam yang dingin terasa menusuk tulang. Langkah Dante yang berat menyusuri jalan setapak di tengah hutan hanya ditemani oleh suara angin yang menggerakkan dedaunan. Setelah percakapan yang penuh emosi antara dirinya, Ayra, dan Elena, hatinya terasa seperti medan perang. Keputusannya untuk tetap berdiri di tengah-tengah mereka telah menyisakan perih yang tak bisa ia hilangkan begitu saja.Dante berhenti di sebuah pohon tua yang menjulang tinggi. Ia bersandar di batangnya yang kasar, menatap langit malam yang dihiasi ribuan bintang. Sebuah napas berat meluncur dari bibirnya, seolah-olah ia mencoba melepaskan beban yang menghimpit dadanya.“Dante…” suara itu, lembut namun tegas, terdengar dari belakangnya.Dante menoleh. Elena berdiri di sana, membawa lentera kecil yang sinarnya berkilau redup. Wajahnya terlihat tenang, namun sorot matanya memancarkan kecemasan yang tak bisa ia sembunyikan.“Kau seharusnya istirahat, Elena,” kata Dante, mencoba

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 122

    Senja mulai mengintip di ujung cakrawala, mewarnai langit dengan semburat oranye yang lembut. Di tengah reruntuhan kota tua, Dante berdiri dengan tubuh tegap, matanya memandang ke arah Elena dan Ayra yang berada tak jauh darinya. Ada ketegangan yang begitu nyata di udara, namun sekaligus kehangatan yang tak bisa disangkal.Ayra memalingkan wajah, membiarkan angin memainkan rambut hitam legamnya. “Kita sudah sampai sejauh ini, tapi aku masih merasa ada yang kurang,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada orang lain.Dante menoleh, menatapnya dengan sorot mata yang hangat. “Apa yang kurang, Ayra?” tanyanya pelan, suaranya terdengar seperti bisikan yang meresap ke dalam kesunyian.“Elena tahu,” jawab Ayra, suaranya serak. Ia menoleh ke arah Elena yang berdiri beberapa langkah di sebelahnya, wajahnya diliputi keraguan. “Kau tahu, kan? Apa yang sebenarnya masih kita cari?”Elena terdiam, wajahnya yang biasanya dingin tampak goyah. Ia meng

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 121

    Cahaya pagi yang hangat menyusup melalui celah tirai jendela apartemen kecil yang kini mereka sebut rumah. Ayra membuka matanya perlahan, membiarkan sinar lembut itu menyentuh wajahnya. Suara burung berkicau di luar menjadi pengantar yang damai—sesuatu yang belum pernah ia rasakan dalam waktu yang lama.Ia menoleh, mendapati Dante masih terlelap di sebelahnya, napasnya tenang dan ritmis. Wajahnya terlihat begitu damai, jauh dari ekspresi serius dan tegang yang sering ia kenakan selama misi-misi mereka. Ada sesuatu yang menyentuh di sana, menyadari bahwa setelah semua yang mereka lewati, mereka akhirnya bisa menikmati momen sederhana seperti ini.Ayra perlahan bangkit dari tempat tidur, berusaha tidak membangunkan Dante. Ia melangkah ke dapur kecil mereka, menyalakan mesin kopi yang berderit pelan. Aroma kopi mulai memenuhi ruangan, membangkitkan rasa nyaman yang membuatnya tersenyum.Saat ia menuang kopi ke dalam cangkir, suara langkah berat terdengar

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 120

    Langit malam dipenuhi bintang-bintang yang berkilauan, namun Dante hanya bisa menatap kosong ke arah api unggun kecil yang mereka buat. Wajahnya diterangi cahaya oranye yang hangat, tetapi pikirannya jauh melayang, menelusuri semua yang telah terjadi. Di sekelilingnya, timnya mulai melepas ketegangan setelah misi yang sukses. Phoenix sedang tertawa kecil bersama Leandro, membahas bagaimana dia berhasil mengunggah data itu meskipun dalam situasi berbahaya. Elena duduk tidak jauh dari mereka, memeriksa senjatanya dengan ekspresi serius, tetapi sesekali tersenyum kecil mendengar lelucon Leandro. Ayra duduk sedikit terpisah dari mereka, memeluk lututnya sambil menatap ke arah langit. Ada sesuatu yang melintas di wajahnya—perasaan lega bercampur kelelahan, tetapi juga ketidakpastian yang mengganggu. Dante menggeser duduknya, mendekati Ayra. "Kau baik-baik saja?" tanyanya pelan. Ayra menoleh, tersenyum tipis. "Hanya me

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 119

    Suara derik lantai kayu menyambut langkah perlahan Dante saat ia berjalan melewati ruangan kecil tempat mereka berlindung. Udara malam di dalam rumah itu terasa lebih dingin dibandingkan luar. Dante memandang timnya yang sedang duduk melingkar di ruang tengah, wajah mereka dipenuhi kelelahan, tetapi mata mereka menyiratkan tekad yang tak goyah.Ayra sibuk mengamati peta kota yang tersebar di atas meja kecil. Sesekali, dia menuliskan sesuatu di buku catatannya, wajahnya dipenuhi konsentrasi. Phoenix sedang memeriksa perangkat enkripsi, memastikan semua data mereka tetap aman. Sementara Elena dan Leandro berbincang pelan di sudut ruangan, berdiskusi tentang potensi ancaman yang mungkin muncul saat mereka bergerak.“Sudah hampir selesai?” tanya Dante sambil berdiri di belakang Ayra.Ayra menoleh, senyumnya tipis. “Hampir. Aku sedang memastikan rute ini tidak terlalu mencolok. Kita tidak punya banyak opsi, tapi kalau kita bisa menghindari pos pemeriksaan,

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 118

    Suara angin pagi menyelinap melalui celah-celah gudang tua yang menjadi tempat persembunyian Dante dan timnya. Kabut yang melayang di luar menambah kesan misterius pada suasana di dalam, seakan mengingatkan mereka bahwa waktu terus berjalan dan ancaman semakin mendekat. Dante berdiri di tengah ruangan, tangannya terlipat di dada, matanya menatap peta digital di meja kayu yang sudah penuh coretan rencana. Sementara itu, Ayra dan Phoenix masih tenggelam dalam analisis data, mencoba mengurai simpul misteri yang menjadi inti dari misi mereka. “Phoenix, apakah semua data sudah terkumpul?” tanya Dante, suaranya terdengar tegas namun terkendali. Phoenix mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. “Ya. Aku sudah menyusun semua dokumen digital ini. Tinggal satu langkah lagi untuk mengirimnya ke media, tapi kita harus memutuskan jalur yang paling aman. Musuh pasti sudah mengawasi jaringan kita.” “Elena,” Dante me

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 117

    Dini hari menyelimuti kota dengan kabut tipis yang seolah menyembunyikan rahasia-rahasia kelam di balik setiap sudutnya. Sebuah van abu-abu meluncur pelan di jalan yang sepi, membawa Dante dan timnya menjauh dari apartemen yang kini bukan lagi tempat yang aman. Di dalam van, suasana penuh ketegangan. Mata mereka terus berjaga, dan percakapan berlangsung dengan bisikan-bisikan tegang. “Bagaimana situasi di depan?” tanya Dante yang duduk di kursi penumpang depan, memegang peta digital di tangannya. Leandro, yang mengemudikan van, melirik ke kaca spion. “Sejauh ini aman. Tapi kita tidak bisa terlalu lama di jalan ini. Kamera pengawas bisa saja melacak plat mobil kita.” Ayra, yang duduk di kursi tengah, mengetik cepat di laptopnya. Wajahnya diterangi cahaya redup layar. “Aku sedang mencoba menonaktifkan sistem pengawasan di area ini. Tapi ini tidak akan bertahan lama. Kita harus segera menemukan tempat aman untuk menyusun langkah selanj

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 116

    Malam menjelang dengan keheningan yang terasa berat, seakan alam pun ikut bersiap menghadapi badai yang akan datang. Di apartemen kecil yang kini menjadi markas mereka, tim Dante bekerja tanpa henti. Peta, dokumen, dan laptop berserakan di meja. Mereka sudah terlalu jauh untuk mundur.Ayra duduk di sudut ruangan, matanya memandang layar laptop yang menampilkan kode-kode enkripsi. Wajahnya terlihat serius, tapi jari-jarinya bergerak dengan cekatan di atas keyboard. Phoenix telah mengirimkan data penting yang harus mereka deskripsikan, data yang menjadi kunci untuk mengungkap skandal besar yang telah mereka kejar selama ini.“Dante,” panggil Ayra, suaranya rendah namun penuh urgensi. “Aku berhasil mengakses salah satu file mereka. Ini... ini jauh lebih besar dari yang kita kira.”Dante yang sedang memeriksa peta di meja langsung mendekat, menyandarkan tangannya di kursi Ayra dan membaca layar di depannya. Matanya menyipit, ekspresinya berubah dari terke

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 115

    Dingin pagi menyelimuti pusat kota yang mulai lengang setelah peristiwa semalam. Kabut tipis menyelimuti jalan-jalan, menyembunyikan sisa jejak kerumunan yang penuh semangat, kini berubah menjadi kota yang terasa asing dan kosong. Dante berdiri di tepi balkon apartemen yang mereka gunakan sebagai tempat berlindung sementara, matanya memandang jauh ke cakrawala.Angin dingin menyapu wajahnya, tetapi tidak mampu meredam kobaran tekad yang terus menyala di dalam dirinya. Di baliknya, Ayra keluar perlahan, mengenakan sweater tebal. Langkahnya nyaris tak terdengar saat ia mendekat, membawa secangkir teh hangat."Kau belum tidur sejak semalam," ujar Ayra, menyerahkan cangkir itu kepada Dante. Suaranya lembut, tetapi ada nada khawatir yang tidak bisa disembunyikan.Dante menerima cangkir itu tanpa menoleh. "Aku tidak bisa tidur. Banyak hal yang harus kupikirkan."Ayra menyandarkan dirinya di pagar balkon, menatap Dante dengan mata yang penuh perhati

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status