Langit malam menggelap, menelan sisa cahaya bulan yang tertutup awan tebal. Dante, Elena, dan Ayra berjalan perlahan di jalan berbatu di tengah reruntuhan kota yang sunyi. Napas mereka berat, seakan menanggung beban tak kasat mata. Ayra berjalan di depan, matanya tajam memindai setiap sudut jalan. Elena menopang Dante yang lemah akibat luka di perutnya, darah masih merembes dari balutan seadanya. "Seberapa jauh lagi?" tanya Elena, suaranya lirih namun penuh kecemasan. Ayra menoleh sedikit, matanya tetap awas. "Tidak jauh. Ada tempat persembunyian di bawah tanah. Kita bisa beristirahat di sana." Dante menarik napas panjang, berusaha menahan rasa sakit. "Apakah tempat itu aman?" Ayra tidak langsung menjawab, lalu berkata singkat, "Cukup aman untuk sementara." Jawaban itu menimbulkan keraguan di wajah Elena, tetapi sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, suara langkah berat terdengar dari belakang mereka. Langkah kaki yang berat dan teratur semakin mendekat, memecah keheningan mal
Di sudut ruangan gelap yang diterangi lampu kecil, keheningan terasa begitu tegang. Ayra sedang memeriksa pintu baja, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka, sementara Elena sibuk membersihkan luka Dante. Tangannya gemetar saat kain lap menyentuh luka terbuka di sisi perut Dante. “Maafkan aku,” bisik Elena pelan. Dante menggeleng pelan, mencoba menyembunyikan rasa sakit di balik senyumnya. “Ini bukan salahmu. Jangan terlalu menyalahkan diri.” Elena tidak menjawab. Wajahnya tetap tegang, matanya berkaca-kaca. Tangannya terhenti, dan dia menatap Dante. “Kau harus berhenti memaksakan diri. Aku tahu kau ingin melindungi kami, tapi kalau kau terus seperti ini... aku takut kau tidak akan bertahan.” Dante menghela napas panjang. “Aku harus bertahan, Elena. Jika aku menyerah, siapa yang akan menghadapi Ezra? Siapa yang akan memastikan kau tetap hidup?” Elena menatapnya dengan tatapan tajam. “Aku bisa menjaga diriku sendiri, Dante. Aku bukan gadis lemah yang perlu kau lindungi setiap
Ezra berdiri dengan senyum dingin, seperti raja di tengah medan perang. Dia menatap Dante dan Elena dengan tatapan tajam, seolah menilai seberapa lama mereka bisa bertahan. “Sudah lama sekali, Dante. Kupikir kau sudah mati di lubang tikus tempatmu bersembunyi,” katanya, suaranya tajam namun penuh ironi. Dante mencoba menyembunyikan rasa sakit yang menyiksa tubuhnya. Dia memutuskan untuk tidak menunjukkan kelemahan di hadapan Ezra, bahkan jika itu menghabiskan kekuatan terakhirnya. “Elena, berdiri di belakangku,” bisik Dante dengan suara rendah. Elena menatapnya dengan khawatir. “Kau tidak bisa melawannya dalam kondisi ini. Kita harus mencari jalan lain.” “Tidak ada jalan lain,” jawab Dante. “Jika aku tidak menghadapinya sekarang, dia akan memburu kita tanpa henti. Ini harus diakhiri.” Ezra mengangkat pistolnya perlahan, menatap Dante dengan ekspresi santai. “Kau ingin bertarung, Dante? Dalam kondisimu sekarang? Kau hampir tidak bisa berdiri.” Dante tidak menjawab. Dia
Dini hari, cahaya matahari belum menembus kabut tebal yang menyelimuti kota. Dante duduk di sudut ruangan, memegang bahunya yang masih terluka. Luka itu lebih dari sekadar fisik; setiap denyut sakit mengingatkannya pada kegagalan—kegagalannya melindungi orang-orang yang dia cintai. Elena mendekat perlahan, membawa semangkuk air hangat dan kain bersih. Tanpa berkata apa-apa, dia mulai membersihkan luka di bahu Dante. Sentuhannya lembut, tetapi Dante tetap meringis. “Kau harus lebih hati-hati,” gumam Elena, suaranya pelan namun penuh emosi. Dante menghela napas panjang, tidak tahu harus menjawab apa. Dia tahu Elena benar, tetapi keadaan tidak memberinya pilihan. “Aku tidak bisa berhenti sekarang,” akhirnya dia berkata, nadanya tegas. “Jika aku berhenti, Ezra akan terus memburu kita, menghancurkan apa pun yang ada di jalannya.” “Tapi kau tidak bisa terus seperti ini, Dante,” balas Elena, air mata mulai menggenang di matanya. “Kau melawan dunia sendirian. Sampai kapan tubuhmu bisa m
Malam itu begitu sunyi, tetapi bagi Dante, ketenangan hanyalah ilusi. Langit hitam pekat tanpa bintang menjadi saksi bisu kebimbangannya. Di dalam markas yang kini terasa lebih dingin daripada biasanya, dia duduk di ruangan kecil dengan dokumen tua yang diberikan Elena tergeletak di atas meja. Cahaya lampu kuning temaram memperlihatkan sorot matanya yang tajam, tetapi ada kegelisahan yang sulit disembunyikan. Di hadapannya, layar holografis dari chip di tubuhnya memproyeksikan data yang terus bergerak. “Elena mungkin benar,” gumamnya, memandangi data yang menunjukkan batas kemampuan chip tersebut. Ada garis merah yang menandai potensi bahaya. Sebuah ketukan pelan di pintu mengalihkan perhatiannya. Ayra masuk tanpa menunggu jawaban, membawa sebuah peta besar yang sudah penuh dengan coretan. “Kau harus melihat ini,” katanya langsung, suaranya tegas tetapi wajahnya terlihat lelah. Dante menatap peta itu dengan tatapan kosong. Ia tahu apa yang akan Ayra katakan, tetapi pikirannya
Hujan turun deras malam itu, membawa aroma tanah basah yang menyelubungi markas. Di ruang bawah tanah, suara langkah kaki menggema, menggambarkan suasana hati Dante yang berat. Dia menatap layar holografis yang memproyeksikan laporan terakhir dari misi mereka, mencoba memahami apa yang telah terjadi. Namun, tidak peduli seberapa keras dia mencoba, rasa bersalah atas Marco masih menghantui pikirannya. Ada sesuatu yang salah, bukan hanya tentang misi yang gagal separuh itu, tetapi juga dengan orang-orang di sekitarnya. “Dante,” suara Ayra memecah keheningan. Ia berdiri di ambang pintu dengan wajah penuh perhatian. “Semua orang menunggumu di ruang pertemuan. Kita perlu membahas langkah berikutnya.” Dante hanya mengangguk pelan tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. Namun, Ayra tidak bergerak dari tempatnya. “Dante,” katanya lagi, kali ini lebih tegas. “Kau tidak bisa terus menyalahkan dirimu. Marco tahu risikonya.” “Aku tahu,” balas Dante dengan suara serak. “Tapi mengetahui
Hujan deras malam sebelumnya menyisakan aroma tanah basah yang menyelimuti seluruh markas. Kabut tipis melingkari jendela kaca di ruangan Dante, menciptakan suasana yang berat seakan selaras dengan pikirannya. Ia berdiri dengan tangan bersedekap, menatap peta digital yang bercahaya di depannya. Di peta itu, titik merah menunjukkan lokasi-lokasi terakhir yang dikontrol oleh Ezra, musuh bebuyutan mereka.Namun, bukan hanya peta yang menjadi fokusnya. Di sudut layar, data yang ditampilkan oleh chip dalam tubuhnya terus berdenyut, memberikan informasi tak henti-hentinya. Analisis gerakan pasukan Ezra, prediksi cuaca, hingga deteksi kecil perubahan di sekitar markas semuanya terus-menerus menghampiri pikirannya. Tetapi semua itu terasa tidak cukup. Luka pengkhianatan Lucas masih terasa segar, dan kegagalan malam itu membuat beban di pundaknya semakin berat.“Aku tidak bisa gagal lagi,” gumam Dante, hampir tak terdengar.Ketukan pintu membuyarkan lamunan Dante. Tanpa menoleh, ia berkata, “M
Hujan kembali turun di malam yang dingin itu, menciptakan irama lembut di atas atap markas. Dante duduk sendirian di ruangannya, dikelilingi bayang-bayang gelap yang hanya diterangi oleh lampu meja kecil di sudut ruangan. Tangannya menggenggam erat sebuah cangkir kopi yang sudah mendingin. Mata gelapnya menatap kosong ke arah peta digital yang terpampang di dinding. Pikirannya terus berputar, mencoba memahami langkah Ezra berikutnya. Gudang senjata telah hancur, dan kini mereka hampir tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk melawan. Namun bukan itu yang benar-benar mengganggunya—melainkan kehadiran Lucas di pertempuran terakhir. Lucas. Nama itu seperti duri yang menusuk dalam-dalam ke dadanya.Ayra meletakkan dokumen yang dibawanya ke atas meja Dante. Ia menatapnya dengan cermat, memperhatikan garis-garis keras di wajah pemimpin mereka.“Kami mendapatkan sesuatu,” ucap Ayra dengan nada rendah. “Informasi dari jaringan lama. Bukan kabar baik.”Dante menghela napas panjang,
Malam itu, langit dihiasi ribuan bintang yang berkelap-kelip, seakan menjadi saksi dari perjalanan panjang yang telah mereka lalui. Dante berdiri di tepi tebing, menatap ke kejauhan. Angin dingin menyapu wajahnya, membawa aroma tanah basah setelah hujan. Di belakangnya, Elena dan Ayra berdiri dengan ekspresi berbeda—Ayra dengan tatapan lembut, sementara Elena menatap Dante dengan ragu. "Apa yang kita cari selama ini akhirnya ada di depan mata," ucap Ayra, suaranya nyaris seperti bisikan. Dia melirik Elena sebelum kembali menatap Dante. "Semua ini hanya tentang pilihan." Dante menarik napas panjang, dadanya terasa berat. Pilihan. Satu kata sederhana yang membawa beban tak terhingga. Semua kenangan, perjuangan, dan kehilangan selama perjalanan ini berputar di pikirannya. "Ini bukan hanya soal pilihan," jawab Dante akhirnya Dante berbalik, wajahnya diselimuti kerut keseriusan. Mata Elena dan Ayra saling bertemu, seperti ada yang mereka coba ungkapkan, namun belum sepenuhnya bis
Mentari pagi memancarkan sinar hangatnya, menyusup di antara tirai jendela rumah Dante dan Ayra. Udara terasa segar, membawa harapan baru. Di meja makan, Ayra sudah sibuk menata sarapan. Aroma kopi bercampur dengan harum roti panggang memenuhi ruangan.Dante muncul dari lorong, mengenakan kaus santai dan celana pendek. Ia menghampiri Ayra, melingkarkan tangannya di pinggangnya dengan lembut. "Pagi, cantik," bisiknya dengan suara berat yang masih terasa hangat dari tidur.Ayra tersenyum, mengaduk teh di cangkirnya. "Pagi juga. Tidurmu nyenyak?""Nyenyak. Tapi aku lebih suka begini, bangun pagi dan melihatmu." Dante mencium pipi Ayra sekilas sebelum duduk di kursi meja makan.Ayra menggeleng, tawa kecilnya melayang di udara. "Kau tahu cara membuat hari seseorang jadi lebih cerah, ya?"Dante hanya tersenyum lebar, lalu mulai menyantap sarapannya. "Apa rencanamu hari ini?"Ayra duduk di depannya, menyesap teh hangat. "Aku ingin
Langit malam menghamparkan taburan bintang yang membisikkan ketenangan. Dante berdiri di beranda rumahnya, memandang jauh ke cakrawala. Pikirannya melayang pada pertemuan terakhir antara Ayra dan Elena. Sebuah akhir yang damai, tetapi baginya, itu juga menjadi awal baru."Masih belum bisa tidur?" Ayra muncul dari balik pintu, membawakan secangkir teh hangat. Ia mengenakan sweater rajut yang longgar, rambutnya dibiarkan tergerai.Dante tersenyum kecil, menerima cangkir itu. "Aku hanya berpikir... tentang semua yang telah terjadi."Ayra berdiri di sampingnya, ikut memandang langit malam. "Kadang sulit dipercaya, bukan? Bahwa kita masih di sini, bersama, setelah semua yang kita lalui."Dante menatap Ayra, matanya mengandung kehangatan. "Aku selalu percaya kita bisa melewati semuanya, Ayra. Karena aku tahu... kau adalah rumahku."Ayra tertegun mendengar kata-kata itu. Ia menatap Dante, merasa hatinya dipenuhi dengan kebahagiaan yang hang
Angin pagi meniupkan kesejukan yang lembut saat Dante memarkir mobilnya di depan rumah Ayra. Langit masih pucat, pertanda matahari baru saja bangkit dari tidurnya. Dante keluar, membuka pintu untuk Ayra, yang tampak sedikit lelah tetapi tetap bersemangat. "Aku masih merasa seperti mimpi," Ayra berkata sambil melangkah keluar. Matanya menatap Dante dengan sorot bingung dan kagum. "Mimpi seperti apa?" Dante bertanya, menutup pintu mobil di belakangnya. "Bahwa aku bisa merasa begini... merasa cukup hanya dengan satu orang." Suaranya terdengar pelan, hampir seperti gumaman, tetapi Dante mendengarnya jelas. Dante mendekat, menyentuh lengan Ayra dengan lembut. "Aku ingin kau tahu, aku juga merasa begitu. Dan aku akan memastikan kau selalu merasa cukup denganku." Ayra tersenyum kecil. "Aku percaya padamu." Langkah mereka menuju teras terasa seperti simbol dari awal yang baru. Tidak ada lagi beba
Angin malam menyentuh wajah Dante saat ia berdiri di balkon kecil apartemennya. Tangannya menggenggam secangkir kopi hangat, tetapi pikirannya jauh dari kehangatan yang seharusnya dirasakannya. Cahaya lampu kota berkelap-kelip di bawah sana, membentuk pemandangan yang sepi meskipun penuh warna.Di belakangnya, suara langkah pelan mengisi keheningan. Ayra berdiri di ambang pintu balkon, mengenakan sweater oversize yang menggantung hingga lututnya. Matanya memancarkan keraguan, seakan langkah kecil itu memerlukan keberanian besar."Dante," suaranya hampir tenggelam dalam angin, tetapi Dante mendengarnya. Ia berbalik, pandangannya bertemu dengan mata cokelat Ayra yang dipenuhi pergolakan."Ada apa?" tanyanya lembut, menurunkan cangkir kopi ke meja kecil di sebelahnya.Ayra terdiam sesaat, menatap ke lantai sebelum mengangkat pandangannya kembali. "Aku... aku ingin kita bicara. Tentang semuanya."Dante menatapnya dengan penuh perhatian.
Langit mendung menggantung, menyelimuti kota dengan suasana muram. Hujan yang turun sejak dini hari menciptakan genangan di sepanjang jalan, seperti memantulkan perasaan Dante yang masih diliputi kebimbangan.Dante duduk di ruang kerjanya, matanya menatap kosong layar komputer yang menyala di depannya. Deretan angka dan data yang biasa memberinya rasa aman kini hanya terlihat seperti simbol-simbol tak berarti. Suara hujan yang menghantam kaca jendela menjadi satu-satunya hal yang mengisi kesunyian ruangan.“Dante,” suara Ayra memecah lamunannya.Dia berdiri di ambang pintu, mengenakan sweater abu-abu yang kebesaran, rambutnya tergerai alami. Ada kekhawatiran dalam matanya yang cokelat pekat, seolah dia bisa melihat pergulatan yang bergejolak di dalam hati Dante.“Aku sudah memanggilmu tiga kali,” katanya, melangkah masuk.“Maaf.” Dante mengalihkan pandangan, menggosok pelipisnya dengan frustrasi. “Aku hanya—ada banyak hal di pikirank
Langit mendung menggantung rendah, seolah meramalkan badai besar yang akan datang. Lembah di depan mereka memancarkan kesunyian yang mencekam, hanya diselingi suara angin yang berdesir melewati pepohonan. Dante berdiri di tepi jurang kecil, menatap pemandangan di depannya dengan mata tajam. Jauh di kejauhan, bangunan besar yang menjadi markas musuh tampak seperti bayangan kelabu di tengah kabut.Elena mendekat perlahan, membawa sebotol air untuk Dante. Ia tahu Dante sudah terlalu lama memandang ke arah itu tanpa beristirahat. “Kau harus menjaga energimu, Dante,” katanya lembut sambil menyerahkan botol itu.Dante menerimanya, tetapi ia tidak langsung meminumnya. “Markas itu… tampak lebih terjaga dari yang kuduga,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.Elena memandang bangunan itu dengan mata yang tidak kalah serius. “Kita tahu ini tidak akan mudah. Tapi kita sudah sejauh ini. Tidak ada jalan kembali.”Dari kejauhan, Ayra duduk di atas sebata
Udara pagi terasa dingin menusuk kulit, menggigilkan tubuh Ayra yang masih lemah akibat perjalanan semalam. Ia berusaha menahan diri agar tidak terlihat terlalu lemah di depan Dante dan Elena. Kedua orang itu kini tampak lebih tegas dalam gerakan mereka, seolah mereka sudah menetapkan tujuan yang jelas. Dante memimpin langkah, mengamati setiap sudut dengan saksama. Pepohonan lebat yang melingkupi mereka memberikan perlindungan sementara, tetapi tidak menghilangkan bahaya yang terus membayangi. “Berapa lama lagi kita akan sampai di tempat persembunyian itu?” Ayra bertanya dengan suara pelan, mencoba menyembunyikan kecemasan di balik kata-katanya. Dante menoleh sekilas, matanya tajam namun tetap teduh. “Tidak jauh lagi. Jika kita tetap bergerak tanpa berhenti, kita bisa sampai sebelum matahari terbenam.” Ayra mengangguk, meski tubuhnya sudah mulai kehilangan tenaga. Ia tidak ingin menjadi b
Matahari perlahan merangkak naik, menyemburatkan cahaya lembut ke langit kelabu. Udara pagi terasa dingin menusuk kulit, tetapi Dante tidak bergeming dari posisinya di puncak batu besar yang menghadap lembah. Tangannya menggenggam gagang belati kecil yang selalu ia bawa, seolah benda itu adalah jangkar terakhir dari kewarasan di tengah badai pikirannya. Di belakangnya, Ayra duduk dengan tangan terlipat di dada, punggungnya bersandar pada pohon besar. Ia tak berbicara sepatah kata pun sejak pertengkaran malam sebelumnya. Sinar matahari menyoroti wajahnya yang terlihat lelah tetapi tetap anggun, dengan mata yang memandang kosong ke depan. Sementara itu, Elena berdiri tak jauh dari keduanya, mengamati Dante dengan tatapan penuh tanya. Ia tahu, sejak pertemuan mereka pertama kali, ada luka yang selalu Dante sembunyikan di balik sikap tegasnya. Namun, luka itu kini tampak lebih jelas dari sebelumnya, seperti retakan kecil di kaca yang perlahan melebar.