Malam itu begitu sunyi, tetapi bagi Dante, ketenangan hanyalah ilusi. Langit hitam pekat tanpa bintang menjadi saksi bisu kebimbangannya. Di dalam markas yang kini terasa lebih dingin daripada biasanya, dia duduk di ruangan kecil dengan dokumen tua yang diberikan Elena tergeletak di atas meja. Cahaya lampu kuning temaram memperlihatkan sorot matanya yang tajam, tetapi ada kegelisahan yang sulit disembunyikan. Di hadapannya, layar holografis dari chip di tubuhnya memproyeksikan data yang terus bergerak. “Elena mungkin benar,” gumamnya, memandangi data yang menunjukkan batas kemampuan chip tersebut. Ada garis merah yang menandai potensi bahaya. Sebuah ketukan pelan di pintu mengalihkan perhatiannya. Ayra masuk tanpa menunggu jawaban, membawa sebuah peta besar yang sudah penuh dengan coretan. “Kau harus melihat ini,” katanya langsung, suaranya tegas tetapi wajahnya terlihat lelah. Dante menatap peta itu dengan tatapan kosong. Ia tahu apa yang akan Ayra katakan, tetapi pikirannya
Hujan turun deras malam itu, membawa aroma tanah basah yang menyelubungi markas. Di ruang bawah tanah, suara langkah kaki menggema, menggambarkan suasana hati Dante yang berat. Dia menatap layar holografis yang memproyeksikan laporan terakhir dari misi mereka, mencoba memahami apa yang telah terjadi. Namun, tidak peduli seberapa keras dia mencoba, rasa bersalah atas Marco masih menghantui pikirannya. Ada sesuatu yang salah, bukan hanya tentang misi yang gagal separuh itu, tetapi juga dengan orang-orang di sekitarnya. “Dante,” suara Ayra memecah keheningan. Ia berdiri di ambang pintu dengan wajah penuh perhatian. “Semua orang menunggumu di ruang pertemuan. Kita perlu membahas langkah berikutnya.” Dante hanya mengangguk pelan tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. Namun, Ayra tidak bergerak dari tempatnya. “Dante,” katanya lagi, kali ini lebih tegas. “Kau tidak bisa terus menyalahkan dirimu. Marco tahu risikonya.” “Aku tahu,” balas Dante dengan suara serak. “Tapi mengetahui
Hujan deras malam sebelumnya menyisakan aroma tanah basah yang menyelimuti seluruh markas. Kabut tipis melingkari jendela kaca di ruangan Dante, menciptakan suasana yang berat seakan selaras dengan pikirannya. Ia berdiri dengan tangan bersedekap, menatap peta digital yang bercahaya di depannya. Di peta itu, titik merah menunjukkan lokasi-lokasi terakhir yang dikontrol oleh Ezra, musuh bebuyutan mereka.Namun, bukan hanya peta yang menjadi fokusnya. Di sudut layar, data yang ditampilkan oleh chip dalam tubuhnya terus berdenyut, memberikan informasi tak henti-hentinya. Analisis gerakan pasukan Ezra, prediksi cuaca, hingga deteksi kecil perubahan di sekitar markas semuanya terus-menerus menghampiri pikirannya. Tetapi semua itu terasa tidak cukup. Luka pengkhianatan Lucas masih terasa segar, dan kegagalan malam itu membuat beban di pundaknya semakin berat.“Aku tidak bisa gagal lagi,” gumam Dante, hampir tak terdengar.Ketukan pintu membuyarkan lamunan Dante. Tanpa menoleh, ia berkata, “M
Hujan kembali turun di malam yang dingin itu, menciptakan irama lembut di atas atap markas. Dante duduk sendirian di ruangannya, dikelilingi bayang-bayang gelap yang hanya diterangi oleh lampu meja kecil di sudut ruangan. Tangannya menggenggam erat sebuah cangkir kopi yang sudah mendingin. Mata gelapnya menatap kosong ke arah peta digital yang terpampang di dinding. Pikirannya terus berputar, mencoba memahami langkah Ezra berikutnya. Gudang senjata telah hancur, dan kini mereka hampir tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk melawan. Namun bukan itu yang benar-benar mengganggunya—melainkan kehadiran Lucas di pertempuran terakhir. Lucas. Nama itu seperti duri yang menusuk dalam-dalam ke dadanya.Ayra meletakkan dokumen yang dibawanya ke atas meja Dante. Ia menatapnya dengan cermat, memperhatikan garis-garis keras di wajah pemimpin mereka.“Kami mendapatkan sesuatu,” ucap Ayra dengan nada rendah. “Informasi dari jaringan lama. Bukan kabar baik.”Dante menghela napas panjang,
Cahaya temaram dari lentera minyak menggantung di tengah ruangan, memancarkan sinar kuning redup yang menari di dinding kayu yang lapuk. Suasana di dalam kabin tua itu terasa lebih berat daripada udara dingin di luar. Alaric berdiri di ambang pintu, tubuhnya tegap meskipun usianya terlihat jelas dari rambut putihnya. Tatapan matanya tajam, menusuk seperti pedang yang siap menyerang kapan saja. Dante mengangkat kedua tangannya perlahan, menunjukkan bahwa ia datang tanpa niat bermusuhan. Tapi senyum tipis di wajahnya tidak menunjukkan rasa takut. Sebaliknya, ada rasa percaya diri yang samar, seperti seorang pria yang tahu bahwa ia tidak mungkin kalah dalam permainan ini. “Kau di sini untuk apa?” Alaric bertanya, suaranya dalam dan bergetar seperti guntur yang jauh. Dante melangkah maju, melewati genangan air yang mengalir masuk melalui celah pintu. “Kita punya musuh yang sama, Alaric. Aku hanya butuh waktumu untuk mendengar.” Ruangan itu hening, hanya suara kayu berderak yang terde
Langit pagi itu mendung, seolah menyembunyikan sinar matahari di balik tirai kelabu. Hutan di sekitar kamp mereka terasa lebih sunyi dari biasanya, hanya suara angin yang sesekali menggoyangkan dedaunan yang terdengar. Di tengah kamp, Alaric berdiri di dekat meja kayu yang dipenuhi peta dan dokumen. Tangannya bergerak perlahan, menelusuri garis-garis peta, sambil sesekali melirik catatan yang ditulis dengan tulisan tangan yang rapi. Wajahnya terlihat serius, namun ada ketenangan yang luar biasa di balik tatapannya. Dante mendekat, membawa secangkir kopi hangat. “Kau tidak tidur semalaman?” tanyanya dengan nada khawatir. Alaric hanya menggeleng, matanya tetap terpaku pada peta di depannya. “Aku tidak punya waktu untuk tidur. Ezra tidak akan berhenti, dan setiap detik yang kita habiskan tanpa bergerak adalah keuntungan bagi dia.” Dante meletakkan cangkir kopi di atas meja, mencoba mencari celah untuk memahami pikiran Alaric. “Aku tahu ini sulit, tapi kau tidak bisa melakukanny
Lorong-lorong sempit di bawah tanah seperti melingkupi mereka dalam misteri. Ayra memimpin langkah dengan obor kecil, nyalanya bergetar di setiap langkah. Alaric berjalan di belakangnya dengan bahu yang berdarah, sedangkan Marcus mendukung tubuhnya agar tetap tegak. “Kita hampir sampai,” kata Ayra, mencoba menenangkan dirinya sendiri lebih daripada orang lain. “Ini tidak seberapa,” balas Alaric lemah, meskipun wajahnya pucat pasi. Ayra mencengkeram obor lebih erat, menyembunyikan rasa takut yang merayap di dadanya. Apa yang terjadi di gedung pusat informasi tadi seolah masih menghantui mereka. Ledakan, perlawanan sengit, dan bayangan pengkhianatan yang tak terelakkan mulai membebani pikiran mereka. Gudang tua di pinggir kota itu menjadi pelarian sementara mereka. Tempatnya gelap dan dingin, penuh dengan debu dan peralatan rusak. Ayra segera menutup pintu berat di belakang mereka, memastikan tidak ada yang mengikuti. Marcus membantu Alaric duduk di atas peti kayu besar. Ayra meng
Malam semakin pekat, membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Dante berdiri di ruang kerjanya, menatap hologram chipset yang terus memancarkan data. Pikirannya bercabang, setengah fokus pada rencana ke depan, setengah lagi dilingkupi rasa bersalah dan kehilangan. Marcus. Nama itu terus membayang, menghantui setiap keputusan yang ia ambil. Pengkhianatan dan kematian Marcus adalah luka yang tak kunjung sembuh, sekaligus pengingat bahwa dunia yang ia jalani tidak mengenal belas kasihan. Sebuah ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya. Sebelum Dante sempat menjawab, pintu terbuka, memperlihatkan Elena yang melangkah masuk dengan anggun. Di belakangnya, Ayra menyusul, membawa ekspresi cemas yang sulit disembunyikan. “Dante,” panggil Elena lembut. “Kau tidak bisa terus-terusan mengurung diri di sini.” Dante mengangkat wajahnya, tatapan tajamnya menyapu kedua wanita itu. “Aku tidak mengurung diri. Aku sedang bekerja.” “Kau menyebut ini bekerja?” sahut Ayra, suarany
Matahari pagi memancarkan sinarnya dengan lembut di atas kediaman keluarga Dante. Udara musim semi yang segar membawa keheningan yang menenangkan, tetapi di dalam hati beberapa orang, badai perasaan masih berkecamuk. Ayra duduk di taman belakang rumah, jari-jarinya memetik kelopak bunga melati yang tumbuh di pinggir pagar. Wajahnya terlihat damai, namun sorot matanya memancarkan kebimbangan yang mendalam. Ia masih mengingat percakapan terakhirnya dengan Dante, di mana pria itu mengungkapkan perasaannya. Kebahagiaan yang meluap-luap masih terasa, tetapi bersamanya datang juga beban. Langkah kaki pelan terdengar mendekat. Ayra menoleh dan melihat Elena berdiri di belakangnya. Wajah Elena terlihat tenang, meskipun Ayra tahu ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan perempuan itu. "Elena," sapa Ayra, mencoba tersenyum. Elena balas tersenyum dan berjalan mendekat, duduk di bangku yang sama dengan Ayra. “Pagi yang indah,
Langit pagi menyambut mereka dengan cahaya lembut berwarna jingga. Kabut tipis masih menyelimuti lembah, menciptakan pemandangan yang menenangkan. Di kejauhan, suara burung-burung pagi mulai terdengar, mengiringi langkah mereka yang perlahan kembali ke rumah utama.Ayra berjalan sedikit di depan, langkahnya ringan namun pikirannya jauh melayang. Ia tidak bisa berhenti memikirkan apa yang baru saja terjadi semalam. Kata-kata Dante masih terngiang di telinganya, seperti melodi yang tidak selesai dimainkan.“Kenapa rasanya semakin sulit untuk memahami hatinya?” gumam Ayra dalam hati. Ia menggenggam erat syalnya, seolah mencari kehangatan di tengah udara pagi yang dingin.Elena, yang berjalan di samping Dante, mencuri pandang ke arah pria itu. Wajahnya tampak letih, dengan sorot mata yang kosong. Elena tahu Dante sedang bergulat dengan pikirannya sendiri, mencoba mencari arah yang benar.“Kau tahu, Dante,” kata Elena, memecah keheningan di antara
Malam yang dingin terasa menusuk tulang. Langkah Dante yang berat menyusuri jalan setapak di tengah hutan hanya ditemani oleh suara angin yang menggerakkan dedaunan. Setelah percakapan yang penuh emosi antara dirinya, Ayra, dan Elena, hatinya terasa seperti medan perang. Keputusannya untuk tetap berdiri di tengah-tengah mereka telah menyisakan perih yang tak bisa ia hilangkan begitu saja.Dante berhenti di sebuah pohon tua yang menjulang tinggi. Ia bersandar di batangnya yang kasar, menatap langit malam yang dihiasi ribuan bintang. Sebuah napas berat meluncur dari bibirnya, seolah-olah ia mencoba melepaskan beban yang menghimpit dadanya.“Dante…” suara itu, lembut namun tegas, terdengar dari belakangnya.Dante menoleh. Elena berdiri di sana, membawa lentera kecil yang sinarnya berkilau redup. Wajahnya terlihat tenang, namun sorot matanya memancarkan kecemasan yang tak bisa ia sembunyikan.“Kau seharusnya istirahat, Elena,” kata Dante, mencoba
Senja mulai mengintip di ujung cakrawala, mewarnai langit dengan semburat oranye yang lembut. Di tengah reruntuhan kota tua, Dante berdiri dengan tubuh tegap, matanya memandang ke arah Elena dan Ayra yang berada tak jauh darinya. Ada ketegangan yang begitu nyata di udara, namun sekaligus kehangatan yang tak bisa disangkal.Ayra memalingkan wajah, membiarkan angin memainkan rambut hitam legamnya. “Kita sudah sampai sejauh ini, tapi aku masih merasa ada yang kurang,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada orang lain.Dante menoleh, menatapnya dengan sorot mata yang hangat. “Apa yang kurang, Ayra?” tanyanya pelan, suaranya terdengar seperti bisikan yang meresap ke dalam kesunyian.“Elena tahu,” jawab Ayra, suaranya serak. Ia menoleh ke arah Elena yang berdiri beberapa langkah di sebelahnya, wajahnya diliputi keraguan. “Kau tahu, kan? Apa yang sebenarnya masih kita cari?”Elena terdiam, wajahnya yang biasanya dingin tampak goyah. Ia meng
Cahaya pagi yang hangat menyusup melalui celah tirai jendela apartemen kecil yang kini mereka sebut rumah. Ayra membuka matanya perlahan, membiarkan sinar lembut itu menyentuh wajahnya. Suara burung berkicau di luar menjadi pengantar yang damai—sesuatu yang belum pernah ia rasakan dalam waktu yang lama.Ia menoleh, mendapati Dante masih terlelap di sebelahnya, napasnya tenang dan ritmis. Wajahnya terlihat begitu damai, jauh dari ekspresi serius dan tegang yang sering ia kenakan selama misi-misi mereka. Ada sesuatu yang menyentuh di sana, menyadari bahwa setelah semua yang mereka lewati, mereka akhirnya bisa menikmati momen sederhana seperti ini.Ayra perlahan bangkit dari tempat tidur, berusaha tidak membangunkan Dante. Ia melangkah ke dapur kecil mereka, menyalakan mesin kopi yang berderit pelan. Aroma kopi mulai memenuhi ruangan, membangkitkan rasa nyaman yang membuatnya tersenyum.Saat ia menuang kopi ke dalam cangkir, suara langkah berat terdengar
Langit malam dipenuhi bintang-bintang yang berkilauan, namun Dante hanya bisa menatap kosong ke arah api unggun kecil yang mereka buat. Wajahnya diterangi cahaya oranye yang hangat, tetapi pikirannya jauh melayang, menelusuri semua yang telah terjadi. Di sekelilingnya, timnya mulai melepas ketegangan setelah misi yang sukses. Phoenix sedang tertawa kecil bersama Leandro, membahas bagaimana dia berhasil mengunggah data itu meskipun dalam situasi berbahaya. Elena duduk tidak jauh dari mereka, memeriksa senjatanya dengan ekspresi serius, tetapi sesekali tersenyum kecil mendengar lelucon Leandro. Ayra duduk sedikit terpisah dari mereka, memeluk lututnya sambil menatap ke arah langit. Ada sesuatu yang melintas di wajahnya—perasaan lega bercampur kelelahan, tetapi juga ketidakpastian yang mengganggu. Dante menggeser duduknya, mendekati Ayra. "Kau baik-baik saja?" tanyanya pelan. Ayra menoleh, tersenyum tipis. "Hanya me
Suara derik lantai kayu menyambut langkah perlahan Dante saat ia berjalan melewati ruangan kecil tempat mereka berlindung. Udara malam di dalam rumah itu terasa lebih dingin dibandingkan luar. Dante memandang timnya yang sedang duduk melingkar di ruang tengah, wajah mereka dipenuhi kelelahan, tetapi mata mereka menyiratkan tekad yang tak goyah.Ayra sibuk mengamati peta kota yang tersebar di atas meja kecil. Sesekali, dia menuliskan sesuatu di buku catatannya, wajahnya dipenuhi konsentrasi. Phoenix sedang memeriksa perangkat enkripsi, memastikan semua data mereka tetap aman. Sementara Elena dan Leandro berbincang pelan di sudut ruangan, berdiskusi tentang potensi ancaman yang mungkin muncul saat mereka bergerak.“Sudah hampir selesai?” tanya Dante sambil berdiri di belakang Ayra.Ayra menoleh, senyumnya tipis. “Hampir. Aku sedang memastikan rute ini tidak terlalu mencolok. Kita tidak punya banyak opsi, tapi kalau kita bisa menghindari pos pemeriksaan,
Suara angin pagi menyelinap melalui celah-celah gudang tua yang menjadi tempat persembunyian Dante dan timnya. Kabut yang melayang di luar menambah kesan misterius pada suasana di dalam, seakan mengingatkan mereka bahwa waktu terus berjalan dan ancaman semakin mendekat. Dante berdiri di tengah ruangan, tangannya terlipat di dada, matanya menatap peta digital di meja kayu yang sudah penuh coretan rencana. Sementara itu, Ayra dan Phoenix masih tenggelam dalam analisis data, mencoba mengurai simpul misteri yang menjadi inti dari misi mereka. “Phoenix, apakah semua data sudah terkumpul?” tanya Dante, suaranya terdengar tegas namun terkendali. Phoenix mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. “Ya. Aku sudah menyusun semua dokumen digital ini. Tinggal satu langkah lagi untuk mengirimnya ke media, tapi kita harus memutuskan jalur yang paling aman. Musuh pasti sudah mengawasi jaringan kita.” “Elena,” Dante me
Dini hari menyelimuti kota dengan kabut tipis yang seolah menyembunyikan rahasia-rahasia kelam di balik setiap sudutnya. Sebuah van abu-abu meluncur pelan di jalan yang sepi, membawa Dante dan timnya menjauh dari apartemen yang kini bukan lagi tempat yang aman. Di dalam van, suasana penuh ketegangan. Mata mereka terus berjaga, dan percakapan berlangsung dengan bisikan-bisikan tegang. “Bagaimana situasi di depan?” tanya Dante yang duduk di kursi penumpang depan, memegang peta digital di tangannya. Leandro, yang mengemudikan van, melirik ke kaca spion. “Sejauh ini aman. Tapi kita tidak bisa terlalu lama di jalan ini. Kamera pengawas bisa saja melacak plat mobil kita.” Ayra, yang duduk di kursi tengah, mengetik cepat di laptopnya. Wajahnya diterangi cahaya redup layar. “Aku sedang mencoba menonaktifkan sistem pengawasan di area ini. Tapi ini tidak akan bertahan lama. Kita harus segera menemukan tempat aman untuk menyusun langkah selanj