Hujan kembali turun di malam yang dingin itu, menciptakan irama lembut di atas atap markas. Dante duduk sendirian di ruangannya, dikelilingi bayang-bayang gelap yang hanya diterangi oleh lampu meja kecil di sudut ruangan. Tangannya menggenggam erat sebuah cangkir kopi yang sudah mendingin. Mata gelapnya menatap kosong ke arah peta digital yang terpampang di dinding. Pikirannya terus berputar, mencoba memahami langkah Ezra berikutnya. Gudang senjata telah hancur, dan kini mereka hampir tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk melawan. Namun bukan itu yang benar-benar mengganggunya—melainkan kehadiran Lucas di pertempuran terakhir. Lucas. Nama itu seperti duri yang menusuk dalam-dalam ke dadanya.Ayra meletakkan dokumen yang dibawanya ke atas meja Dante. Ia menatapnya dengan cermat, memperhatikan garis-garis keras di wajah pemimpin mereka.“Kami mendapatkan sesuatu,” ucap Ayra dengan nada rendah. “Informasi dari jaringan lama. Bukan kabar baik.”Dante menghela napas panjang,
Cahaya temaram dari lentera minyak menggantung di tengah ruangan, memancarkan sinar kuning redup yang menari di dinding kayu yang lapuk. Suasana di dalam kabin tua itu terasa lebih berat daripada udara dingin di luar. Alaric berdiri di ambang pintu, tubuhnya tegap meskipun usianya terlihat jelas dari rambut putihnya. Tatapan matanya tajam, menusuk seperti pedang yang siap menyerang kapan saja. Dante mengangkat kedua tangannya perlahan, menunjukkan bahwa ia datang tanpa niat bermusuhan. Tapi senyum tipis di wajahnya tidak menunjukkan rasa takut. Sebaliknya, ada rasa percaya diri yang samar, seperti seorang pria yang tahu bahwa ia tidak mungkin kalah dalam permainan ini. “Kau di sini untuk apa?” Alaric bertanya, suaranya dalam dan bergetar seperti guntur yang jauh. Dante melangkah maju, melewati genangan air yang mengalir masuk melalui celah pintu. “Kita punya musuh yang sama, Alaric. Aku hanya butuh waktumu untuk mendengar.” Ruangan itu hening, hanya suara kayu berderak yang terde
Langit pagi itu mendung, seolah menyembunyikan sinar matahari di balik tirai kelabu. Hutan di sekitar kamp mereka terasa lebih sunyi dari biasanya, hanya suara angin yang sesekali menggoyangkan dedaunan yang terdengar. Di tengah kamp, Alaric berdiri di dekat meja kayu yang dipenuhi peta dan dokumen. Tangannya bergerak perlahan, menelusuri garis-garis peta, sambil sesekali melirik catatan yang ditulis dengan tulisan tangan yang rapi. Wajahnya terlihat serius, namun ada ketenangan yang luar biasa di balik tatapannya. Dante mendekat, membawa secangkir kopi hangat. “Kau tidak tidur semalaman?” tanyanya dengan nada khawatir. Alaric hanya menggeleng, matanya tetap terpaku pada peta di depannya. “Aku tidak punya waktu untuk tidur. Ezra tidak akan berhenti, dan setiap detik yang kita habiskan tanpa bergerak adalah keuntungan bagi dia.” Dante meletakkan cangkir kopi di atas meja, mencoba mencari celah untuk memahami pikiran Alaric. “Aku tahu ini sulit, tapi kau tidak bisa melakukanny
Lorong-lorong sempit di bawah tanah seperti melingkupi mereka dalam misteri. Ayra memimpin langkah dengan obor kecil, nyalanya bergetar di setiap langkah. Alaric berjalan di belakangnya dengan bahu yang berdarah, sedangkan Marcus mendukung tubuhnya agar tetap tegak. “Kita hampir sampai,” kata Ayra, mencoba menenangkan dirinya sendiri lebih daripada orang lain. “Ini tidak seberapa,” balas Alaric lemah, meskipun wajahnya pucat pasi. Ayra mencengkeram obor lebih erat, menyembunyikan rasa takut yang merayap di dadanya. Apa yang terjadi di gedung pusat informasi tadi seolah masih menghantui mereka. Ledakan, perlawanan sengit, dan bayangan pengkhianatan yang tak terelakkan mulai membebani pikiran mereka. Gudang tua di pinggir kota itu menjadi pelarian sementara mereka. Tempatnya gelap dan dingin, penuh dengan debu dan peralatan rusak. Ayra segera menutup pintu berat di belakang mereka, memastikan tidak ada yang mengikuti. Marcus membantu Alaric duduk di atas peti kayu besar. Ayra meng
Malam semakin pekat, membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Dante berdiri di ruang kerjanya, menatap hologram chipset yang terus memancarkan data. Pikirannya bercabang, setengah fokus pada rencana ke depan, setengah lagi dilingkupi rasa bersalah dan kehilangan. Marcus. Nama itu terus membayang, menghantui setiap keputusan yang ia ambil. Pengkhianatan dan kematian Marcus adalah luka yang tak kunjung sembuh, sekaligus pengingat bahwa dunia yang ia jalani tidak mengenal belas kasihan. Sebuah ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya. Sebelum Dante sempat menjawab, pintu terbuka, memperlihatkan Elena yang melangkah masuk dengan anggun. Di belakangnya, Ayra menyusul, membawa ekspresi cemas yang sulit disembunyikan. “Dante,” panggil Elena lembut. “Kau tidak bisa terus-terusan mengurung diri di sini.” Dante mengangkat wajahnya, tatapan tajamnya menyapu kedua wanita itu. “Aku tidak mengurung diri. Aku sedang bekerja.” “Kau menyebut ini bekerja?” sahut Ayra, suarany
Dante menghela napas dalam-dalam. Di hadapannya, seorang pria yang tampaknya sudah kelelahan dan tak berdaya, duduk terikat di kursi. Tawanan ini bukan sembarang orang—dia adalah seseorang yang sangat berpengaruh dalam jaringan musuh, dan Dante tahu bahwa informasi yang bisa didapatkan darinya akan sangat berharga untuk melanjutkan misinya. Ayra berdiri di dekatnya, matanya penuh konsentrasi. Sesekali, dia memeriksa kondisi tawanan itu, tapi tidak ada rasa kasihan di matanya. Ayra tahu bahwa, untuk mengalahkan musuh, mereka harus kuat dan tegas. Kadang, kelemahan menjadi harga yang harus dibayar. Elena, yang sejak awal terlihat tegang, melangkah lebih dekat. Wajahnya keras, penuh dengan determinasi. "Kita tidak punya banyak waktu," katanya dengan suara tegas. "Jika dia punya informasi yang kita butuhkan, kita harus mendapatkan jawabannya, cepat." Dante mengangguk pelan. "Aku tahu. Tapi kita harus berhati-hati. Jika kita salah langkah, ini bisa menjadi bumerang untuk kita." T
Melangkah cepat di lorong yang gelap, Dante merasakan ketegangan yang belum juga surut meski mereka telah mengalahkan para penyerang. Ada perasaan yang lebih berat menghinggapi dirinya, seperti bayangan tak terlihat yang mengikuti mereka. Di setiap sudut ruangan dan setiap langkah yang mereka ambil, ada ancaman yang terus mengintai. Bahkan Ayra dan Elena merasakannya, meskipun mereka tidak mengungkapkannya dengan kata-kata. "𝘿𝙖𝙣𝙩𝙚," suara Elena terdengar, lembut, namun ada ketegangan yang menyertai kata-katanya. "Kau yakin kita akan aman di tempat ini?" Dante menoleh, matanya tetap waspada, meski senyum tipis terukir di bibirnya. "𝘼𝙠𝙪 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙩𝙖𝙝𝙪. 𝙏𝙖𝙥𝙞 𝙠𝙞𝙩𝙖 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙥𝙪𝙣𝙮𝙖 𝙥𝙞𝙡𝙞𝙝𝙖𝙣 𝙡𝙖𝙞𝙣." Ayra berjalan di sampingnya, dan meski sikapnya tampak tegar, ada sesuatu dalam matanya yang menunjukkan ia juga merasakan hal yang sama. "𝙅𝙞𝙠𝙖 𝙢𝙚𝙧𝙚𝙠𝙖 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙢𝙪𝙣𝙙𝙪𝙧 𝙝𝙖𝙣𝙮𝙖 𝙠𝙖𝙧𝙚𝙣𝙖 𝙠𝙞𝙩𝙖 𝙩𝙚𝙧𝙡𝙖𝙡𝙪 𝙠𝙪𝙖𝙩, 𝙢𝙚𝙧𝙚𝙠𝙖
Lorong bawah tanah itu masih menggema dengan sisa suara ledakan dan benturan. Dante memimpin jalan, tubuhnya tegang, tapi tatapannya tajam seperti biasa. Di belakangnya, Ayra berusaha menyeimbangkan langkah di antara puing-puing, sementara Elena tak henti-hentinya menoleh ke belakang, memastikan tidak ada ancaman yang mengejar mereka. "𝘿𝙖𝙣𝙩𝙚, 𝙖𝙥𝙖 𝙠𝙖𝙪 𝙮𝙖𝙠𝙞𝙣 𝙩𝙚𝙢𝙥𝙖𝙩 𝙞𝙣𝙞 𝙖𝙢𝙖𝙣?" Ayra akhirnya bersuara, suaranya rendah tapi jelas menyimpan keraguan. Dante tidak langsung menjawab. Ia berhenti di depan sebuah persimpangan, menatap dua jalan berbeda di hadapannya. Tangannya menyentuh dinding dingin, mencari tanda-tanda petunjuk. "𝘼𝙢𝙖𝙣 𝙖𝙩𝙖𝙪 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠, 𝙞𝙣𝙞 𝙨𝙖𝙩𝙪-𝙨𝙖𝙩𝙪𝙣𝙮𝙖 𝙟𝙖𝙡𝙖𝙣 𝙠𝙞𝙩𝙖 𝙠𝙚𝙡𝙪𝙖𝙧," gumamnya, setengah pada dirinya sendiri. Elena menarik napas panjang, menahan rasa frustrasi yang mulai muncul. "𝘼𝙠𝙪 𝙝𝙖𝙣𝙮𝙖 𝙞𝙣𝙜𝙞𝙣 𝙩𝙖𝙝𝙪, 𝙖𝙥𝙖 𝙠𝙞𝙩𝙖 𝙖𝙠𝙖𝙣 𝙢𝙚𝙣𝙚𝙢𝙪𝙠𝙖𝙣 𝙟𝙖𝙬𝙖𝙗𝙖𝙣 𝙙𝙞𝙨𝙞𝙣𝙞? 𝘼𝙩𝙖𝙪 𝙠?
Cahaya di altar itu semakin terang, seolah menyelimuti mereka dalam kabut keputus-asaan yang memaksa setiap langkah mereka untuk diambil dengan penuh perhitungan. Ayra bisa merasakan getaran di dalam tubuhnya, seperti sesuatu yang besar tengah berputar di luar kendali mereka. Ini adalah saat penentuan. Keputusan yang mereka buat akan mengubah segala hal.Dante, yang berdiri di sampingnya, menarik napas panjang dan menatap Ayra. "Apapun yang terjadi, kita sudah sampai di sini bersama. Apa pun konsekuensinya, kita akan hadapi."Ayra merasakan ketenangan dalam kata-kata Dante, meskipun hatinya sendiri berdebar keras. Mereka telah melewati begitu banyak rintangan, begitu banyak tantangan, namun apa yang ada di hadapan mereka ini masih penuh misteri. Adakah mereka benar-benar siap untuk keputusan yang ada di depan mata?"Saya tahu," jawab Ayra dengan suara yang agak gemetar. "Tapi ini bukan hanya tentang kita, kan? Ini tentang semua yang kita cintai. Tenta
Ayra merasakan getaran aneh yang mengguncang tubuhnya begitu mereka melangkah lebih dekat ke cahaya itu. Setiap langkah terasa semakin berat, seolah dunia di sekitar mereka mulai berubah, menyesuaikan diri dengan keputusan yang sudah mereka buat. Cahaya itu semakin terang, dan seiring dengan itu, bayangan yang mengintai mereka juga semakin jelas."Ini terasa seperti... kita menuju ke sesuatu yang tak bisa kita kendalikan," kata Elena, matanya waspada, menatap cahaya yang semakin mendekat. "Tapi kita sudah di sini. Tidak ada pilihan lain selain melangkah maju."Ayra menatap ke depan, merasakan seakan dunia di sekitar mereka berhenti sejenak. Semua ketegangan yang mereka rasakan, semua rahasia yang tersembunyi di balik kabut, terasa seperti beban yang harus mereka hadapi satu per satu. Namun, meskipun mereka tahu bahwa ini adalah langkah yang tak bisa ditarik mundur, ada kekuatan yang lebih besar di dalam diri mereka untuk tetap melanjutkan.Dante berja
Mereka melangkah dengan hati yang penuh ketegangan, menjauh dari tempat Adrian menghilang ke dalam kabut. Setiap langkah terasa berat, seakan beban yang mereka bawa semakin besar. Ayra, yang berjalan di samping Dante, merasa ketidakpastian melingkupi hatinya. Ke mana mereka sebenarnya menuju? Dan lebih penting lagi, apa yang akan mereka hadapi di depan? "Adrian... mengapa ia kembali sekarang?" Ayra berbisik, suaranya hampir tenggelam dalam gemuruh angin yang berhembus kencang. "Kenapa tidak sebelumnya?" Dante berjalan dengan langkah tegap, meskipun ia pun merasakan kegelisahan yang sama. Ia tahu Adrian tidak pernah datang tanpa tujuan, dan itu yang membuatnya semakin waspada. "Mungkin itu bukan kebetulan," jawab Dante, suaranya tetap tegas meskipun ada keraguan yang menggerayangi pikirannya. "Mungkin ada sesuatu yang lebih besar dari yang kita ketahui." Elena, yang berjalan sedikit lebih jauh di belakang, tiba-tiba berhenti. "Tunggu
Suasana malam semakin mencekam, udara dingin menggigit kulit mereka yang terasa lebih sensitif setelah perjalanan panjang yang penuh dengan ketegangan. Langkah-langkah mereka di tengah kabut yang menyelimuti hanya diiringi oleh suara detak jantung yang semakin cepat. Ayra merasa beban yang ada di pundaknya semakin berat. Semakin dekat mereka pada tujuan, semakin jelas bahwa takdir mereka akan segera terungkap, namun apakah itu takdir yang mereka harapkan?"Ayra," suara Dante memecah kesunyian, lembut namun penuh tekanan. "Apa yang kau rasakan sekarang? Kita semakin dekat."Ayra mengangkat wajahnya, matanya penuh pertanyaan. Meski bibirnya ingin berkata sesuatu, kata-kata itu terasa seperti beban yang terlalu berat untuk diungkapkan. Keputusan yang akan mereka buat nanti bukan hanya tentang hubungan mereka, tetapi juga tentang kehidupan mereka, masa depan mereka. Mereka tidak hanya berhadapan dengan pilihan pribadi, tetapi juga dengan sesuatu yang lebih besar,
Langkah Dante terasa semakin berat, seolah ada sesuatu yang menahan setiap gerakannya. Udara malam yang dingin menyeruak lewat celah-celah jaketnya, memeluk tubuhnya dengan rasa yang menyusup sampai ke dalam tulang. Jalanan yang mereka lalui semakin sempit, seolah mengarah pada sebuah tempat yang penuh dengan misteri dan ketidakpastian. Kabut tipis yang mulai turun menambah kesan sunyi, menutupi segalanya kecuali langkah-langkah mereka yang semakin terasa berat.Dante menoleh ke belakang, memastikan bahwa Ayra dan Elena masih berada di belakangnya. Mereka berjalan dengan jarak yang sedikit lebih jauh dari biasanya, seolah ketegangan yang ada di udara memisahkan mereka lebih jauh daripada yang sebenarnya. Ayra tampak lebih diam dari biasanya, wajahnya yang biasanya ceria kini diselimuti kekhawatiran yang jelas terlihat. Meskipun ia berusaha menyembunyikan perasaan itu, matanya yang sesekali tertunduk menunjukkan kegelisahan yang sulit ditutupi.Dante merasa beb
Matahari pagi memancarkan sinarnya dengan lembut di atas kediaman keluarga Dante. Udara musim semi yang segar membawa keheningan yang menenangkan, tetapi di dalam hati beberapa orang, badai perasaan masih berkecamuk. Ayra duduk di taman belakang rumah, jari-jarinya memetik kelopak bunga melati yang tumbuh di pinggir pagar. Wajahnya terlihat damai, namun sorot matanya memancarkan kebimbangan yang mendalam. Ia masih mengingat percakapan terakhirnya dengan Dante, di mana pria itu mengungkapkan perasaannya. Kebahagiaan yang meluap-luap masih terasa, tetapi bersamanya datang juga beban. Langkah kaki pelan terdengar mendekat. Ayra menoleh dan melihat Elena berdiri di belakangnya. Wajah Elena terlihat tenang, meskipun Ayra tahu ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan perempuan itu. "Elena," sapa Ayra, mencoba tersenyum. Elena balas tersenyum dan berjalan mendekat, duduk di bangku yang sama dengan Ayra. “Pagi yang indah,
Langit pagi menyambut mereka dengan cahaya lembut berwarna jingga. Kabut tipis masih menyelimuti lembah, menciptakan pemandangan yang menenangkan. Di kejauhan, suara burung-burung pagi mulai terdengar, mengiringi langkah mereka yang perlahan kembali ke rumah utama.Ayra berjalan sedikit di depan, langkahnya ringan namun pikirannya jauh melayang. Ia tidak bisa berhenti memikirkan apa yang baru saja terjadi semalam. Kata-kata Dante masih terngiang di telinganya, seperti melodi yang tidak selesai dimainkan.“Kenapa rasanya semakin sulit untuk memahami hatinya?” gumam Ayra dalam hati. Ia menggenggam erat syalnya, seolah mencari kehangatan di tengah udara pagi yang dingin.Elena, yang berjalan di samping Dante, mencuri pandang ke arah pria itu. Wajahnya tampak letih, dengan sorot mata yang kosong. Elena tahu Dante sedang bergulat dengan pikirannya sendiri, mencoba mencari arah yang benar.“Kau tahu, Dante,” kata Elena, memecah keheningan di antara
Malam yang dingin terasa menusuk tulang. Langkah Dante yang berat menyusuri jalan setapak di tengah hutan hanya ditemani oleh suara angin yang menggerakkan dedaunan. Setelah percakapan yang penuh emosi antara dirinya, Ayra, dan Elena, hatinya terasa seperti medan perang. Keputusannya untuk tetap berdiri di tengah-tengah mereka telah menyisakan perih yang tak bisa ia hilangkan begitu saja.Dante berhenti di sebuah pohon tua yang menjulang tinggi. Ia bersandar di batangnya yang kasar, menatap langit malam yang dihiasi ribuan bintang. Sebuah napas berat meluncur dari bibirnya, seolah-olah ia mencoba melepaskan beban yang menghimpit dadanya.“Dante…” suara itu, lembut namun tegas, terdengar dari belakangnya.Dante menoleh. Elena berdiri di sana, membawa lentera kecil yang sinarnya berkilau redup. Wajahnya terlihat tenang, namun sorot matanya memancarkan kecemasan yang tak bisa ia sembunyikan.“Kau seharusnya istirahat, Elena,” kata Dante, mencoba
Senja mulai mengintip di ujung cakrawala, mewarnai langit dengan semburat oranye yang lembut. Di tengah reruntuhan kota tua, Dante berdiri dengan tubuh tegap, matanya memandang ke arah Elena dan Ayra yang berada tak jauh darinya. Ada ketegangan yang begitu nyata di udara, namun sekaligus kehangatan yang tak bisa disangkal.Ayra memalingkan wajah, membiarkan angin memainkan rambut hitam legamnya. “Kita sudah sampai sejauh ini, tapi aku masih merasa ada yang kurang,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada orang lain.Dante menoleh, menatapnya dengan sorot mata yang hangat. “Apa yang kurang, Ayra?” tanyanya pelan, suaranya terdengar seperti bisikan yang meresap ke dalam kesunyian.“Elena tahu,” jawab Ayra, suaranya serak. Ia menoleh ke arah Elena yang berdiri beberapa langkah di sebelahnya, wajahnya diliputi keraguan. “Kau tahu, kan? Apa yang sebenarnya masih kita cari?”Elena terdiam, wajahnya yang biasanya dingin tampak goyah. Ia meng