Malam semakin pekat, membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Dante berdiri di ruang kerjanya, menatap hologram chipset yang terus memancarkan data. Pikirannya bercabang, setengah fokus pada rencana ke depan, setengah lagi dilingkupi rasa bersalah dan kehilangan. Marcus. Nama itu terus membayang, menghantui setiap keputusan yang ia ambil. Pengkhianatan dan kematian Marcus adalah luka yang tak kunjung sembuh, sekaligus pengingat bahwa dunia yang ia jalani tidak mengenal belas kasihan. Sebuah ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya. Sebelum Dante sempat menjawab, pintu terbuka, memperlihatkan Elena yang melangkah masuk dengan anggun. Di belakangnya, Ayra menyusul, membawa ekspresi cemas yang sulit disembunyikan. “Dante,” panggil Elena lembut. “Kau tidak bisa terus-terusan mengurung diri di sini.” Dante mengangkat wajahnya, tatapan tajamnya menyapu kedua wanita itu. “Aku tidak mengurung diri. Aku sedang bekerja.” “Kau menyebut ini bekerja?” sahut Ayra, suarany
Dante menghela napas dalam-dalam. Di hadapannya, seorang pria yang tampaknya sudah kelelahan dan tak berdaya, duduk terikat di kursi. Tawanan ini bukan sembarang orang—dia adalah seseorang yang sangat berpengaruh dalam jaringan musuh, dan Dante tahu bahwa informasi yang bisa didapatkan darinya akan sangat berharga untuk melanjutkan misinya. Ayra berdiri di dekatnya, matanya penuh konsentrasi. Sesekali, dia memeriksa kondisi tawanan itu, tapi tidak ada rasa kasihan di matanya. Ayra tahu bahwa, untuk mengalahkan musuh, mereka harus kuat dan tegas. Kadang, kelemahan menjadi harga yang harus dibayar. Elena, yang sejak awal terlihat tegang, melangkah lebih dekat. Wajahnya keras, penuh dengan determinasi. "Kita tidak punya banyak waktu," katanya dengan suara tegas. "Jika dia punya informasi yang kita butuhkan, kita harus mendapatkan jawabannya, cepat." Dante mengangguk pelan. "Aku tahu. Tapi kita harus berhati-hati. Jika kita salah langkah, ini bisa menjadi bumerang untuk kita." T
Melangkah cepat di lorong yang gelap, Dante merasakan ketegangan yang belum juga surut meski mereka telah mengalahkan para penyerang. Ada perasaan yang lebih berat menghinggapi dirinya, seperti bayangan tak terlihat yang mengikuti mereka. Di setiap sudut ruangan dan setiap langkah yang mereka ambil, ada ancaman yang terus mengintai. Bahkan Ayra dan Elena merasakannya, meskipun mereka tidak mengungkapkannya dengan kata-kata. "𝘿𝙖𝙣𝙩𝙚," suara Elena terdengar, lembut, namun ada ketegangan yang menyertai kata-katanya. "Kau yakin kita akan aman di tempat ini?" Dante menoleh, matanya tetap waspada, meski senyum tipis terukir di bibirnya. "𝘼𝙠𝙪 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙩𝙖𝙝𝙪. 𝙏𝙖𝙥𝙞 𝙠𝙞𝙩𝙖 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙥𝙪𝙣𝙮𝙖 𝙥𝙞𝙡𝙞𝙝𝙖𝙣 𝙡𝙖𝙞𝙣." Ayra berjalan di sampingnya, dan meski sikapnya tampak tegar, ada sesuatu dalam matanya yang menunjukkan ia juga merasakan hal yang sama. "𝙅𝙞𝙠𝙖 𝙢𝙚𝙧𝙚𝙠𝙖 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙢𝙪𝙣𝙙𝙪𝙧 𝙝𝙖𝙣𝙮𝙖 𝙠𝙖𝙧𝙚𝙣𝙖 𝙠𝙞𝙩𝙖 𝙩𝙚𝙧𝙡𝙖𝙡𝙪 𝙠𝙪𝙖𝙩, 𝙢𝙚𝙧𝙚𝙠𝙖
Lorong bawah tanah itu masih menggema dengan sisa suara ledakan dan benturan. Dante memimpin jalan, tubuhnya tegang, tapi tatapannya tajam seperti biasa. Di belakangnya, Ayra berusaha menyeimbangkan langkah di antara puing-puing, sementara Elena tak henti-hentinya menoleh ke belakang, memastikan tidak ada ancaman yang mengejar mereka. "𝘿𝙖𝙣𝙩𝙚, 𝙖𝙥𝙖 𝙠𝙖𝙪 𝙮𝙖𝙠𝙞𝙣 𝙩𝙚𝙢𝙥𝙖𝙩 𝙞𝙣𝙞 𝙖𝙢𝙖𝙣?" Ayra akhirnya bersuara, suaranya rendah tapi jelas menyimpan keraguan. Dante tidak langsung menjawab. Ia berhenti di depan sebuah persimpangan, menatap dua jalan berbeda di hadapannya. Tangannya menyentuh dinding dingin, mencari tanda-tanda petunjuk. "𝘼𝙢𝙖𝙣 𝙖𝙩𝙖𝙪 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠, 𝙞𝙣𝙞 𝙨𝙖𝙩𝙪-𝙨𝙖𝙩𝙪𝙣𝙮𝙖 𝙟𝙖𝙡𝙖𝙣 𝙠𝙞𝙩𝙖 𝙠𝙚𝙡𝙪𝙖𝙧," gumamnya, setengah pada dirinya sendiri. Elena menarik napas panjang, menahan rasa frustrasi yang mulai muncul. "𝘼𝙠𝙪 𝙝𝙖𝙣𝙮𝙖 𝙞𝙣𝙜𝙞𝙣 𝙩𝙖𝙝𝙪, 𝙖𝙥𝙖 𝙠𝙞𝙩𝙖 𝙖𝙠𝙖𝙣 𝙢𝙚𝙣𝙚𝙢𝙪𝙠𝙖𝙣 𝙟𝙖𝙬𝙖𝙗𝙖𝙣 𝙙𝙞𝙨𝙞𝙣𝙞? 𝘼𝙩𝙖𝙪 𝙠?
Fajar menyingsing dengan langit berwarna jingga, menyelimuti Kota Bawah dalam keheningan yang jarang terjadi. Dante berdiri di tepi gang sempit, memandangi peta digital di tangannya. Sekilas, pikirannya melayang pada Marcus. Apakah temannya itu masih hidup? Ataukah Marcus telah kehilangan dirinya sepenuhnya, menjadi boneka organisasi? Ayra dan Elena muncul dari bayangan di belakangnya, keduanya membawa perlengkapan yang diperlukan untuk perjalanan ini. Ayra, dengan wajah penuh tekad, menyentuh lengan Dante. "Kita siap." Dante menoleh dan mengangguk. "Baiklah. Kita berangkat sekarang. Tidak ada jalan kembali." Elena menghela napas panjang, memastikan senjata kecil di pinggangnya siap digunakan. "Pastikan kau tidak membiarkan emosi menguasaimu, Dante. Kali ini, kita butuh kepala dingin." "Aku tahu," jawab Dante, meski jauh di dalam dirinya, ia tahu itu lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Perjalanan melalui hutan menuju fasilitas utama tidak hanya melelahkan secara fisi
Malam itu, di bawah gelapnya langit tanpa bintang, Dante berjalan melewati lorong-lorong yang sepi. Ayra berada di sampingnya, tangannya masih memegang senjata, siap menghadapi apa pun. Elena, di sisi lain, tampak kelelahan. Ia berusaha menjaga jarak dengan keduanya, tetapi ada sorot keraguan dalam matanya. "Kita tidak bisa terus seperti ini," gumam Elena pelan. "Mereka akan selalu menemukan kita." Dante berhenti, menoleh ke belakang. Tatapan matanya tajam, namun penuh rasa bersalah. "Aku tahu. Tapi menyerah bukan pilihan, Elena." Ayra mendengus pelan. "Dia benar. Kalau kita berhenti sekarang, kita hanya memberi mereka kesempatan untuk menang." Namun Elena tidak langsung menjawab. Ia hanya menunduk, menyembunyikan ekspresi di wajahnya. Ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya, sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan. Ketegangan di antara mereka semakin terasa saat mereka memasuki ruangan kecil yang menjadi tempat persembunyian sementara. Dante duduk di sudut ruangan, menatap peta
Hujan mulai turun ketika Dante, Ayra, dan Elena akhirnya tiba di sebuah gua yang tersembunyi di lereng bukit. Nafas mereka memburu, tubuh lelah dan basah kuyup. Dante memimpin masuk ke dalam gua dengan senjata terangkat, memastikan tempat itu aman. Ayra menutup pintu masuk dengan ranting besar yang mereka temukan di perjalanan, memastikan tidak ada jejak yang terlalu jelas. Sementara itu, Elena hanya berdiri di tengah gua, pandangannya kosong, tetapi tangannya menggenggam alat kecilnya dengan erat. "Kita tidak bisa terus seperti ini," gumam Dante, memecah keheningan. Suaranya datar, tapi cukup tajam untuk membuat Ayra menoleh dengan ekspresi tak percaya. "Apa maksudmu?" Ayra bertanya, meski dia tahu Dante tidak sedang berbicara kepadanya. Dante menatap Elena, matanya menuntut penjelasan. "Elena, ini sudah terlalu jauh. Kau harus memberitahu kami apa yang sebenarnya terjadi. Siapa kau, dan kenapa mereka tidak pernah berhenti mengejar kita?" Elena tidak langsung menjawab. Ia hanya
Hutan yang mereka masuki terasa lebih sunyi dari biasanya. Tidak ada desau angin atau nyanyian burung malam, hanya suara langkah kaki mereka yang tenggelam dalam dedaunan basah. Dante memimpin rombongan kecil itu dengan ekspresi yang tak bisa diterka. Ayra berjalan di belakangnya, menggenggam erat senjata kecil di tangannya, sementara Elena berada di belakang, menutup barisan dengan waspada.Ketegangan melingkupi mereka, seperti kabut yang tak kasat mata namun pekat."Apakah menurutmu ledakan itu disengaja untuk mengalihkan perhatian kita?" suara Ayra memecah keheningan.Dante tidak menjawab segera. Dia berhenti sejenak, matanya menatap lurus ke depan, menyapu kegelapan di antara pepohonan. Akhirnya, dia berkata pelan, "Entah itu untuk mengalihkan perhatian, atau mungkin peringatan bagi kita.""Peringatan?" Elena mendekat, wajahnya penuh tanya. "Siapa yang mencoba memperingatkan kita, dan untuk apa?"Dante menggeleng perlahan. "Aku tidak tahu. Tapi kita tidak bisa mengabaikan kemungki
Malam yang dingin terasa menusuk tulang. Langkah Dante yang berat menyusuri jalan setapak di tengah hutan hanya ditemani oleh suara angin yang menggerakkan dedaunan. Setelah percakapan yang penuh emosi antara dirinya, Ayra, dan Elena, hatinya terasa seperti medan perang. Keputusannya untuk tetap berdiri di tengah-tengah mereka telah menyisakan perih yang tak bisa ia hilangkan begitu saja.Dante berhenti di sebuah pohon tua yang menjulang tinggi. Ia bersandar di batangnya yang kasar, menatap langit malam yang dihiasi ribuan bintang. Sebuah napas berat meluncur dari bibirnya, seolah-olah ia mencoba melepaskan beban yang menghimpit dadanya.“Dante…” suara itu, lembut namun tegas, terdengar dari belakangnya.Dante menoleh. Elena berdiri di sana, membawa lentera kecil yang sinarnya berkilau redup. Wajahnya terlihat tenang, namun sorot matanya memancarkan kecemasan yang tak bisa ia sembunyikan.“Kau seharusnya istirahat, Elena,” kata Dante, mencoba
Senja mulai mengintip di ujung cakrawala, mewarnai langit dengan semburat oranye yang lembut. Di tengah reruntuhan kota tua, Dante berdiri dengan tubuh tegap, matanya memandang ke arah Elena dan Ayra yang berada tak jauh darinya. Ada ketegangan yang begitu nyata di udara, namun sekaligus kehangatan yang tak bisa disangkal.Ayra memalingkan wajah, membiarkan angin memainkan rambut hitam legamnya. “Kita sudah sampai sejauh ini, tapi aku masih merasa ada yang kurang,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada orang lain.Dante menoleh, menatapnya dengan sorot mata yang hangat. “Apa yang kurang, Ayra?” tanyanya pelan, suaranya terdengar seperti bisikan yang meresap ke dalam kesunyian.“Elena tahu,” jawab Ayra, suaranya serak. Ia menoleh ke arah Elena yang berdiri beberapa langkah di sebelahnya, wajahnya diliputi keraguan. “Kau tahu, kan? Apa yang sebenarnya masih kita cari?”Elena terdiam, wajahnya yang biasanya dingin tampak goyah. Ia meng
Cahaya pagi yang hangat menyusup melalui celah tirai jendela apartemen kecil yang kini mereka sebut rumah. Ayra membuka matanya perlahan, membiarkan sinar lembut itu menyentuh wajahnya. Suara burung berkicau di luar menjadi pengantar yang damai—sesuatu yang belum pernah ia rasakan dalam waktu yang lama.Ia menoleh, mendapati Dante masih terlelap di sebelahnya, napasnya tenang dan ritmis. Wajahnya terlihat begitu damai, jauh dari ekspresi serius dan tegang yang sering ia kenakan selama misi-misi mereka. Ada sesuatu yang menyentuh di sana, menyadari bahwa setelah semua yang mereka lewati, mereka akhirnya bisa menikmati momen sederhana seperti ini.Ayra perlahan bangkit dari tempat tidur, berusaha tidak membangunkan Dante. Ia melangkah ke dapur kecil mereka, menyalakan mesin kopi yang berderit pelan. Aroma kopi mulai memenuhi ruangan, membangkitkan rasa nyaman yang membuatnya tersenyum.Saat ia menuang kopi ke dalam cangkir, suara langkah berat terdengar
Langit malam dipenuhi bintang-bintang yang berkilauan, namun Dante hanya bisa menatap kosong ke arah api unggun kecil yang mereka buat. Wajahnya diterangi cahaya oranye yang hangat, tetapi pikirannya jauh melayang, menelusuri semua yang telah terjadi. Di sekelilingnya, timnya mulai melepas ketegangan setelah misi yang sukses. Phoenix sedang tertawa kecil bersama Leandro, membahas bagaimana dia berhasil mengunggah data itu meskipun dalam situasi berbahaya. Elena duduk tidak jauh dari mereka, memeriksa senjatanya dengan ekspresi serius, tetapi sesekali tersenyum kecil mendengar lelucon Leandro. Ayra duduk sedikit terpisah dari mereka, memeluk lututnya sambil menatap ke arah langit. Ada sesuatu yang melintas di wajahnya—perasaan lega bercampur kelelahan, tetapi juga ketidakpastian yang mengganggu. Dante menggeser duduknya, mendekati Ayra. "Kau baik-baik saja?" tanyanya pelan. Ayra menoleh, tersenyum tipis. "Hanya me
Suara derik lantai kayu menyambut langkah perlahan Dante saat ia berjalan melewati ruangan kecil tempat mereka berlindung. Udara malam di dalam rumah itu terasa lebih dingin dibandingkan luar. Dante memandang timnya yang sedang duduk melingkar di ruang tengah, wajah mereka dipenuhi kelelahan, tetapi mata mereka menyiratkan tekad yang tak goyah.Ayra sibuk mengamati peta kota yang tersebar di atas meja kecil. Sesekali, dia menuliskan sesuatu di buku catatannya, wajahnya dipenuhi konsentrasi. Phoenix sedang memeriksa perangkat enkripsi, memastikan semua data mereka tetap aman. Sementara Elena dan Leandro berbincang pelan di sudut ruangan, berdiskusi tentang potensi ancaman yang mungkin muncul saat mereka bergerak.“Sudah hampir selesai?” tanya Dante sambil berdiri di belakang Ayra.Ayra menoleh, senyumnya tipis. “Hampir. Aku sedang memastikan rute ini tidak terlalu mencolok. Kita tidak punya banyak opsi, tapi kalau kita bisa menghindari pos pemeriksaan,
Suara angin pagi menyelinap melalui celah-celah gudang tua yang menjadi tempat persembunyian Dante dan timnya. Kabut yang melayang di luar menambah kesan misterius pada suasana di dalam, seakan mengingatkan mereka bahwa waktu terus berjalan dan ancaman semakin mendekat. Dante berdiri di tengah ruangan, tangannya terlipat di dada, matanya menatap peta digital di meja kayu yang sudah penuh coretan rencana. Sementara itu, Ayra dan Phoenix masih tenggelam dalam analisis data, mencoba mengurai simpul misteri yang menjadi inti dari misi mereka. “Phoenix, apakah semua data sudah terkumpul?” tanya Dante, suaranya terdengar tegas namun terkendali. Phoenix mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. “Ya. Aku sudah menyusun semua dokumen digital ini. Tinggal satu langkah lagi untuk mengirimnya ke media, tapi kita harus memutuskan jalur yang paling aman. Musuh pasti sudah mengawasi jaringan kita.” “Elena,” Dante me
Dini hari menyelimuti kota dengan kabut tipis yang seolah menyembunyikan rahasia-rahasia kelam di balik setiap sudutnya. Sebuah van abu-abu meluncur pelan di jalan yang sepi, membawa Dante dan timnya menjauh dari apartemen yang kini bukan lagi tempat yang aman. Di dalam van, suasana penuh ketegangan. Mata mereka terus berjaga, dan percakapan berlangsung dengan bisikan-bisikan tegang. “Bagaimana situasi di depan?” tanya Dante yang duduk di kursi penumpang depan, memegang peta digital di tangannya. Leandro, yang mengemudikan van, melirik ke kaca spion. “Sejauh ini aman. Tapi kita tidak bisa terlalu lama di jalan ini. Kamera pengawas bisa saja melacak plat mobil kita.” Ayra, yang duduk di kursi tengah, mengetik cepat di laptopnya. Wajahnya diterangi cahaya redup layar. “Aku sedang mencoba menonaktifkan sistem pengawasan di area ini. Tapi ini tidak akan bertahan lama. Kita harus segera menemukan tempat aman untuk menyusun langkah selanj
Malam menjelang dengan keheningan yang terasa berat, seakan alam pun ikut bersiap menghadapi badai yang akan datang. Di apartemen kecil yang kini menjadi markas mereka, tim Dante bekerja tanpa henti. Peta, dokumen, dan laptop berserakan di meja. Mereka sudah terlalu jauh untuk mundur.Ayra duduk di sudut ruangan, matanya memandang layar laptop yang menampilkan kode-kode enkripsi. Wajahnya terlihat serius, tapi jari-jarinya bergerak dengan cekatan di atas keyboard. Phoenix telah mengirimkan data penting yang harus mereka deskripsikan, data yang menjadi kunci untuk mengungkap skandal besar yang telah mereka kejar selama ini.“Dante,” panggil Ayra, suaranya rendah namun penuh urgensi. “Aku berhasil mengakses salah satu file mereka. Ini... ini jauh lebih besar dari yang kita kira.”Dante yang sedang memeriksa peta di meja langsung mendekat, menyandarkan tangannya di kursi Ayra dan membaca layar di depannya. Matanya menyipit, ekspresinya berubah dari terke
Dingin pagi menyelimuti pusat kota yang mulai lengang setelah peristiwa semalam. Kabut tipis menyelimuti jalan-jalan, menyembunyikan sisa jejak kerumunan yang penuh semangat, kini berubah menjadi kota yang terasa asing dan kosong. Dante berdiri di tepi balkon apartemen yang mereka gunakan sebagai tempat berlindung sementara, matanya memandang jauh ke cakrawala.Angin dingin menyapu wajahnya, tetapi tidak mampu meredam kobaran tekad yang terus menyala di dalam dirinya. Di baliknya, Ayra keluar perlahan, mengenakan sweater tebal. Langkahnya nyaris tak terdengar saat ia mendekat, membawa secangkir teh hangat."Kau belum tidur sejak semalam," ujar Ayra, menyerahkan cangkir itu kepada Dante. Suaranya lembut, tetapi ada nada khawatir yang tidak bisa disembunyikan.Dante menerima cangkir itu tanpa menoleh. "Aku tidak bisa tidur. Banyak hal yang harus kupikirkan."Ayra menyandarkan dirinya di pagar balkon, menatap Dante dengan mata yang penuh perhati