Matahari mulai terbit di ufuk timur, menyinari gurun yang tampak tak berujung. Angin hangat membawa debu halus yang menyapu wajah-wajah lelah. Dante berdiri di puncak bukit pasir, tatapannya tajam mengamati horizon yang kosong. Di belakangnya, Ayra dan Elena sibuk mengemas perlengkapan, sementara Finn tampak termenung di sudut, masih mencoba memulihkan diri."Kita bergerak sekarang," suara Dante memecah keheningan.Ayra menoleh, matanya sedikit menyipit karena sinar matahari. "Apakah kita punya cukup air dan makanan untuk perjalanan sejauh ini?"Elena menjawab dengan cepat, suaranya tegas namun lembut. "Aku sudah menghitungnya. Jika kita bergerak dengan kecepatan stabil, persediaan kita cukup sampai ke tujuan. Tapi tidak ada ruang untuk kesalahan."Dante mengangguk, lalu menatap Finn. "Apakah kau cukup kuat untuk berjalan sejauh itu?"Finn menatap balik dengan mata penuh tekad. "Aku harus kuat. Aku yang membawa kalian ke sini, dan aku akan membantu membawa kita keluar dari neraka ini.
Malam jatuh dengan keheningan yang nyaris mencekam. Gua kecil yang mereka pilih sebagai tempat persembunyian terasa seperti perangkap. Hembusan angin malam membawa aroma tanah basah, bercampur dengan samar bau logam dari luka-luka mereka.Dante bersandar di dinding gua, memandang keluar dengan tatapan yang kosong namun penuh waspada. Bayangan tubuhnya memanjang di lantai gua yang berkerikil, bergoyang lemah mengikuti nyala api kecil.Di sudut lain, Ayra membersihkan panah dengan gerakan pelan, namun setiap gesekan kain pada kayu seolah meluapkan ketegangan yang memenuhi udara. Elena, dengan wajah serius, memeriksa luka Finn. Jemarinya bekerja cepat, namun sentuhan lembutnya menunjukkan rasa khawatir yang tidak terucap."Apa kau masih memikirkan itu?" suara Ayra memecah keheningan.Dante menghela napas, tidak menoleh. "Aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Benda itu terlalu berbahaya jika dibiarkan."Elena menghentikan pekerjaannya sejenak, pandangannya tertuju pada tas kulit yang ter
Hujan turun deras malam itu, suara tetesannya menghantam batu-batu di luar gua seperti irama yang tak pernah berhenti. Dante berdiri di mulut gua, tubuhnya kaku, matanya terus menyapu kegelapan. Tangannya mencengkeram gagang pedang, seolah siap menyerang apa pun yang muncul.Di dalam, Ayra duduk memeluk lututnya. Ia berusaha menghangatkan diri, tapi tatapannya tidak lepas dari kristal yang kini berdenyut lemah dalam genggaman Elena. Wajah Elena terlihat tegang, alisnya berkerut saat ia mencoba menganalisis benda itu dengan sisa-sisa energi yang ia miliki."Kau yakin ini tidak akan membahayakan kita?" suara Ayra terdengar, lembut namun penuh keraguan.Elena menoleh padanya. "Aku tidak yakin apa-apa," jawabnya jujur. "Tapi aku tahu satu hal—kita tidak bisa membiarkan benda ini jatuh ke tangan mereka.""Dan jika mereka menemukannya?" Ayra melanjutkan, nada suaranya hampir berbisik.Elena menghela napas panjang, bahunya merosot sedikit. "Itu berarti kita gagal. Dan mungkin, tidak ada jala
Angin malam menusuk tulang, menembus pepohonan basah yang mengelilingi hutan. Ayra memimpin jalan dengan langkah tergesa, matanya tajam menatap jalur sempit di depan. Tangan kanannya memegang busur erat, sementara tangan kirinya sesekali menarik Elena agar tetap dekat.Di belakang mereka, terdengar suara jauh—teriakan musuh yang masih bertarung dengan Dante. Suara denting logam yang memantul di udara membuat jantung Ayra berdegup lebih kencang."Cepat, Elena," bisik Ayra tanpa menoleh. "Kita harus menjauh sejauh mungkin sebelum mereka menyadari kita pergi."Elena terengah-engah, tubuhnya mulai lemah karena luka di lengannya. Kristal yang ia bawa di dalam kain kecil berdenyut pelan, hampir seperti jantung yang hidup. Setiap denyutnya membawa rasa dingin yang menjalari tangannya."Ayra," suaranya hampir hilang di antara gemuruh hujan. "Bagaimana kalau Dante..."Ayra menghentikan langkahnya mendadak, berbalik, dan memandang Elena dengan mata yang dipenuhi tekad. "Dia akan bertahan. Dante
Angin malam berhembus pelan, meniupkan dedaunan kering di sekitar mereka. Hening menyelimuti udara, namun bagi Dante, ketenangan itu terasa semu. Setiap detak jantungnya terasa berat, setiap helaan napasnya dipenuhi kekhawatiran. Tangan kanannya meremas pegangan pedangnya, sementara tangan kirinya memegang sebuah surat yang sudah terlipat rapat. Surat yang bisa mengubah segalanya.Di hadapannya, Ayra berdiri dengan tatapan serius, menyelidik. Wajahnya terpotret dalam cahaya temaram, matanya berkilat penuh pertanyaan. “Apa yang kau rencanakan, Dante?” tanyanya, suara lembut tapi mengandung ketegasan.Dante hanya diam, matanya tertuju pada horizon yang gelap. Ada ketegangan yang tak terungkapkan, seolah dunia ini akan segera runtuh. Keheningan seolah menyelimuti mereka, tapi Ayra tahu—Dante sedang bertarung dengan dirinya sendiri.“Dante...” Ayra memulai, suara itu lebih lembut, kali ini berusaha mendekat. “Apa yang kau pikirkan? Kau tidak bisa menanggung semuanya sendiri. Jangan biarka
Langit malam semakin gelap, menyelimuti tanah yang terasa berat dengan beban. Udara yang dingin menembus kulit, seolah-olah alam pun merasakan ketegangan yang menggantung di udara. Langkah Dante mantap, diikuti oleh Ayra dan Elena yang tak kalah yakin. Mereka telah memutuskan untuk bersama, untuk menghadapinya, meskipun ancaman di depan tak pernah lebih nyata.Dante menatap ke depan, wajahnya tersembunyi dalam bayangan, hanya kilau tajam dari matanya yang terlihat jelas. Setiap langkah terasa berat, tetapi setiap langkah juga menguatkan tekadnya. Di sebelahnya, Ayra melangkah dengan tenang, meski dari gerak tubuhnya, Dante bisa merasakan ketegangan yang tak bisa disembunyikan. Elena di sisi lain tampak lebih tenang, tetapi Dante tahu, matanya yang cermat mengamati setiap gerakan dan perubahan.Sampai di ujung hutan, tempat yang sudah mereka kenal dengan baik, mereka berhenti. Ketiga mata mereka tertuju pada bayangan di depan mereka. Sesosok tubuh tinggi berdiri dengan punggung yang te
Embun pagi mulai turun perlahan, menyelimuti tanah yang masih basah oleh hujan semalam. Langit berwarna keabu-abuan, memancarkan suasana yang melankolis. Hutan di sekeliling mereka terasa sunyi, seolah alam memberikan ruang bagi mereka untuk bernapas setelah malam penuh ketegangan.Dante berdiri di tepi jurang kecil, menatap jauh ke cakrawala yang terselubung kabut. Napasnya berat, namun lebih karena beban yang ia rasakan di dalam hati, bukan karena kelelahan fisik. Ia mengenggam pedangnya erat, meskipun bahunya telah melemah."Dante," suara Ayra memecah kesunyian, lembut namun penuh perhatian. Wanita itu berjalan mendekat, langkahnya hati-hati di atas tanah yang licin. "Kita sudah melangkah sejauh ini. Apa yang kau pikirkan sekarang?"Dante tidak segera menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, seolah merenungkan sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Namun, di dalam hatinya, ia merasa seolah-olah semua perjuangan mereka belum benar-benar berakhir."Aku memikirkan... bagai
Suara berat itu merambat seperti guntur yang menggelegar di malam tanpa bintang. Dante menoleh sejenak, bertukar pandang dengan Elena. Tatapannya tegas, memberikan isyarat agar gadis itu tetap diam di tempatnya. Dari balik semak-semak yang lebat, mereka mengintip ke arah clearing, tempat seorang pria berperawakan tinggi berdiri dengan wibawa yang tak terbantahkan. Jubah gelapnya berkibar perlahan, dihiasi lambang misterius yang membuat bulu kuduk Elena berdiri.“Dia pemimpin mereka...” bisik Elena hampir tak terdengar, bibirnya bergetar.Dante mengangguk pelan, matanya tak lepas dari sosok itu. “Kita harus tahu apa rencananya.”Pria berjubah itu berdiri di tengah kerumunan orang-orangnya yang diam seperti patung. Ia berbicara dengan nada rendah tapi penuh kuasa, setiap katanya menyelinap seperti pisau tajam ke dalam keheningan.“Operasi ini adalah langkah terakhir kita. Pastikan tidak ada kesalahan. Target sudah mendekat, dan kita tidak punya ruang untuk kegagalan.”Dante menahan napa
Malam yang dingin terasa menusuk tulang. Langkah Dante yang berat menyusuri jalan setapak di tengah hutan hanya ditemani oleh suara angin yang menggerakkan dedaunan. Setelah percakapan yang penuh emosi antara dirinya, Ayra, dan Elena, hatinya terasa seperti medan perang. Keputusannya untuk tetap berdiri di tengah-tengah mereka telah menyisakan perih yang tak bisa ia hilangkan begitu saja.Dante berhenti di sebuah pohon tua yang menjulang tinggi. Ia bersandar di batangnya yang kasar, menatap langit malam yang dihiasi ribuan bintang. Sebuah napas berat meluncur dari bibirnya, seolah-olah ia mencoba melepaskan beban yang menghimpit dadanya.“Dante…” suara itu, lembut namun tegas, terdengar dari belakangnya.Dante menoleh. Elena berdiri di sana, membawa lentera kecil yang sinarnya berkilau redup. Wajahnya terlihat tenang, namun sorot matanya memancarkan kecemasan yang tak bisa ia sembunyikan.“Kau seharusnya istirahat, Elena,” kata Dante, mencoba
Senja mulai mengintip di ujung cakrawala, mewarnai langit dengan semburat oranye yang lembut. Di tengah reruntuhan kota tua, Dante berdiri dengan tubuh tegap, matanya memandang ke arah Elena dan Ayra yang berada tak jauh darinya. Ada ketegangan yang begitu nyata di udara, namun sekaligus kehangatan yang tak bisa disangkal.Ayra memalingkan wajah, membiarkan angin memainkan rambut hitam legamnya. “Kita sudah sampai sejauh ini, tapi aku masih merasa ada yang kurang,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada orang lain.Dante menoleh, menatapnya dengan sorot mata yang hangat. “Apa yang kurang, Ayra?” tanyanya pelan, suaranya terdengar seperti bisikan yang meresap ke dalam kesunyian.“Elena tahu,” jawab Ayra, suaranya serak. Ia menoleh ke arah Elena yang berdiri beberapa langkah di sebelahnya, wajahnya diliputi keraguan. “Kau tahu, kan? Apa yang sebenarnya masih kita cari?”Elena terdiam, wajahnya yang biasanya dingin tampak goyah. Ia meng
Cahaya pagi yang hangat menyusup melalui celah tirai jendela apartemen kecil yang kini mereka sebut rumah. Ayra membuka matanya perlahan, membiarkan sinar lembut itu menyentuh wajahnya. Suara burung berkicau di luar menjadi pengantar yang damai—sesuatu yang belum pernah ia rasakan dalam waktu yang lama.Ia menoleh, mendapati Dante masih terlelap di sebelahnya, napasnya tenang dan ritmis. Wajahnya terlihat begitu damai, jauh dari ekspresi serius dan tegang yang sering ia kenakan selama misi-misi mereka. Ada sesuatu yang menyentuh di sana, menyadari bahwa setelah semua yang mereka lewati, mereka akhirnya bisa menikmati momen sederhana seperti ini.Ayra perlahan bangkit dari tempat tidur, berusaha tidak membangunkan Dante. Ia melangkah ke dapur kecil mereka, menyalakan mesin kopi yang berderit pelan. Aroma kopi mulai memenuhi ruangan, membangkitkan rasa nyaman yang membuatnya tersenyum.Saat ia menuang kopi ke dalam cangkir, suara langkah berat terdengar
Langit malam dipenuhi bintang-bintang yang berkilauan, namun Dante hanya bisa menatap kosong ke arah api unggun kecil yang mereka buat. Wajahnya diterangi cahaya oranye yang hangat, tetapi pikirannya jauh melayang, menelusuri semua yang telah terjadi. Di sekelilingnya, timnya mulai melepas ketegangan setelah misi yang sukses. Phoenix sedang tertawa kecil bersama Leandro, membahas bagaimana dia berhasil mengunggah data itu meskipun dalam situasi berbahaya. Elena duduk tidak jauh dari mereka, memeriksa senjatanya dengan ekspresi serius, tetapi sesekali tersenyum kecil mendengar lelucon Leandro. Ayra duduk sedikit terpisah dari mereka, memeluk lututnya sambil menatap ke arah langit. Ada sesuatu yang melintas di wajahnya—perasaan lega bercampur kelelahan, tetapi juga ketidakpastian yang mengganggu. Dante menggeser duduknya, mendekati Ayra. "Kau baik-baik saja?" tanyanya pelan. Ayra menoleh, tersenyum tipis. "Hanya me
Suara derik lantai kayu menyambut langkah perlahan Dante saat ia berjalan melewati ruangan kecil tempat mereka berlindung. Udara malam di dalam rumah itu terasa lebih dingin dibandingkan luar. Dante memandang timnya yang sedang duduk melingkar di ruang tengah, wajah mereka dipenuhi kelelahan, tetapi mata mereka menyiratkan tekad yang tak goyah.Ayra sibuk mengamati peta kota yang tersebar di atas meja kecil. Sesekali, dia menuliskan sesuatu di buku catatannya, wajahnya dipenuhi konsentrasi. Phoenix sedang memeriksa perangkat enkripsi, memastikan semua data mereka tetap aman. Sementara Elena dan Leandro berbincang pelan di sudut ruangan, berdiskusi tentang potensi ancaman yang mungkin muncul saat mereka bergerak.“Sudah hampir selesai?” tanya Dante sambil berdiri di belakang Ayra.Ayra menoleh, senyumnya tipis. “Hampir. Aku sedang memastikan rute ini tidak terlalu mencolok. Kita tidak punya banyak opsi, tapi kalau kita bisa menghindari pos pemeriksaan,
Suara angin pagi menyelinap melalui celah-celah gudang tua yang menjadi tempat persembunyian Dante dan timnya. Kabut yang melayang di luar menambah kesan misterius pada suasana di dalam, seakan mengingatkan mereka bahwa waktu terus berjalan dan ancaman semakin mendekat. Dante berdiri di tengah ruangan, tangannya terlipat di dada, matanya menatap peta digital di meja kayu yang sudah penuh coretan rencana. Sementara itu, Ayra dan Phoenix masih tenggelam dalam analisis data, mencoba mengurai simpul misteri yang menjadi inti dari misi mereka. “Phoenix, apakah semua data sudah terkumpul?” tanya Dante, suaranya terdengar tegas namun terkendali. Phoenix mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. “Ya. Aku sudah menyusun semua dokumen digital ini. Tinggal satu langkah lagi untuk mengirimnya ke media, tapi kita harus memutuskan jalur yang paling aman. Musuh pasti sudah mengawasi jaringan kita.” “Elena,” Dante me
Dini hari menyelimuti kota dengan kabut tipis yang seolah menyembunyikan rahasia-rahasia kelam di balik setiap sudutnya. Sebuah van abu-abu meluncur pelan di jalan yang sepi, membawa Dante dan timnya menjauh dari apartemen yang kini bukan lagi tempat yang aman. Di dalam van, suasana penuh ketegangan. Mata mereka terus berjaga, dan percakapan berlangsung dengan bisikan-bisikan tegang. “Bagaimana situasi di depan?” tanya Dante yang duduk di kursi penumpang depan, memegang peta digital di tangannya. Leandro, yang mengemudikan van, melirik ke kaca spion. “Sejauh ini aman. Tapi kita tidak bisa terlalu lama di jalan ini. Kamera pengawas bisa saja melacak plat mobil kita.” Ayra, yang duduk di kursi tengah, mengetik cepat di laptopnya. Wajahnya diterangi cahaya redup layar. “Aku sedang mencoba menonaktifkan sistem pengawasan di area ini. Tapi ini tidak akan bertahan lama. Kita harus segera menemukan tempat aman untuk menyusun langkah selanj
Malam menjelang dengan keheningan yang terasa berat, seakan alam pun ikut bersiap menghadapi badai yang akan datang. Di apartemen kecil yang kini menjadi markas mereka, tim Dante bekerja tanpa henti. Peta, dokumen, dan laptop berserakan di meja. Mereka sudah terlalu jauh untuk mundur.Ayra duduk di sudut ruangan, matanya memandang layar laptop yang menampilkan kode-kode enkripsi. Wajahnya terlihat serius, tapi jari-jarinya bergerak dengan cekatan di atas keyboard. Phoenix telah mengirimkan data penting yang harus mereka deskripsikan, data yang menjadi kunci untuk mengungkap skandal besar yang telah mereka kejar selama ini.“Dante,” panggil Ayra, suaranya rendah namun penuh urgensi. “Aku berhasil mengakses salah satu file mereka. Ini... ini jauh lebih besar dari yang kita kira.”Dante yang sedang memeriksa peta di meja langsung mendekat, menyandarkan tangannya di kursi Ayra dan membaca layar di depannya. Matanya menyipit, ekspresinya berubah dari terke
Dingin pagi menyelimuti pusat kota yang mulai lengang setelah peristiwa semalam. Kabut tipis menyelimuti jalan-jalan, menyembunyikan sisa jejak kerumunan yang penuh semangat, kini berubah menjadi kota yang terasa asing dan kosong. Dante berdiri di tepi balkon apartemen yang mereka gunakan sebagai tempat berlindung sementara, matanya memandang jauh ke cakrawala.Angin dingin menyapu wajahnya, tetapi tidak mampu meredam kobaran tekad yang terus menyala di dalam dirinya. Di baliknya, Ayra keluar perlahan, mengenakan sweater tebal. Langkahnya nyaris tak terdengar saat ia mendekat, membawa secangkir teh hangat."Kau belum tidur sejak semalam," ujar Ayra, menyerahkan cangkir itu kepada Dante. Suaranya lembut, tetapi ada nada khawatir yang tidak bisa disembunyikan.Dante menerima cangkir itu tanpa menoleh. "Aku tidak bisa tidur. Banyak hal yang harus kupikirkan."Ayra menyandarkan dirinya di pagar balkon, menatap Dante dengan mata yang penuh perhati