Dante berdiri dengan tangan terkepal di samping tubuhnya. Matanya tak lepas dari Marcus, yang kini duduk bersandar di batang pohon dengan napas terengah-engah. Luka di tubuh Marcus jelas lebih buruk daripada yang terlihat pada awalnya. Meski begitu, sesuatu tentang kedatangannya terasa ganjil, membuat setiap otot di tubuh Dante tetap tegang."Apa yang kau maksud dengan serangan berikutnya?" tanya Dante akhirnya, suaranya rendah, nyaris berbisik.Marcus mengangkat kepala, matanya yang suram menunjukkan keletihan sekaligus penyesalan. “Mereka berencana menyerang desa kecil di sebelah selatan lembah. Tempat itu... tempat itu bukan hanya desa biasa. Ada sesuatu yang mereka sembunyikan di sana.”Ayra, yang berdiri tak jauh, melipat tangan di dada sambil menyandarkan bahunya ke pohon. Tatapannya tajam, penuh kecurigaan. "Kenapa baru sekarang kau memberitahu kami? Kalau informasi ini memang penting, kenapa tidak kau bawa sejak awal?”Marcus menelan ludah, seolah mencoba mencari kata-kata yan
Terowongan yang mereka lalui semakin menyempit, udara di dalamnya terasa berat dan lembap. Dinding-dindingnya dipenuhi lumut yang memancarkan kilau kehijauan samar di bawah cahaya perangkat holografis Ayra. Setiap langkah yang mereka ambil menggema, mempertegas betapa sunyinya tempat itu.“Berapa jauh lagi?” tanya Elena, suaranya penuh ketegangan. Ia berusaha menyembunyikan rasa cemasnya, tetapi nada suaranya tak bisa berbohong.Ayra memeriksa peta holografisnya. “Sekitar lima puluh meter lagi, tapi ada jalur bercabang di depan. Kita harus memilih dengan hati-hati.”Dante memimpin di depan, tangan kanannya memegang erat gagang pedang, sementara matanya terus memperhatikan setiap sudut. “Apa pun yang terjadi, kita tetap bergerak bersama. Tidak ada yang tertinggal.”Marcus, yang berjalan di belakang mereka, terdengar menarik napas panjang. “Kalau jalur bercabang itu ada jebakan, kita akan tahu begitu terlambat.”Dante menoleh sekilas, tatapannya tajam. “Kalau kau takut, kau bisa menungg
Lorong di depan mereka seakan menelan suara, menyisakan hanya gema langkah kaki yang terdengar asing di telinga. Dinding-dinding batu dingin terasa memancarkan aura menekan, memaksa setiap orang yang melangkah di dalamnya untuk berjuang melawan rasa takut yang terus menghantui.Ayra, yang berjalan di tengah kelompok, menggenggam perangkat holografisnya dengan erat. Cahaya biru yang dipancarkan perangkat itu memberikan sedikit penerangan, tetapi tidak cukup untuk mengusir bayang-bayang yang terus mengikuti mereka.“Apa tempat ini benar-benar kosong?” bisik Elena, suaranya hampir tak terdengar.Dante menoleh ke arahnya, memberikan tatapan yang menenangkan meski wajahnya menunjukkan kelelahan. “Kita harus tetap waspada. Tempat ini mungkin tampak kosong, tapi aku yakin mereka tidak akan membiarkan kita berjalan begitu saja.”Marcus, yang kini berjalan di belakang mereka, sesekali menoleh ke arah pintu logam yang baru saja mereka lewati. “Kalau mereka berhasil menembus pintu itu, kita akan
Langit malam tampak gelap pekat, bintang-bintang seakan bersembunyi di balik awan yang mengancam hujan. Api unggun kecil yang mereka nyalakan memancarkan cahaya hangat, tapi tidak cukup untuk menghapus bayang-bayang kekhawatiran di wajah setiap orang.Dante duduk bersandar pada batang pohon besar. Pikirannya sibuk memutar ulang kejadian yang baru saja berlalu. Asap dari reruntuhan masih tercium, bercampur dengan aroma hutan yang lembap. Luka-luka di tubuhnya terasa perih, tapi bukan itu yang membuat dadanya sesak.Ayra sedang memeriksa alat komunikasinya, mencoba menghubungi pihak luar. Tapi sinyal terus-menerus terputus. "Tidak ada jaringan di sini," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.Elena duduk tidak jauh darinya, membungkus diri dengan mantel tipis untuk melawan dinginnya malam. Ia memandang Dante dengan tatapan ragu-ragu, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak tahu harus mulai dari mana.“Kita terlalu gegabah,” suara Marcus memecah keheningan. Ia memeluk lututnya, menun
Langit kelabu menggantung berat, seolah memprediksi apa yang akan terjadi. Angin dingin menyapu dahan-dahan pohon yang melengkung di sepanjang jalan. Dante berjalan paling depan, wajahnya tegas meskipun kelelahan tampak dari langkah-langkahnya. Ayra berada di sampingnya, menggenggam perangkat kecil dengan layar yang terus-menerus berkedip, menunjukkan koordinat tujuan mereka.Di belakang mereka, Elena melangkah dalam diam. Matanya menyapu sekitar, waspada terhadap setiap bayangan yang bergerak. Sebuah pisau kecil tersembunyi di tangannya, mencengkeramnya erat-erat seperti pegangan hidupnya.“Berapa jauh lagi?” tanya Marcus, suaranya sedikit parau karena perjalanan panjang.Ayra melirik layar perangkatnya. “Kurang lebih tiga kilometer. Tapi jalannya akan semakin sulit.”Dante mengangguk, lalu berhenti sejenak untuk memastikan semua orang baik-baik saja. “Kita ambil waktu sebentar,” katanya. “Sepuluh menit, lalu kita lanjutkan.”Mereka semua duduk di atas tanah yang lembap. Marcus seger
Udara malam terasa menusuk kulit, dingin yang datang bersamaan dengan ketegangan. Langkah kaki mereka membelah tanah berkerikil, meninggalkan jejak samar di atas pasir yang kering. Dante berada di depan, matanya tajam menatap ke kejauhan, berusaha membaca setiap pergerakan di sekitar. Di belakangnya, Ayra dan Elena saling bergantian membantu satu sama lain, tubuh mereka lelah tetapi tekad mereka tetap kuat.“Hentikan langkah,” kata Dante tiba-tiba, suaranya rendah namun penuh otoritas. Ia mengangkat tangan, memberi isyarat agar semua berhenti.Ayra menghentikan langkahnya dengan napas yang masih terengah. “Ada apa?” tanyanya pelan, tapi pandangan Dante sudah tertuju ke semak-semak lebat di sisi jalan setapak.“Elena, pegang ini.” Dante menyerahkan salah satu pisau kecilnya kepada Elena, yang menerimanya tanpa ragu. Wajah Elena mengeras, tapi ia mengangguk, memahami bahwa bahaya mungkin sudah lebih dekat daripada yang mereka duga.“Rasanya seperti kita sedang diawasi,” gumam Dante, mat
Udara pagi di tepi hutan terasa dingin, menyusup hingga ke tulang. Sisa-sisa pertempuran malam sebelumnya masih terasa dalam keheningan mereka. Dante duduk di atas batu besar, wajahnya memancarkan ekspresi tenang namun penuh perhitungan. Luka di lengannya sudah dibalut oleh Elena, meskipun rasa perihnya masih terasa.Elena duduk di seberang Dante, memperhatikan sisa embun yang jatuh dari daun-daun. Pandangannya kosong, pikirannya melayang pada apa yang baru saja mereka lewati. Ayra berada di sampingnya, memeriksa perangkatnya dengan serius, memastikan jalur mereka aman sebelum melanjutkan perjalanan.“Jadi, apa rencana kita selanjutnya?” tanya Ayra, memecah keheningan.Dante mendongak, menatap keduanya bergantian. “Kita harus masuk ke markas utama mereka. Tempat ini hanya penjagaan luar. Jika kita tidak segera bergerak, mereka akan mempersiapkan diri lebih baik.”“Masuk ke markas utama?” Elena mengangkat alisnya, suaranya penuh keraguan. “Kau yakin itu langkah yang tepat? Kau tahu seb
Lorong itu terasa seperti sebuah perangkap. Setiap langkah mereka menggema, menambah ketegangan yang membelit suasana. Ayra mengarahkan alat deteksinya ke depan, matanya fokus memantau layar holografik yang muncul di depannya.“Ada anomali tiga meter di depan kita,” bisiknya.Dante mengangkat tangannya, memberi isyarat agar mereka berhenti. Elena menatapnya tajam, sudah siap dengan senjata di tangannya. Alex, yang berada di tengah, terlihat gelisah. Ia berkeringat meskipun suhu di dalam lorong cukup dingin.“Apa itu?” tanya Dante pelan.Ayra menggoyangkan alat deteksinya sedikit. “Kemungkinan besar jebakan. Pola energinya tidak konsisten. Bisa saja itu sensor gerak atau bom kecil.”Dante mengangguk dan berbalik ke arah Alex. Tatapannya tegas, seperti pedang yang siap menusuk. “Kau bilang jalur ini aman.”Alex terperanjat, tangannya terangkat seolah ingin membela diri. “Aku... aku tidak tahu. Mereka pasti baru memasangnya setelah aku kabur.”“Berhenti berbohong.” Suara Elena datar tapi
Mentari pagi memancarkan sinar hangatnya, menyusup di antara tirai jendela rumah Dante dan Ayra. Udara terasa segar, membawa harapan baru. Di meja makan, Ayra sudah sibuk menata sarapan. Aroma kopi bercampur dengan harum roti panggang memenuhi ruangan.Dante muncul dari lorong, mengenakan kaus santai dan celana pendek. Ia menghampiri Ayra, melingkarkan tangannya di pinggangnya dengan lembut. "Pagi, cantik," bisiknya dengan suara berat yang masih terasa hangat dari tidur.Ayra tersenyum, mengaduk teh di cangkirnya. "Pagi juga. Tidurmu nyenyak?""Nyenyak. Tapi aku lebih suka begini, bangun pagi dan melihatmu." Dante mencium pipi Ayra sekilas sebelum duduk di kursi meja makan.Ayra menggeleng, tawa kecilnya melayang di udara. "Kau tahu cara membuat hari seseorang jadi lebih cerah, ya?"Dante hanya tersenyum lebar, lalu mulai menyantap sarapannya. "Apa rencanamu hari ini?"Ayra duduk di depannya, menyesap teh hangat. "Aku ingin
Langit malam menghamparkan taburan bintang yang membisikkan ketenangan. Dante berdiri di beranda rumahnya, memandang jauh ke cakrawala. Pikirannya melayang pada pertemuan terakhir antara Ayra dan Elena. Sebuah akhir yang damai, tetapi baginya, itu juga menjadi awal baru."Masih belum bisa tidur?" Ayra muncul dari balik pintu, membawakan secangkir teh hangat. Ia mengenakan sweater rajut yang longgar, rambutnya dibiarkan tergerai.Dante tersenyum kecil, menerima cangkir itu. "Aku hanya berpikir... tentang semua yang telah terjadi."Ayra berdiri di sampingnya, ikut memandang langit malam. "Kadang sulit dipercaya, bukan? Bahwa kita masih di sini, bersama, setelah semua yang kita lalui."Dante menatap Ayra, matanya mengandung kehangatan. "Aku selalu percaya kita bisa melewati semuanya, Ayra. Karena aku tahu... kau adalah rumahku."Ayra tertegun mendengar kata-kata itu. Ia menatap Dante, merasa hatinya dipenuhi dengan kebahagiaan yang hang
Angin pagi meniupkan kesejukan yang lembut saat Dante memarkir mobilnya di depan rumah Ayra. Langit masih pucat, pertanda matahari baru saja bangkit dari tidurnya. Dante keluar, membuka pintu untuk Ayra, yang tampak sedikit lelah tetapi tetap bersemangat. "Aku masih merasa seperti mimpi," Ayra berkata sambil melangkah keluar. Matanya menatap Dante dengan sorot bingung dan kagum. "Mimpi seperti apa?" Dante bertanya, menutup pintu mobil di belakangnya. "Bahwa aku bisa merasa begini... merasa cukup hanya dengan satu orang." Suaranya terdengar pelan, hampir seperti gumaman, tetapi Dante mendengarnya jelas. Dante mendekat, menyentuh lengan Ayra dengan lembut. "Aku ingin kau tahu, aku juga merasa begitu. Dan aku akan memastikan kau selalu merasa cukup denganku." Ayra tersenyum kecil. "Aku percaya padamu." Langkah mereka menuju teras terasa seperti simbol dari awal yang baru. Tidak ada lagi beba
Angin malam menyentuh wajah Dante saat ia berdiri di balkon kecil apartemennya. Tangannya menggenggam secangkir kopi hangat, tetapi pikirannya jauh dari kehangatan yang seharusnya dirasakannya. Cahaya lampu kota berkelap-kelip di bawah sana, membentuk pemandangan yang sepi meskipun penuh warna.Di belakangnya, suara langkah pelan mengisi keheningan. Ayra berdiri di ambang pintu balkon, mengenakan sweater oversize yang menggantung hingga lututnya. Matanya memancarkan keraguan, seakan langkah kecil itu memerlukan keberanian besar."Dante," suaranya hampir tenggelam dalam angin, tetapi Dante mendengarnya. Ia berbalik, pandangannya bertemu dengan mata cokelat Ayra yang dipenuhi pergolakan."Ada apa?" tanyanya lembut, menurunkan cangkir kopi ke meja kecil di sebelahnya.Ayra terdiam sesaat, menatap ke lantai sebelum mengangkat pandangannya kembali. "Aku... aku ingin kita bicara. Tentang semuanya."Dante menatapnya dengan penuh perhatian.
Langit mendung menggantung, menyelimuti kota dengan suasana muram. Hujan yang turun sejak dini hari menciptakan genangan di sepanjang jalan, seperti memantulkan perasaan Dante yang masih diliputi kebimbangan.Dante duduk di ruang kerjanya, matanya menatap kosong layar komputer yang menyala di depannya. Deretan angka dan data yang biasa memberinya rasa aman kini hanya terlihat seperti simbol-simbol tak berarti. Suara hujan yang menghantam kaca jendela menjadi satu-satunya hal yang mengisi kesunyian ruangan.“Dante,” suara Ayra memecah lamunannya.Dia berdiri di ambang pintu, mengenakan sweater abu-abu yang kebesaran, rambutnya tergerai alami. Ada kekhawatiran dalam matanya yang cokelat pekat, seolah dia bisa melihat pergulatan yang bergejolak di dalam hati Dante.“Aku sudah memanggilmu tiga kali,” katanya, melangkah masuk.“Maaf.” Dante mengalihkan pandangan, menggosok pelipisnya dengan frustrasi. “Aku hanya—ada banyak hal di pikirank
Langit mendung menggantung rendah, seolah meramalkan badai besar yang akan datang. Lembah di depan mereka memancarkan kesunyian yang mencekam, hanya diselingi suara angin yang berdesir melewati pepohonan. Dante berdiri di tepi jurang kecil, menatap pemandangan di depannya dengan mata tajam. Jauh di kejauhan, bangunan besar yang menjadi markas musuh tampak seperti bayangan kelabu di tengah kabut.Elena mendekat perlahan, membawa sebotol air untuk Dante. Ia tahu Dante sudah terlalu lama memandang ke arah itu tanpa beristirahat. “Kau harus menjaga energimu, Dante,” katanya lembut sambil menyerahkan botol itu.Dante menerimanya, tetapi ia tidak langsung meminumnya. “Markas itu… tampak lebih terjaga dari yang kuduga,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.Elena memandang bangunan itu dengan mata yang tidak kalah serius. “Kita tahu ini tidak akan mudah. Tapi kita sudah sejauh ini. Tidak ada jalan kembali.”Dari kejauhan, Ayra duduk di atas sebata
Udara pagi terasa dingin menusuk kulit, menggigilkan tubuh Ayra yang masih lemah akibat perjalanan semalam. Ia berusaha menahan diri agar tidak terlihat terlalu lemah di depan Dante dan Elena. Kedua orang itu kini tampak lebih tegas dalam gerakan mereka, seolah mereka sudah menetapkan tujuan yang jelas. Dante memimpin langkah, mengamati setiap sudut dengan saksama. Pepohonan lebat yang melingkupi mereka memberikan perlindungan sementara, tetapi tidak menghilangkan bahaya yang terus membayangi. “Berapa lama lagi kita akan sampai di tempat persembunyian itu?” Ayra bertanya dengan suara pelan, mencoba menyembunyikan kecemasan di balik kata-katanya. Dante menoleh sekilas, matanya tajam namun tetap teduh. “Tidak jauh lagi. Jika kita tetap bergerak tanpa berhenti, kita bisa sampai sebelum matahari terbenam.” Ayra mengangguk, meski tubuhnya sudah mulai kehilangan tenaga. Ia tidak ingin menjadi b
Matahari perlahan merangkak naik, menyemburatkan cahaya lembut ke langit kelabu. Udara pagi terasa dingin menusuk kulit, tetapi Dante tidak bergeming dari posisinya di puncak batu besar yang menghadap lembah. Tangannya menggenggam gagang belati kecil yang selalu ia bawa, seolah benda itu adalah jangkar terakhir dari kewarasan di tengah badai pikirannya. Di belakangnya, Ayra duduk dengan tangan terlipat di dada, punggungnya bersandar pada pohon besar. Ia tak berbicara sepatah kata pun sejak pertengkaran malam sebelumnya. Sinar matahari menyoroti wajahnya yang terlihat lelah tetapi tetap anggun, dengan mata yang memandang kosong ke depan. Sementara itu, Elena berdiri tak jauh dari keduanya, mengamati Dante dengan tatapan penuh tanya. Ia tahu, sejak pertemuan mereka pertama kali, ada luka yang selalu Dante sembunyikan di balik sikap tegasnya. Namun, luka itu kini tampak lebih jelas dari sebelumnya, seperti retakan kecil di kaca yang perlahan melebar.
Matahari mulai naik, membiaskan sinarnya melalui dedaunan yang lebat. Di tengah perjalanan kembali ke tempat persembunyian, suasana terasa sunyi. Hanya derap langkah kaki Dante, Elena, dan Ayra yang terdengar di atas jalan berbatu kecil. Namun, di balik keheningan itu, hati masing-masing penuh dengan pertanyaan dan emosi yang saling bertubrukan. Elena berjalan di depan, bahunya sedikit menegang meskipun ia mencoba bersikap tenang. Luka di pelipisnya telah dibalut oleh Ayra, tetapi Dante masih memandangi luka itu dengan rasa bersalah. Ia merasa gagal melindungi Elena, sekalipun ia tahu wanita itu cukup tangguh untuk menjaga dirinya sendiri. “Terima kasih sudah datang,” kata Elena tiba-tiba, suaranya rendah namun jelas. Dante melangkah lebih cepat, menyamai langkah Elena. “Aku tak akan membiarkanmu sendirian terlalu lama.” Elena menoleh padanya, matanya menyiratkan kelelahan yang ia coba sembunyikan. Namun, senyum tipis di bibirnya cukup memberi tahu bahwa ia menghargai keberadaan