Malam jatuh dengan keheningan yang nyaris mencekam. Gua kecil yang mereka pilih sebagai tempat persembunyian terasa seperti perangkap. Hembusan angin malam membawa aroma tanah basah, bercampur dengan samar bau logam dari luka-luka mereka.Dante bersandar di dinding gua, memandang keluar dengan tatapan yang kosong namun penuh waspada. Bayangan tubuhnya memanjang di lantai gua yang berkerikil, bergoyang lemah mengikuti nyala api kecil.Di sudut lain, Ayra membersihkan panah dengan gerakan pelan, namun setiap gesekan kain pada kayu seolah meluapkan ketegangan yang memenuhi udara. Elena, dengan wajah serius, memeriksa luka Finn. Jemarinya bekerja cepat, namun sentuhan lembutnya menunjukkan rasa khawatir yang tidak terucap."Apa kau masih memikirkan itu?" suara Ayra memecah keheningan.Dante menghela napas, tidak menoleh. "Aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Benda itu terlalu berbahaya jika dibiarkan."Elena menghentikan pekerjaannya sejenak, pandangannya tertuju pada tas kulit yang ter
Hujan turun deras malam itu, suara tetesannya menghantam batu-batu di luar gua seperti irama yang tak pernah berhenti. Dante berdiri di mulut gua, tubuhnya kaku, matanya terus menyapu kegelapan. Tangannya mencengkeram gagang pedang, seolah siap menyerang apa pun yang muncul.Di dalam, Ayra duduk memeluk lututnya. Ia berusaha menghangatkan diri, tapi tatapannya tidak lepas dari kristal yang kini berdenyut lemah dalam genggaman Elena. Wajah Elena terlihat tegang, alisnya berkerut saat ia mencoba menganalisis benda itu dengan sisa-sisa energi yang ia miliki."Kau yakin ini tidak akan membahayakan kita?" suara Ayra terdengar, lembut namun penuh keraguan.Elena menoleh padanya. "Aku tidak yakin apa-apa," jawabnya jujur. "Tapi aku tahu satu hal—kita tidak bisa membiarkan benda ini jatuh ke tangan mereka.""Dan jika mereka menemukannya?" Ayra melanjutkan, nada suaranya hampir berbisik.Elena menghela napas panjang, bahunya merosot sedikit. "Itu berarti kita gagal. Dan mungkin, tidak ada jala
Angin malam menusuk tulang, menembus pepohonan basah yang mengelilingi hutan. Ayra memimpin jalan dengan langkah tergesa, matanya tajam menatap jalur sempit di depan. Tangan kanannya memegang busur erat, sementara tangan kirinya sesekali menarik Elena agar tetap dekat.Di belakang mereka, terdengar suara jauh—teriakan musuh yang masih bertarung dengan Dante. Suara denting logam yang memantul di udara membuat jantung Ayra berdegup lebih kencang."Cepat, Elena," bisik Ayra tanpa menoleh. "Kita harus menjauh sejauh mungkin sebelum mereka menyadari kita pergi."Elena terengah-engah, tubuhnya mulai lemah karena luka di lengannya. Kristal yang ia bawa di dalam kain kecil berdenyut pelan, hampir seperti jantung yang hidup. Setiap denyutnya membawa rasa dingin yang menjalari tangannya."Ayra," suaranya hampir hilang di antara gemuruh hujan. "Bagaimana kalau Dante..."Ayra menghentikan langkahnya mendadak, berbalik, dan memandang Elena dengan mata yang dipenuhi tekad. "Dia akan bertahan. Dante
Angin malam berhembus pelan, meniupkan dedaunan kering di sekitar mereka. Hening menyelimuti udara, namun bagi Dante, ketenangan itu terasa semu. Setiap detak jantungnya terasa berat, setiap helaan napasnya dipenuhi kekhawatiran. Tangan kanannya meremas pegangan pedangnya, sementara tangan kirinya memegang sebuah surat yang sudah terlipat rapat. Surat yang bisa mengubah segalanya.Di hadapannya, Ayra berdiri dengan tatapan serius, menyelidik. Wajahnya terpotret dalam cahaya temaram, matanya berkilat penuh pertanyaan. “Apa yang kau rencanakan, Dante?” tanyanya, suara lembut tapi mengandung ketegasan.Dante hanya diam, matanya tertuju pada horizon yang gelap. Ada ketegangan yang tak terungkapkan, seolah dunia ini akan segera runtuh. Keheningan seolah menyelimuti mereka, tapi Ayra tahu—Dante sedang bertarung dengan dirinya sendiri.“Dante...” Ayra memulai, suara itu lebih lembut, kali ini berusaha mendekat. “Apa yang kau pikirkan? Kau tidak bisa menanggung semuanya sendiri. Jangan biarka
Langit malam semakin gelap, menyelimuti tanah yang terasa berat dengan beban. Udara yang dingin menembus kulit, seolah-olah alam pun merasakan ketegangan yang menggantung di udara. Langkah Dante mantap, diikuti oleh Ayra dan Elena yang tak kalah yakin. Mereka telah memutuskan untuk bersama, untuk menghadapinya, meskipun ancaman di depan tak pernah lebih nyata.Dante menatap ke depan, wajahnya tersembunyi dalam bayangan, hanya kilau tajam dari matanya yang terlihat jelas. Setiap langkah terasa berat, tetapi setiap langkah juga menguatkan tekadnya. Di sebelahnya, Ayra melangkah dengan tenang, meski dari gerak tubuhnya, Dante bisa merasakan ketegangan yang tak bisa disembunyikan. Elena di sisi lain tampak lebih tenang, tetapi Dante tahu, matanya yang cermat mengamati setiap gerakan dan perubahan.Sampai di ujung hutan, tempat yang sudah mereka kenal dengan baik, mereka berhenti. Ketiga mata mereka tertuju pada bayangan di depan mereka. Sesosok tubuh tinggi berdiri dengan punggung yang te
Embun pagi mulai turun perlahan, menyelimuti tanah yang masih basah oleh hujan semalam. Langit berwarna keabu-abuan, memancarkan suasana yang melankolis. Hutan di sekeliling mereka terasa sunyi, seolah alam memberikan ruang bagi mereka untuk bernapas setelah malam penuh ketegangan.Dante berdiri di tepi jurang kecil, menatap jauh ke cakrawala yang terselubung kabut. Napasnya berat, namun lebih karena beban yang ia rasakan di dalam hati, bukan karena kelelahan fisik. Ia mengenggam pedangnya erat, meskipun bahunya telah melemah."Dante," suara Ayra memecah kesunyian, lembut namun penuh perhatian. Wanita itu berjalan mendekat, langkahnya hati-hati di atas tanah yang licin. "Kita sudah melangkah sejauh ini. Apa yang kau pikirkan sekarang?"Dante tidak segera menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, seolah merenungkan sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Namun, di dalam hatinya, ia merasa seolah-olah semua perjuangan mereka belum benar-benar berakhir."Aku memikirkan... bagai
Suara berat itu merambat seperti guntur yang menggelegar di malam tanpa bintang. Dante menoleh sejenak, bertukar pandang dengan Elena. Tatapannya tegas, memberikan isyarat agar gadis itu tetap diam di tempatnya. Dari balik semak-semak yang lebat, mereka mengintip ke arah clearing, tempat seorang pria berperawakan tinggi berdiri dengan wibawa yang tak terbantahkan. Jubah gelapnya berkibar perlahan, dihiasi lambang misterius yang membuat bulu kuduk Elena berdiri.“Dia pemimpin mereka...” bisik Elena hampir tak terdengar, bibirnya bergetar.Dante mengangguk pelan, matanya tak lepas dari sosok itu. “Kita harus tahu apa rencananya.”Pria berjubah itu berdiri di tengah kerumunan orang-orangnya yang diam seperti patung. Ia berbicara dengan nada rendah tapi penuh kuasa, setiap katanya menyelinap seperti pisau tajam ke dalam keheningan.“Operasi ini adalah langkah terakhir kita. Pastikan tidak ada kesalahan. Target sudah mendekat, dan kita tidak punya ruang untuk kegagalan.”Dante menahan napa
Dante berdiri dengan tangan terkepal di samping tubuhnya. Matanya tak lepas dari Marcus, yang kini duduk bersandar di batang pohon dengan napas terengah-engah. Luka di tubuh Marcus jelas lebih buruk daripada yang terlihat pada awalnya. Meski begitu, sesuatu tentang kedatangannya terasa ganjil, membuat setiap otot di tubuh Dante tetap tegang."Apa yang kau maksud dengan serangan berikutnya?" tanya Dante akhirnya, suaranya rendah, nyaris berbisik.Marcus mengangkat kepala, matanya yang suram menunjukkan keletihan sekaligus penyesalan. “Mereka berencana menyerang desa kecil di sebelah selatan lembah. Tempat itu... tempat itu bukan hanya desa biasa. Ada sesuatu yang mereka sembunyikan di sana.”Ayra, yang berdiri tak jauh, melipat tangan di dada sambil menyandarkan bahunya ke pohon. Tatapannya tajam, penuh kecurigaan. "Kenapa baru sekarang kau memberitahu kami? Kalau informasi ini memang penting, kenapa tidak kau bawa sejak awal?”Marcus menelan ludah, seolah mencoba mencari kata-kata yan
Cahaya di altar itu semakin terang, seolah menyelimuti mereka dalam kabut keputus-asaan yang memaksa setiap langkah mereka untuk diambil dengan penuh perhitungan. Ayra bisa merasakan getaran di dalam tubuhnya, seperti sesuatu yang besar tengah berputar di luar kendali mereka. Ini adalah saat penentuan. Keputusan yang mereka buat akan mengubah segala hal.Dante, yang berdiri di sampingnya, menarik napas panjang dan menatap Ayra. "Apapun yang terjadi, kita sudah sampai di sini bersama. Apa pun konsekuensinya, kita akan hadapi."Ayra merasakan ketenangan dalam kata-kata Dante, meskipun hatinya sendiri berdebar keras. Mereka telah melewati begitu banyak rintangan, begitu banyak tantangan, namun apa yang ada di hadapan mereka ini masih penuh misteri. Adakah mereka benar-benar siap untuk keputusan yang ada di depan mata?"Saya tahu," jawab Ayra dengan suara yang agak gemetar. "Tapi ini bukan hanya tentang kita, kan? Ini tentang semua yang kita cintai. Tenta
Ayra merasakan getaran aneh yang mengguncang tubuhnya begitu mereka melangkah lebih dekat ke cahaya itu. Setiap langkah terasa semakin berat, seolah dunia di sekitar mereka mulai berubah, menyesuaikan diri dengan keputusan yang sudah mereka buat. Cahaya itu semakin terang, dan seiring dengan itu, bayangan yang mengintai mereka juga semakin jelas."Ini terasa seperti... kita menuju ke sesuatu yang tak bisa kita kendalikan," kata Elena, matanya waspada, menatap cahaya yang semakin mendekat. "Tapi kita sudah di sini. Tidak ada pilihan lain selain melangkah maju."Ayra menatap ke depan, merasakan seakan dunia di sekitar mereka berhenti sejenak. Semua ketegangan yang mereka rasakan, semua rahasia yang tersembunyi di balik kabut, terasa seperti beban yang harus mereka hadapi satu per satu. Namun, meskipun mereka tahu bahwa ini adalah langkah yang tak bisa ditarik mundur, ada kekuatan yang lebih besar di dalam diri mereka untuk tetap melanjutkan.Dante berja
Mereka melangkah dengan hati yang penuh ketegangan, menjauh dari tempat Adrian menghilang ke dalam kabut. Setiap langkah terasa berat, seakan beban yang mereka bawa semakin besar. Ayra, yang berjalan di samping Dante, merasa ketidakpastian melingkupi hatinya. Ke mana mereka sebenarnya menuju? Dan lebih penting lagi, apa yang akan mereka hadapi di depan? "Adrian... mengapa ia kembali sekarang?" Ayra berbisik, suaranya hampir tenggelam dalam gemuruh angin yang berhembus kencang. "Kenapa tidak sebelumnya?" Dante berjalan dengan langkah tegap, meskipun ia pun merasakan kegelisahan yang sama. Ia tahu Adrian tidak pernah datang tanpa tujuan, dan itu yang membuatnya semakin waspada. "Mungkin itu bukan kebetulan," jawab Dante, suaranya tetap tegas meskipun ada keraguan yang menggerayangi pikirannya. "Mungkin ada sesuatu yang lebih besar dari yang kita ketahui." Elena, yang berjalan sedikit lebih jauh di belakang, tiba-tiba berhenti. "Tunggu
Suasana malam semakin mencekam, udara dingin menggigit kulit mereka yang terasa lebih sensitif setelah perjalanan panjang yang penuh dengan ketegangan. Langkah-langkah mereka di tengah kabut yang menyelimuti hanya diiringi oleh suara detak jantung yang semakin cepat. Ayra merasa beban yang ada di pundaknya semakin berat. Semakin dekat mereka pada tujuan, semakin jelas bahwa takdir mereka akan segera terungkap, namun apakah itu takdir yang mereka harapkan?"Ayra," suara Dante memecah kesunyian, lembut namun penuh tekanan. "Apa yang kau rasakan sekarang? Kita semakin dekat."Ayra mengangkat wajahnya, matanya penuh pertanyaan. Meski bibirnya ingin berkata sesuatu, kata-kata itu terasa seperti beban yang terlalu berat untuk diungkapkan. Keputusan yang akan mereka buat nanti bukan hanya tentang hubungan mereka, tetapi juga tentang kehidupan mereka, masa depan mereka. Mereka tidak hanya berhadapan dengan pilihan pribadi, tetapi juga dengan sesuatu yang lebih besar,
Langkah Dante terasa semakin berat, seolah ada sesuatu yang menahan setiap gerakannya. Udara malam yang dingin menyeruak lewat celah-celah jaketnya, memeluk tubuhnya dengan rasa yang menyusup sampai ke dalam tulang. Jalanan yang mereka lalui semakin sempit, seolah mengarah pada sebuah tempat yang penuh dengan misteri dan ketidakpastian. Kabut tipis yang mulai turun menambah kesan sunyi, menutupi segalanya kecuali langkah-langkah mereka yang semakin terasa berat.Dante menoleh ke belakang, memastikan bahwa Ayra dan Elena masih berada di belakangnya. Mereka berjalan dengan jarak yang sedikit lebih jauh dari biasanya, seolah ketegangan yang ada di udara memisahkan mereka lebih jauh daripada yang sebenarnya. Ayra tampak lebih diam dari biasanya, wajahnya yang biasanya ceria kini diselimuti kekhawatiran yang jelas terlihat. Meskipun ia berusaha menyembunyikan perasaan itu, matanya yang sesekali tertunduk menunjukkan kegelisahan yang sulit ditutupi.Dante merasa beb
Matahari pagi memancarkan sinarnya dengan lembut di atas kediaman keluarga Dante. Udara musim semi yang segar membawa keheningan yang menenangkan, tetapi di dalam hati beberapa orang, badai perasaan masih berkecamuk. Ayra duduk di taman belakang rumah, jari-jarinya memetik kelopak bunga melati yang tumbuh di pinggir pagar. Wajahnya terlihat damai, namun sorot matanya memancarkan kebimbangan yang mendalam. Ia masih mengingat percakapan terakhirnya dengan Dante, di mana pria itu mengungkapkan perasaannya. Kebahagiaan yang meluap-luap masih terasa, tetapi bersamanya datang juga beban. Langkah kaki pelan terdengar mendekat. Ayra menoleh dan melihat Elena berdiri di belakangnya. Wajah Elena terlihat tenang, meskipun Ayra tahu ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan perempuan itu. "Elena," sapa Ayra, mencoba tersenyum. Elena balas tersenyum dan berjalan mendekat, duduk di bangku yang sama dengan Ayra. “Pagi yang indah,
Langit pagi menyambut mereka dengan cahaya lembut berwarna jingga. Kabut tipis masih menyelimuti lembah, menciptakan pemandangan yang menenangkan. Di kejauhan, suara burung-burung pagi mulai terdengar, mengiringi langkah mereka yang perlahan kembali ke rumah utama.Ayra berjalan sedikit di depan, langkahnya ringan namun pikirannya jauh melayang. Ia tidak bisa berhenti memikirkan apa yang baru saja terjadi semalam. Kata-kata Dante masih terngiang di telinganya, seperti melodi yang tidak selesai dimainkan.“Kenapa rasanya semakin sulit untuk memahami hatinya?” gumam Ayra dalam hati. Ia menggenggam erat syalnya, seolah mencari kehangatan di tengah udara pagi yang dingin.Elena, yang berjalan di samping Dante, mencuri pandang ke arah pria itu. Wajahnya tampak letih, dengan sorot mata yang kosong. Elena tahu Dante sedang bergulat dengan pikirannya sendiri, mencoba mencari arah yang benar.“Kau tahu, Dante,” kata Elena, memecah keheningan di antara
Malam yang dingin terasa menusuk tulang. Langkah Dante yang berat menyusuri jalan setapak di tengah hutan hanya ditemani oleh suara angin yang menggerakkan dedaunan. Setelah percakapan yang penuh emosi antara dirinya, Ayra, dan Elena, hatinya terasa seperti medan perang. Keputusannya untuk tetap berdiri di tengah-tengah mereka telah menyisakan perih yang tak bisa ia hilangkan begitu saja.Dante berhenti di sebuah pohon tua yang menjulang tinggi. Ia bersandar di batangnya yang kasar, menatap langit malam yang dihiasi ribuan bintang. Sebuah napas berat meluncur dari bibirnya, seolah-olah ia mencoba melepaskan beban yang menghimpit dadanya.“Dante…” suara itu, lembut namun tegas, terdengar dari belakangnya.Dante menoleh. Elena berdiri di sana, membawa lentera kecil yang sinarnya berkilau redup. Wajahnya terlihat tenang, namun sorot matanya memancarkan kecemasan yang tak bisa ia sembunyikan.“Kau seharusnya istirahat, Elena,” kata Dante, mencoba
Senja mulai mengintip di ujung cakrawala, mewarnai langit dengan semburat oranye yang lembut. Di tengah reruntuhan kota tua, Dante berdiri dengan tubuh tegap, matanya memandang ke arah Elena dan Ayra yang berada tak jauh darinya. Ada ketegangan yang begitu nyata di udara, namun sekaligus kehangatan yang tak bisa disangkal.Ayra memalingkan wajah, membiarkan angin memainkan rambut hitam legamnya. “Kita sudah sampai sejauh ini, tapi aku masih merasa ada yang kurang,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada orang lain.Dante menoleh, menatapnya dengan sorot mata yang hangat. “Apa yang kurang, Ayra?” tanyanya pelan, suaranya terdengar seperti bisikan yang meresap ke dalam kesunyian.“Elena tahu,” jawab Ayra, suaranya serak. Ia menoleh ke arah Elena yang berdiri beberapa langkah di sebelahnya, wajahnya diliputi keraguan. “Kau tahu, kan? Apa yang sebenarnya masih kita cari?”Elena terdiam, wajahnya yang biasanya dingin tampak goyah. Ia meng