Home / Urban / TAKHTA BAYANGAN / Bab 43: Perang Bayangan

Share

Bab 43: Perang Bayangan

Author: Zayba Almira
last update Last Updated: 2024-12-18 15:32:32

Lorong gedung tua itu dipenuhi dengan bayangan dan debu. Denting peluru yang melayang di udara menjadi latar suara yang menusuk hati. Dante merapatkan tubuhnya ke dinding beton, napasnya terengah, sementara pikirannya terus bekerja mencari jalan keluar.

“Elena,” bisiknya, mencoba tetap tenang meski dadanya terasa sesak. “Kita tidak punya banyak waktu.”

Elena, yang bersembunyi di sudut ruangan, mengangguk dengan wajah tegang. Tatapannya tak pernah lepas dari lorong gelap di depannya, di mana bayangan musuh terus berkeliaran.

“Apa rencananya sekarang, Dante?” tanya Elena, suaranya rendah tapi penuh urgensi.

Dante memejamkan mata sejenak, mencoba meredam amarah yang mendidih di dalam dirinya. “Kita harus menuju ruang kontrol dan mematikan sistem mereka. Itu satu-satunya cara untuk membalikkan keadaan.”

Dengan isyarat tangan, Dante meminta Elena bergerak terlebih dahulu melalui pintu samping. Ia sendiri tetap di tempat, menciptakan pengalih perhatian dengan melemparkan granat asap k
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 44: Jalan Di Antara Reruntuhan

    Debu menggantung tebal di udara, membuat setiap napas terasa berat dan menyakitkan. Dante duduk bersandar di salah satu pilar yang masih berdiri, tangannya mencengkeram sisi perutnya yang terluka. Darah mengalir perlahan, menciptakan pola gelap pada kemejanya. Di sampingnya, Elena sibuk mencoba mengatur alat komunikasi darurat yang tampaknya rusak."Berhasil?" tanya Dante pelan, suaranya hampir tak terdengar di tengah deru napasnya.Elena menggigit bibirnya, frustrasi. "Tidak. Semua saluran mati. Entah mereka memutuskan jaringan atau alat ini memang tidak berguna."Dia melemparkan alat itu ke tanah dengan kemarahan yang tertahan, lalu menoleh ke arah Dante. Wajahnya mencerminkan kekhawatiran yang mendalam. "Kau... bagaimana lukamu?"Dante tersenyum kecil, meskipun rasa sakit menjalari seluruh tubuhnya. "Tidak separah yang kelihatannya. Aku hanya butuh waktu sebentar.""Tidak, Dante. Kita tidak punya waktu." Elena memeriksa lukanya dengan cermat, meskipun ia tahu mereka kekurangan perl

    Last Updated : 2024-12-18
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 1: Warisan di Balik Dinding

    Di Kota Avalon, pagi selalu datang dengan kabut tipis yang menyelimuti jalan-jalan sempit. Kota ini tidak pernah tidur; siang hari milik para pebisnis dan pekerja, malamnya milik penjahat dan bayangan. Namun, di tengah hiruk pikuk itu, Dante Castellano hanyalah seorang mahasiswa biasa yang mencoba menjalani hidup sederhana. Di luar apartemen kecilnya, klakson kendaraan beradu dengan langkah kaki orang-orang yang terburu-buru. Dante duduk di meja belajarnya, mengenakan kaos kusut dan kacamata bulat. Ia tenggelam dalam buku-buku hukum yang berserakan. "Sudah pukul delapan pagi," gumamnya, menguap sambil merapikan rambut hitam yang berantakan. Dante tidak pernah menyukai hidup yang mencolok. Ia menikmati kesunyian perpustakaan, kopi murah di kedai kecil, dan jarak dari apa pun yang berbau masalah. Namun, hari ini berbeda. Ponselnya bergetar, memunculkan nama yang sudah lama ia hindari: Damian. "Kenapa dia meneleponku?" pikir Dante sambil menatap layar. Ia menekan tombol jawab de

    Last Updated : 2024-11-22
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 2: Jejak dalam Kegelapan

    Langit malam di Distrik Avalon tertutup kabut tipis, menciptakan suasana kelam yang menyelimuti gedung-gedung tua di kawasan barat kota. Di dalam mobil yang melaju pelan, Dante duduk dengan gelisah. Pikirannya terus dihantui oleh pertemuannya dengan Damian dan informasi mengejutkan yang baru saja didapatnya. Di kursi kemudi, Elena tetap fokus pada jalan di depan, sesekali melirik Dante yang tampak tenggelam dalam pikirannya. “Kau baik-baik saja?” tanya Elena tiba-tiba, memecah kesunyian. Dante menghela napas panjang. “Aku tidak tahu harus bilang apa. Semuanya terasa... salah. Kau bilang ayahku dihancurkan dari dalam, dan sekarang aku berada di tengah permainan ini. Tapi aku bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.” Elena tersenyum tipis, tetapi ada nada serius dalam suaranya. “Kau ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi? Maka kau harus mulai membuka mata. Dunia ini tidak seindah yang kau pikirkan, Dante. Bahkan ayahmu pun tahu itu.” Dante tidak menjawab. Ia hanya

    Last Updated : 2024-11-22
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 3: Jejak yang Tertinggal

    Malam itu terasa semakin kelam seiring dengan semakin dekatnya Dante dengan dunia yang telah lama ia hindari. Dunia yang penuh dengan intrik, pengkhianatan, dan kekerasan. Namun, sekarang ia tidak punya pilihan selain melangkah lebih dalam. Baginya, ayahnya bukan sekadar sebuah kenangan, tetapi sebuah teka-teki yang harus ia pecahkan. Jika ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, ia harus menghadapi kenyataan yang tak terhindarkan. Di dalam kamar hotel yang sederhana, Elena duduk di depan meja, memeriksa dokumen-dokumen yang ia ambil dari markas rahasia. Dante berdiri di dekat jendela, memandang ke luar dengan pikiran yang terus berputar. "Apa rencanamu selanjutnya?" tanya Dante tanpa menoleh. Elena mengangkat kepala, menyipitkan matanya. "Kita menuju Raven's Nest. Tempat itu tidak akan mudah ditemukan, tapi aku tahu cara masuk." "Bagaimana kalau ada jebakan?" Dante berbalik dan memandang Elena. "Jika ada jebakan, kita harus siap," jawab Elena tegas. "Tapi, kita tidak punya ba

    Last Updated : 2024-11-22
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 4: Kebenaran yang Terungkap

    Dante berjalan dengan langkah mantap di sepanjang jalan yang ramai, meski hatinya masih terasa berdebar kencang. Setelah berhasil melarikan diri dari Raven’s Nest, hidupnya kini berada dalam ketegangan yang tak terhindarkan. Setiap detik terasa seperti petaka yang siap menghancurkan dirinya. Namun, di balik ketakutan itu, ada satu hal yang tidak bisa dia abaikan: kebenaran. Apa yang sebenarnya terjadi dengan ayahnya? Siapa yang benar-benar menginginkannya mati? Elena tetap berjalan di sampingnya, dengan langkah yang tenang dan penuh perhitungan. Sepertinya, wanita itu sudah terbiasa dengan dunia yang gelap ini, jauh lebih siap menghadapi bahaya yang selalu mengintai. Wajahnya yang dingin dan tenang justru memberikan kenyamanan bagi Dante yang masih merasa cemas. "Mereka pasti sudah tahu kita selamat," kata Elena, membuka percakapan. "Kita tidak bisa tinggal di sini terlalu lama. Kita harus bergerak." Dante menatapnya dengan tatapan serius. "Ke mana kita akan pergi?" "Ke tempat ya

    Last Updated : 2024-11-22
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 5: Hati yang Terpecah

    Dante dan Elena berlari menyusuri lorong-lorong sempit, merasakan jejak langkah kaki yang semakin dekat di belakang mereka. Keheningan malam itu terasa menyesakkan. Angin berhembus kencang, menyisir wajah mereka dengan dingin, namun hatinya jauh lebih dingin lagi. Setiap detik yang berlalu membawa mereka lebih dekat ke ancaman yang semakin jelas. Hanya ada satu tujuan dalam benak Dante: bertahan hidup. Tetapi saat ia menatap Elena di sampingnya, ia merasa ada lebih dari sekadar ancaman yang membayangi mereka. Ada kebenaran yang ingin ia pecahkan, sebuah rasa penasaran yang semakin menggerogoti hatinya. Setelah beberapa belokan tajam, mereka tiba di sebuah pintu yang tersembunyi di balik tumpukan barang-barang lama. Elena membuka pintu itu dengan cepat, menggenggam tangan Dante dengan erat. "Masuk," katanya tegas. Dante ragu sejenak, menatap ruang gelap di dalamnya. Mereka tak punya banyak pilihan. Elena sudah melangkah lebih dulu, dan Dante segera mengikuti, menutup pintu dengan le

    Last Updated : 2024-11-22
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 6: Percikan di Tengah Kegelapan

    Malam menyelimuti kota dengan gelap yang hampir sempurna. Langit tanpa bintang dan jalanan lengang terasa seperti sebuah pertanda buruk. Di sebuah gudang tua di pinggiran kota, suara-suara samar terdengar—bisikan penuh ketegangan dan langkah-langkah kaki yang berhati-hati. Di dalam, Dante berdiri memandangi papan penuh peta, dokumen, dan foto. Setiap potongan informasi terasa seperti teka-teki besar yang tidak sepenuhnya ia pahami. Elena berdiri di sampingnya, tangan terlipat dengan wajah tegang. "Ini semua hanya sebagian kecil," kata Elena sambil menunjuk ke salah satu peta. "The Codex mungkin saja disembunyikan di salah satu fasilitas ini. Tapi setiap lokasi adalah ancaman." Dante mengangguk pelan, tetapi pikirannya tidak sepenuhnya ada di situ. Sejak mengetahui bahwa dirinya adalah pewaris dari kekuatan besar—dan berbahaya—ia merasa seperti hidupnya telah diambil alih oleh sesuatu yang tidak pernah ia minta. Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti melangkah ke jurang yang l

    Last Updated : 2024-11-23
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 7: Bayangan yang Lebih Gelap

    Pagi menyingsing dengan suasana muram. Dante berdiri di balkon sebuah rumah persembunyian yang terletak di pinggir kota, memandangi jalanan yang sepi. Matanya yang sembab menatap kosong, pikirannya kembali ke kejadian malam sebelumnya. Gudang itu hancur, Rafael lolos, dan Nina masih berada dalam ancaman. Elena datang menghampirinya, membawa secangkir kopi. "Kau tidak tidur sama sekali," katanya, meletakkan cangkir itu di meja kecil. "Aku tidak bisa," jawab Dante singkat. "Kepalaku dipenuhi oleh semua kemungkinan buruk. Rafael terus bermain-main denganku, dan aku selalu kalah." "Kita belum kalah," kata Elena dengan tegas, mencoba mengembalikan semangat Dante. "Kita masih di sini, dan kita masih punya kesempatan untuk membalikkannya." "Tapi dengan harga apa?" Dante menoleh padanya. "Berapa banyak lagi orang yang harus terjebak dalam permainan ini? Aku sudah kehilangan terlalu banyak, Elena." Elena mendekat, menatapnya dengan serius. "Justru karena itu kau tidak boleh menyerah. Kau

    Last Updated : 2024-11-25

Latest chapter

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 44: Jalan Di Antara Reruntuhan

    Debu menggantung tebal di udara, membuat setiap napas terasa berat dan menyakitkan. Dante duduk bersandar di salah satu pilar yang masih berdiri, tangannya mencengkeram sisi perutnya yang terluka. Darah mengalir perlahan, menciptakan pola gelap pada kemejanya. Di sampingnya, Elena sibuk mencoba mengatur alat komunikasi darurat yang tampaknya rusak."Berhasil?" tanya Dante pelan, suaranya hampir tak terdengar di tengah deru napasnya.Elena menggigit bibirnya, frustrasi. "Tidak. Semua saluran mati. Entah mereka memutuskan jaringan atau alat ini memang tidak berguna."Dia melemparkan alat itu ke tanah dengan kemarahan yang tertahan, lalu menoleh ke arah Dante. Wajahnya mencerminkan kekhawatiran yang mendalam. "Kau... bagaimana lukamu?"Dante tersenyum kecil, meskipun rasa sakit menjalari seluruh tubuhnya. "Tidak separah yang kelihatannya. Aku hanya butuh waktu sebentar.""Tidak, Dante. Kita tidak punya waktu." Elena memeriksa lukanya dengan cermat, meskipun ia tahu mereka kekurangan perl

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 43: Perang Bayangan

    Lorong gedung tua itu dipenuhi dengan bayangan dan debu. Denting peluru yang melayang di udara menjadi latar suara yang menusuk hati. Dante merapatkan tubuhnya ke dinding beton, napasnya terengah, sementara pikirannya terus bekerja mencari jalan keluar. “Elena,” bisiknya, mencoba tetap tenang meski dadanya terasa sesak. “Kita tidak punya banyak waktu.” Elena, yang bersembunyi di sudut ruangan, mengangguk dengan wajah tegang. Tatapannya tak pernah lepas dari lorong gelap di depannya, di mana bayangan musuh terus berkeliaran. “Apa rencananya sekarang, Dante?” tanya Elena, suaranya rendah tapi penuh urgensi. Dante memejamkan mata sejenak, mencoba meredam amarah yang mendidih di dalam dirinya. “Kita harus menuju ruang kontrol dan mematikan sistem mereka. Itu satu-satunya cara untuk membalikkan keadaan.” Dengan isyarat tangan, Dante meminta Elena bergerak terlebih dahulu melalui pintu samping. Ia sendiri tetap di tempat, menciptakan pengalih perhatian dengan melemparkan granat asap k

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 42: Langkah Dalam Kegelapan

    Pagi di gudang aman terasa lebih sunyi dari biasanya. Tidak ada hiruk-pikuk langkah kaki atau percakapan ringan yang biasa terdengar. Semua orang tenggelam dalam pikiran masing-masing. Dante berdiri di depan jendela kecil yang menghadap ke halaman belakang, tatapannya kosong seperti orang yang memikul dunia di pundaknya.“Dante,” suara Elena memecah keheningan.Dante berbalik, menemukan Elena berdiri di ambang pintu. Rambutnya diikat sederhana, tetapi ada kekuatan dalam cara ia menatapnya, seolah-olah mencoba menembus lapisan dinding emosional yang ia bangun.“Kita harus bicara,” kata Elena tegas.Dante mengangguk, meski dalam hatinya ia tahu pembicaraan ini tidak akan mudah.Elena menutup pintu di belakangnya, memastikan mereka memiliki privasi. Ia mendekat, duduk di kursi kayu yang sudah tua dan tampak hampir roboh.“Aku tahu kau mencoba melindungi kami,” kata Elena, suaranya rendah tapi tegas. “Tapi kau tidak bisa terus seperti ini, Dante. Kami membutuhkanmu sepenuhnya—tidak hanya

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 41: Kabut di Balik Bayangan

    Hujan masih menderas di luar gudang, menciptakan irama monoton yang hampir menenangkan. Namun, di dalam ruangan itu, ketenangan tidak pernah benar-benar hadir. Dante duduk di meja, wajahnya tertutup bayangan lampu redup. Di depannya, layar besar menampilkan serangkaian data yang terus bergerak, hasil pencarian Zayba tentang Phantom.“Dante, aku menemukan beberapa informasi penting,” suara Zayba memecah keheningan.Dante mengangkat kepala, menatap layar. “Apa yang kau temukan?”“Phantom adalah nama sandi dari individu bernama Ezra Viscari. Dia adalah mantan informan keluarga Lamonte sebelum terjadi insiden yang mengubah segalanya. Sekarang, dia memimpin jaringan kriminal bawah tanah yang lebih kompleks dari apa yang kita duga sebelumnya.”Dante menghela napas panjang, mencoba menenangkan gejolak emosinya. Ezra bukan hanya sekadar nama dari masa lalu. Dia adalah seseorang yang dulu ia percayai, seseorang yang ia anggap sebagai bagian dari keluarganya.“Kenapa sekarang?” Dante bergumam p

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 40: Bayangan Masa Lalu

    Hujan telah reda, meninggalkan jejak embun di dedaunan dan aspal basah yang memantulkan kelamnya malam. Di sudut kota yang tersembunyi, sebuah gudang tua berdiri bisu, menyembunyikan berbagai rahasia yang terlalu gelap untuk disentuh cahaya. Dante berdiri di tengah ruangan yang remang, memandangi papan tulis penuh catatan, peta, dan potret-potret yang telah ia susun selama beberapa bulan terakhir. Wajah-wajah itu tampak familiar. Musuh yang telah ia lawan, teman yang telah ia kehilangan, dan orang-orang yang telah ia kecewakan. Jemarinya bergerak lambat menyentuh foto Marco, Elena, dan dirinya sendiri, yang terpajang di sudut papan itu. “Kapan ini akan berakhir?” gumamnya, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. Zayba, asisten virtualnya, menjawab dengan nada datar namun penuh perhatian. “Hanya ketika kau memutuskan untuk berhenti, Dante. Tetapi kau tahu, jalan ini sudah terlalu jauh untuk dihentikan sekarang.” Dante mendengus, setengah menyalahkan, setengah setuju. “

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 39: Perang di Tengah Bayangan

    Suara hujan yang jatuh di atas genting logam menciptakan ritme melankolis di kawasan industri yang terlantar. Dante berdiri di bawah naungan bayangan sebuah kontainer besar, matanya menyusuri gelapnya malam dengan penuh kehati-hatian. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, telapak tangan terasa dingin tetapi tetap kokoh, seperti kegigihan yang telah melekat dalam dirinya. “Zayba,” panggil Dante, suaranya pelan namun tegas. “Analisa situasi.” Suara Zayba terdengar di telinganya, tenang seperti biasa. “Ada lima penjaga di gerbang utama. Mereka dilengkapi persenjataan berat, dan satu truk suplai sudah tiba. Jika mereka berhasil membawa truk itu pergi, misi kita akan gagal.” Dante menutup matanya sejenak, menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri dari tekanan yang terus menggelayuti pikirannya. Ini bukan hanya soal memenangkan pertempuran, tetapi soal membuktikan bahwa ia mampu menghadapi setiap tantangan, apapun risikonya. Di kejauhan, Marco dan Elena menunggu di posisi masing-m

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 38: Perang Pikiran

    Suara jerat listrik masih terngiang di telinga Dante. Tubuhnya terbaring lemah di lantai dingin, napasnya tersengal-sengal. Rasa panas yang menjalar ke seluruh tubuh membuat setiap ototnya menjerit dalam kesakitan, seolah memaksanya menyerah pada takdir kelam yang dihadapi. Di atasnya, Leonhardt berdiri dengan percaya diri. Tatapannya tajam, seolah menatap mangsa yang tak berdaya. Bibirnya menyunggingkan senyum yang dipenuhi ejekan. “Kau benar-benar keras kepala, Dante,” Leonhardt membuka percakapan, suaranya dingin. “Aku sudah memberimu banyak kesempatan untuk mundur. Tapi lihatlah dirimu sekarang. Hancur, lemah, tak berdaya.” Dante menggeram dalam hati. Ia ingin menjawab, tetapi jerat listrik itu terlalu kuat, membuatnya sulit bergerak, apalagi berbicara. Leonhardt berjalan mengelilinginya dengan santai, seperti seorang raja yang baru saja memenangkan perang. “Kau pikir kau bisa mengalahkan aku? Kau pikir semua omong kosong tentang harapan dan keadilan bisa menghancurkan k

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 37: Bayang Pengkhianat

    Lorong gelap itu terasa seperti menyempit di sekitar Dante, setiap langkahnya membisikkan ancaman baru. Bau mesiu yang menggantung di udara bercampur dengan aroma besi dari darah yang telah lama mengering di lantai. Namun, pikiran Dante bukan tentang bau itu, melainkan tentang kata-kata Leonhardt. "Aku tahu semua tentang kalian." Kata-kata itu terus terngiang di telinganya, menekan dada Dante seperti beban tak terlihat. Saat langkah kakinya membawa dia lebih dalam ke labirin markas, Dante menggenggam senjatanya erat-erat, meskipun ia tahu bahwa peluru bukan satu-satunya alat yang akan ia perlukan untuk bertahan. “Elena, Marco, tetap di belakangku,” ucap Dante tanpa menoleh. Suaranya tenang, tapi penuh otoritas. Marco merespons dengan nada cemas, “Dante, kita tidak bisa terus seperti ini. Kita perlu strategi yang lebih baik. Leonhardt jelas sudah mempermainkan kita.” “Strategi itu tidak akan berguna jika kita tidak keluar dari sini hidup-hidup,” balas Dante cepat, mengamati setia

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 36: Bayangan di Balik Tirai

    Ruang utama markas Leonhardt terasa dingin dan hening, meski dindingnya terlapis ornamen mahal yang memancarkan kemewahan. Lampu gantung kristal di langit-langit berkilauan, tetapi sinarnya tak mampu mengusir kegelapan yang seakan menyelimuti setiap sudut ruangan. Dante berdiri tegap, tetapi di dalam dirinya, badai berkecamuk. Di hadapannya, Leonhardt masih duduk santai di kursi megahnya. Mata pria itu menatap tajam, penuh keyakinan, seolah tahu bahwa setiap langkah Dante telah diperhitungkan sebelumnya. “Kau benar-benar mengejutkanku, Dante,” kata Leonhardt sambil menyilangkan kaki. “Aku kira kau akan menyerah di tengah jalan, tapi ternyata kau lebih keras kepala dari yang kubayangkan.” Dante mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, mencoba menahan gejolak emosinya. “Aku tidak datang untuk mendengar omongan kosongmu, Leonhardt. Aku datang untuk mengakhiri semua ini.” Leonhardt tersenyum tipis, seperti seorang guru yang sedang mengamati muridnya yang ceroboh. “Mengakhiri? Kau

DMCA.com Protection Status