Lorong gedung tua itu dipenuhi dengan bayangan dan debu. Denting peluru yang melayang di udara menjadi latar suara yang menusuk hati. Dante merapatkan tubuhnya ke dinding beton, napasnya terengah, sementara pikirannya terus bekerja mencari jalan keluar. “Elena,” bisiknya, mencoba tetap tenang meski dadanya terasa sesak. “Kita tidak punya banyak waktu.” Elena, yang bersembunyi di sudut ruangan, mengangguk dengan wajah tegang. Tatapannya tak pernah lepas dari lorong gelap di depannya, di mana bayangan musuh terus berkeliaran. “Apa rencananya sekarang, Dante?” tanya Elena, suaranya rendah tapi penuh urgensi. Dante memejamkan mata sejenak, mencoba meredam amarah yang mendidih di dalam dirinya. “Kita harus menuju ruang kontrol dan mematikan sistem mereka. Itu satu-satunya cara untuk membalikkan keadaan.” Dengan isyarat tangan, Dante meminta Elena bergerak terlebih dahulu melalui pintu samping. Ia sendiri tetap di tempat, menciptakan pengalih perhatian dengan melemparkan granat asap k
Debu menggantung tebal di udara, membuat setiap napas terasa berat dan menyakitkan. Dante duduk bersandar di salah satu pilar yang masih berdiri, tangannya mencengkeram sisi perutnya yang terluka. Darah mengalir perlahan, menciptakan pola gelap pada kemejanya. Di sampingnya, Elena sibuk mencoba mengatur alat komunikasi darurat yang tampaknya rusak."Berhasil?" tanya Dante pelan, suaranya hampir tak terdengar di tengah deru napasnya.Elena menggigit bibirnya, frustrasi. "Tidak. Semua saluran mati. Entah mereka memutuskan jaringan atau alat ini memang tidak berguna."Dia melemparkan alat itu ke tanah dengan kemarahan yang tertahan, lalu menoleh ke arah Dante. Wajahnya mencerminkan kekhawatiran yang mendalam. "Kau... bagaimana lukamu?"Dante tersenyum kecil, meskipun rasa sakit menjalari seluruh tubuhnya. "Tidak separah yang kelihatannya. Aku hanya butuh waktu sebentar.""Tidak, Dante. Kita tidak punya waktu." Elena memeriksa lukanya dengan cermat, meskipun ia tahu mereka kekurangan perl
Langit malam menggelap, menelan sisa cahaya bulan yang tertutup awan tebal. Dante, Elena, dan Ayra berjalan perlahan di jalan berbatu di tengah reruntuhan kota yang sunyi. Napas mereka berat, seakan menanggung beban tak kasat mata. Ayra berjalan di depan, matanya tajam memindai setiap sudut jalan. Elena menopang Dante yang lemah akibat luka di perutnya, darah masih merembes dari balutan seadanya. "Seberapa jauh lagi?" tanya Elena, suaranya lirih namun penuh kecemasan. Ayra menoleh sedikit, matanya tetap awas. "Tidak jauh. Ada tempat persembunyian di bawah tanah. Kita bisa beristirahat di sana." Dante menarik napas panjang, berusaha menahan rasa sakit. "Apakah tempat itu aman?" Ayra tidak langsung menjawab, lalu berkata singkat, "Cukup aman untuk sementara." Jawaban itu menimbulkan keraguan di wajah Elena, tetapi sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, suara langkah berat terdengar dari belakang mereka. Langkah kaki yang berat dan teratur semakin mendekat, memecah keheningan mal
Di sudut ruangan gelap yang diterangi lampu kecil, keheningan terasa begitu tegang. Ayra sedang memeriksa pintu baja, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka, sementara Elena sibuk membersihkan luka Dante. Tangannya gemetar saat kain lap menyentuh luka terbuka di sisi perut Dante. “Maafkan aku,” bisik Elena pelan. Dante menggeleng pelan, mencoba menyembunyikan rasa sakit di balik senyumnya. “Ini bukan salahmu. Jangan terlalu menyalahkan diri.” Elena tidak menjawab. Wajahnya tetap tegang, matanya berkaca-kaca. Tangannya terhenti, dan dia menatap Dante. “Kau harus berhenti memaksakan diri. Aku tahu kau ingin melindungi kami, tapi kalau kau terus seperti ini... aku takut kau tidak akan bertahan.” Dante menghela napas panjang. “Aku harus bertahan, Elena. Jika aku menyerah, siapa yang akan menghadapi Ezra? Siapa yang akan memastikan kau tetap hidup?” Elena menatapnya dengan tatapan tajam. “Aku bisa menjaga diriku sendiri, Dante. Aku bukan gadis lemah yang perlu kau lindungi setiap
Ezra berdiri dengan senyum dingin, seperti raja di tengah medan perang. Dia menatap Dante dan Elena dengan tatapan tajam, seolah menilai seberapa lama mereka bisa bertahan. “Sudah lama sekali, Dante. Kupikir kau sudah mati di lubang tikus tempatmu bersembunyi,” katanya, suaranya tajam namun penuh ironi. Dante mencoba menyembunyikan rasa sakit yang menyiksa tubuhnya. Dia memutuskan untuk tidak menunjukkan kelemahan di hadapan Ezra, bahkan jika itu menghabiskan kekuatan terakhirnya. “Elena, berdiri di belakangku,” bisik Dante dengan suara rendah. Elena menatapnya dengan khawatir. “Kau tidak bisa melawannya dalam kondisi ini. Kita harus mencari jalan lain.” “Tidak ada jalan lain,” jawab Dante. “Jika aku tidak menghadapinya sekarang, dia akan memburu kita tanpa henti. Ini harus diakhiri.” Ezra mengangkat pistolnya perlahan, menatap Dante dengan ekspresi santai. “Kau ingin bertarung, Dante? Dalam kondisimu sekarang? Kau hampir tidak bisa berdiri.” Dante tidak menjawab. Dia
Dini hari, cahaya matahari belum menembus kabut tebal yang menyelimuti kota. Dante duduk di sudut ruangan, memegang bahunya yang masih terluka. Luka itu lebih dari sekadar fisik; setiap denyut sakit mengingatkannya pada kegagalan—kegagalannya melindungi orang-orang yang dia cintai. Elena mendekat perlahan, membawa semangkuk air hangat dan kain bersih. Tanpa berkata apa-apa, dia mulai membersihkan luka di bahu Dante. Sentuhannya lembut, tetapi Dante tetap meringis. “Kau harus lebih hati-hati,” gumam Elena, suaranya pelan namun penuh emosi. Dante menghela napas panjang, tidak tahu harus menjawab apa. Dia tahu Elena benar, tetapi keadaan tidak memberinya pilihan. “Aku tidak bisa berhenti sekarang,” akhirnya dia berkata, nadanya tegas. “Jika aku berhenti, Ezra akan terus memburu kita, menghancurkan apa pun yang ada di jalannya.” “Tapi kau tidak bisa terus seperti ini, Dante,” balas Elena, air mata mulai menggenang di matanya. “Kau melawan dunia sendirian. Sampai kapan tubuhmu bisa m
Malam itu begitu sunyi, tetapi bagi Dante, ketenangan hanyalah ilusi. Langit hitam pekat tanpa bintang menjadi saksi bisu kebimbangannya. Di dalam markas yang kini terasa lebih dingin daripada biasanya, dia duduk di ruangan kecil dengan dokumen tua yang diberikan Elena tergeletak di atas meja. Cahaya lampu kuning temaram memperlihatkan sorot matanya yang tajam, tetapi ada kegelisahan yang sulit disembunyikan. Di hadapannya, layar holografis dari chip di tubuhnya memproyeksikan data yang terus bergerak. “Elena mungkin benar,” gumamnya, memandangi data yang menunjukkan batas kemampuan chip tersebut. Ada garis merah yang menandai potensi bahaya. Sebuah ketukan pelan di pintu mengalihkan perhatiannya. Ayra masuk tanpa menunggu jawaban, membawa sebuah peta besar yang sudah penuh dengan coretan. “Kau harus melihat ini,” katanya langsung, suaranya tegas tetapi wajahnya terlihat lelah. Dante menatap peta itu dengan tatapan kosong. Ia tahu apa yang akan Ayra katakan, tetapi pikirannya
Hujan turun deras malam itu, membawa aroma tanah basah yang menyelubungi markas. Di ruang bawah tanah, suara langkah kaki menggema, menggambarkan suasana hati Dante yang berat. Dia menatap layar holografis yang memproyeksikan laporan terakhir dari misi mereka, mencoba memahami apa yang telah terjadi. Namun, tidak peduli seberapa keras dia mencoba, rasa bersalah atas Marco masih menghantui pikirannya. Ada sesuatu yang salah, bukan hanya tentang misi yang gagal separuh itu, tetapi juga dengan orang-orang di sekitarnya. “Dante,” suara Ayra memecah keheningan. Ia berdiri di ambang pintu dengan wajah penuh perhatian. “Semua orang menunggumu di ruang pertemuan. Kita perlu membahas langkah berikutnya.” Dante hanya mengangguk pelan tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. Namun, Ayra tidak bergerak dari tempatnya. “Dante,” katanya lagi, kali ini lebih tegas. “Kau tidak bisa terus menyalahkan dirimu. Marco tahu risikonya.” “Aku tahu,” balas Dante dengan suara serak. “Tapi mengetahui
Cahaya di altar itu semakin terang, seolah menyelimuti mereka dalam kabut keputus-asaan yang memaksa setiap langkah mereka untuk diambil dengan penuh perhitungan. Ayra bisa merasakan getaran di dalam tubuhnya, seperti sesuatu yang besar tengah berputar di luar kendali mereka. Ini adalah saat penentuan. Keputusan yang mereka buat akan mengubah segala hal.Dante, yang berdiri di sampingnya, menarik napas panjang dan menatap Ayra. "Apapun yang terjadi, kita sudah sampai di sini bersama. Apa pun konsekuensinya, kita akan hadapi."Ayra merasakan ketenangan dalam kata-kata Dante, meskipun hatinya sendiri berdebar keras. Mereka telah melewati begitu banyak rintangan, begitu banyak tantangan, namun apa yang ada di hadapan mereka ini masih penuh misteri. Adakah mereka benar-benar siap untuk keputusan yang ada di depan mata?"Saya tahu," jawab Ayra dengan suara yang agak gemetar. "Tapi ini bukan hanya tentang kita, kan? Ini tentang semua yang kita cintai. Tenta
Ayra merasakan getaran aneh yang mengguncang tubuhnya begitu mereka melangkah lebih dekat ke cahaya itu. Setiap langkah terasa semakin berat, seolah dunia di sekitar mereka mulai berubah, menyesuaikan diri dengan keputusan yang sudah mereka buat. Cahaya itu semakin terang, dan seiring dengan itu, bayangan yang mengintai mereka juga semakin jelas."Ini terasa seperti... kita menuju ke sesuatu yang tak bisa kita kendalikan," kata Elena, matanya waspada, menatap cahaya yang semakin mendekat. "Tapi kita sudah di sini. Tidak ada pilihan lain selain melangkah maju."Ayra menatap ke depan, merasakan seakan dunia di sekitar mereka berhenti sejenak. Semua ketegangan yang mereka rasakan, semua rahasia yang tersembunyi di balik kabut, terasa seperti beban yang harus mereka hadapi satu per satu. Namun, meskipun mereka tahu bahwa ini adalah langkah yang tak bisa ditarik mundur, ada kekuatan yang lebih besar di dalam diri mereka untuk tetap melanjutkan.Dante berja
Mereka melangkah dengan hati yang penuh ketegangan, menjauh dari tempat Adrian menghilang ke dalam kabut. Setiap langkah terasa berat, seakan beban yang mereka bawa semakin besar. Ayra, yang berjalan di samping Dante, merasa ketidakpastian melingkupi hatinya. Ke mana mereka sebenarnya menuju? Dan lebih penting lagi, apa yang akan mereka hadapi di depan? "Adrian... mengapa ia kembali sekarang?" Ayra berbisik, suaranya hampir tenggelam dalam gemuruh angin yang berhembus kencang. "Kenapa tidak sebelumnya?" Dante berjalan dengan langkah tegap, meskipun ia pun merasakan kegelisahan yang sama. Ia tahu Adrian tidak pernah datang tanpa tujuan, dan itu yang membuatnya semakin waspada. "Mungkin itu bukan kebetulan," jawab Dante, suaranya tetap tegas meskipun ada keraguan yang menggerayangi pikirannya. "Mungkin ada sesuatu yang lebih besar dari yang kita ketahui." Elena, yang berjalan sedikit lebih jauh di belakang, tiba-tiba berhenti. "Tunggu
Suasana malam semakin mencekam, udara dingin menggigit kulit mereka yang terasa lebih sensitif setelah perjalanan panjang yang penuh dengan ketegangan. Langkah-langkah mereka di tengah kabut yang menyelimuti hanya diiringi oleh suara detak jantung yang semakin cepat. Ayra merasa beban yang ada di pundaknya semakin berat. Semakin dekat mereka pada tujuan, semakin jelas bahwa takdir mereka akan segera terungkap, namun apakah itu takdir yang mereka harapkan?"Ayra," suara Dante memecah kesunyian, lembut namun penuh tekanan. "Apa yang kau rasakan sekarang? Kita semakin dekat."Ayra mengangkat wajahnya, matanya penuh pertanyaan. Meski bibirnya ingin berkata sesuatu, kata-kata itu terasa seperti beban yang terlalu berat untuk diungkapkan. Keputusan yang akan mereka buat nanti bukan hanya tentang hubungan mereka, tetapi juga tentang kehidupan mereka, masa depan mereka. Mereka tidak hanya berhadapan dengan pilihan pribadi, tetapi juga dengan sesuatu yang lebih besar,
Langkah Dante terasa semakin berat, seolah ada sesuatu yang menahan setiap gerakannya. Udara malam yang dingin menyeruak lewat celah-celah jaketnya, memeluk tubuhnya dengan rasa yang menyusup sampai ke dalam tulang. Jalanan yang mereka lalui semakin sempit, seolah mengarah pada sebuah tempat yang penuh dengan misteri dan ketidakpastian. Kabut tipis yang mulai turun menambah kesan sunyi, menutupi segalanya kecuali langkah-langkah mereka yang semakin terasa berat.Dante menoleh ke belakang, memastikan bahwa Ayra dan Elena masih berada di belakangnya. Mereka berjalan dengan jarak yang sedikit lebih jauh dari biasanya, seolah ketegangan yang ada di udara memisahkan mereka lebih jauh daripada yang sebenarnya. Ayra tampak lebih diam dari biasanya, wajahnya yang biasanya ceria kini diselimuti kekhawatiran yang jelas terlihat. Meskipun ia berusaha menyembunyikan perasaan itu, matanya yang sesekali tertunduk menunjukkan kegelisahan yang sulit ditutupi.Dante merasa beb
Matahari pagi memancarkan sinarnya dengan lembut di atas kediaman keluarga Dante. Udara musim semi yang segar membawa keheningan yang menenangkan, tetapi di dalam hati beberapa orang, badai perasaan masih berkecamuk. Ayra duduk di taman belakang rumah, jari-jarinya memetik kelopak bunga melati yang tumbuh di pinggir pagar. Wajahnya terlihat damai, namun sorot matanya memancarkan kebimbangan yang mendalam. Ia masih mengingat percakapan terakhirnya dengan Dante, di mana pria itu mengungkapkan perasaannya. Kebahagiaan yang meluap-luap masih terasa, tetapi bersamanya datang juga beban. Langkah kaki pelan terdengar mendekat. Ayra menoleh dan melihat Elena berdiri di belakangnya. Wajah Elena terlihat tenang, meskipun Ayra tahu ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan perempuan itu. "Elena," sapa Ayra, mencoba tersenyum. Elena balas tersenyum dan berjalan mendekat, duduk di bangku yang sama dengan Ayra. “Pagi yang indah,
Langit pagi menyambut mereka dengan cahaya lembut berwarna jingga. Kabut tipis masih menyelimuti lembah, menciptakan pemandangan yang menenangkan. Di kejauhan, suara burung-burung pagi mulai terdengar, mengiringi langkah mereka yang perlahan kembali ke rumah utama.Ayra berjalan sedikit di depan, langkahnya ringan namun pikirannya jauh melayang. Ia tidak bisa berhenti memikirkan apa yang baru saja terjadi semalam. Kata-kata Dante masih terngiang di telinganya, seperti melodi yang tidak selesai dimainkan.“Kenapa rasanya semakin sulit untuk memahami hatinya?” gumam Ayra dalam hati. Ia menggenggam erat syalnya, seolah mencari kehangatan di tengah udara pagi yang dingin.Elena, yang berjalan di samping Dante, mencuri pandang ke arah pria itu. Wajahnya tampak letih, dengan sorot mata yang kosong. Elena tahu Dante sedang bergulat dengan pikirannya sendiri, mencoba mencari arah yang benar.“Kau tahu, Dante,” kata Elena, memecah keheningan di antara
Malam yang dingin terasa menusuk tulang. Langkah Dante yang berat menyusuri jalan setapak di tengah hutan hanya ditemani oleh suara angin yang menggerakkan dedaunan. Setelah percakapan yang penuh emosi antara dirinya, Ayra, dan Elena, hatinya terasa seperti medan perang. Keputusannya untuk tetap berdiri di tengah-tengah mereka telah menyisakan perih yang tak bisa ia hilangkan begitu saja.Dante berhenti di sebuah pohon tua yang menjulang tinggi. Ia bersandar di batangnya yang kasar, menatap langit malam yang dihiasi ribuan bintang. Sebuah napas berat meluncur dari bibirnya, seolah-olah ia mencoba melepaskan beban yang menghimpit dadanya.“Dante…” suara itu, lembut namun tegas, terdengar dari belakangnya.Dante menoleh. Elena berdiri di sana, membawa lentera kecil yang sinarnya berkilau redup. Wajahnya terlihat tenang, namun sorot matanya memancarkan kecemasan yang tak bisa ia sembunyikan.“Kau seharusnya istirahat, Elena,” kata Dante, mencoba
Senja mulai mengintip di ujung cakrawala, mewarnai langit dengan semburat oranye yang lembut. Di tengah reruntuhan kota tua, Dante berdiri dengan tubuh tegap, matanya memandang ke arah Elena dan Ayra yang berada tak jauh darinya. Ada ketegangan yang begitu nyata di udara, namun sekaligus kehangatan yang tak bisa disangkal.Ayra memalingkan wajah, membiarkan angin memainkan rambut hitam legamnya. “Kita sudah sampai sejauh ini, tapi aku masih merasa ada yang kurang,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada orang lain.Dante menoleh, menatapnya dengan sorot mata yang hangat. “Apa yang kurang, Ayra?” tanyanya pelan, suaranya terdengar seperti bisikan yang meresap ke dalam kesunyian.“Elena tahu,” jawab Ayra, suaranya serak. Ia menoleh ke arah Elena yang berdiri beberapa langkah di sebelahnya, wajahnya diliputi keraguan. “Kau tahu, kan? Apa yang sebenarnya masih kita cari?”Elena terdiam, wajahnya yang biasanya dingin tampak goyah. Ia meng