Pagi di gudang aman terasa lebih sunyi dari biasanya. Tidak ada hiruk-pikuk langkah kaki atau percakapan ringan yang biasa terdengar. Semua orang tenggelam dalam pikiran masing-masing. Dante berdiri di depan jendela kecil yang menghadap ke halaman belakang, tatapannya kosong seperti orang yang memikul dunia di pundaknya.“Dante,” suara Elena memecah keheningan.Dante berbalik, menemukan Elena berdiri di ambang pintu. Rambutnya diikat sederhana, tetapi ada kekuatan dalam cara ia menatapnya, seolah-olah mencoba menembus lapisan dinding emosional yang ia bangun.“Kita harus bicara,” kata Elena tegas.Dante mengangguk, meski dalam hatinya ia tahu pembicaraan ini tidak akan mudah.Elena menutup pintu di belakangnya, memastikan mereka memiliki privasi. Ia mendekat, duduk di kursi kayu yang sudah tua dan tampak hampir roboh.“Aku tahu kau mencoba melindungi kami,” kata Elena, suaranya rendah tapi tegas. “Tapi kau tidak bisa terus seperti ini, Dante. Kami membutuhkanmu sepenuhnya—tidak hanya
Lorong gedung tua itu dipenuhi dengan bayangan dan debu. Denting peluru yang melayang di udara menjadi latar suara yang menusuk hati. Dante merapatkan tubuhnya ke dinding beton, napasnya terengah, sementara pikirannya terus bekerja mencari jalan keluar. “Elena,” bisiknya, mencoba tetap tenang meski dadanya terasa sesak. “Kita tidak punya banyak waktu.” Elena, yang bersembunyi di sudut ruangan, mengangguk dengan wajah tegang. Tatapannya tak pernah lepas dari lorong gelap di depannya, di mana bayangan musuh terus berkeliaran. “Apa rencananya sekarang, Dante?” tanya Elena, suaranya rendah tapi penuh urgensi. Dante memejamkan mata sejenak, mencoba meredam amarah yang mendidih di dalam dirinya. “Kita harus menuju ruang kontrol dan mematikan sistem mereka. Itu satu-satunya cara untuk membalikkan keadaan.” Dengan isyarat tangan, Dante meminta Elena bergerak terlebih dahulu melalui pintu samping. Ia sendiri tetap di tempat, menciptakan pengalih perhatian dengan melemparkan granat asap k
Debu menggantung tebal di udara, membuat setiap napas terasa berat dan menyakitkan. Dante duduk bersandar di salah satu pilar yang masih berdiri, tangannya mencengkeram sisi perutnya yang terluka. Darah mengalir perlahan, menciptakan pola gelap pada kemejanya. Di sampingnya, Elena sibuk mencoba mengatur alat komunikasi darurat yang tampaknya rusak."Berhasil?" tanya Dante pelan, suaranya hampir tak terdengar di tengah deru napasnya.Elena menggigit bibirnya, frustrasi. "Tidak. Semua saluran mati. Entah mereka memutuskan jaringan atau alat ini memang tidak berguna."Dia melemparkan alat itu ke tanah dengan kemarahan yang tertahan, lalu menoleh ke arah Dante. Wajahnya mencerminkan kekhawatiran yang mendalam. "Kau... bagaimana lukamu?"Dante tersenyum kecil, meskipun rasa sakit menjalari seluruh tubuhnya. "Tidak separah yang kelihatannya. Aku hanya butuh waktu sebentar.""Tidak, Dante. Kita tidak punya waktu." Elena memeriksa lukanya dengan cermat, meskipun ia tahu mereka kekurangan perl
Langit malam menggelap, menelan sisa cahaya bulan yang tertutup awan tebal. Dante, Elena, dan Ayra berjalan perlahan di jalan berbatu di tengah reruntuhan kota yang sunyi. Napas mereka berat, seakan menanggung beban tak kasat mata. Ayra berjalan di depan, matanya tajam memindai setiap sudut jalan. Elena menopang Dante yang lemah akibat luka di perutnya, darah masih merembes dari balutan seadanya. "Seberapa jauh lagi?" tanya Elena, suaranya lirih namun penuh kecemasan. Ayra menoleh sedikit, matanya tetap awas. "Tidak jauh. Ada tempat persembunyian di bawah tanah. Kita bisa beristirahat di sana." Dante menarik napas panjang, berusaha menahan rasa sakit. "Apakah tempat itu aman?" Ayra tidak langsung menjawab, lalu berkata singkat, "Cukup aman untuk sementara." Jawaban itu menimbulkan keraguan di wajah Elena, tetapi sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, suara langkah berat terdengar dari belakang mereka. Langkah kaki yang berat dan teratur semakin mendekat, memecah keheningan mal
Di sudut ruangan gelap yang diterangi lampu kecil, keheningan terasa begitu tegang. Ayra sedang memeriksa pintu baja, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka, sementara Elena sibuk membersihkan luka Dante. Tangannya gemetar saat kain lap menyentuh luka terbuka di sisi perut Dante. “Maafkan aku,” bisik Elena pelan. Dante menggeleng pelan, mencoba menyembunyikan rasa sakit di balik senyumnya. “Ini bukan salahmu. Jangan terlalu menyalahkan diri.” Elena tidak menjawab. Wajahnya tetap tegang, matanya berkaca-kaca. Tangannya terhenti, dan dia menatap Dante. “Kau harus berhenti memaksakan diri. Aku tahu kau ingin melindungi kami, tapi kalau kau terus seperti ini... aku takut kau tidak akan bertahan.” Dante menghela napas panjang. “Aku harus bertahan, Elena. Jika aku menyerah, siapa yang akan menghadapi Ezra? Siapa yang akan memastikan kau tetap hidup?” Elena menatapnya dengan tatapan tajam. “Aku bisa menjaga diriku sendiri, Dante. Aku bukan gadis lemah yang perlu kau lindungi setiap
Ezra berdiri dengan senyum dingin, seperti raja di tengah medan perang. Dia menatap Dante dan Elena dengan tatapan tajam, seolah menilai seberapa lama mereka bisa bertahan. “Sudah lama sekali, Dante. Kupikir kau sudah mati di lubang tikus tempatmu bersembunyi,” katanya, suaranya tajam namun penuh ironi. Dante mencoba menyembunyikan rasa sakit yang menyiksa tubuhnya. Dia memutuskan untuk tidak menunjukkan kelemahan di hadapan Ezra, bahkan jika itu menghabiskan kekuatan terakhirnya. “Elena, berdiri di belakangku,” bisik Dante dengan suara rendah. Elena menatapnya dengan khawatir. “Kau tidak bisa melawannya dalam kondisi ini. Kita harus mencari jalan lain.” “Tidak ada jalan lain,” jawab Dante. “Jika aku tidak menghadapinya sekarang, dia akan memburu kita tanpa henti. Ini harus diakhiri.” Ezra mengangkat pistolnya perlahan, menatap Dante dengan ekspresi santai. “Kau ingin bertarung, Dante? Dalam kondisimu sekarang? Kau hampir tidak bisa berdiri.” Dante tidak menjawab. Dia
Dini hari, cahaya matahari belum menembus kabut tebal yang menyelimuti kota. Dante duduk di sudut ruangan, memegang bahunya yang masih terluka. Luka itu lebih dari sekadar fisik; setiap denyut sakit mengingatkannya pada kegagalan—kegagalannya melindungi orang-orang yang dia cintai. Elena mendekat perlahan, membawa semangkuk air hangat dan kain bersih. Tanpa berkata apa-apa, dia mulai membersihkan luka di bahu Dante. Sentuhannya lembut, tetapi Dante tetap meringis. “Kau harus lebih hati-hati,” gumam Elena, suaranya pelan namun penuh emosi. Dante menghela napas panjang, tidak tahu harus menjawab apa. Dia tahu Elena benar, tetapi keadaan tidak memberinya pilihan. “Aku tidak bisa berhenti sekarang,” akhirnya dia berkata, nadanya tegas. “Jika aku berhenti, Ezra akan terus memburu kita, menghancurkan apa pun yang ada di jalannya.” “Tapi kau tidak bisa terus seperti ini, Dante,” balas Elena, air mata mulai menggenang di matanya. “Kau melawan dunia sendirian. Sampai kapan tubuhmu bisa m
Malam itu begitu sunyi, tetapi bagi Dante, ketenangan hanyalah ilusi. Langit hitam pekat tanpa bintang menjadi saksi bisu kebimbangannya. Di dalam markas yang kini terasa lebih dingin daripada biasanya, dia duduk di ruangan kecil dengan dokumen tua yang diberikan Elena tergeletak di atas meja. Cahaya lampu kuning temaram memperlihatkan sorot matanya yang tajam, tetapi ada kegelisahan yang sulit disembunyikan. Di hadapannya, layar holografis dari chip di tubuhnya memproyeksikan data yang terus bergerak. “Elena mungkin benar,” gumamnya, memandangi data yang menunjukkan batas kemampuan chip tersebut. Ada garis merah yang menandai potensi bahaya. Sebuah ketukan pelan di pintu mengalihkan perhatiannya. Ayra masuk tanpa menunggu jawaban, membawa sebuah peta besar yang sudah penuh dengan coretan. “Kau harus melihat ini,” katanya langsung, suaranya tegas tetapi wajahnya terlihat lelah. Dante menatap peta itu dengan tatapan kosong. Ia tahu apa yang akan Ayra katakan, tetapi pikirannya
Malam yang dingin terasa menusuk tulang. Langkah Dante yang berat menyusuri jalan setapak di tengah hutan hanya ditemani oleh suara angin yang menggerakkan dedaunan. Setelah percakapan yang penuh emosi antara dirinya, Ayra, dan Elena, hatinya terasa seperti medan perang. Keputusannya untuk tetap berdiri di tengah-tengah mereka telah menyisakan perih yang tak bisa ia hilangkan begitu saja.Dante berhenti di sebuah pohon tua yang menjulang tinggi. Ia bersandar di batangnya yang kasar, menatap langit malam yang dihiasi ribuan bintang. Sebuah napas berat meluncur dari bibirnya, seolah-olah ia mencoba melepaskan beban yang menghimpit dadanya.“Dante…” suara itu, lembut namun tegas, terdengar dari belakangnya.Dante menoleh. Elena berdiri di sana, membawa lentera kecil yang sinarnya berkilau redup. Wajahnya terlihat tenang, namun sorot matanya memancarkan kecemasan yang tak bisa ia sembunyikan.“Kau seharusnya istirahat, Elena,” kata Dante, mencoba
Senja mulai mengintip di ujung cakrawala, mewarnai langit dengan semburat oranye yang lembut. Di tengah reruntuhan kota tua, Dante berdiri dengan tubuh tegap, matanya memandang ke arah Elena dan Ayra yang berada tak jauh darinya. Ada ketegangan yang begitu nyata di udara, namun sekaligus kehangatan yang tak bisa disangkal.Ayra memalingkan wajah, membiarkan angin memainkan rambut hitam legamnya. “Kita sudah sampai sejauh ini, tapi aku masih merasa ada yang kurang,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada orang lain.Dante menoleh, menatapnya dengan sorot mata yang hangat. “Apa yang kurang, Ayra?” tanyanya pelan, suaranya terdengar seperti bisikan yang meresap ke dalam kesunyian.“Elena tahu,” jawab Ayra, suaranya serak. Ia menoleh ke arah Elena yang berdiri beberapa langkah di sebelahnya, wajahnya diliputi keraguan. “Kau tahu, kan? Apa yang sebenarnya masih kita cari?”Elena terdiam, wajahnya yang biasanya dingin tampak goyah. Ia meng
Cahaya pagi yang hangat menyusup melalui celah tirai jendela apartemen kecil yang kini mereka sebut rumah. Ayra membuka matanya perlahan, membiarkan sinar lembut itu menyentuh wajahnya. Suara burung berkicau di luar menjadi pengantar yang damai—sesuatu yang belum pernah ia rasakan dalam waktu yang lama.Ia menoleh, mendapati Dante masih terlelap di sebelahnya, napasnya tenang dan ritmis. Wajahnya terlihat begitu damai, jauh dari ekspresi serius dan tegang yang sering ia kenakan selama misi-misi mereka. Ada sesuatu yang menyentuh di sana, menyadari bahwa setelah semua yang mereka lewati, mereka akhirnya bisa menikmati momen sederhana seperti ini.Ayra perlahan bangkit dari tempat tidur, berusaha tidak membangunkan Dante. Ia melangkah ke dapur kecil mereka, menyalakan mesin kopi yang berderit pelan. Aroma kopi mulai memenuhi ruangan, membangkitkan rasa nyaman yang membuatnya tersenyum.Saat ia menuang kopi ke dalam cangkir, suara langkah berat terdengar
Langit malam dipenuhi bintang-bintang yang berkilauan, namun Dante hanya bisa menatap kosong ke arah api unggun kecil yang mereka buat. Wajahnya diterangi cahaya oranye yang hangat, tetapi pikirannya jauh melayang, menelusuri semua yang telah terjadi. Di sekelilingnya, timnya mulai melepas ketegangan setelah misi yang sukses. Phoenix sedang tertawa kecil bersama Leandro, membahas bagaimana dia berhasil mengunggah data itu meskipun dalam situasi berbahaya. Elena duduk tidak jauh dari mereka, memeriksa senjatanya dengan ekspresi serius, tetapi sesekali tersenyum kecil mendengar lelucon Leandro. Ayra duduk sedikit terpisah dari mereka, memeluk lututnya sambil menatap ke arah langit. Ada sesuatu yang melintas di wajahnya—perasaan lega bercampur kelelahan, tetapi juga ketidakpastian yang mengganggu. Dante menggeser duduknya, mendekati Ayra. "Kau baik-baik saja?" tanyanya pelan. Ayra menoleh, tersenyum tipis. "Hanya me
Suara derik lantai kayu menyambut langkah perlahan Dante saat ia berjalan melewati ruangan kecil tempat mereka berlindung. Udara malam di dalam rumah itu terasa lebih dingin dibandingkan luar. Dante memandang timnya yang sedang duduk melingkar di ruang tengah, wajah mereka dipenuhi kelelahan, tetapi mata mereka menyiratkan tekad yang tak goyah.Ayra sibuk mengamati peta kota yang tersebar di atas meja kecil. Sesekali, dia menuliskan sesuatu di buku catatannya, wajahnya dipenuhi konsentrasi. Phoenix sedang memeriksa perangkat enkripsi, memastikan semua data mereka tetap aman. Sementara Elena dan Leandro berbincang pelan di sudut ruangan, berdiskusi tentang potensi ancaman yang mungkin muncul saat mereka bergerak.“Sudah hampir selesai?” tanya Dante sambil berdiri di belakang Ayra.Ayra menoleh, senyumnya tipis. “Hampir. Aku sedang memastikan rute ini tidak terlalu mencolok. Kita tidak punya banyak opsi, tapi kalau kita bisa menghindari pos pemeriksaan,
Suara angin pagi menyelinap melalui celah-celah gudang tua yang menjadi tempat persembunyian Dante dan timnya. Kabut yang melayang di luar menambah kesan misterius pada suasana di dalam, seakan mengingatkan mereka bahwa waktu terus berjalan dan ancaman semakin mendekat. Dante berdiri di tengah ruangan, tangannya terlipat di dada, matanya menatap peta digital di meja kayu yang sudah penuh coretan rencana. Sementara itu, Ayra dan Phoenix masih tenggelam dalam analisis data, mencoba mengurai simpul misteri yang menjadi inti dari misi mereka. “Phoenix, apakah semua data sudah terkumpul?” tanya Dante, suaranya terdengar tegas namun terkendali. Phoenix mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. “Ya. Aku sudah menyusun semua dokumen digital ini. Tinggal satu langkah lagi untuk mengirimnya ke media, tapi kita harus memutuskan jalur yang paling aman. Musuh pasti sudah mengawasi jaringan kita.” “Elena,” Dante me
Dini hari menyelimuti kota dengan kabut tipis yang seolah menyembunyikan rahasia-rahasia kelam di balik setiap sudutnya. Sebuah van abu-abu meluncur pelan di jalan yang sepi, membawa Dante dan timnya menjauh dari apartemen yang kini bukan lagi tempat yang aman. Di dalam van, suasana penuh ketegangan. Mata mereka terus berjaga, dan percakapan berlangsung dengan bisikan-bisikan tegang. “Bagaimana situasi di depan?” tanya Dante yang duduk di kursi penumpang depan, memegang peta digital di tangannya. Leandro, yang mengemudikan van, melirik ke kaca spion. “Sejauh ini aman. Tapi kita tidak bisa terlalu lama di jalan ini. Kamera pengawas bisa saja melacak plat mobil kita.” Ayra, yang duduk di kursi tengah, mengetik cepat di laptopnya. Wajahnya diterangi cahaya redup layar. “Aku sedang mencoba menonaktifkan sistem pengawasan di area ini. Tapi ini tidak akan bertahan lama. Kita harus segera menemukan tempat aman untuk menyusun langkah selanj
Malam menjelang dengan keheningan yang terasa berat, seakan alam pun ikut bersiap menghadapi badai yang akan datang. Di apartemen kecil yang kini menjadi markas mereka, tim Dante bekerja tanpa henti. Peta, dokumen, dan laptop berserakan di meja. Mereka sudah terlalu jauh untuk mundur.Ayra duduk di sudut ruangan, matanya memandang layar laptop yang menampilkan kode-kode enkripsi. Wajahnya terlihat serius, tapi jari-jarinya bergerak dengan cekatan di atas keyboard. Phoenix telah mengirimkan data penting yang harus mereka deskripsikan, data yang menjadi kunci untuk mengungkap skandal besar yang telah mereka kejar selama ini.“Dante,” panggil Ayra, suaranya rendah namun penuh urgensi. “Aku berhasil mengakses salah satu file mereka. Ini... ini jauh lebih besar dari yang kita kira.”Dante yang sedang memeriksa peta di meja langsung mendekat, menyandarkan tangannya di kursi Ayra dan membaca layar di depannya. Matanya menyipit, ekspresinya berubah dari terke
Dingin pagi menyelimuti pusat kota yang mulai lengang setelah peristiwa semalam. Kabut tipis menyelimuti jalan-jalan, menyembunyikan sisa jejak kerumunan yang penuh semangat, kini berubah menjadi kota yang terasa asing dan kosong. Dante berdiri di tepi balkon apartemen yang mereka gunakan sebagai tempat berlindung sementara, matanya memandang jauh ke cakrawala.Angin dingin menyapu wajahnya, tetapi tidak mampu meredam kobaran tekad yang terus menyala di dalam dirinya. Di baliknya, Ayra keluar perlahan, mengenakan sweater tebal. Langkahnya nyaris tak terdengar saat ia mendekat, membawa secangkir teh hangat."Kau belum tidur sejak semalam," ujar Ayra, menyerahkan cangkir itu kepada Dante. Suaranya lembut, tetapi ada nada khawatir yang tidak bisa disembunyikan.Dante menerima cangkir itu tanpa menoleh. "Aku tidak bisa tidur. Banyak hal yang harus kupikirkan."Ayra menyandarkan dirinya di pagar balkon, menatap Dante dengan mata yang penuh perhati