Home / Rumah Tangga / Nafkah Dari Mantan Suami / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Nafkah Dari Mantan Suami: Chapter 11 - Chapter 20

34 Chapters

11. Kenyataan yang Membuat Kecewa

"Selamat datang."Tepat ketika Nadia selesai menyusun kue-kue di rak, seorang kurir masuk dengan membawa sebuah karangan bunga besar. Bunga itu dihiasi pita merah muda yang cantik, menonjolkan keindahannya.“Selamat siang, Mbak. Karangan bunga ini untuk Nadia. Apakah benar ini alamatnya?” tanya kurir itu.Nadia menatap heran. Siapa yang mengirim bunga untuknya? "Ya benar. Itu saya."Nadia mengangguk dan segera menerima karangan bunga itu. Di antara rangkaian bunga mawar putih dan merah yang harum, ada sebuah kartu kecil terselip.Nadia menarik kartu itu dengan hati-hati, membacanya pelan."Untuk Nadia, wanita yang selalu ada di pikiran dan hati. Dari Surya."Jantung Nadia berdebar sejenak. Surya, nama itu tak pernah hilang dari hidupnya. Meski sudah lama tak berkomunikasi secara langsung, Surya selalu punya cara untuk mendekati Nadia. Seolah-olah menunggu waktu yang tepat untuk datang lagi ke dalam hidupnya. Nadia tak pernah benar-benar mendorongnya pergi, tapi juga tak pernah bena
last updateLast Updated : 2024-11-27
Read more

12. Suratan Takdir

"Makan, Nak. Nanti kamu makin lemas," ucap Rahma lembut, sembari menaruh mangkuk bubur di meja samping tempat tidur.Sudah dua hari toko tutup. Plang "Libur Sementara" tergantung di pintu kaca dengan tulisan tangan yang rapi, tetapi kosong tanpa kue-kue lezat yang biasanya mengisi etalase. Hawa dingin menyelimuti rumah Nadia. Di dalam kamar, wanita itu terbaring lemah di atas ranjang. Tubuhnya terasa panas dengan kepala yang pusing. Juga rasa hampa di dada yang tak juga hilang sejak kepergian Surya."Aku gak lapar, Bu."Nadia hanya menggeleng, tidak punya tenaga untuk banyak bicara, apalagi makan. Matanya menatap lurus, seolah semua semangat hidup telah hilang bersama kepergian Surya."Sayang, Ibu tahu kamu lagi sedih. Tapi kamu gak bisa seperti ini terus. Kamu harus kuat, Nak," ujar Rahma dengan nada lembut. Wanita paruh itu uduk di tepi ranjang dan menggenggam tangan putrinya."Ibu..." Suara Nadia terdengar lemah."Kenapa aku harus kehilangan lagi?"Pelupuk mata Nadia mulai menggen
last updateLast Updated : 2024-11-27
Read more

13. Sepotong Kue

Hendra baru saja turun dari pesawat dengan masih mengenakan kemeja rapi yang terlihat elegan. Langkah kakinya terdengar mantap ketika berjalan cepat melewati kerumunan orang di bandara. Sesekali Hendra meraih telepon genggamnya untuk mengecek jadwal presentasi yang akan dihadirinya siang ini. Dengan cepat, lelaki itu memesan taksi untuk langsung menuju kantornya. Perjalanan dari bandara ke kantor tidak memakan waktu lama. Di sepanjang jalan, pikiran Hendra dipenuhi dengan ide-ide tentang bagaimana ia akan mempresentasikan rencana pengembangan perusahaannya.  Meskipun kantor ini masih terbilang kecil, ia merasa bahwa pertumbuhan bisnisnya sudah mulai terlihat. Ada sesuatu yang besar menunggunya di masa depan, dan mereka siap untuk meraihnya. Setibanya di kantor, Hendra disambut oleh Bianca, asistennya, dengan senyum ramah. “Selamat datang, Pak Hendra. Gimana perjalanann
last updateLast Updated : 2024-11-28
Read more

14. Sampai Menutup Mata

Kamar rumah sakit yang seharusnya tenang malam itu dipenuhi oleh aura kecemasan. Hendra duduk di kursi di sebelah ranjang, menatap istrinya yang sedang terbaring lemah.  Cintia, yang tengah hamil besar, sudah beberapa hari dirawat karena kondisinya yang semakin memburuk. Wajahnya pucat dengan kaki yang bengkak, juga perutnya terasa semakin berat.  Walaupun begitu, Cintia tetap tersenyum tipis. Dia ingin menunjukkan kekuatan yang masih tersisa. "Apanya yang aakit, Sayang?" tanya Hendra lembut. Lelaki itu mencoba menenangkan istrinya, juga diri sendiri. Cintia menarik napas pelan. "Aku baik-baik saja, Mas. Aku cuma mau melahirkan anak ini secara normal, seperti anak pertama kita dulu." "Tapi, kondisi kamu nggak memungkinkan, Cintia. Dokter bilang, ada risiko besar kalau kamu memaksakan lahiran normal."  Suara Hendra terdengar berat. Matanya mempe
last updateLast Updated : 2024-11-28
Read more

15. Mendung Di Hati

"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun." Langit mendung menggantung di atas pemakaman, seolah turut berduka atas kepergian Cintia. Di halaman rumah duka, suara isak tangis pelayat terdengar samar-samar di antara angin yang berembus perlahan.  Hari ini adalah hari yang paling berat bagi Hendra, hari di mana ia harus mengantarkan istrinya, Cintia, ke tempat peristirahatan terakhirnya. "Nak, kenapa kamu pergi secepat ini." Suara tangis ibunya Cintia yang terdengar pilu menggema di ruang itu. Ada banyak keluarga yang datang untuk melayat dan menguatkan. "Sabar ya, Mbak. Cintia udah sampai waktunya." Sukma memeluk besannya dengan erat sembari menenangkan. Sejak pagi, Sukma yang sibuk mempersiapkan pemakaman karena keluarga Cintia datang dari luar kota.  Sukma meng-handle apa saja yang dibutuhkan untuk pemakaman, karena Cintia merupakan m
last updateLast Updated : 2024-11-29
Read more

16. Jangan Bersembunyi

Bianca duduk di ruang kerja dengan wajah serius, memandangi layar laptop yang penuh dengan angka dan grafik penjualan.  Kantor cabang yang dipegangnya mengalami penurunan omset yang signifikan sejak beberapa bulan terakhir. Sebagai asisten pribadi, Bianca merasa bertanggung jawab untuk melaporkan ini kepada atasan. Bianca ahu bahwa atasannya sedang dalam masa-masa sulit setelah kematian sang istri. Sehingga dia tak bisa memaksa Hendra untuk pulih dengan cepat.  Dengan napas berat, Bianca mengambil ponsel dan menelepon Hendra. “Halo, Pak Hendra?” suara Bianca terdengar penuh perhatian. “Ya Bianca?" Suara Hendra di seberang telepon terdengar lelah. “Ada apa?” “Pak, saya ingin membahas tentang cabang baru kita di kota ini. Omsetnya menurun drastis, dan para investor mulai khawatir. Beberapa dari
last updateLast Updated : 2024-11-29
Read more

17. Dia Kembali

“Kamu kenapa, Nak? Sepertinya ada yang kamu pikirkan,” tanya Rahma lembut tetapi menyelidik. Nadia tersenyum tipis, lalu menarik napas dalam-dalam sebelum mulai bercerita. “Bu, tadi siang aku ketemu Mas Hendra di kantor baru itu...” Rahma terdiam sejenak, tidak menyangka nama Hendra kembali muncul dalam percakapan mereka setelah sekian lama. “Hendra? Di kantor yang mana?” Nadia mengangguk. “Di kantor yang setiap hari pesen kue." "Loh, kok bisa?" tanya Rahma tak percaya.  "Ternyata kantor itu milik keluarganya." "Ya, wajar. Mereka keluarga kaya kan dari0l dulu." Nadia mwnatao ibunya lekat. Betapa sakit hati hati ibunya akibat perlakuan keluarga Hendra masih membekas. Dulu, mamanya Hendra pernah menghina ibunya
last updateLast Updated : 2024-11-30
Read more

18. Rasa Empati

Nadia tiba di kantor Hendra dengan tumpukan kotak kue di tangannya. Ia baru saja mengantar pesanan rutin yang diminta oleh mereka. Pelipisnya sedikit berkeringat karena Surabaya panas hari ini.  Biasanya kue akan diantar pagi-pagi. Namun kemarin Bianca mengabari kalau pesanan hari ini diantar siang. Untungnya Nadia memiliki mobil dari hasil usahanya. Sehingga tak perlu berpanas-pansan di jalan. Sebuah mobil second tapi kondisinya layak pakai. Mobilnyang dibelinya dengan bersusah payah. “Hey, Nad. Udah anter?” sapa Bianca, asisten pribadi Hendra, yang sering menjadi perantara dalam setiap pesanan. “Hai, Bi. Ini barusan dari pantry." Bianca melirik tangan kiri Nadia dan langsung memperhatikan cincin cantik yang tersemat di jari manisnya.  Mata Nadia berbinar-binar. Senyum lebar terukir di wajahnya. “Tunggu
last updateLast Updated : 2024-11-30
Read more

19. Curahan Hati

"Kita mau ke mana, Papa?" tanya Hana kritis.  Jalan yang mereka lalui hari ini tak seperti biasa. Sehingga Hana kebingungan. "Maunbeli brownies yang rasanya enak," jawab Hendra bersemangat.. "Aku mau!" ucap Hana senang. "Tapi janji gak boleh rewel." "Tapi bawa ke taman," pinta Hana.  Hendra tergelak. Selama tinggal di sini, dia begitu sibuk bekerja sehingga mengabaikan anak-anak. Hanya suster dan mamanya yang menemani Hana dan Raya bermain. "Oke. Kita beli kue dulu yang banyak. Habis itu bawa ke taman. Jadi sambil main Kita makan." "Horeee!" Sore itu, Hendra membawa kedua anaknya ke toko kue milik Nadia. Sejak kematian Cintia, lelaki itu sering merasa kesepian.  Meski Hendra berusaha menjadi ayah yang kuat untuk anak-anak, ada saat-saat di mana dia merasa rapuh.
last updateLast Updated : 2024-12-01
Read more

20. Kejutan yang Berkesan

"Surprise!" “Surya!” seru Nadia dengan mata berbinar. Surya yang seharusnya berada di Jakarta untuk mengelola kafe, kini berdiri di hadapan Nadia dengan senyum lebar. Lelaki itu memeluk sang kekasih dengan hangat. "Aku kangen." Nadia tersenyum, tetapi masih sedikit terkejut. “Kenapa kamu nggak bilang kalau mau datang? Aku kan bisa siapin sesuatu.” Surya tertawa kecil. “Kalau aku kasih tahu, nggak bakal jadi surprise namanya.” Mereka berdua duduk di salah satu kursi di toko, berbincang-bincang dengan santai. Hubungan jarak jauh memang bukan hal yang mudah. Surya masih mengelola kafenya di Jakarta, sementara Nadia sibuk dengan toko kue di Surabaya. “Aku punya rencana untuk kita,” kata Surya tiba-tiba. Matanya berbinar penuh antusias. “Rencana apa?” tanya Nadia
last updateLast Updated : 2024-12-01
Read more
PREV
1234
Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status