Home / Thriller / Simfoni Tanpa Nada / Chapter 1 - Chapter 6

All Chapters of Simfoni Tanpa Nada: Chapter 1 - Chapter 6

6 Chapters

Bab 1: Panggilan Keheningan

Hujan mengguyur deras, memukul kaca jendela kantor kecil milik Aditya Arya. Irama hujan yang berulang-ulang itu seperti musik tanpa akhir, monoton, tapi tak sepenuhnya sunyi. Kantor Aditya, yang lebih menyerupai gudang dengan meja kayu tua, lampu neon berkedip, dan tumpukan dokumen berdebu, menjadi tempatnya menghabiskan malam.Dia memandang secangkir kopi di mejanya. Kopi itu sudah dingin, mencerminkan hidupnya yang belakangan ini terasa datar. Sebagai detektif swasta, kebanyakan kasusnya adalah rutinitas belaka—perselingkuhan, penyelidikan kecil, dan pencurian rumah tangga. Tidak ada yang cukup menantang otaknya seperti dulu, ketika dia masih aktif di kepolisian.Namun, malam itu membawa sesuatu yang berbeda. Sebuah amplop merah tergeletak di antara tumpukan dokumen di mejanya, mencolok di antara segala yang kusam. Amplop itu tidak pernah dia lihat sebelumnya, dan dia tidak ingat siapa yang meletakkannya di sana.Aditya mengamati amplop itu dengan hati-hati. Namanya tertulis di bagi
last updateLast Updated : 2024-11-21
Read more

Bab 2: Jejak Bayangan

Malam di Desa Sukamundur terasa lebih sunyi dibandingkan malam mana pun yang pernah Aditya rasakan. Keheningan itu hampir terasa menghimpit, seolah-olah desa ini memiliki jiwa yang mengawasi setiap langkahnya. Tiupan angin malam hanya terdengar samar di antara pepohonan. Tidak ada suara burung malam, tidak ada suara jangkrik. Keheningan seperti ini bukanlah sesuatu yang biasa. Setelah insiden bayangan di aula, Aditya memutuskan untuk lebih berhati-hati dalam setiap tindakannya. Sebuah firasat kuat mengatakan kepadanya bahwa ada lebih banyak hal yang tersembunyi di balik insiden ini. Partitur kosong bertuliskan “Simfoni No. 8.” yang ditemukan di atas piano tadi malam kini tersimpan rapi di dalam tas kulit tuanya. Dia tahu, setiap detail kecil dalam kasus ini bisa menjadi kunci penting. Partitur itu menggelitik rasa ingin tahunya—apakah ini sekadar kebetulan atau sebuah pesan? Pagi harinya, dengan sinar matahari yang temaram menerobos celah awan mendung, Aditya memutuskan untuk kembal
last updateLast Updated : 2024-11-24
Read more

Bab 3: Simfoni Senyap

Hujan tipis membasahi Desa Sukamundur pagi itu. Awan kelabu menggantung rendah, membentuk langit yang seolah menekan desa kecil itu ke dalam keheningan abadi. Aditya Arya berdiri di aula utama gedung konser Midanget Sunyata, memandang piano hitam di panggung. Bayangan malam sebelumnya masih membekas dalam pikirannya—kehadiran sosok misterius, hilangnya bayangan secara tiba-tiba, dan partitur kosong bertuliskan ”Simfoni No. 8.”Dia melangkah pelan ke panggung, membiarkan derit lantai kayu mengisi ruangan yang kosong. Dengan hati-hati, dia membuka penutup piano. Tuts-tutsnya bersih, hampir terlalu bersih untuk instrumen yang terlihat tua dan usang dari luar. Aditya menyentuh salah satu tuts, menghasilkan nada yang terdengar janggal—nada itu tidak selaras, seperti ada ketidakseimbangan di dalam piano.“Tidak ada yang memainkan piano ini sejak Aryawiguna pergi,” suara berat tiba-tiba terdengar dari belakangnya.Aditya menoleh. Maestro Harjo berdiri di pintu masuk aula, tangannya memegang
last updateLast Updated : 2024-12-01
Read more

Bab 4: Kehadiran di Balik Bayangan

Langit malam di Desa Sukamundur terasa lebih berat dari biasanya. Kabut begitu tebal menyelimuti setiap sudut Desa Sukamundur, seperti selimut abu-abu yang menghimpit. Di kejauhan, terlihat bayangan pohon tampak seperti siluet makhluk tinggi yang mengintai untuk menyergap mangsanya. Gedung konser Midanget Sunyata berdiri di tengah desa, megah tapi menyeramkan dan terkenal tapi terlihat suram, dengan cat dinding mulai kusam dan pilar-pilar besar yang menjulang seperti penjaga bisu. Terlihat bangunan yang seperti tak pernah dipakai selama bertahun-tahun.Di aula utama Gedung konser Midanget Sunyoto, Saras berdiri terengah-engah setelah berlari masuk menuju aula utama. Wajahnya memucat, seluruh tubuhnya gemetar, mengisyaratkan gentingnya keadaan. Matanya yang penuh ketakutan beralih dari Aditya ke jendela besar aula, seolah-olah sesuatu di luar masih mengintainya.“Mereka datang, mereka datang, mereka datang...” katanya dengan suara gemetar.Aditya, yang berdiri tak jauh darinya, memirin
last updateLast Updated : 2024-12-06
Read more

Bab 5: Melodi dari Kegelapan

Malam di Desa Sukamundur terasa seperti menahan napas. Kabut menyelimuti setiap sudut desa, menebarkan hawa dingin yang menembus kulit. Di aula Gedung Konser Midanget Sunyata, Saras, Harjo, dan Aditya berdiri memandangi partitur bertuliskan "Simfoni No. 8 – Gerakan 3.". Cahaya lampu yang temaram semakin menambah suasana mencekam."Kita harus berhati-hati," ucap Harjo dengan nada tegas. "Setiap kali musik ini dimainkan, sesuatu dari sisi lain merespons. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya kita hadapi."Aditya mendesah pelan, mencoba menenangkan pikirannya. "Tapi jika kita tidak memainkannya, bagaimana kita bisa memecahkan misteri ini? Jejak kaki besar di luar, bayangan-bayangan yang Saras lihat—semuanya terkait dengan simfoni ini. Kita tidak bisa hanya berdiam diri."Harjo menggelengkan kepala, kerutan di dahinya semakin dalam. "Aryawiguna memperingatkan kita tentang hal ini. Musiknya bukan sekadar seni; ia adalah pintu ke tempat yang tidak boleh disentuh manusia."Namun, Saras, yang s
last updateLast Updated : 2024-12-09
Read more

Bab 6: Harmoni Terakhir

Cahaya pagi yang suram menerobos masuk melalui celah-celah daun di Desa Sukamundur. Suara angin menggetarkan ranting pohon-pohon tua di sekitar desa, menciptakan melodi alami yang selaras dengan ketegangan yang menggantung di udara. Aditya Arya berdiri di tengah aula gedung konser Midanget Sunyata, memandangi piano hitam yang kini terasa seperti jantung dari semua misteri ini. Di sampingnya, Saras duduk di salah satu kursi penonton, mencoba menenangkan dirinya setelah kejadian mengerikan di hutan semalam.“Simfoni ini masih belum selesai,” ucap Aditya, memecah keheningan. Tatapannya tertuju pada partitur yang ditemukan di ruangan bawah tanah semalam: “Simfoni No. 9 – Gerakan 1.”Harjo, yang berdiri tidak jauh dari mereka, mengangguk perlahan. “Aryawiguna mencoba memperbaiki kesalahannya dengan menyusun simfoni ini. Tapi dia tidak pernah berhasil menyelesaikannya. Dan sekarang, kita harus melakukannya. Jika tidak, pintu yang dia buka tidak akan pernah tertutup.”Saras mengangkat wajahn
last updateLast Updated : 2024-12-20
Read more
DMCA.com Protection Status