Beranda / Thriller / Simfoni Tanpa Nada / Bab 2: Jejak Bayangan

Share

Bab 2: Jejak Bayangan

Penulis: Png
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-24 09:17:19

Malam di Desa Sukamundur terasa lebih sunyi dibandingkan malam mana pun yang pernah Aditya rasakan. Keheningan itu hampir terasa menghimpit, seolah-olah desa ini memiliki jiwa yang mengawasi setiap langkahnya. Tiupan angin malam hanya terdengar samar di antara pepohonan. Tidak ada suara burung malam, tidak ada suara jangkrik. Keheningan seperti ini bukanlah sesuatu yang biasa.

Setelah insiden bayangan di aula, Aditya memutuskan untuk lebih berhati-hati dalam setiap tindakannya. Sebuah firasat kuat mengatakan kepadanya bahwa ada lebih banyak hal yang tersembunyi di balik insiden ini. Partitur kosong bertuliskan “Simfoni No. 8.” yang ditemukan di atas piano tadi malam kini tersimpan rapi di dalam tas kulit tuanya. Dia tahu, setiap detail kecil dalam kasus ini bisa menjadi kunci penting. Partitur itu menggelitik rasa ingin tahunya—apakah ini sekadar kebetulan atau sebuah pesan?

Pagi harinya, dengan sinar matahari yang temaram menerobos celah awan mendung, Aditya memutuskan untuk kembali ke ruang latihan tempat Raka ditemukan. Kali ini, dia membawa peralatan kecil untuk menyelidiki lebih lanjut, termasuk lampu ultraviolet dan bubuk sidik jari. Ruangan itu terasa berbeda di siang hari. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela kecil di sudut ruang tidak mampu mengusir aura suram yang menyelimuti.

Di balik dinding kayu yang retak, dia menemukan sebuah ukiran kecil yang hampir tidak terlihat. Ukiran itu berbentuk lingkaran dengan pola rumit, mirip simbol musik, tapi juga menyerupai sesuatu yang lebih esoteris.

“Apa ini... semacam tanda?” gumam Aditya.

Ujung jarinya menyentuh ukiran itu, terasa kasar dan dingin. Dia mengamati lebih dekat. Pola lingkarannya mengingatkannya pada simbol-simbol kuno yang pernah ia lihat dalam buku tentang sejarah musik dan kepercayaan mistis. Tapi ada sesuatu yang tidak biasa—seolah simbol itu memiliki kehidupan sendiri.

Langkah kaki mendekat membuatnya berhenti memeriksa. Ketika dia menoleh, Saras berdiri di pintu dengan wajah ketakutan. Rambutnya sedikit berantakan, dan matanya tampak bengkak, seperti habis menangis.

“Ada apa, Saras?” tanya Aditya dengan nada lembut.

Saras ragu sebelum menjawab, suaranya hampir berbisik. “Tadi malam... saya mendengar suara musik lagi, Pak. Tapi... itu bukan dari instrumen kami.”

Aditya bangkit dari tempatnya jongkok dan berjalan mendekatinya. “Suara seperti apa? Bisa lebih jelas?” tanyanya, mencoba tidak membuat gadis itu semakin takut.

“Lagu itu seperti... tidak selesai. Hanya beberapa nada, tapi sangat menyeramkan. Seolah-olah ada sesuatu yang mencoba bicara melalui musik itu.”

Mata Saras dipenuhi air mata, tapi dia menahan diri untuk tidak menangis. Aditya mengulurkan tangannya, mencoba menenangkan gadis itu.

“Kamu bisa tunjukkan di mana kamu mendengarnya?” tanyanya lagi.

Saras mengangguk lemah, dan mereka berdua melangkah meninggalkan ruangan itu, menuju bagian lain dari gedung konser.

Saras membawa Aditya ke balik panggung utama, tempat sejumlah instrumen lama tersimpan. Ruangan itu sempit, dengan debu dan sarang laba-laba menghiasi sudut-sudutnya. Bau kayu lapuk bercampur kelembapan memenuhi udara. Rasanya seperti memasuki lorong waktu menuju masa lalu yang penuh rahasia. Ada sebuah gramofon tua yang berdiri di tengah ruangan, tampak seperti peninggalan dari abad lalu. Saras menunjuk gramofon itu dengan tangan gemetar.

“Suaranya berasal dari sini,” katanya, nyaris tak terdengar.

Aditya mengamati gramofon itu dengan seksama. Mesinnya tampak rusak, dengan goresan-goresan kecil di tepinya, seolah sudah sering dipindahkan atau dijatuhkan. Tapi ada sebuah piringan hitam di atasnya. Dia menyentuh piringan itu, dan sebuah suara kecil—suara yang hampir tidak terdengar—mulai keluar. Nada-nada rendah bergema dari gramofon, membentuk melodi yang asing. Itu bukan musik biasa. Ada pola yang aneh, seperti sebuah pesan tersembunyi di antara setiap nada.

“Aneh sekali...” gumam Aditya. Dia memiringkan kepala, mendekatkan telinganya untuk mendengar lebih jelas.

Saras mundur selangkah, pelan-pelan mendekap dirinya sendiri. “Pak Aditya... kenapa ini terjadi? Apa arti semua ini?” tanyanya dengan suara yang hampir pecah.

Aditya mengambil piringan hitam itu dan membungkusnya dengan kain. “Aku akan memeriksanya lebih lanjut. Ini mungkin menjadi petunjuk penting.”

“Saras, siapa saja yang tahu tentang ruangan ini?” tanyanya.

“Tidak banyak... hanya beberapa anggota orkestra. Tapi biasanya ruangan ini tidak pernah digunakan,” jawab Saras, suaranya terdengar lebih tenang meski tetap gelisah.

Aditya mengangguk. Dia tahu ruangan ini menyimpan sesuatu, dan gramofon itu mungkin menjadi kunci untuk membuka rahasia yang lebih besar. Matanya menyapu sudut-sudut ruangan, mencari tanda-tanda lain. Tidak ada yang mencolok, tapi di bawah gramofon itu, ada setitik jejak sepatu yang jelas lebih baru dibandingkan debu yang menutupi lantai lainnya.

“Jejak ini... bukan jejak lama,” bisik Aditya pada dirinya sendiri. “Seseorang baru saja ada di sini.”

Pertemuan Rahasia

Sore harinya, Aditya memutuskan untuk menemui Maestro Harjo, konduktor yang tampak penuh wibawa tetapi memiliki sikap dingin terhadap semua orang. Mereka bertemu di ruang pribadinya di dalam gedung konser. Ruangan itu dihiasi dengan foto-foto lama Midanget Sunyata di masa jayanya. Salah satu foto menunjukkan seluruh anggota orkestra berdiri di depan gedung konser dengan wajah penuh kebanggaan.

“Tuan Aditya,” Harjo menyapa dengan nada datar. “Anda sudah menemukan sesuatu?”

“Belum banyak,” jawab Aditya, mencoba membaca ekspresi Harjo. “Tapi saya ingin tahu lebih banyak tentang orkestra ini. Ada sesuatu yang terasa... tidak biasa.”

Harjo tertawa kecil, suara tawanya terdengar pahit. “Orkestra ini dulu adalah segalanya bagi desa ini. Tapi sekarang, semua hanya kenangan. Setelah kematian Raka, semuanya semakin hancur.”

Aditya langsung memutuskan untuk menyinggung hal yang lebih spesifik. “Raka meninggalkan pesan sebelum dia meninggal. Apakah Anda tahu tentang partitur kosong yang bertuliskan ‘Simfoni No. 9.’?”

Mata Harjo sedikit menyipit, tapi dia tidak langsung menjawab. Setelah beberapa detik hening, dia berkata, “Simfoni No. 9... itu adalah karya yang belum selesai pembuatannya. Komposer kami, mendiang Pak Aryawiguna, meninggalkan proyek itu sebelum dia menghilang.”

“Menghilang?” Aditya memiringkan kepalanya. “Anda yakin?”

“Ya,” jawab Harjo. “Dia pergi begitu saja beberapa tahun yang lalu. Tidak ada yang tahu ke mana, tapi beberapa percaya dia telah meninggalkan semacam kutukan pada orkestra ini.”

Malam itu, Aditya memutuskan untuk mendengarkan piringan hitam yang dia temukan. Dia meminjam gramofon kecil dari salah satu penduduk desa dan memasang piringan itu. Ketika musik mulai bermain, dia merasa ada sesuatu yang aneh.

Nada-nada itu seperti membentuk pola. Aditya mencatat setiap nada yang dia dengar di buku catatannya. Ketika musik berhenti tiba-tiba, dia menyadari bahwa catatannya membentuk sesuatu—bukan melodi, tetapi sebuah kode.

Lampu ultraviolet mengungkap pesan: "Yang terdalam adalah kebenaran yang terkubur dalam senyap."

Ketika dia merenung, langkah kaki mendekat. Kali ini, tidak ada yang datang. Hanya jejak baru: “Simfoni No. 7."

Bab terkait

  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 3: Simfoni Senyap

    Hujan tipis membasahi Desa Sukamundur pagi itu. Awan kelabu menggantung rendah, membentuk langit yang seolah menekan desa kecil itu ke dalam keheningan abadi. Aditya Arya berdiri di aula utama gedung konser Midanget Sunyata, memandang piano hitam di panggung. Bayangan malam sebelumnya masih membekas dalam pikirannya—kehadiran sosok misterius, hilangnya bayangan secara tiba-tiba, dan partitur kosong bertuliskan ”Simfoni No. 8.”Dia melangkah pelan ke panggung, membiarkan derit lantai kayu mengisi ruangan yang kosong. Dengan hati-hati, dia membuka penutup piano. Tuts-tutsnya bersih, hampir terlalu bersih untuk instrumen yang terlihat tua dan usang dari luar. Aditya menyentuh salah satu tuts, menghasilkan nada yang terdengar janggal—nada itu tidak selaras, seperti ada ketidakseimbangan di dalam piano.“Tidak ada yang memainkan piano ini sejak Aryawiguna pergi,” suara berat tiba-tiba terdengar dari belakangnya.Aditya menoleh. Maestro Harjo berdiri di pintu masuk aula, tangannya memegang

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-01
  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 4: Kehadiran di Balik Bayangan

    Langit malam di Desa Sukamundur terasa lebih berat dari biasanya. Kabut begitu tebal menyelimuti setiap sudut Desa Sukamundur, seperti selimut abu-abu yang menghimpit. Di kejauhan, terlihat bayangan pohon tampak seperti siluet makhluk tinggi yang mengintai untuk menyergap mangsanya. Gedung konser Midanget Sunyata berdiri di tengah desa, megah tapi menyeramkan dan terkenal tapi terlihat suram, dengan cat dinding mulai kusam dan pilar-pilar besar yang menjulang seperti penjaga bisu. Terlihat bangunan yang seperti tak pernah dipakai selama bertahun-tahun.Di aula utama Gedung konser Midanget Sunyoto, Saras berdiri terengah-engah setelah berlari masuk menuju aula utama. Wajahnya memucat, seluruh tubuhnya gemetar, mengisyaratkan gentingnya keadaan. Matanya yang penuh ketakutan beralih dari Aditya ke jendela besar aula, seolah-olah sesuatu di luar masih mengintainya.“Mereka datang, mereka datang, mereka datang...” katanya dengan suara gemetar.Aditya, yang berdiri tak jauh darinya, memirin

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 5: Melodi dari Kegelapan

    Malam di Desa Sukamundur terasa seperti menahan napas. Kabut menyelimuti setiap sudut desa, menebarkan hawa dingin yang menembus kulit. Di aula Gedung Konser Midanget Sunyata, Saras, Harjo, dan Aditya berdiri memandangi partitur bertuliskan "Simfoni No. 8 – Gerakan 3.". Cahaya lampu yang temaram semakin menambah suasana mencekam."Kita harus berhati-hati," ucap Harjo dengan nada tegas. "Setiap kali musik ini dimainkan, sesuatu dari sisi lain merespons. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya kita hadapi."Aditya mendesah pelan, mencoba menenangkan pikirannya. "Tapi jika kita tidak memainkannya, bagaimana kita bisa memecahkan misteri ini? Jejak kaki besar di luar, bayangan-bayangan yang Saras lihat—semuanya terkait dengan simfoni ini. Kita tidak bisa hanya berdiam diri."Harjo menggelengkan kepala, kerutan di dahinya semakin dalam. "Aryawiguna memperingatkan kita tentang hal ini. Musiknya bukan sekadar seni; ia adalah pintu ke tempat yang tidak boleh disentuh manusia."Namun, Saras, yang s

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-09
  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 6: Harmoni Terakhir

    Cahaya pagi yang suram menerobos masuk melalui celah-celah daun di Desa Sukamundur. Suara angin menggetarkan ranting pohon-pohon tua di sekitar desa, menciptakan melodi alami yang selaras dengan ketegangan yang menggantung di udara. Aditya Arya berdiri di tengah aula gedung konser Midanget Sunyata, memandangi piano hitam yang kini terasa seperti jantung dari semua misteri ini. Di sampingnya, Saras duduk di salah satu kursi penonton, mencoba menenangkan dirinya setelah kejadian mengerikan di hutan semalam.“Simfoni ini masih belum selesai,” ucap Aditya, memecah keheningan. Tatapannya tertuju pada partitur yang ditemukan di ruangan bawah tanah semalam: “Simfoni No. 9 – Gerakan 1.”Harjo, yang berdiri tidak jauh dari mereka, mengangguk perlahan. “Aryawiguna mencoba memperbaiki kesalahannya dengan menyusun simfoni ini. Tapi dia tidak pernah berhasil menyelesaikannya. Dan sekarang, kita harus melakukannya. Jika tidak, pintu yang dia buka tidak akan pernah tertutup.”Saras mengangkat wajahn

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-20
  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 1: Panggilan Keheningan

    Hujan mengguyur deras, memukul kaca jendela kantor kecil milik Aditya Arya. Irama hujan yang berulang-ulang itu seperti musik tanpa akhir, monoton, tapi tak sepenuhnya sunyi. Kantor Aditya, yang lebih menyerupai gudang dengan meja kayu tua, lampu neon berkedip, dan tumpukan dokumen berdebu, menjadi tempatnya menghabiskan malam.Dia memandang secangkir kopi di mejanya. Kopi itu sudah dingin, mencerminkan hidupnya yang belakangan ini terasa datar. Sebagai detektif swasta, kebanyakan kasusnya adalah rutinitas belaka—perselingkuhan, penyelidikan kecil, dan pencurian rumah tangga. Tidak ada yang cukup menantang otaknya seperti dulu, ketika dia masih aktif di kepolisian.Namun, malam itu membawa sesuatu yang berbeda. Sebuah amplop merah tergeletak di antara tumpukan dokumen di mejanya, mencolok di antara segala yang kusam. Amplop itu tidak pernah dia lihat sebelumnya, dan dia tidak ingat siapa yang meletakkannya di sana.Aditya mengamati amplop itu dengan hati-hati. Namanya tertulis di bagi

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-21

Bab terbaru

  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 6: Harmoni Terakhir

    Cahaya pagi yang suram menerobos masuk melalui celah-celah daun di Desa Sukamundur. Suara angin menggetarkan ranting pohon-pohon tua di sekitar desa, menciptakan melodi alami yang selaras dengan ketegangan yang menggantung di udara. Aditya Arya berdiri di tengah aula gedung konser Midanget Sunyata, memandangi piano hitam yang kini terasa seperti jantung dari semua misteri ini. Di sampingnya, Saras duduk di salah satu kursi penonton, mencoba menenangkan dirinya setelah kejadian mengerikan di hutan semalam.“Simfoni ini masih belum selesai,” ucap Aditya, memecah keheningan. Tatapannya tertuju pada partitur yang ditemukan di ruangan bawah tanah semalam: “Simfoni No. 9 – Gerakan 1.”Harjo, yang berdiri tidak jauh dari mereka, mengangguk perlahan. “Aryawiguna mencoba memperbaiki kesalahannya dengan menyusun simfoni ini. Tapi dia tidak pernah berhasil menyelesaikannya. Dan sekarang, kita harus melakukannya. Jika tidak, pintu yang dia buka tidak akan pernah tertutup.”Saras mengangkat wajahn

  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 5: Melodi dari Kegelapan

    Malam di Desa Sukamundur terasa seperti menahan napas. Kabut menyelimuti setiap sudut desa, menebarkan hawa dingin yang menembus kulit. Di aula Gedung Konser Midanget Sunyata, Saras, Harjo, dan Aditya berdiri memandangi partitur bertuliskan "Simfoni No. 8 – Gerakan 3.". Cahaya lampu yang temaram semakin menambah suasana mencekam."Kita harus berhati-hati," ucap Harjo dengan nada tegas. "Setiap kali musik ini dimainkan, sesuatu dari sisi lain merespons. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya kita hadapi."Aditya mendesah pelan, mencoba menenangkan pikirannya. "Tapi jika kita tidak memainkannya, bagaimana kita bisa memecahkan misteri ini? Jejak kaki besar di luar, bayangan-bayangan yang Saras lihat—semuanya terkait dengan simfoni ini. Kita tidak bisa hanya berdiam diri."Harjo menggelengkan kepala, kerutan di dahinya semakin dalam. "Aryawiguna memperingatkan kita tentang hal ini. Musiknya bukan sekadar seni; ia adalah pintu ke tempat yang tidak boleh disentuh manusia."Namun, Saras, yang s

  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 4: Kehadiran di Balik Bayangan

    Langit malam di Desa Sukamundur terasa lebih berat dari biasanya. Kabut begitu tebal menyelimuti setiap sudut Desa Sukamundur, seperti selimut abu-abu yang menghimpit. Di kejauhan, terlihat bayangan pohon tampak seperti siluet makhluk tinggi yang mengintai untuk menyergap mangsanya. Gedung konser Midanget Sunyata berdiri di tengah desa, megah tapi menyeramkan dan terkenal tapi terlihat suram, dengan cat dinding mulai kusam dan pilar-pilar besar yang menjulang seperti penjaga bisu. Terlihat bangunan yang seperti tak pernah dipakai selama bertahun-tahun.Di aula utama Gedung konser Midanget Sunyoto, Saras berdiri terengah-engah setelah berlari masuk menuju aula utama. Wajahnya memucat, seluruh tubuhnya gemetar, mengisyaratkan gentingnya keadaan. Matanya yang penuh ketakutan beralih dari Aditya ke jendela besar aula, seolah-olah sesuatu di luar masih mengintainya.“Mereka datang, mereka datang, mereka datang...” katanya dengan suara gemetar.Aditya, yang berdiri tak jauh darinya, memirin

  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 3: Simfoni Senyap

    Hujan tipis membasahi Desa Sukamundur pagi itu. Awan kelabu menggantung rendah, membentuk langit yang seolah menekan desa kecil itu ke dalam keheningan abadi. Aditya Arya berdiri di aula utama gedung konser Midanget Sunyata, memandang piano hitam di panggung. Bayangan malam sebelumnya masih membekas dalam pikirannya—kehadiran sosok misterius, hilangnya bayangan secara tiba-tiba, dan partitur kosong bertuliskan ”Simfoni No. 8.”Dia melangkah pelan ke panggung, membiarkan derit lantai kayu mengisi ruangan yang kosong. Dengan hati-hati, dia membuka penutup piano. Tuts-tutsnya bersih, hampir terlalu bersih untuk instrumen yang terlihat tua dan usang dari luar. Aditya menyentuh salah satu tuts, menghasilkan nada yang terdengar janggal—nada itu tidak selaras, seperti ada ketidakseimbangan di dalam piano.“Tidak ada yang memainkan piano ini sejak Aryawiguna pergi,” suara berat tiba-tiba terdengar dari belakangnya.Aditya menoleh. Maestro Harjo berdiri di pintu masuk aula, tangannya memegang

  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 2: Jejak Bayangan

    Malam di Desa Sukamundur terasa lebih sunyi dibandingkan malam mana pun yang pernah Aditya rasakan. Keheningan itu hampir terasa menghimpit, seolah-olah desa ini memiliki jiwa yang mengawasi setiap langkahnya. Tiupan angin malam hanya terdengar samar di antara pepohonan. Tidak ada suara burung malam, tidak ada suara jangkrik. Keheningan seperti ini bukanlah sesuatu yang biasa. Setelah insiden bayangan di aula, Aditya memutuskan untuk lebih berhati-hati dalam setiap tindakannya. Sebuah firasat kuat mengatakan kepadanya bahwa ada lebih banyak hal yang tersembunyi di balik insiden ini. Partitur kosong bertuliskan “Simfoni No. 8.” yang ditemukan di atas piano tadi malam kini tersimpan rapi di dalam tas kulit tuanya. Dia tahu, setiap detail kecil dalam kasus ini bisa menjadi kunci penting. Partitur itu menggelitik rasa ingin tahunya—apakah ini sekadar kebetulan atau sebuah pesan? Pagi harinya, dengan sinar matahari yang temaram menerobos celah awan mendung, Aditya memutuskan untuk kembal

  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 1: Panggilan Keheningan

    Hujan mengguyur deras, memukul kaca jendela kantor kecil milik Aditya Arya. Irama hujan yang berulang-ulang itu seperti musik tanpa akhir, monoton, tapi tak sepenuhnya sunyi. Kantor Aditya, yang lebih menyerupai gudang dengan meja kayu tua, lampu neon berkedip, dan tumpukan dokumen berdebu, menjadi tempatnya menghabiskan malam.Dia memandang secangkir kopi di mejanya. Kopi itu sudah dingin, mencerminkan hidupnya yang belakangan ini terasa datar. Sebagai detektif swasta, kebanyakan kasusnya adalah rutinitas belaka—perselingkuhan, penyelidikan kecil, dan pencurian rumah tangga. Tidak ada yang cukup menantang otaknya seperti dulu, ketika dia masih aktif di kepolisian.Namun, malam itu membawa sesuatu yang berbeda. Sebuah amplop merah tergeletak di antara tumpukan dokumen di mejanya, mencolok di antara segala yang kusam. Amplop itu tidak pernah dia lihat sebelumnya, dan dia tidak ingat siapa yang meletakkannya di sana.Aditya mengamati amplop itu dengan hati-hati. Namanya tertulis di bagi

DMCA.com Protection Status