Beranda / Thriller / Simfoni Tanpa Nada / Bab 4: Kehadiran di Balik Bayangan

Share

Bab 4: Kehadiran di Balik Bayangan

Penulis: Png
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-06 09:43:12

Langit malam di Desa Sukamundur terasa lebih berat dari biasanya. Kabut begitu tebal menyelimuti setiap sudut Desa Sukamundur, seperti selimut abu-abu yang menghimpit. Di kejauhan, terlihat bayangan pohon tampak seperti siluet makhluk tinggi yang mengintai untuk menyergap mangsanya. Gedung konser Midanget Sunyata berdiri di tengah desa, megah tapi menyeramkan dan terkenal tapi terlihat suram, dengan cat dinding mulai kusam dan pilar-pilar besar yang menjulang seperti penjaga bisu. Terlihat bangunan yang seperti tak pernah dipakai selama bertahun-tahun.

Di aula utama Gedung konser Midanget Sunyoto, Saras berdiri terengah-engah setelah berlari masuk menuju aula utama. Wajahnya memucat, seluruh tubuhnya gemetar, mengisyaratkan gentingnya keadaan. Matanya yang penuh ketakutan beralih dari Aditya ke jendela besar aula, seolah-olah sesuatu di luar masih mengintainya.

“Mereka datang, mereka datang, mereka datang...” katanya dengan suara gemetar.

Aditya, yang berdiri tak jauh darinya, memiringkan kepalanya. “Mereka? Siapa?”

Saras menggeleng pelan sambil menelan ludah, seperti tak ingin percaya pada apa yang baru saja ia lihat. “Bayangan... mereka bukan manusia. Saya melihat mereka di tepi desa, berdiri di tengah kabut. Musik itu—mereka mengikuti musik.”

Aditya mendekat, mencoba meraih bahu Saras untuk menenangkan gadis itu. “Tenang, Saras. Apa sebenarnya yang kamu lihat, bicara dengan pelan?”

“Suara... nada rendah itu lagi,” jawab Saras, suaranya hampir tak terdengar. “Setiap kali musik itu dimainkan, mereka datang. Saya melihat sosok-sosok... bentuk mereka tidak jelas, seperti bayangan tanpa wujud. Tapi mereka tahu kita di sini.”

Aditya menghela napas panjang, berusaha memproses apa yang baru saja didengar. Matanya melirik ke panggung, tempat piano hitam berdiri seperti sosok misterius. Di depan piano itu, Harjo berdiri dengan tubuh kaku. Tatapannya terpaku pada tuts piano, seolah mencari jawaban di sana.

“Harjo,” panggil Aditya, suaranya tegas. “Apa yang Saras lihat itu ada hubungannya dengan Aryawiguna dan simfoninya, bukan?”

Harjo menoleh perlahan, wajahnya terlihat lebih tua dari sebelumnya. Ia menarik napas panjang sebelum menjawab. “Musik itu...” katanya dengan suara yang berat. “...menciptakan pintu.”

“Pintu ke mana?” Aditya bertanya, mencoba menahan skeptisisme dalam suaranya.

“Ke sesuatu yang tidak kita pahami,” jawab Harjo. Ia kembali menatap piano hitam itu. “Aryawiguna percaya bahwa musik adalah kunci. ”Simfoni No. 8.” adalah eksperimennya. Dia ingin membuktikan bahwa harmoni tertentu bisa membuka jalan ke dunia lain. Dan dia berhasil. Tapi yang datang bukanlah sesuatu yang ramah.”

Kata-kata Harjo menggantung di udara, seperti bayangan yang panjang di bawah cahaya redup. Saras menggigil, tangannya memeluk tubuhnya sendiri.

“Jadi...” Saras bergumam, suaranya hampir pecah. “Mereka yang membunuh Raka? Bayangan itu?”

Keheningan Harjo memberikan jawaban yang tidak ingin didengar siapa pun.

Aditya menekan punggungnya ke dinding, mencoba mencerna informasi ini. “Kalau begitu,” katanya perlahan, “bagaimana kita menutup pintu itu?”

“Simfoni No. 9.” jawab Harjo dengan suara pelan.

Aditya mengangkat alis. “Simfoni No. 9?”

Harjo mengangguk. “Aryawiguna mulai menulisnya setelah ia menyadari kesalahan yang telah ia buat. Dia berkata bahwa ”Simfoni No. 9.” adalah penutup. Tapi dia tidak pernah menyelesaikannya. Sebelum dia bisa memainkan bagian terakhir, dia menghilang.”

“Jadi kita harus menyelesaikan simfoni itu?” Aditya bertanya dengan nada tegas.

Harjo menatapnya, matanya penuh keraguan. “Ya. Tapi menyelesaikannya berarti menghadapi apa yang ia coba tutup. Dan itu mungkin lebih berbahaya dari apa yang bisa kita bayangkan.”

Diikuti penjelasan Harjo yang tidak ingin di sampaikan. tetapi Harjo harus mengatakannya: "Simfoni ini harus di mainkan dengan urutan nada yang benar, dan..."

Sebelum penjelasan Harjo selesai, suara keras terdengar dari luar. Dentingan logam yang jatuh, diikuti oleh langkah kaki berat yang menggema di udara malam.

Semua orang di aula membeku, tubuh mereka menegang.

“Apa itu?” Saras berbisik, suaranya hampir tidak terdengar.

Aditya segera menyalakan senter di tangannya. “Tetap di sini,” katanya kepada Saras dan Harjo, sebelum bergerak menuju pintu aula.

Ketika ia membuka pintu, udara dingin langsung menyergap wajahnya. Kabut tebal menyelimuti seluruh desa, membuat pandangannya terbatas hanya beberapa meter ke depan. Ia menyorotkan senter ke arah suara tadi, tetapi tidak menemukan apa-apa.

Namun, di tanah, ia melihat sesuatu. Sebuah lampu minyak tergeletak, pecah dengan minyaknya yang mengalir ke tanah. Di sebelahnya, ada jejak kaki yang aneh.

Aditya berjongkok, memeriksa jejak itu dengan saksama. Ukurannya besar, jauh lebih besar dari jejak manusia. Ada bekas cakar panjang di ujungnya, mencetak dalam di tanah basah.

“Jejak ini...” gumamnya.

Sebuah suara rendah dan dalam terdengar dari arah kabut. Suara itu seperti desahan panjang yang berat, membuat bulu kuduk Aditya berdiri.

Ia berdiri cepat, menyorotkan senternya ke arah suara itu. Tapi kabut hanya menampilkan kekosongan yang menggantung. Tidak ada sosok, hanya keheningan yang terasa semakin menghimpit.

Aditya segera kembali ke aula. Saras dan Harjo menatapnya dengan cemas, berharap dia membawa jawaban.

“Ada sesuatu di luar,” katanya. “Jejak kaki besar, dan suara... sesuatu yang bukan manusia.”

Harjo menghela napas panjang. “Mereka datang karena simfoni itu. Sama seperti dulu, ketika Aryawiguna memainkannya.”

“Kalau begitu,” Aditya berkata, “kita harus mencari semua bagian ”Simfoni No. 8.” dan menyelesaikannya. Itu satu-satunya cara untuk menemukan kebenaran.”

Aditya memutuskan untuk berjaga malam itu. Ia duduk di salah satu bangku kayu, memperhatikan ruangan yang mulai terasa lebih dingin seiring berjalannya waktu. Saras telah tertidur di sudut aula, meskipun wajahnya tetap menampakkan ketakutan. Harjo berdiri di dekat panggung, matanya terus terpaku pada piano hitam.

Ketika jarum jam menunjukkan tengah malam, suara itu datang lagi. Nada rendah yang menyayat, seperti melodi dari dunia lain.

Aditya berdiri dengan cepat. Suara itu berasal dari ruang latihan kecil di belakang panggung, tempat Raka ditemukan. Dengan senter di tangannya, ia berjalan menuju ruangan itu.

Pintu ruang latihan terbuka sedikit. Cahaya senter Aditya menyapu ke dalam, memperlihatkan bayangan gelap di sudut ruangan. Ketika ia masuk, ia melihat sesuatu yang membuatnya membeku.

Bayangan seseorang duduk di kursi, memegang biola. Sosok itu bergerak perlahan, memainkan melodi yang rendah dan menghantui.

“Siapa di sana?” Aditya memanggil.

Sosok itu berhenti. Saat Aditya menyorotkan senter ke arah kursi, ruangan itu kosong. Tidak ada siapa pun.

Namun, di meja kecil di depan kursi, ada sebuah partitur baru.

“Simfoni No. 8 – Gerakan 3,” tulisnya di sudut.

Aditya merasakan bulu kuduknya berdiri. Pesan ini bukan kebetulan. Seseorang, atau sesuatu, sedang memandu mereka menuju akhir dari misteri ini.

Ketika ia kembali ke aula, Saras dan Harjo menatapnya. Aditya menunjukkan partitur itu.

“Kita harus memainkannya,” katanya dengan suara tegas. “Tapi kita harus siap menghadapi apa pun yang akan terjadi.”

Bab terkait

  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 5: Melodi dari Kegelapan

    Malam di Desa Sukamundur terasa seperti menahan napas. Kabut menyelimuti setiap sudut desa, menebarkan hawa dingin yang menembus kulit. Di aula Gedung Konser Midanget Sunyata, Saras, Harjo, dan Aditya berdiri memandangi partitur bertuliskan "Simfoni No. 8 – Gerakan 3.". Cahaya lampu yang temaram semakin menambah suasana mencekam."Kita harus berhati-hati," ucap Harjo dengan nada tegas. "Setiap kali musik ini dimainkan, sesuatu dari sisi lain merespons. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya kita hadapi."Aditya mendesah pelan, mencoba menenangkan pikirannya. "Tapi jika kita tidak memainkannya, bagaimana kita bisa memecahkan misteri ini? Jejak kaki besar di luar, bayangan-bayangan yang Saras lihat—semuanya terkait dengan simfoni ini. Kita tidak bisa hanya berdiam diri."Harjo menggelengkan kepala, kerutan di dahinya semakin dalam. "Aryawiguna memperingatkan kita tentang hal ini. Musiknya bukan sekadar seni; ia adalah pintu ke tempat yang tidak boleh disentuh manusia."Namun, Saras, yang s

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-09
  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 6: Harmoni Terakhir

    Cahaya pagi yang suram menerobos masuk melalui celah-celah daun di Desa Sukamundur. Suara angin menggetarkan ranting pohon-pohon tua di sekitar desa, menciptakan melodi alami yang selaras dengan ketegangan yang menggantung di udara. Aditya Arya berdiri di tengah aula gedung konser Midanget Sunyata, memandangi piano hitam yang kini terasa seperti jantung dari semua misteri ini. Di sampingnya, Saras duduk di salah satu kursi penonton, mencoba menenangkan dirinya setelah kejadian mengerikan di hutan semalam.“Simfoni ini masih belum selesai,” ucap Aditya, memecah keheningan. Tatapannya tertuju pada partitur yang ditemukan di ruangan bawah tanah semalam: “Simfoni No. 9 – Gerakan 1.”Harjo, yang berdiri tidak jauh dari mereka, mengangguk perlahan. “Aryawiguna mencoba memperbaiki kesalahannya dengan menyusun simfoni ini. Tapi dia tidak pernah berhasil menyelesaikannya. Dan sekarang, kita harus melakukannya. Jika tidak, pintu yang dia buka tidak akan pernah tertutup.”Saras mengangkat wajahn

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-20
  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 7: Nada yang Tersisa

    Pagi di Desa Sukamundur terasa lebih sunyi dari biasanya. Cahaya matahari yang hangat menyinari jalanan berbatu, tetapi keheningan aneh menggantung di udara. Setelah kejadian di gedung konser, desa itu seperti ditelan rasa takut yang tidak terlihat. Aditya Arya duduk di depan sebuah pondok kecil di ujung desa, menggenggam fragmen partitur yang ia temukan di reruntuhan. Tulisan tangan di sudutnya masih terngiang di pikirannya: "Musik ini tidak pernah berhenti. Mereka akan kembali."Saras mendekat pelan, membawa secangkir teh hangat. Wajahnya masih pucat, tetapi ia mencoba tersenyum. "Apa yang Anda temukan di fragmen itu?" tanyanya, suaranya nyaris berbisik.Aditya mengangkat fragmen itu, menunjukkannya padanya. "Ini adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar. ”Simfoni No. 9.” belum selesai, dan meskipun Harjo sudah mengorbankan dirinya, ada sesuatu yang masih tersisa. Ini seperti peringatan bahwa ancaman itu belum benar-benar hilang."Saras duduk di sampingnya, memandang fragmen itu d

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-29
  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 8: Pintu Harmoni

    Langkah kaki Aditya dan Saras bergema di tangga batu menuju ruang bawah tanah yang baru mereka temukan. Cahaya senter mereka menari di dinding yang lembap, menyoroti ukiran-ukiran aneh yang terukir dengan presisi. Setiap langkah terasa membawa mereka semakin jauh dari dunia nyata, masuk ke dalam misteri yang ditinggalkan Aryawiguna.Ketika mereka mencapai dasar tangga, udara terasa lebih dingin. Sebuah ruangan besar terbuka di depan mereka, diterangi oleh cahaya lembut yang tidak jelas dari mana sumbernya. Di tengah ruangan berdiri podium batu besar yang menahan sebuah kotak kaca. Di dalam kotak itu, terdapat sebuah partitur lengkap bertuliskan: "Simfoni No. 9 – Gerakan Akhir."Saras menelan ludah, pandangannya terpaku pada partitur itu. "Ini... ini pasti yang kita cari," katanya dengan suara bergetar. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat bayangan yang bergerak di sudut ruangan.Aditya segera mengarahkan senternya. "Siapa di sana?" tanyanya tegas.Bayangan itu tetap diam, tetapi so

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06
  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 9: Gema yang Tersisa

    Langit Desa Sukamundur perlahan berubah dari kelabu menjadi biru cerah. Udara pagi membawa kesejukan yang terasa berbeda, seperti beban berat yang selama ini menekan desa telah terangkat. Aditya Arya berdiri di tepi hutan, memandangi partitur lengkap ”Simfoni No. 9.” yang kini berada di tangannya. Sementara itu, Saras berdiri tak jauh di belakangnya, matanya tertuju pada desa yang mulai bangkit dari keheningan panjang.“Semua terlihat damai sekarang,” gumam Saras pelan, seolah berbicara kepada dirinya sendiri.Aditya mengangguk perlahan, tetapi sorot matanya penuh kekhawatiran. “Ya, tapi aku tidak bisa berhenti berpikir tentang kata-kata pria tua itu. Musik ini memiliki kekuatan lebih besar daripada yang kita bayangkan. Apa yang kita lakukan bukan hanya menutup pintu, tapi mungkin membuka jalan baru.”Saras menatap Aditya, bingung. “Apa maksud Anda?”Aditya mengangkat partitur itu, memperlihatkan halaman-halaman penuh notasi yang tampak seperti kode rahasia. “Aryawiguna tidak hanya me

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-20
  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 10: Panggung Terakhir

    Matahari pagi menyinari Desa Sukamundur dengan kehangatan yang langka. Seolah-olah kehadiran bayangan yang menghantui desa ini selama bertahun-tahun yang diharapkan masyarakat desa segera menghilang akhirnya sirna bersama selesainya "Simfoni No. 9." Namun, di hati Aditya Arya, ada sesuatu yang masih mengganjal dengan segala pertanyaan dibelakangnya. Surat tanpa nama yang ia terima semalam membuat ia berpikir keras sekaligus menyadari ruwetnya teka-teki "Simfoni No. 9.", menjadi tanda bahwa misteri ini belum sepenuhnya usai.Aditya duduk di meja kecil di penginapan, membaca kembali isi surat itu:“Anda mungkin berpikir bahwa semuanya telah selesai, tetapi ’Simfoni No. 9.’ hanya permulaan. Dunia telah mendengar suaranya, dan sekarang banyak yang ingin menemukannya. Jika Anda ingin kebenaran sesungguhnya, temui aku di gedung konser lama sebelum semuanya terlambat.”Saras, yang berdiri di dekat jendela, menatapnya dengan raut cemas dan kebingungan. “Anda benar-benar ingin pergi?”Aditya m

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-01
  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 11: Jejak Nada yang Hilang

    Kabut pekat menyelimuti malam ketika Aditya, Saras, dan Clara kembali ke ruang bawah tanah gedung konser Midanget Sunyata. Setiap langkah mereka bergema di lorong batu yang lembap dan berbau tanah basah. Meski Aditya dan Saras sudah pernah datang ke tempat ini melalui petunjuk yang tidak sengaja ditemukan mereka, suasana dingin yang menyelinap ke tulang mereka tetap terasa sama—seolah tempat ini menolak kehadiran mereka.Lampu senter Aditya berpendar di dinding batu yang tertutup lumut. Di salah satu sudut, tersembunyi dalam bayangan, ada ukiran berbentuk lingkaran dengan pola musik yang rumit. Notasi-notasi itu terlihat berbeda, seperti sebuah kode rahasia yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.Clara, yang berdiri di belakang Aditya, menyipitkan mata seranya memfokuskan pandangannya dan menyentuh pola spiral di dinding itu dengan sangat hati-hati.“Ini bukan sekadar hiasan, atau sekedar pola yang diukir seseorang untuk melampiaskan hobi, atau semacamnya” gumamnya. “Bisa jadi ini

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-10
  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 12: Simbol dalam Nada

    Malam itu, hujan turun rintik-rintik di kota tempat Aditya memiliki kantor kecilnya. Suasana terasa suram, seolah langit ikut menyimpan rahasia yang hendak mereka pecahkan. Di dalam ruangan yang remang-remang, sebuah meja kayu panjang menjadi saksi bisu diskusi yang akan menentukan arah dari misteri ini.Aditya duduk di ujung meja dengan ekspresi serius. Di sekelilingnya, berkumpul orang-orang yang kini menjadi bagian dari kisah ini: Clara, Arjuna Wiryawan, Wisanggeni, Saras, serta para musisi yang telah terlibat dalam perjalanan ini—Bima, Dira, Lila, Rendra, dan Ayu.Di tengah meja, Clara meletakkan selembar kertas tua yang sudah menguning. Gambar di atasnya tampak rumit: lingkaran-lingkaran dengan garis-garis bersilangan, menyerupai pola musik, tetapi memiliki elemen yang lebih dalam daripada sekadar partitur.“Ini,” kata Clara dengan nada tegas, “adalah peta harmoni. Simbol esoteris yang ditemukan dalam catatan lama Aryawiguna. Ini bukan hanya musik, tetapi juga kode yang menggamba

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-22

Bab terbaru

  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 12: Simbol dalam Nada

    Malam itu, hujan turun rintik-rintik di kota tempat Aditya memiliki kantor kecilnya. Suasana terasa suram, seolah langit ikut menyimpan rahasia yang hendak mereka pecahkan. Di dalam ruangan yang remang-remang, sebuah meja kayu panjang menjadi saksi bisu diskusi yang akan menentukan arah dari misteri ini.Aditya duduk di ujung meja dengan ekspresi serius. Di sekelilingnya, berkumpul orang-orang yang kini menjadi bagian dari kisah ini: Clara, Arjuna Wiryawan, Wisanggeni, Saras, serta para musisi yang telah terlibat dalam perjalanan ini—Bima, Dira, Lila, Rendra, dan Ayu.Di tengah meja, Clara meletakkan selembar kertas tua yang sudah menguning. Gambar di atasnya tampak rumit: lingkaran-lingkaran dengan garis-garis bersilangan, menyerupai pola musik, tetapi memiliki elemen yang lebih dalam daripada sekadar partitur.“Ini,” kata Clara dengan nada tegas, “adalah peta harmoni. Simbol esoteris yang ditemukan dalam catatan lama Aryawiguna. Ini bukan hanya musik, tetapi juga kode yang menggamba

  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 11: Jejak Nada yang Hilang

    Kabut pekat menyelimuti malam ketika Aditya, Saras, dan Clara kembali ke ruang bawah tanah gedung konser Midanget Sunyata. Setiap langkah mereka bergema di lorong batu yang lembap dan berbau tanah basah. Meski Aditya dan Saras sudah pernah datang ke tempat ini melalui petunjuk yang tidak sengaja ditemukan mereka, suasana dingin yang menyelinap ke tulang mereka tetap terasa sama—seolah tempat ini menolak kehadiran mereka.Lampu senter Aditya berpendar di dinding batu yang tertutup lumut. Di salah satu sudut, tersembunyi dalam bayangan, ada ukiran berbentuk lingkaran dengan pola musik yang rumit. Notasi-notasi itu terlihat berbeda, seperti sebuah kode rahasia yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.Clara, yang berdiri di belakang Aditya, menyipitkan mata seranya memfokuskan pandangannya dan menyentuh pola spiral di dinding itu dengan sangat hati-hati.“Ini bukan sekadar hiasan, atau sekedar pola yang diukir seseorang untuk melampiaskan hobi, atau semacamnya” gumamnya. “Bisa jadi ini

  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 10: Panggung Terakhir

    Matahari pagi menyinari Desa Sukamundur dengan kehangatan yang langka. Seolah-olah kehadiran bayangan yang menghantui desa ini selama bertahun-tahun yang diharapkan masyarakat desa segera menghilang akhirnya sirna bersama selesainya "Simfoni No. 9." Namun, di hati Aditya Arya, ada sesuatu yang masih mengganjal dengan segala pertanyaan dibelakangnya. Surat tanpa nama yang ia terima semalam membuat ia berpikir keras sekaligus menyadari ruwetnya teka-teki "Simfoni No. 9.", menjadi tanda bahwa misteri ini belum sepenuhnya usai.Aditya duduk di meja kecil di penginapan, membaca kembali isi surat itu:“Anda mungkin berpikir bahwa semuanya telah selesai, tetapi ’Simfoni No. 9.’ hanya permulaan. Dunia telah mendengar suaranya, dan sekarang banyak yang ingin menemukannya. Jika Anda ingin kebenaran sesungguhnya, temui aku di gedung konser lama sebelum semuanya terlambat.”Saras, yang berdiri di dekat jendela, menatapnya dengan raut cemas dan kebingungan. “Anda benar-benar ingin pergi?”Aditya m

  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 9: Gema yang Tersisa

    Langit Desa Sukamundur perlahan berubah dari kelabu menjadi biru cerah. Udara pagi membawa kesejukan yang terasa berbeda, seperti beban berat yang selama ini menekan desa telah terangkat. Aditya Arya berdiri di tepi hutan, memandangi partitur lengkap ”Simfoni No. 9.” yang kini berada di tangannya. Sementara itu, Saras berdiri tak jauh di belakangnya, matanya tertuju pada desa yang mulai bangkit dari keheningan panjang.“Semua terlihat damai sekarang,” gumam Saras pelan, seolah berbicara kepada dirinya sendiri.Aditya mengangguk perlahan, tetapi sorot matanya penuh kekhawatiran. “Ya, tapi aku tidak bisa berhenti berpikir tentang kata-kata pria tua itu. Musik ini memiliki kekuatan lebih besar daripada yang kita bayangkan. Apa yang kita lakukan bukan hanya menutup pintu, tapi mungkin membuka jalan baru.”Saras menatap Aditya, bingung. “Apa maksud Anda?”Aditya mengangkat partitur itu, memperlihatkan halaman-halaman penuh notasi yang tampak seperti kode rahasia. “Aryawiguna tidak hanya me

  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 8: Pintu Harmoni

    Langkah kaki Aditya dan Saras bergema di tangga batu menuju ruang bawah tanah yang baru mereka temukan. Cahaya senter mereka menari di dinding yang lembap, menyoroti ukiran-ukiran aneh yang terukir dengan presisi. Setiap langkah terasa membawa mereka semakin jauh dari dunia nyata, masuk ke dalam misteri yang ditinggalkan Aryawiguna.Ketika mereka mencapai dasar tangga, udara terasa lebih dingin. Sebuah ruangan besar terbuka di depan mereka, diterangi oleh cahaya lembut yang tidak jelas dari mana sumbernya. Di tengah ruangan berdiri podium batu besar yang menahan sebuah kotak kaca. Di dalam kotak itu, terdapat sebuah partitur lengkap bertuliskan: "Simfoni No. 9 – Gerakan Akhir."Saras menelan ludah, pandangannya terpaku pada partitur itu. "Ini... ini pasti yang kita cari," katanya dengan suara bergetar. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat bayangan yang bergerak di sudut ruangan.Aditya segera mengarahkan senternya. "Siapa di sana?" tanyanya tegas.Bayangan itu tetap diam, tetapi so

  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 7: Nada yang Tersisa

    Pagi di Desa Sukamundur terasa lebih sunyi dari biasanya. Cahaya matahari yang hangat menyinari jalanan berbatu, tetapi keheningan aneh menggantung di udara. Setelah kejadian di gedung konser, desa itu seperti ditelan rasa takut yang tidak terlihat. Aditya Arya duduk di depan sebuah pondok kecil di ujung desa, menggenggam fragmen partitur yang ia temukan di reruntuhan. Tulisan tangan di sudutnya masih terngiang di pikirannya: "Musik ini tidak pernah berhenti. Mereka akan kembali."Saras mendekat pelan, membawa secangkir teh hangat. Wajahnya masih pucat, tetapi ia mencoba tersenyum. "Apa yang Anda temukan di fragmen itu?" tanyanya, suaranya nyaris berbisik.Aditya mengangkat fragmen itu, menunjukkannya padanya. "Ini adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar. ”Simfoni No. 9.” belum selesai, dan meskipun Harjo sudah mengorbankan dirinya, ada sesuatu yang masih tersisa. Ini seperti peringatan bahwa ancaman itu belum benar-benar hilang."Saras duduk di sampingnya, memandang fragmen itu d

  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 6: Harmoni Terakhir

    Cahaya pagi yang suram menerobos masuk melalui celah-celah daun di Desa Sukamundur. Suara angin menggetarkan ranting pohon-pohon tua di sekitar desa, menciptakan melodi alami yang selaras dengan ketegangan yang menggantung di udara. Aditya Arya berdiri di tengah aula gedung konser Midanget Sunyata, memandangi piano hitam yang kini terasa seperti jantung dari semua misteri ini. Di sampingnya, Saras duduk di salah satu kursi penonton, mencoba menenangkan dirinya setelah kejadian mengerikan di hutan semalam.“Simfoni ini masih belum selesai,” ucap Aditya, memecah keheningan. Tatapannya tertuju pada partitur yang ditemukan di ruangan bawah tanah semalam: “Simfoni No. 9 – Gerakan 1.”Harjo, yang berdiri tidak jauh dari mereka, mengangguk perlahan. “Aryawiguna mencoba memperbaiki kesalahannya dengan menyusun simfoni ini. Tapi dia tidak pernah berhasil menyelesaikannya. Dan sekarang, kita harus melakukannya. Jika tidak, pintu yang dia buka tidak akan pernah tertutup.”Saras mengangkat wajahn

  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 5: Melodi dari Kegelapan

    Malam di Desa Sukamundur terasa seperti menahan napas. Kabut menyelimuti setiap sudut desa, menebarkan hawa dingin yang menembus kulit. Di aula Gedung Konser Midanget Sunyata, Saras, Harjo, dan Aditya berdiri memandangi partitur bertuliskan "Simfoni No. 8 – Gerakan 3.". Cahaya lampu yang temaram semakin menambah suasana mencekam."Kita harus berhati-hati," ucap Harjo dengan nada tegas. "Setiap kali musik ini dimainkan, sesuatu dari sisi lain merespons. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya kita hadapi."Aditya mendesah pelan, mencoba menenangkan pikirannya. "Tapi jika kita tidak memainkannya, bagaimana kita bisa memecahkan misteri ini? Jejak kaki besar di luar, bayangan-bayangan yang Saras lihat—semuanya terkait dengan simfoni ini. Kita tidak bisa hanya berdiam diri."Harjo menggelengkan kepala, kerutan di dahinya semakin dalam. "Aryawiguna memperingatkan kita tentang hal ini. Musiknya bukan sekadar seni; ia adalah pintu ke tempat yang tidak boleh disentuh manusia."Namun, Saras, yang s

  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 4: Kehadiran di Balik Bayangan

    Langit malam di Desa Sukamundur terasa lebih berat dari biasanya. Kabut begitu tebal menyelimuti setiap sudut Desa Sukamundur, seperti selimut abu-abu yang menghimpit. Di kejauhan, terlihat bayangan pohon tampak seperti siluet makhluk tinggi yang mengintai untuk menyergap mangsanya. Gedung konser Midanget Sunyata berdiri di tengah desa, megah tapi menyeramkan dan terkenal tapi terlihat suram, dengan cat dinding mulai kusam dan pilar-pilar besar yang menjulang seperti penjaga bisu. Terlihat bangunan yang seperti tak pernah dipakai selama bertahun-tahun.Di aula utama Gedung konser Midanget Sunyoto, Saras berdiri terengah-engah setelah berlari masuk menuju aula utama. Wajahnya memucat, seluruh tubuhnya gemetar, mengisyaratkan gentingnya keadaan. Matanya yang penuh ketakutan beralih dari Aditya ke jendela besar aula, seolah-olah sesuatu di luar masih mengintainya.“Mereka datang, mereka datang, mereka datang...” katanya dengan suara gemetar.Aditya, yang berdiri tak jauh darinya, memirin

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status