Pagi di Desa Sukamundur terasa lebih sunyi dari biasanya. Cahaya matahari yang hangat menyinari jalanan berbatu, tetapi keheningan aneh menggantung di udara. Setelah kejadian di gedung konser, desa itu seperti ditelan rasa takut yang tidak terlihat. Aditya Arya duduk di depan sebuah pondok kecil di ujung desa, menggenggam fragmen partitur yang ia temukan di reruntuhan. Tulisan tangan di sudutnya masih terngiang di pikirannya: "Musik ini tidak pernah berhenti. Mereka akan kembali."
Saras mendekat pelan, membawa secangkir teh hangat. Wajahnya masih pucat, tetapi ia mencoba tersenyum. "Apa yang Anda temukan di fragmen itu?" tanyanya, suaranya nyaris berbisik.
Aditya mengangkat fragmen itu, menunjukkannya padanya. "Ini adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar. ”Simfoni No. 9.” belum selesai, dan meskipun Harjo sudah mengorbankan dirinya, ada sesuatu yang masih tersisa. Ini seperti peringatan bahwa ancaman itu belum benar-benar hilang."
Saras duduk di sampingnya, memandang fragmen itu dengan alis berkerut. "Jadi... apa yang harus kita lakukan sekarang?"
Aditya menatap ke kejauhan, ke arah hutan yang masih tampak gelap meskipun matahari sudah tinggi. "Kita harus mencari jawaban. Fragmen ini mungkin adalah kunci untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi pada Aryawiguna dan simfoni ini."
Aditya dan Saras memutuskan untuk kembali ke pusat desa, di mana sebuah perpustakaan kecil berdiri di dekat balai desa. Perpustakaan itu sudah tua, dengan rak-rak kayu yang berderit dan buku-buku berdebu yang nyaris terlupakan. Di dalamnya, seorang pria tua dengan kacamata tebal duduk di balik meja, mengamati mereka dengan tatapan ingin tahu.
"Selamat pagi," sapa Aditya. "Kami mencari informasi tentang Aryawiguna dan sejarah Desa Sukamundur. Apakah Anda punya dokumen atau buku yang bisa membantu kami?"
Pria tua itu, yang memperkenalkan dirinya sebagai Pak Wiryo, mengangguk pelan. "Aryawiguna... nama itu sudah lama tidak disebut-sebut di desa ini. Tapi saya ingat, ada sebuah buku catatan tua yang pernah ditulis olehnya. Buku itu disimpan di bagian belakang perpustakaan, di rak yang jarang tersentuh."
Pak Wiryo membawa mereka ke bagian belakang perpustakaan. Ia menunjuk ke sebuah rak yang penuh dengan buku-buku tua dan dokumen yang hampir lapuk. Setelah beberapa menit mencari, Saras menemukan sebuah buku dengan sampul hitam yang sudah kusam. Di bagian depannya tertulis: Catatan Aryawiguna.
Aditya membuka buku itu dengan hati-hati. Halaman-halamannya dipenuhi tulisan tangan Aryawiguna, yang mencatat pemikirannya tentang musik, harmoni, dan... sesuatu yang lebih gelap.
"Musik adalah kunci," tulis Aryawiguna di salah satu halaman. "Tetapi kunci ini membuka lebih dari sekadar jiwa manusia. Ia membuka pintu ke tempat yang tidak pernah dimaksudkan untuk dijangkau manusia. ”Simfoni No. 8.” adalah awal, tetapi ”Simfoni No. 9.” adalah akhir. Jika tidak selesai, pintu itu akan tetap terbuka selamanya."
Aditya membaca kata-kata itu berulang kali. "Dia tahu apa yang dia lakukan," katanya pelan. "Dia tahu risikonya, tetapi dia tetap melanjutkannya."
Saras menunjuk sebuah diagram di salah satu halaman. "Lihat ini. Ini seperti peta, tapi bukan peta desa kita. Apa ini tempat di dunia lain?"
Aditya memperhatikan diagram itu dengan seksama. "Atau mungkin ini adalah representasi dari harmoni yang dia coba ciptakan. Ini bukan hanya musik; ini adalah peta suara."
Pak Wiryo menambahkan, "Aryawiguna sering berbicara tentang konsep harmoni universal. Ia percaya bahwa nada-nada tertentu memiliki kemampuan untuk menyelaraskan dunia manusia dengan dimensi lain. Tapi ide itu ditolak oleh banyak orang, bahkan oleh para musisi."
Aditya mengangguk sambil menutup buku itu. "Kita perlu memahami lebih jauh tentang peta ini. Bisa jadi ini adalah petunjuk untuk menyelesaikan Simfoni No. 9."
Malam itu, Aditya dan Saras kembali ke reruntuhan gedung konser. Tempat itu kini terasa lebih suram, dengan sisa-sisa bangunan yang tertutup abu dan debu. Aditya membawa buku catatan Aryawiguna dan fragmen partitur, mencoba mencari petunjuk di tempat di mana semuanya dimulai.
Di tengah reruntuhan, mereka menemukan sebuah piano tua yang masih utuh. Piano itu tampak seperti telah menunggu mereka, meskipun tidak ada yang memindahkannya sejak ledakan terjadi.
Aditya mendekati piano itu dengan hati-hati. Ia membuka buku catatan Aryawiguna dan membandingkannya dengan fragmen partitur. "Ada sesuatu di sini," katanya. "Sebuah pola yang hanya bisa ditemukan jika kita memainkan nada-nada ini dengan urutan tertentu."
Saras duduk di depan piano, siap memainkan nada-nada itu. Tetapi ketika ia mulai menekan tuts, suara aneh mulai terdengar. Bukan dari piano, tetapi dari bawah tanah.
"Apa itu?" Saras bertanya, suaranya gemetar.
Aditya menyorotkan senter ke lantai. Ia melihat celah kecil di antara puing-puing, seperti pintu yang tersembunyi. Dengan bantuan Saras, ia memindahkan puing-puing itu dan menemukan pintu logam kecil yang terkunci.
"Ini pasti jalan ke ruang bawah tanah gedung ini," katanya. "Mungkin Aryawiguna menyembunyikan sesuatu di sana."
Mereka mencari cara untuk membuka pintu itu, dan akhirnya menemukan kunci kecil yang tergantung di salah satu sudut piano. Dengan hati-hati, Aditya membuka pintu itu. Di baliknya, sebuah tangga batu mengarah ke bawah, ke dalam kegelapan yang pekat.
Tangga itu membawa mereka ke sebuah ruangan besar dengan dinding batu. Di tengah ruangan, ada sebuah meja besar yang dipenuhi partitur musik dan instrumen tua. Tetapi yang paling mencolok adalah sebuah patung besar di sudut ruangan. Patung itu menggambarkan seorang pria dengan tangan yang memegang tongkat konduktor, matanya tertutup seolah sedang bermeditasi.
"Ini... ini pasti Aryawiguna," kata Saras, suaranya hampir tidak terdengar.
Di meja itu, Aditya menemukan partitur lain. "Simfoni No. 9 - Gerakan 2." katanya, membaca tulisan di sudutnya. "Aryawiguna menyelesaikan sebagian simfoni ini, tetapi dia tidak pernah memainkannya."
Saras memandang sekeliling ruangan. "Apa mungkin dia sengaja meninggalkan ini untuk seseorang? Untuk kita?"
Aditya menggenggam partitur itu dengan erat. "Mungkin dia tahu bahwa suatu hari, seseorang harus menyelesaikan pekerjaannya. Tetapi pertanyaannya adalah, apakah kita siap menghadapi konsekuensinya?"
Bayangan di sudut ruangan tampak bergerak, meskipun tidak ada angin. Aditya dan Saras saling berpandangan, mengetahui bahwa mereka telah memasuki bagian dari misteri ini yang lebih gelap dari apa pun yang pernah mereka bayangkan.
Saat mereka memeriksa instrumen tua di ruangan itu, mereka menemukan beberapa instrumen yang telah disetel pada frekuensi tertentu. Aditya menyadari bahwa ini adalah bagian dari eksperimen Aryawiguna untuk menciptakan harmoni universal. "Instrumen-instrumen ini tidak hanya untuk musik biasa. Ini adalah alat untuk memengaruhi sesuatu di luar dunia kita," gumamnya.
Mereka menghabiskan beberapa jam di ruangan itu, mencoba memahami cara kerja instrumen tersebut. Saras memainkan beberapa nada pada harpa tua, dan suara yang dihasilkan menciptakan getaran aneh di udara. "Ini... ini seperti membuka sesuatu," katanya dengan gugup.
Aditya menghentikannya. "Kita harus berhati-hati. Setiap nada yang kita mainkan di sini bisa memiliki konsekuensi besar. Kita harus benar-benar memahami apa yang kita lakukan sebelum melanjutkan."
Langkah kaki Aditya dan Saras bergema di tangga batu menuju ruang bawah tanah yang baru mereka temukan. Cahaya senter mereka menari di dinding yang lembap, menyoroti ukiran-ukiran aneh yang terukir dengan presisi. Setiap langkah terasa membawa mereka semakin jauh dari dunia nyata, masuk ke dalam misteri yang ditinggalkan Aryawiguna.Ketika mereka mencapai dasar tangga, udara terasa lebih dingin. Sebuah ruangan besar terbuka di depan mereka, diterangi oleh cahaya lembut yang tidak jelas dari mana sumbernya. Di tengah ruangan berdiri podium batu besar yang menahan sebuah kotak kaca. Di dalam kotak itu, terdapat sebuah partitur lengkap bertuliskan: "Simfoni No. 9 – Gerakan Akhir."Saras menelan ludah, pandangannya terpaku pada partitur itu. "Ini... ini pasti yang kita cari," katanya dengan suara bergetar. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat bayangan yang bergerak di sudut ruangan.Aditya segera mengarahkan senternya. "Siapa di sana?" tanyanya tegas.Bayangan itu tetap diam, tetapi so
Langit Desa Sukamundur perlahan berubah dari kelabu menjadi biru cerah. Udara pagi membawa kesejukan yang terasa berbeda, seperti beban berat yang selama ini menekan desa telah terangkat. Aditya Arya berdiri di tepi hutan, memandangi partitur lengkap ”Simfoni No. 9.” yang kini berada di tangannya. Sementara itu, Saras berdiri tak jauh di belakangnya, matanya tertuju pada desa yang mulai bangkit dari keheningan panjang.“Semua terlihat damai sekarang,” gumam Saras pelan, seolah berbicara kepada dirinya sendiri.Aditya mengangguk perlahan, tetapi sorot matanya penuh kekhawatiran. “Ya, tapi aku tidak bisa berhenti berpikir tentang kata-kata pria tua itu. Musik ini memiliki kekuatan lebih besar daripada yang kita bayangkan. Apa yang kita lakukan bukan hanya menutup pintu, tapi mungkin membuka jalan baru.”Saras menatap Aditya, bingung. “Apa maksud Anda?”Aditya mengangkat partitur itu, memperlihatkan halaman-halaman penuh notasi yang tampak seperti kode rahasia. “Aryawiguna tidak hanya me
Hujan mengguyur deras, memukul kaca jendela kantor kecil milik Aditya Arya. Irama hujan yang berulang-ulang itu seperti musik tanpa akhir, monoton, tapi tak sepenuhnya sunyi. Kantor Aditya, yang lebih menyerupai gudang dengan meja kayu tua, lampu neon berkedip, dan tumpukan dokumen berdebu, menjadi tempatnya menghabiskan malam.Dia memandang secangkir kopi di mejanya. Kopi itu sudah dingin, mencerminkan hidupnya yang belakangan ini terasa datar. Sebagai detektif swasta, kebanyakan kasusnya adalah rutinitas belaka—perselingkuhan, penyelidikan kecil, dan pencurian rumah tangga. Tidak ada yang cukup menantang otaknya seperti dulu, ketika dia masih aktif di kepolisian.Namun, malam itu membawa sesuatu yang berbeda. Sebuah amplop merah tergeletak di antara tumpukan dokumen di mejanya, mencolok di antara segala yang kusam. Amplop itu tidak pernah dia lihat sebelumnya, dan dia tidak ingat siapa yang meletakkannya di sana.Aditya mengamati amplop itu dengan hati-hati. Namanya tertulis di bagi
Malam di Desa Sukamundur terasa lebih sunyi dibandingkan malam mana pun yang pernah Aditya rasakan. Keheningan itu hampir terasa menghimpit, seolah-olah desa ini memiliki jiwa yang mengawasi setiap langkahnya. Tiupan angin malam hanya terdengar samar di antara pepohonan. Tidak ada suara burung malam, tidak ada suara jangkrik. Keheningan seperti ini bukanlah sesuatu yang biasa. Setelah insiden bayangan di aula, Aditya memutuskan untuk lebih berhati-hati dalam setiap tindakannya. Sebuah firasat kuat mengatakan kepadanya bahwa ada lebih banyak hal yang tersembunyi di balik insiden ini. Partitur kosong bertuliskan “Simfoni No. 8.” yang ditemukan di atas piano tadi malam kini tersimpan rapi di dalam tas kulit tuanya. Dia tahu, setiap detail kecil dalam kasus ini bisa menjadi kunci penting. Partitur itu menggelitik rasa ingin tahunya—apakah ini sekadar kebetulan atau sebuah pesan? Pagi harinya, dengan sinar matahari yang temaram menerobos celah awan mendung, Aditya memutuskan untuk kembal
Hujan tipis membasahi Desa Sukamundur pagi itu. Awan kelabu menggantung rendah, membentuk langit yang seolah menekan desa kecil itu ke dalam keheningan abadi. Aditya Arya berdiri di aula utama gedung konser Midanget Sunyata, memandang piano hitam di panggung. Bayangan malam sebelumnya masih membekas dalam pikirannya—kehadiran sosok misterius, hilangnya bayangan secara tiba-tiba, dan partitur kosong bertuliskan ”Simfoni No. 8.”Dia melangkah pelan ke panggung, membiarkan derit lantai kayu mengisi ruangan yang kosong. Dengan hati-hati, dia membuka penutup piano. Tuts-tutsnya bersih, hampir terlalu bersih untuk instrumen yang terlihat tua dan usang dari luar. Aditya menyentuh salah satu tuts, menghasilkan nada yang terdengar janggal—nada itu tidak selaras, seperti ada ketidakseimbangan di dalam piano.“Tidak ada yang memainkan piano ini sejak Aryawiguna pergi,” suara berat tiba-tiba terdengar dari belakangnya.Aditya menoleh. Maestro Harjo berdiri di pintu masuk aula, tangannya memegang
Langit malam di Desa Sukamundur terasa lebih berat dari biasanya. Kabut begitu tebal menyelimuti setiap sudut Desa Sukamundur, seperti selimut abu-abu yang menghimpit. Di kejauhan, terlihat bayangan pohon tampak seperti siluet makhluk tinggi yang mengintai untuk menyergap mangsanya. Gedung konser Midanget Sunyata berdiri di tengah desa, megah tapi menyeramkan dan terkenal tapi terlihat suram, dengan cat dinding mulai kusam dan pilar-pilar besar yang menjulang seperti penjaga bisu. Terlihat bangunan yang seperti tak pernah dipakai selama bertahun-tahun.Di aula utama Gedung konser Midanget Sunyoto, Saras berdiri terengah-engah setelah berlari masuk menuju aula utama. Wajahnya memucat, seluruh tubuhnya gemetar, mengisyaratkan gentingnya keadaan. Matanya yang penuh ketakutan beralih dari Aditya ke jendela besar aula, seolah-olah sesuatu di luar masih mengintainya.“Mereka datang, mereka datang, mereka datang...” katanya dengan suara gemetar.Aditya, yang berdiri tak jauh darinya, memirin
Malam di Desa Sukamundur terasa seperti menahan napas. Kabut menyelimuti setiap sudut desa, menebarkan hawa dingin yang menembus kulit. Di aula Gedung Konser Midanget Sunyata, Saras, Harjo, dan Aditya berdiri memandangi partitur bertuliskan "Simfoni No. 8 – Gerakan 3.". Cahaya lampu yang temaram semakin menambah suasana mencekam."Kita harus berhati-hati," ucap Harjo dengan nada tegas. "Setiap kali musik ini dimainkan, sesuatu dari sisi lain merespons. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya kita hadapi."Aditya mendesah pelan, mencoba menenangkan pikirannya. "Tapi jika kita tidak memainkannya, bagaimana kita bisa memecahkan misteri ini? Jejak kaki besar di luar, bayangan-bayangan yang Saras lihat—semuanya terkait dengan simfoni ini. Kita tidak bisa hanya berdiam diri."Harjo menggelengkan kepala, kerutan di dahinya semakin dalam. "Aryawiguna memperingatkan kita tentang hal ini. Musiknya bukan sekadar seni; ia adalah pintu ke tempat yang tidak boleh disentuh manusia."Namun, Saras, yang s
Cahaya pagi yang suram menerobos masuk melalui celah-celah daun di Desa Sukamundur. Suara angin menggetarkan ranting pohon-pohon tua di sekitar desa, menciptakan melodi alami yang selaras dengan ketegangan yang menggantung di udara. Aditya Arya berdiri di tengah aula gedung konser Midanget Sunyata, memandangi piano hitam yang kini terasa seperti jantung dari semua misteri ini. Di sampingnya, Saras duduk di salah satu kursi penonton, mencoba menenangkan dirinya setelah kejadian mengerikan di hutan semalam.“Simfoni ini masih belum selesai,” ucap Aditya, memecah keheningan. Tatapannya tertuju pada partitur yang ditemukan di ruangan bawah tanah semalam: “Simfoni No. 9 – Gerakan 1.”Harjo, yang berdiri tidak jauh dari mereka, mengangguk perlahan. “Aryawiguna mencoba memperbaiki kesalahannya dengan menyusun simfoni ini. Tapi dia tidak pernah berhasil menyelesaikannya. Dan sekarang, kita harus melakukannya. Jika tidak, pintu yang dia buka tidak akan pernah tertutup.”Saras mengangkat wajahn
Langit Desa Sukamundur perlahan berubah dari kelabu menjadi biru cerah. Udara pagi membawa kesejukan yang terasa berbeda, seperti beban berat yang selama ini menekan desa telah terangkat. Aditya Arya berdiri di tepi hutan, memandangi partitur lengkap ”Simfoni No. 9.” yang kini berada di tangannya. Sementara itu, Saras berdiri tak jauh di belakangnya, matanya tertuju pada desa yang mulai bangkit dari keheningan panjang.“Semua terlihat damai sekarang,” gumam Saras pelan, seolah berbicara kepada dirinya sendiri.Aditya mengangguk perlahan, tetapi sorot matanya penuh kekhawatiran. “Ya, tapi aku tidak bisa berhenti berpikir tentang kata-kata pria tua itu. Musik ini memiliki kekuatan lebih besar daripada yang kita bayangkan. Apa yang kita lakukan bukan hanya menutup pintu, tapi mungkin membuka jalan baru.”Saras menatap Aditya, bingung. “Apa maksud Anda?”Aditya mengangkat partitur itu, memperlihatkan halaman-halaman penuh notasi yang tampak seperti kode rahasia. “Aryawiguna tidak hanya me
Langkah kaki Aditya dan Saras bergema di tangga batu menuju ruang bawah tanah yang baru mereka temukan. Cahaya senter mereka menari di dinding yang lembap, menyoroti ukiran-ukiran aneh yang terukir dengan presisi. Setiap langkah terasa membawa mereka semakin jauh dari dunia nyata, masuk ke dalam misteri yang ditinggalkan Aryawiguna.Ketika mereka mencapai dasar tangga, udara terasa lebih dingin. Sebuah ruangan besar terbuka di depan mereka, diterangi oleh cahaya lembut yang tidak jelas dari mana sumbernya. Di tengah ruangan berdiri podium batu besar yang menahan sebuah kotak kaca. Di dalam kotak itu, terdapat sebuah partitur lengkap bertuliskan: "Simfoni No. 9 – Gerakan Akhir."Saras menelan ludah, pandangannya terpaku pada partitur itu. "Ini... ini pasti yang kita cari," katanya dengan suara bergetar. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat bayangan yang bergerak di sudut ruangan.Aditya segera mengarahkan senternya. "Siapa di sana?" tanyanya tegas.Bayangan itu tetap diam, tetapi so
Pagi di Desa Sukamundur terasa lebih sunyi dari biasanya. Cahaya matahari yang hangat menyinari jalanan berbatu, tetapi keheningan aneh menggantung di udara. Setelah kejadian di gedung konser, desa itu seperti ditelan rasa takut yang tidak terlihat. Aditya Arya duduk di depan sebuah pondok kecil di ujung desa, menggenggam fragmen partitur yang ia temukan di reruntuhan. Tulisan tangan di sudutnya masih terngiang di pikirannya: "Musik ini tidak pernah berhenti. Mereka akan kembali."Saras mendekat pelan, membawa secangkir teh hangat. Wajahnya masih pucat, tetapi ia mencoba tersenyum. "Apa yang Anda temukan di fragmen itu?" tanyanya, suaranya nyaris berbisik.Aditya mengangkat fragmen itu, menunjukkannya padanya. "Ini adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar. ”Simfoni No. 9.” belum selesai, dan meskipun Harjo sudah mengorbankan dirinya, ada sesuatu yang masih tersisa. Ini seperti peringatan bahwa ancaman itu belum benar-benar hilang."Saras duduk di sampingnya, memandang fragmen itu d
Cahaya pagi yang suram menerobos masuk melalui celah-celah daun di Desa Sukamundur. Suara angin menggetarkan ranting pohon-pohon tua di sekitar desa, menciptakan melodi alami yang selaras dengan ketegangan yang menggantung di udara. Aditya Arya berdiri di tengah aula gedung konser Midanget Sunyata, memandangi piano hitam yang kini terasa seperti jantung dari semua misteri ini. Di sampingnya, Saras duduk di salah satu kursi penonton, mencoba menenangkan dirinya setelah kejadian mengerikan di hutan semalam.“Simfoni ini masih belum selesai,” ucap Aditya, memecah keheningan. Tatapannya tertuju pada partitur yang ditemukan di ruangan bawah tanah semalam: “Simfoni No. 9 – Gerakan 1.”Harjo, yang berdiri tidak jauh dari mereka, mengangguk perlahan. “Aryawiguna mencoba memperbaiki kesalahannya dengan menyusun simfoni ini. Tapi dia tidak pernah berhasil menyelesaikannya. Dan sekarang, kita harus melakukannya. Jika tidak, pintu yang dia buka tidak akan pernah tertutup.”Saras mengangkat wajahn
Malam di Desa Sukamundur terasa seperti menahan napas. Kabut menyelimuti setiap sudut desa, menebarkan hawa dingin yang menembus kulit. Di aula Gedung Konser Midanget Sunyata, Saras, Harjo, dan Aditya berdiri memandangi partitur bertuliskan "Simfoni No. 8 – Gerakan 3.". Cahaya lampu yang temaram semakin menambah suasana mencekam."Kita harus berhati-hati," ucap Harjo dengan nada tegas. "Setiap kali musik ini dimainkan, sesuatu dari sisi lain merespons. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya kita hadapi."Aditya mendesah pelan, mencoba menenangkan pikirannya. "Tapi jika kita tidak memainkannya, bagaimana kita bisa memecahkan misteri ini? Jejak kaki besar di luar, bayangan-bayangan yang Saras lihat—semuanya terkait dengan simfoni ini. Kita tidak bisa hanya berdiam diri."Harjo menggelengkan kepala, kerutan di dahinya semakin dalam. "Aryawiguna memperingatkan kita tentang hal ini. Musiknya bukan sekadar seni; ia adalah pintu ke tempat yang tidak boleh disentuh manusia."Namun, Saras, yang s
Langit malam di Desa Sukamundur terasa lebih berat dari biasanya. Kabut begitu tebal menyelimuti setiap sudut Desa Sukamundur, seperti selimut abu-abu yang menghimpit. Di kejauhan, terlihat bayangan pohon tampak seperti siluet makhluk tinggi yang mengintai untuk menyergap mangsanya. Gedung konser Midanget Sunyata berdiri di tengah desa, megah tapi menyeramkan dan terkenal tapi terlihat suram, dengan cat dinding mulai kusam dan pilar-pilar besar yang menjulang seperti penjaga bisu. Terlihat bangunan yang seperti tak pernah dipakai selama bertahun-tahun.Di aula utama Gedung konser Midanget Sunyoto, Saras berdiri terengah-engah setelah berlari masuk menuju aula utama. Wajahnya memucat, seluruh tubuhnya gemetar, mengisyaratkan gentingnya keadaan. Matanya yang penuh ketakutan beralih dari Aditya ke jendela besar aula, seolah-olah sesuatu di luar masih mengintainya.“Mereka datang, mereka datang, mereka datang...” katanya dengan suara gemetar.Aditya, yang berdiri tak jauh darinya, memirin
Hujan tipis membasahi Desa Sukamundur pagi itu. Awan kelabu menggantung rendah, membentuk langit yang seolah menekan desa kecil itu ke dalam keheningan abadi. Aditya Arya berdiri di aula utama gedung konser Midanget Sunyata, memandang piano hitam di panggung. Bayangan malam sebelumnya masih membekas dalam pikirannya—kehadiran sosok misterius, hilangnya bayangan secara tiba-tiba, dan partitur kosong bertuliskan ”Simfoni No. 8.”Dia melangkah pelan ke panggung, membiarkan derit lantai kayu mengisi ruangan yang kosong. Dengan hati-hati, dia membuka penutup piano. Tuts-tutsnya bersih, hampir terlalu bersih untuk instrumen yang terlihat tua dan usang dari luar. Aditya menyentuh salah satu tuts, menghasilkan nada yang terdengar janggal—nada itu tidak selaras, seperti ada ketidakseimbangan di dalam piano.“Tidak ada yang memainkan piano ini sejak Aryawiguna pergi,” suara berat tiba-tiba terdengar dari belakangnya.Aditya menoleh. Maestro Harjo berdiri di pintu masuk aula, tangannya memegang
Malam di Desa Sukamundur terasa lebih sunyi dibandingkan malam mana pun yang pernah Aditya rasakan. Keheningan itu hampir terasa menghimpit, seolah-olah desa ini memiliki jiwa yang mengawasi setiap langkahnya. Tiupan angin malam hanya terdengar samar di antara pepohonan. Tidak ada suara burung malam, tidak ada suara jangkrik. Keheningan seperti ini bukanlah sesuatu yang biasa. Setelah insiden bayangan di aula, Aditya memutuskan untuk lebih berhati-hati dalam setiap tindakannya. Sebuah firasat kuat mengatakan kepadanya bahwa ada lebih banyak hal yang tersembunyi di balik insiden ini. Partitur kosong bertuliskan “Simfoni No. 8.” yang ditemukan di atas piano tadi malam kini tersimpan rapi di dalam tas kulit tuanya. Dia tahu, setiap detail kecil dalam kasus ini bisa menjadi kunci penting. Partitur itu menggelitik rasa ingin tahunya—apakah ini sekadar kebetulan atau sebuah pesan? Pagi harinya, dengan sinar matahari yang temaram menerobos celah awan mendung, Aditya memutuskan untuk kembal
Hujan mengguyur deras, memukul kaca jendela kantor kecil milik Aditya Arya. Irama hujan yang berulang-ulang itu seperti musik tanpa akhir, monoton, tapi tak sepenuhnya sunyi. Kantor Aditya, yang lebih menyerupai gudang dengan meja kayu tua, lampu neon berkedip, dan tumpukan dokumen berdebu, menjadi tempatnya menghabiskan malam.Dia memandang secangkir kopi di mejanya. Kopi itu sudah dingin, mencerminkan hidupnya yang belakangan ini terasa datar. Sebagai detektif swasta, kebanyakan kasusnya adalah rutinitas belaka—perselingkuhan, penyelidikan kecil, dan pencurian rumah tangga. Tidak ada yang cukup menantang otaknya seperti dulu, ketika dia masih aktif di kepolisian.Namun, malam itu membawa sesuatu yang berbeda. Sebuah amplop merah tergeletak di antara tumpukan dokumen di mejanya, mencolok di antara segala yang kusam. Amplop itu tidak pernah dia lihat sebelumnya, dan dia tidak ingat siapa yang meletakkannya di sana.Aditya mengamati amplop itu dengan hati-hati. Namanya tertulis di bagi